Share

Part 3

"Astaghfirullah Fit, ga malu kau berkata seperti itu, sudahlah berzinah malah memperolok, kita ini sudah tua Fit, bukan anak kecil lagi, setidaknya jaga lisanmu itu."

"Jaga lisan, jaga lisan, ah sudahlah, males berdebat sama orang oon!"

Klik

Sambungan telepon dimatikan oleh betina bermulut dajjal itu, sampai kapan aku bisa sabar menghadapinya, apa aku pindah kerja saja, tapi, mencari kerja saat zaman sekarang  bukan semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk usia yang sudah tidak muda lagi dan untuk aku yang bisa dikatakan tulang punggung, tanpa terasa menik mata ini berkaca, jika aku mengatakan Allah tidak adil, sungguh sangat tidak pantas karena Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya, tetapi kenapa Fitri yang sosor sana sosor sini mendapatkan suami yang alim dan bertanggung jawab, apa salah dan dosa ini hingga sampai sekarang Allah belum mengirim satu saja hambanya untuk menjadi jodohku, sebagai seorang wanita kadang aku lelah dan butuh tempat untuk bersandar. 

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Mamak sudah masuk ke kamar, mungkin sudah tidur, mata ini juga sudah tidak dapat diajak kompromi, rasa mengantuk sudah begitu menyerang, sebelum tidur aku mengecek jendela dan pintu terlebih dahulu, waktu mengecek jendela, terlihat sorotan lampu mobil dan berhenti di depan rumah Fitri, terlihat wanita yang berbalutkan setelan kantor yang minim dan sempit turun dari mobil sambil membawa beberapa paper bag, wanita itu adalah Fitri, tapi, dia bukannya masuk ke rumah melainkan melangkah ke arah rumahku, spontan aku menutup gorden yang tadi aku s***k, untungnya lampu sudah aku matikan.

Terdengar suara ketukan pintu, mau apa wanita itu ke rumahku, rasa ingin membuka pintu tapi aku tahan, rasa sakit oleh lisan Fitri saat ditelpon belum juga hilang, tidak beberapa lama terdengar dering ponsel berdering, cepat tungkai kaki ini berlari ke kamar untuk meredam suaranya dan untuk mengetahui siapa yang menghubungi, ternyata Fitri, cepat ku nyalakan mode silent, lalu mengendap endap lagi ke ruang tamu untuk mengintip, jiwa kepoku menyerang. 

Terlihat Fitri terus mencoba menghubungi dengan raut wajah yang kesal. Tidak berapa lama terlihat Bang Raihan keluar dan mobil Riki segera mundur lalu pergi, kini Bang Raihan dan Fitri terlibat pembicaraan yang aku tidak tau tapi Fitri menunjuk-nunjuk ke arah rumahku, setelah itu mereka berdua masuk ke dalam rumah, Bang Raihan merangkul Fitri dengan kasih sayang, beruntung kau Fitri, abis enak-enak sama Riki sekarang mendapatkan kasih sayang yang tulus oleh suamimu yang baik itu, aku menghela nafas berat, lebih baik tidur saja, siapa tau di dalam mimpi ketemu jodoh, hanya sebatas mimpi saja sudah bikin bahagia. 

Adzan subuh berkumandang, aku telah mengenakan mukena dan menunggu Mamak, tadi Mamak mengatakan ingin sholat di mesjid yang tidak jauh dari rumah, sebenarnya aku ingin sholat di rumah saja, tapi kasihan jika mamak sendiri, jadi ya aku temani saja, setelah sholat, mamak tidak langsung pulang melainkan berdzikir terlebih dahulu, aku memutuskan menunggu Mamak di teras mesjid, apalagi Mamak bersama teman-teman seumurannya. 

Saat sedang menunggu mamak terlihat Bang Raihan keluar dari mesjid, mata kami sempat bertemu, aku buru-buru membuang muka, takut zinah mata apalagi Mamak sudah mewanti-wanti jangan sampai aku jadi pelakor. 

"Nur," baru saja menghindar agar tidak zinah mata, kenapa lelaki ini pakai menyapa segala, batinku kesal eh tunggu dulu, lebih tepatnya senang. 

"Apa Bang?" Senyum tipis mengembang, tipis-tipis saja, kalau kebanyakan jadi kelihatan ganjen 

"Kok belum pulang? Itu ada titipan buat kamu di rumah, katanya dari Riki, Fitri lagi demam, nanti pagi, Nur ambil ya." 

"Titipan dari Riki?"

"Iya kata Fitri, Nur dan Riki lagi dekat, sebenarnya klien kemaren itu kliennya Nur sama Riki, karena Nur ga bisa jadi digantikan oleh Fitri, kasihan Fitri kecapean sampai demam, karena Nur ga datang Riki menitipkan barang belanjaan untuk Nur."

