"Astaghfirullah Fit, ga malu kau berkata seperti itu, sudahlah berzinah malah memperolok, kita ini sudah tua Fit, bukan anak kecil lagi, setidaknya jaga lisanmu itu."
"Jaga lisan, jaga lisan, ah sudahlah, males berdebat sama orang oon!"KlikSambungan telepon dimatikan oleh betina bermulut dajjal itu, sampai kapan aku bisa sabar menghadapinya, apa aku pindah kerja saja, tapi, mencari kerja saat zaman sekarang bukan semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk usia yang sudah tidak muda lagi dan untuk aku yang bisa dikatakan tulang punggung, tanpa terasa menik mata ini berkaca, jika aku mengatakan Allah tidak adil, sungguh sangat tidak pantas karena Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya, tetapi kenapa Fitri yang sosor sana sosor sini mendapatkan suami yang alim dan bertanggung jawab, apa salah dan dosa ini hingga sampai sekarang Allah belum mengirim satu saja hambanya untuk menjadi jodohku, sebagai seorang wanita kadang aku lelah dan butuh tempat untuk bersandar. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Mamak sudah masuk ke kamar, mungkin sudah tidur, mata ini juga sudah tidak dapat diajak kompromi, rasa mengantuk sudah begitu menyerang, sebelum tidur aku mengecek jendela dan pintu terlebih dahulu, waktu mengecek jendela, terlihat sorotan lampu mobil dan berhenti di depan rumah Fitri, terlihat wanita yang berbalutkan setelan kantor yang minim dan sempit turun dari mobil sambil membawa beberapa paper bag, wanita itu adalah Fitri, tapi, dia bukannya masuk ke rumah melainkan melangkah ke arah rumahku, spontan aku menutup gorden yang tadi aku s***k, untungnya lampu sudah aku matikan.Terdengar suara ketukan pintu, mau apa wanita itu ke rumahku, rasa ingin membuka pintu tapi aku tahan, rasa sakit oleh lisan Fitri saat ditelpon belum juga hilang, tidak beberapa lama terdengar dering ponsel berdering, cepat tungkai kaki ini berlari ke kamar untuk meredam suaranya dan untuk mengetahui siapa yang menghubungi, ternyata Fitri, cepat ku nyalakan mode silent, lalu mengendap endap lagi ke ruang tamu untuk mengintip, jiwa kepoku menyerang. Terlihat Fitri terus mencoba menghubungi dengan raut wajah yang kesal. Tidak berapa lama terlihat Bang Raihan keluar dan mobil Riki segera mundur lalu pergi, kini Bang Raihan dan Fitri terlibat pembicaraan yang aku tidak tau tapi Fitri menunjuk-nunjuk ke arah rumahku, setelah itu mereka berdua masuk ke dalam rumah, Bang Raihan merangkul Fitri dengan kasih sayang, beruntung kau Fitri, abis enak-enak sama Riki sekarang mendapatkan kasih sayang yang tulus oleh suamimu yang baik itu, aku menghela nafas berat, lebih baik tidur saja, siapa tau di dalam mimpi ketemu jodoh, hanya sebatas mimpi saja sudah bikin bahagia. Adzan subuh berkumandang, aku telah mengenakan mukena dan menunggu Mamak, tadi Mamak mengatakan ingin sholat di mesjid yang tidak jauh dari rumah, sebenarnya aku ingin sholat di rumah saja, tapi kasihan jika mamak sendiri, jadi ya aku temani saja, setelah sholat, mamak tidak langsung pulang melainkan berdzikir terlebih dahulu, aku memutuskan menunggu Mamak di teras mesjid, apalagi Mamak bersama teman-teman seumurannya. Saat sedang menunggu mamak terlihat Bang Raihan keluar dari mesjid, mata kami sempat bertemu, aku buru-buru membuang muka, takut zinah mata apalagi Mamak sudah mewanti-wanti jangan sampai aku jadi pelakor. "Nur," baru saja menghindar agar tidak zinah mata, kenapa lelaki ini pakai menyapa segala, batinku kesal eh tunggu dulu, lebih tepatnya senang. "Apa Bang?" Senyum tipis mengembang, tipis-tipis saja, kalau kebanyakan jadi kelihatan ganjen "Kok belum pulang? Itu ada titipan buat kamu di rumah, katanya dari Riki, Fitri lagi demam, nanti pagi, Nur ambil ya." "Titipan dari Riki?""Iya kata Fitri, Nur dan Riki lagi dekat, sebenarnya klien kemaren itu kliennya Nur sama Riki, karena Nur ga bisa jadi digantikan oleh