"Nur, sudah pulang Nak," ucap Mamak saat mendengarku membuka pintu depan rumah, segera kusalim tangan wanita yang sangat aku sayangi itu.
"Sudahlah Mak, ini Mamak lihat anak gadis cantik Mamak sudah berdiri disini.""Cantik tapi kok masih sendiri sih Nur," ucap Mamak. "Sabar Mak, doakan Nur terus.""Coba minta carikan sama Fitri, dia pintar cari suami, Raihan anaknya alim, santun dan pekerja keras."Oalah Mak, kenapa harus minta carikan Fitri, kenapa ga suaminya saja kuambil, batinku tapi cepat aku istighfar, ah, kenapa pikiranku jadi error begini. "Kok bengong Nur, ayo mandi, sebentar lagi magrib setelah itu makan, Mamak masak gulai ayam kampung tadi.""Ya Allah Mak, sudah Nur bilang Mamak jangan capek-capek masak, kenapa ga beli di warung Kak Biah saja, dokter bilang Mamak harus banyak istirahat.""Malah tambah sakit badan Mamak kalau kebanyakan diam, lagian kalau keseringan beli makan, malah tambah boros, Mamak ga tega sama mu Nur, kerja banting tulang buat membiayai Mamak.""Doakan saja Nur sehat dan lancar rezeki Mak, yang penting Mamak jaga kesehatan, masalah materi insya Allah Nur bisa cari, ya udah Nur mandi dulu ya Mak." Kemarin waktu Riki mengajak ketemuan, aku sudah berandai-andai jika Riki bisa menjadi partner dalam segala hal, mungkin jika menjadi istrinya aku bisa membayar ART agar Mamak tidak terlalu capek dan agar Mamak ada teman disaat aku lagi bekerja, Riki merupakan supervisor yang gajinya sudah diatas sepuluh juta, gajiku utuh untuk keperluan Mamak dan aku dinafkahi oleh Riki, tapi semua telah sirna, tak perlulah aku sesali, karena Allah telah menunjukkan siapa Riki sebenarnya, lelaki yang gampang goyang saat didekati wanita yang lebih menarik, lebih menarik? Apakah Fitri lebih menarik dariku? Kembali aku mematut diri di depan cermin, mungkin jika aku berpakaian terbuka bisa jadi aku juga menarik, ya Allah kenapa bisa eror begini aku, sebegitu frustasi nya kah aku sehingga terlintas di dalam pikiran ini untuk membuka aurat atau ingin menjadi pelakor, adzan maghrib berkumandang, lebih baik aku sholat dan memohon jodoh yang terbaik dan agar pikiran ngawur ini segera hilang. Setelah makan malam sedang asyik menemani Mamak menonton sinetron yang sedang tayang di televisi dengan nama Artis Aldebaran. "Kalau Mamak lihat, si Aldebaran ini mirip si Raihan ya, suaminya Fitri, cuma bedanya si Raihan jenggotan dan pakaiannya islami gitu." "ACK ya Mak?""Apa tuh?""Aliran celana cingkrang," jawabku sambil terus memijat kaki Mamak."Ada-ada saja istilahmu itu, Nur.""Menurut Mamak, Bang Raihan itu bagaimana Mak?" "Kenapa Nur? Kenapa kau menanyakan suami sahabatmu? Kok agak aneh Mamak rasa pertanyaanmu.""Aneh bagaimana?""Ngapain nanyain suami orang, jangan macam-macam ya Nur, biarpun sampai sekarang kau belum menikah, jangan coba-coba menggoda suami sahabatmu.""Ya Allah Mak, ga serendah itu Nur Mak.""Ya baguslah, punya harga dikit ya Nur."Mulut berkata tidak tetapi hati berkata iya, ah, ada apa dengan fikiran ini, benar kata Mamak, kalau aku merebut Bang Raihan berarti aku rendah dong, tapi kan Fitri telah berkhianat, masih status istri tapi lengket kayak perangko sama lelaki lain, kasihan Bang Raihan yang baik itu, lagian apa