Aku masih mencerna ucapan Bang Raihan, maksudnya Fitri berbohong atau bagaimana ya? Ah sudahlah, nanti aku juga tau sendiri, aku segera pamit masuk ke dalam masjid karena dari dalam masjid kulihat wajah mamak sudah masam, mungkin mamak mengiria aku caper sama Bang Raihan. 

"Masih ingat kan kau Nur, tentang nasehat Mamak?" 

"Masih Mak, masih segar diingatkan Nur, tadi Bang Raihan yang ajak ngobrol duluan Mak, mengenai Fitri, bukan Nur yang ngajak ngobrol duluan." 

"Oh syukurlah Nur."

Pagi itu setelah membersihkan rumah dan membuat sarapan, aku segera bersiap untuk berangkat ke kantor, salim pada Mamak hal yang tidak pernah aku lupakan. 

"Nuri, tunggu." Aku menoleh malas, karena aku tau itu suara Fitri, rasanya aku malas dan ingin segera langkahkan kaki untuk pergi, tapi Bang Raihan juga ikutan memanggil, ada apa gerangan pasangan suami istri beda karakter ini memanggilku. 

"Ada apa Fit," ucapku malas. 

"Nur, kemarin aku sudah ketemu klienmu, padahal itu tugasmu, ga apalah, namanya juga kita sahabat, kemarin juga si Riki sibuk mengajak belanja untukmu, terpaksa aku temani, ini semua untukmu dari Riki, gara-gara kau, aku jadi pulang malam dan sekarang agak ga enak badan,ucap Fitri sambil menyerahkan beberapa paper bag padaku, masih dengan raut wajah bingung, Fitri sibuk mengedipkan matanya dibalik badan Bang Raihan. 

"Fitri ga masuk kantor Nur, kecapean karena lembur tadi malam," ucap Bang Raihan.

"Nur memang selalu merepotkan aku Bang, tapi ga apalah namanya juga sahabat, kadang yang tertutup belum tentu baik, jadi Abanglah menilai sendiri, jangan paksakan Fitri untuk berhijab, lebih baik hati dulu diperbaiki."

"Maksudnya apa ini Fitri?"

"Itu barang belanjaan kau lah Nur, dari Riki, entah apa yang kau kasi sama Riki sampai bisa dia membelikan barang belanjaan mewah kayak gitu, bisa Abang nilai sendiri kan, selalu Bang Raihan bilang berhijab kayak Nur, lihatlah boroknya." 

"Apa maksudnya Fit, enggak ada hubungan apa-apa aku sama Riki, bukannya malah kau–" 

"Halah sudahlah Nur, aku ga mau bedebat, Mamak kau lagi kurang sehat, mendengar kita. Ribut nanti malah makin sakit, ayo Bang, lebih baik kita masuk saja," ucap Fitri sambil menarik tangan suaminya. 

Aku masih diam bengong dengan semua drama betina satu itu, sekilas kulihat isi paper bag itu berisi tas, sepatu dan parfum, sepertinya semua barang branded, kulirik jam sudah hampir telat untuk berangkat ke kantor, sebaiknya aku letakkan dulu barang-barang ini di rumah, nanti setelah pulang kerja baru aku selesaikan dengan Fitri agar mamaku tidak seenaknya dibuat kotor olehnya, setelah meletakkan barang tersebut, aku berangkat ke kantor, di saat perjalanan ponselku berdering kulirik sekilas ada pesan masuk dari Fitri, tetapi aku abaikan lebih baik saat sampai kantor nanti aku lihat apa isi pesannya. 

(Udik, barang-barang tadi itu untukku, dibelikan Riki untukku, jadi nanti kau pulangkan lagi kepadaku. Awas, jangan dipakai, itu semua barang mahal tidak pantas engkau memakainya, hanya wanita berkelas yang pantas untuk memakai barang-barang mewah seperti itu)  

Kembali lagi berulah betina itu, dengan senyum sinis aku membalas pesan dari Fitri. 

(Barang yang sudah dikasi, tidak dapat dikembalikan lagi.) 

(Oon, itu bukan untukmu! Heh, awas ya kau Nur.) 

(Aku akan screenshot isi chat kita dan aku kirim ke Bang Raihan.) 

Sepertinya ancamanku berhasil, terbukti Fitri tidak lagi mengirim pesan padaku, sepertinya memang betina satu itu harus dibalas, aku tidak boleh selamanya diam dan mengalah sehingga ia bebas menginjak-injak harga diriku. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anggra
ayoo nur balas aja..sindir aj tuh si fitrok dket suaminya...bilang "kemaren waktu aku nelfon Riki kok aku dengeer suara mndesah2" biar mampus tuh si fitrok
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
gitu donk nur balas Fitri biar tahu rasa tuh dasar murahan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status