Fitri, kasihan Fitri kecapean sampai demam, karena Nur ga datang Riki menitipkan barang belanjaan untuk Nur."Aku masih mencerna ucapan Bang Raihan, maksudnya Fitri berbohong atau bagaimana ya? Ah sudahlah, nanti aku juga tau sendiri, aku segera pamit masuk ke dalam masjid karena dari dalam masjid kulihat wajah mamak sudah masam, mungkin mamak mengiria aku caper sama Bang Raihan. "Masih ingat kan kau Nur, tentang nasehat Mamak?" "Masih Mak, masih segar diingatkan Nur, tadi Bang Raihan yang ajak ngobrol duluan Mak, mengenai Fitri, bukan Nur yang ngajak ngobrol duluan." "Oh syukurlah Nur."Pagi itu setelah membersihkan rumah dan membuat sarapan, aku segera bersiap untuk berangkat ke kantor, salim pada Mamak hal yang tidak pernah aku lupakan. "Nuri, tunggu." Aku menoleh malas, karena aku tau itu suara Fitri, rasanya aku malas dan ingin segera langkahkan kaki untuk pergi, tapi Bang Raihan juga ikutan memanggil, ada apa gerangan pasangan suami istri beda karakter ini memanggilku. "Ada apa Fit," ucapku malas. "Nur, kemarin aku sudah ketemu klienmu, padahal itu tugasmu, ga apalah, namanya juga kita sahabat, kemarin juga si Riki sibuk mengajak belanja untukmu, terpaksa aku temani, ini semua untukmu dari Riki, gara-gara kau, aku jadi pulang malam dan sekarang agak ga enak badan,ucap Fitri sambil menyerahkan beberapa paper bag padaku, masih dengan raut wajah bingung, Fitri sibuk mengedipkan matanya dibalik badan Bang Raihan. "Fitri ga masuk kantor Nur, kecapean karena lembur tadi malam," ucap Bang Raihan."Nur memang selalu merepotkan aku Bang, tapi ga apalah namanya juga sahabat, kadang yang tertutup belum tentu baik, jadi Abanglah menilai sendiri, jangan paksakan Fitri untuk berhijab, lebih baik hati dulu diperbaiki.""Maksudnya apa ini Fitri?""Itu barang belanjaan kau lah Nur, dari Riki, entah apa yang kau kasi sama Riki sampai bisa dia membelikan barang belanjaan mewah kayak gitu, bisa Abang nilai sendiri kan, selalu Bang Raihan bilang berhijab kayak Nur, lihatlah boroknya." "Apa maksudnya Fit, enggak ada hubungan apa-apa aku sama Riki, bukannya malah kau–" "Halah sudahlah Nur, aku ga mau bedebat, Mamak kau lagi kurang sehat, mendengar kita. Ribut nanti malah makin sakit, ayo Bang, lebih baik kita masuk saja," ucap Fitri sambil menarik tangan suaminya. Aku masih diam bengong dengan semua drama betina satu itu, sekilas kulihat isi paper bag itu berisi tas, sepatu dan parfum, sepertinya semua barang branded, kulirik jam sudah hampir telat untuk berangkat ke kantor, sebaiknya aku letakkan dulu barang-barang ini di rumah, nanti setelah pulang kerja baru aku selesaikan dengan Fitri agar mamaku tidak seenaknya dibuat kotor olehnya, setelah meletakkan barang tersebut, aku berangkat ke kantor, di saat perjalanan ponselku berdering kulirik sekilas ada pesan masuk dari Fitri, tetapi aku abaikan lebih baik saat sampai kantor nanti aku lihat apa isi pesannya. (Udik, barang-barang tadi itu untukku, dibelikan Riki untukku, jadi nanti kau pulangkan lagi kepadaku. Awas, jangan dipakai, itu semua barang mahal tidak pantas engkau memakainya, hanya wanita berkelas yang pantas untuk memakai barang-barang mewah seperti itu) Kembali lagi berulah betina itu, dengan senyum sinis aku membalas pesan dari Fitri. (Barang yang sudah dikasi, tidak dapat dikembalikan lagi.) (Oon, itu bukan untukmu! Heh, awas ya kau Nur.) (Aku akan screenshot isi chat kita dan aku kirim ke Bang Raihan.) Sepertinya ancamanku berhasil, terbukti Fitri tidak lagi mengirim pesan padaku, sepertinya memang betina satu itu harus dibalas, aku tidak boleh selamanya diam dan mengalah sehingga ia bebas menginjak-injak harga diriku.Ada perasaan takut dan puas saat menggertak Fitri seperti itu, perasaan takut akankah ia nanti bertindak lebih menyakitkan terhadapku, perasaan puas saat batin ini sudah begitu tersiksa dan terluka dan ada keinginan untuk