pantes si Fitri itu menjadi sahabatku, itu sih bukan sahabat, tapi dajal. "Assalamualaikum," ucap seseorang dengan suara berat, aku dan mamak saling pandang, seolah bertanya siapa, aku hanya memberi kode mengangkat kedua bahu pada Mamak, segera berjalan ke arah pintu dan mengintip dari balik gorden, siapakah yang berdiri di depan pintu, ternyata Bang Raihan. "Suami Fitri, Mak," ucapku pada mamak. "Coba buka Nur, siapa tau ada yang penting."Setelah mendapat titah dari mamak kubuka kunci pintu. "Maaf Nur mengganggu malam-malam begini, permisi ya Bu," ucap Bang Raihan padaku dan pada Mamak sambil menangkupkan kedua tangannya dengan sopan."Iya, ada ya Bang?""Nur, Abang minta tolong hubungi teman kantor Nur yang lain, coba tanyakan Fitri dimana, ini sudah jam sembilan malam, tapi Fitri belum pulang juga, nomor ponselnya juga tidak bisa di hubungi, Abang khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan pada Fitri, siapa tau dia dalam bahaya.""Oh, sebentar Bang HP Nur ada di kamar," ucapku sambil berlari ke kamar. Dengan cepat aku menghubungi Fitri, sedikit ada rasa khawatir juga di hati ini , apalagi wanita itu memakai pakaian yang kurang bahan, ku coba menghubungi Fitri, tapi nomor ponselnya mati seperti Bang Raihan katakan tadi, aku berinisiatif menghubungi Riki, karena terakhir aku lihat Fitri bersama Riki. "Bagaimana Nur," ucap Bang Raihan dengan raut wajah yang khawatir. "Sebentar Bang ini lagi mencoba menghubungi rekan kantor yang lain."Sambungan telepon tersambung, tidak berapa lama terdengar suara Riki. "Ada apa Nur," ucap Riki dengan nafas berat dan sepertinya sedang olah raga karena nafasnya memburu. "Maaf mengganggu, saya mau menanyakan Fitri dimana? Ini suaminya sedang khawatir." Tidak berapa lama terdengar Riki bicara pada seseorang. "Nur, Bang Raihan nyariin, eh–ah, anu bilang sama Bang Raihan aku sedang ketemu klien penting, satu jam lagi sampai rumah, aahh Bwang Riki, ahh–pelan Abwaang, enaakkk."Ya Allah Fitri, kenapa bisa mendesah begitu, apa yang telah Riki lakukan padamu, batinku polos-polos dongok. "Eh–udah dulu Nur, aku lagi emm–" Sambungan telepon terputus, bulu kudukku meremang, pikiranku traveling sedang membayangkan kenikmatan dunia yang sedang dirasakan oleh Fitri, duh mana tubuh Bang Riki atletis begitu, aku menelan saliva, andai saat ini aku memiliki suami, tidak perlu aku membayangkan langsung saja praktek, ya Allah beginikah nasib jomblo sejati. "Bagaimana Nur?""Pengen punya suami, Bang." "Maksudnya?" Bego, kenapa aku berkata seperti itu pada Bang Raihan. "Oh–anu Bang, Fitri lagi enak.""Enak?" Nuri bodoh! Rutuk ku dalam hati. "Fitri lagi ketemu klien, nanti satu jam lagi ia sampai rumah.""Alhamdulillah ya Allah, syukurlah kalau baik-baik saja, kirain ia dalam bahaya," ucapnya sedikit tenang, wajah khawatirnya yang tadi sudah hilang dan berubah menjadi lega karena sudah mendapatkan informasi palsu tentang keberadaan istrinya. Andai engkau tahu, istrimu memang sedang dalam bahaya bang, sedang dalam nafsu terlarang, ah, Bang Raihan yang malang, sini peluk dulu, eh. Astaghfirullah. "Ya sudah, saya permisi dulu ya, maaf mengganggu malam-malam begini, Bu Haji, saya permisi dulu, terima-kasih," ucap Bang Raihan dan kembali menangkupkan kedua tangannya. "Nur, Nuri, tutup pintunya, ngapain kau melihat Raihan begitu," ucap Mamak, aku gelagapan karena tertangkap basah oleh Mamak sedang menatap punggung Bang Raihan yang sedang berjalan ke rumahnya, rumah orang tua Fitri lebih tepatnya. "Nur cuma memastikan Mak, jika Bang Raihan masuk rumahnya dengan selamat," ucapku sok bijak yang tidak pada tempatnya. "Halah, kau itu, Mak tau, kau tertarik kan sama Raihan, ya Allah Nur, dalam garis keturunan kita ga ada yang jadi pelakor, mending kau jadi perawan tua seumur hidup daripada jadi pelakor." "Iya Mak, iya, memang Nur yang salah kok, Nur memang perawan tua!" Ada nyeri di ulu hati."Bukan begitu maksud Mamak Nur, engkau dididik dalam syariat islam sedari kecil, maksud Mamak jangan merendahkan diri seperti itu, caper kau kan Nur tadi di depan Raihan bilang mau punya suami.""Caper? Nggak Mak, tadi Nuri sedang membayangkan yang enak-enak." "Apanya Maksudmu Nur? Kau membayangkan enak-enak sama Raihan, Astaghfirullah alladziiiimmmmmmm," ucap Mamak dengan mengelus dada, dahlah, salah terus aku, padahal tadi lagi membayangkan Fitri sama Riki, siapa yang tidak merinding geli mendengar desahan kenikmatan Fitri, apalagi kaum dhuafa kasih sayang seperti diriku ini, pikiran ku yang suci bersih ini jadi ternoda gara-gara desahan si Fitrok, eh Fitri. Tidak ingin berdebat sama Mamak, sepenjang Mamak merepet menasehati aku cuma iyain saja biar cepat selesai repetan Mamak, sampai ponselku berdering, nama Fitri yang tertera,dengan malas aku menjawab. "Eh Oon! Ngapain kau telp pas aku lagi menikmati terong gedong Bang Riki, kau mau menjebakku ya, agar ketahuan sama Bang Raihan, berjilbab tapi iri hatimu keterlaluan, mending seperti aku, tampil apa adanya tapi ga munafik, buktinya sudah menjadi istri orang banyak yang tergila-gila padaku, beda dengan orang munafik macam kau, ga ada yang mau sama kau, Nuri si perawan tua!" Ya Allah Ya Rabbiiiiiiii, memang dajjal mulut si Fitrok ini."Astaghfirullah Fit, ga malu kau berkata seperti itu, sudahlah berzinah malah memperolok, kita ini sudah tua Fit, bukan anak kecil lagi, setidaknya jaga lisanmu itu.""Jaga lisan, jaga lisan, ah sudahlah, males berdebat sama orang oon!"KlikSambungan telepon dimatikan oleh betina bermulut dajjal itu, sampai kapan aku bisa sabar menghadapinya, apa aku pindah kerja saja, tapi, mencari kerja saat zaman sekarang bukan semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk usia yang sudah tidak muda lagi dan untuk aku yang bisa dikatakan tulang punggung, tanpa terasa menik mata ini berkaca, jika aku mengatakan Allah tidak adil, sungguh sangat tidak pantas karena Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya, tetapi kenapa Fitri yang sosor sana sosor sini mendapatkan suami yang alim dan bertanggung jawab, apa salah dan dosa ini hingga sampai sekarang Allah belum mengirim satu saja hambanya untuk menjadi jodohku, sebagai seorang wanita kadang aku lelah dan butuh tempat untuk bersandar. Waktu suda