membalasnya. Aku mengira setelah ia menikah dan bertambahnya usia kami ia tidak membayangiku lagi dengan lisannya yang pedih perih itu, tetapi ternyata tidak, ia bak anak baru gede yang kalau bicara tanpa disaring terlebih dahulu, aku bagaikan seonggok daging yang bisa ia perlakukan seenaknya, jika penampilanku kolot, ya memang seperti ini penampilan yang diajarkan keluarga, menutup aurat, untuk bersolek? Aku bukan tipe wanita yang suka menebar pesona, mungkin bisa dikatakan aku ini introvert. Tanpa terasa tergenang lagi air mata ini, pandanganku mengabur seiring jatuhnya air mata membasahi pipi. BrughTanpa sengaja tubuh ini menabrak seseorang."Kamu menangis Nur?""Eh, Bang Riki," ucapku sambil mengapus air mata dengan ujung jilbabku. "Bedakmu luntur, Nur." "Ma
"Menjauh Bang, jangan sampai aku teriak!""Tenang Nur, tenang, oke, Abang mundur, baik, Abang keluar ruangan ya, tapi ingat Nur, Bang Riki tidak main-main, Abang serius mau melamar Nur." Setelah berkata seperti itu, Bang Riki segera keluar ruangan, aku memastikan lelaki aneh itu telah keluar ruangan lalu meneguk air yang ada di atas meja kerjaku, deru jantung ini sudah tidak beraturan, apakah memang benar bang Riki ingin melamarku, bekal makanan yang baru beberapa sendok aku makan masih tersisa banyak, hilang sudah selera makanku, satu persatu karyawan sudah mulai kembali ke ruangan, tepat sepuluh menit lagi jam makan siang berakhir, Bang Riki kembali datang. "Makan Nur, ini masih anget, kasihan calon istrimu makan makanan yang sudah dingin, ini juga ada milo hangat," ujarnya lalu balik ke ruangan kerjanya, beberapa karyawan yang sudah kembali sempat melirik, aku hanya menunduk, apakah Bang Riki menunjukkan keseriusannya, kalau diperlakukan romantis seperti ini, lama-lama aku bisa m
Sakit, perih dan luka yang kucoba untuk kututup selama ini, menganga kembali, rasanya air mata ini sudah cukup deras mengalir karena lisan dari Fitri, semakin aku diam, dia semakin merajalela ingin menyakiti bahkan sekarang ingin menghancurkanku, aku Nuri Afrida, terlalu berharga untuk disakiti dan dihancurkan seperti itu, kali ini aku tidak akan tinggal diam, perlakuan Fitri terhadapku sungguh di luar batas kesabaran, aku ingin rasa sakit yang selama ini ia berikan kepadaku, ia juga merasakan, sudah cukup air mata ini mengalir akibat perlakuannya, aku menyeka kembali air mata ini dan menguatkan hatiku agar tidak menangis lagi dan berusaha untuk tegar dan kuat untuk membalaskan setiap detail perbuatan Fitri terhadap diriku. "Kamu kenapa menangis lagi Nur, katakan pada abang, siapa yang menyakitimu, abang tidak rela jika calon istri abang sedih." Bang Riki ternyata sudah berdiri di depanku, ingin rasanya aku tendang saja lelaki ini. "Pergilah dari hadapan Nur, Bang." "Kenapa Nur, ap
Cepat aku kembali mengenakan jilbab yang jatuh begitu saja di lantai teras rumahku. Fitri mencoba menarik kembali. "Astaghfirullah, lepaskan Fit," ucapku sambil memegangi jilbabku karena takut lepas kembali, rambut bagian depanku sudah terlihat.""Makanya balikkan! Kau ga tau itu khusus dibelikan Bang Riki untukku." Kakiku sudah siap untuk menendang Fitri, tapi kulihat Bang Raihan sudah pulang dari Masjid, aku urung menendang betina di depanku ini, ada rencana lain yang ingin kujalankan. "Lepaskan Fitri, ya Allah! Jangan tarik jilbabku!" Sengaja aku berteriak dengan kencang agar Bang Raihan tau kelakuan istri dajalnya. " Apanya kau Nur, teriak kayak orang gila!"Astaghfirullah Fitri, auratku terlihat gara-gara kau menarik jilbabku, ya Allah ... lepaskan Fit." Kembali aku berteriak. "Fitri! Lepaskan!" Fitri kaget karena suaminya sudah berdiri di depannya. "Ba–Bang, sudah pulang dari mesjid Bang," ucapnya gagap. "Ada apa ini, kenapa kalian berantem." " Untung Abang datang cepat