Ada perasaan takut dan puas saat menggertak Fitri seperti itu, perasaan takut akankah ia nanti bertindak lebih menyakitkan terhadapku, perasaan puas saat batin ini sudah begitu tersiksa dan terluka dan ada keinginan untuk membalasnya. Aku mengira setelah ia menikah dan bertambahnya usia kami ia tidak membayangiku lagi dengan lisannya yang pedih perih itu, tetapi ternyata tidak, ia bak anak baru gede yang kalau bicara tanpa disaring terlebih dahulu, aku bagaikan seonggok daging yang bisa ia perlakukan seenaknya, jika penampilanku kolot, ya memang seperti ini penampilan yang diajarkan keluarga, menutup aurat, untuk bersolek? Aku bukan tipe wanita yang suka menebar pesona, mungkin bisa dikatakan aku ini introvert. Tanpa terasa tergenang lagi air mata ini, pandanganku mengabur seiring jatuhnya air mata membasahi pipi. BrughTanpa sengaja tubuh ini menabrak seseorang."Kamu menangis Nur?""Eh, Bang Riki," ucapku sambil mengapus air mata dengan ujung jilbabku. "Bedakmu luntur, Nur." "Ma
"Menjauh Bang, jangan sampai aku teriak!""Tenang Nur, tenang, oke, Abang mundur, baik, Abang keluar ruangan ya, tapi ingat Nur, Bang Riki tidak main-main, Abang serius mau melamar Nur." Setelah berkata seperti itu, Bang Riki segera keluar ruangan, aku memastikan lelaki aneh itu telah keluar ruangan lalu meneguk air yang ada di atas meja kerjaku, deru jantung ini sudah tidak beraturan, apakah memang benar bang Riki ingin melamarku, bekal makanan yang baru beberapa sendok aku makan masih tersisa banyak, hilang sudah selera makanku, satu persatu karyawan sudah mulai kembali ke ruangan, tepat sepuluh menit lagi jam makan siang berakhir, Bang Riki kembali datang. "Makan Nur, ini masih anget, kasihan calon istrimu makan makanan yang sudah dingin, ini juga ada milo hangat," ujarnya lalu balik ke ruangan kerjanya, beberapa karyawan yang sudah kembali sempat melirik, aku hanya menunduk, apakah Bang Riki menunjukkan keseriusannya, kalau diperlakukan romantis seperti ini, lama-lama aku bisa m
Sakit, perih dan luka yang kucoba untuk kututup selama ini, menganga kembali, rasanya air mata ini sudah cukup deras mengalir karena lisan dari Fitri, semakin aku diam, dia semakin merajalela ingin menyakiti bahkan sekarang ingin menghancurkanku, aku Nuri Afrida, terlalu berharga untuk disakiti dan dihancurkan seperti itu, kali ini aku tidak akan tinggal diam, perlakuan Fitri terhadapku sungguh di luar batas kesabaran, aku ingin rasa sakit yang selama ini ia berikan kepadaku, ia juga merasakan, sudah cukup air mata ini mengalir akibat perlakuannya, aku menyeka kembali air mata ini dan menguatkan hatiku agar tidak menangis lagi dan berusaha untuk tegar dan kuat untuk membalaskan setiap detail perbuatan Fitri terhadap diriku. "Kamu kenapa menangis lagi Nur, katakan pada abang, siapa yang menyakitimu, abang tidak rela jika calon istri abang sedih." Bang Riki ternyata sudah berdiri di depanku, ingin rasanya aku tendang saja lelaki ini. "Pergilah dari hadapan Nur, Bang." "Kenapa Nur, ap