"Mak, Nur berangkat dulu ya, tadi, udah Nur gorengkan telur dadar, Mak makanlah dulu, nanti jam 10, Wak Biah nganter catering, tak perlulah lagi Mak masak, jangan sampe telat makan, nanti asam lambung Mak, kumat lagi.""Iya Nur, hati-hati ya, semoga Allah selalu melindungimu, Nur.""Amin, Mak juga ya." Setelah salim sama Mamak, dengan sedikit tergesa aku melangkah ke depan karena ojek online sudah menunggu, semenjak ada kejadian maling motor salah satu warga, jadi, Kepling (kepala lingkungan) melarang pedagang dan ojek online masuk ke dalam area gang bambu runcing, sampai batas waktu yang tidak ditentukan, jadilah kami yang tidak memiliki kendaraan agak sedikit repot berjalan ke depan jika mau memesan ojek online. "Nur, tunggu!" Aku tau itu suara Fitri, semakin kupercepat langkah kaki ini, tidak aku pedulikan, sudah ku siapkan mental dan hatiku untuk berhadapan dengannya nanti saat dikantor, jika wanita itu mencari gara-gara, tekadku sudah bulat untuk melawan. "Budek! Pel*cur!"De
"Calon istri Abang, mau kemana?" Riki memanggilku saat hendak keluar gerbang, lelaki itu barusan memarkirkan mobilnya. Aku tidak memperdulikan ucapan kadal itu, terus aku melangkah lalu naik ke becak motor yang biasa mangkal tidak jauh dari kantor menuju kantor polisi terdekat, setelah membuat laporan dengan memberikan bukti video, lalu tim penyidik membuat surat agar aku melakukan visum di rumah sakit sebagai alat bukti penyidikan. Bagian wajah merupakan salah satu bagian yang rentan mengalami cedera apabila terkena trauma tertentu. Benturan atau tamparan yang cukup keras dapat menyebabkan cedera atau kerusakan pada jaringan tubuh. Kerusakan ini tergantung dari seberapa kuat trauma tersebut, Fitri cukup keras menamparku hingga meninggalkan memar di bagian pipi. Tepat jam setengah jam dua belas siang urusanku selesai, tinggal menunggu surat panggilan yang akan ditujukan pada Fitri, kemungkinan ia tidak akan bisa mengelak, karena aku memiliki bukti yang sangat kuat, Maya juga tadi m
Aku dan Maya saling pandang dan tersenyum penuh arti. "Video? Video apa lagi?" Wajah Bang Raihan memucat, Maya menyodorkan ponselnya kepada Bang Raihan. SatuDua"Astaghfirullah … Ya Allah …." Bang Raihan mengucap istighfar tanpa henti, tidak berapa lama, ia meletakkan ponsel tersebut ke meja lalu memejamkan matanya, terlihat ia memijat kepalanya dan berjalan ke arah luar. "Sport jantung tuh, lakinya si Fitri," bisik Maya. "Kasihan aku melihatnya May, lelaki sebaik dia dapat wanita seperti Fitri."."Lagian, masa sih sebelum menikah bukan diselidiki dulu bagaimana bibit, bobot dan bebetnya, main nikah aja, rasain dah tuh, dapat istri solehot.""Entahlah May, tapi waktu awal taaruf dengan Bang Raihan, Fitri sempat menutup aurat beberapa bulan, setelah menikah tidak berapa lama si Fitri kembali lagi ke jalan yang salah dengan memakai pakaian sexi.""Oh, jadi sepertinya Bang Raihan ini tertipu pada topeng si Fitri, kasihan sekali lah."" Sssttt …," ucapku pada Maya karena Bang Raiha
Tok. Tok. Tok. "Nur! Keluar Nur, ayo keluar!"Terdengar suara Fitri mengetuk pintu, ternyata wanita itu masih belum puas sehingga malam begini ia ingin mengajak ribut, males aku meladeninya segera aku matikan lampu teras, berharap wanita itu segera pergi dan membiarkanku beristirahat malam ini, tidak terdengar lagi suara ketukan pintu dan suara Fitri memanggil setelah aku mematikan lampu teras, karena yang aku ketahui, walaupun gayanya sok preman, Fitri merupakan orang yang penakut akan hal-hal yang berbau gaib, karena sudah merasa sangat lelah, aku segera membersihkan diri, sholat isya lalu beranjak untuk tidur. *****"Nur, bangun Nur, sudah jam berapa ini!"Samar terdengar suara Mamak sampai aku tersadar lalu dengan lemas bangun dari tempat tidur, ada yang beda yang aku rasakan pagi ini, kepalaku terasa berat, tulangku terasa ngilu. "Iya Mak," ucapku sambil membuka pintu dengan suara serak. "Kenapa kau Nur.""Enggak tau Mak, enggak enak badan Nur.""Ya Allah, kau demam Nur, y