Cepat aku kembali mengenakan jilbab yang jatuh begitu saja di lantai teras rumahku. Fitri mencoba menarik kembali. "Astaghfirullah, lepaskan Fit," ucapku sambil memegangi jilbabku karena takut lepas kembali, rambut bagian depanku sudah terlihat.""Makanya balikkan! Kau ga tau itu khusus dibelikan Bang Riki untukku." Kakiku sudah siap untuk menendang Fitri, tapi kulihat Bang Raihan sudah pulang dari Masjid, aku urung menendang betina di depanku ini, ada rencana lain yang ingin kujalankan. "Lepaskan Fitri, ya Allah! Jangan tarik jilbabku!" Sengaja aku berteriak dengan kencang agar Bang Raihan tau kelakuan istri dajalnya. " Apanya kau Nur, teriak kayak orang gila!"Astaghfirullah Fitri, auratku terlihat gara-gara kau menarik jilbabku, ya Allah ... lepaskan Fit." Kembali aku berteriak. "Fitri! Lepaskan!" Fitri kaget karena suaminya sudah berdiri di depannya. "Ba–Bang, sudah pulang dari mesjid Bang," ucapnya gagap. "Ada apa ini, kenapa kalian berantem." " Untung Abang datang cepat
"Mak, Nur berangkat dulu ya, tadi, udah Nur gorengkan telur dadar, Mak makanlah dulu, nanti jam 10, Wak Biah nganter catering, tak perlulah lagi Mak masak, jangan sampe telat makan, nanti asam lambung Mak, kumat lagi.""Iya Nur, hati-hati ya, semoga Allah selalu melindungimu, Nur.""Amin, Mak juga ya." Setelah salim sama Mamak, dengan sedikit tergesa aku melangkah ke depan karena ojek online sudah menunggu, semenjak ada kejadian maling motor salah satu warga, jadi, Kepling (kepala lingkungan) melarang pedagang dan ojek online masuk ke dalam area gang bambu runcing, sampai batas waktu yang tidak ditentukan, jadilah kami yang tidak memiliki kendaraan agak sedikit repot berjalan ke depan jika mau memesan ojek online. "Nur, tunggu!" Aku tau itu suara Fitri, semakin kupercepat langkah kaki ini, tidak aku pedulikan, sudah ku siapkan mental dan hatiku untuk berhadapan dengannya nanti saat dikantor, jika wanita itu mencari gara-gara, tekadku sudah bulat untuk melawan. "Budek! Pel*cur!"De
"Calon istri Abang, mau kemana?" Riki memanggilku saat hendak keluar gerbang, lelaki itu barusan memarkirkan mobilnya. Aku tidak memperdulikan ucapan kadal itu, terus aku melangkah lalu naik ke becak motor yang biasa mangkal tidak jauh dari kantor menuju kantor polisi terdekat, setelah membuat laporan dengan memberikan bukti video, lalu tim penyidik membuat surat agar aku melakukan visum di rumah sakit sebagai alat bukti penyidikan. Bagian wajah merupakan salah satu bagian yang rentan mengalami cedera apabila terkena trauma tertentu. Benturan atau tamparan yang cukup keras dapat menyebabkan cedera atau kerusakan pada jaringan tubuh. Kerusakan ini tergantung dari seberapa kuat trauma tersebut, Fitri cukup keras menamparku hingga meninggalkan memar di bagian pipi. Tepat jam setengah jam dua belas siang urusanku selesai, tinggal menunggu surat panggilan yang akan ditujukan pada Fitri, kemungkinan ia tidak akan bisa mengelak, karena aku memiliki bukti yang sangat kuat, Maya juga tadi m
Aku dan Maya saling pandang dan tersenyum penuh arti. "Video? Video apa lagi?" Wajah Bang Raihan memucat, Maya menyodorkan ponselnya kepada Bang Raihan. SatuDua"Astaghfirullah … Ya Allah …." Bang Raihan mengucap istighfar tanpa henti, tidak berapa lama, ia meletakkan ponsel tersebut ke meja lalu memejamkan matanya, terlihat ia memijat kepalanya dan berjalan ke arah luar. "Sport jantung tuh, lakinya si Fitri," bisik Maya. "Kasihan aku melihatnya May, lelaki sebaik dia dapat wanita seperti Fitri."."Lagian, masa sih sebelum menikah bukan diselidiki dulu bagaimana bibit, bobot dan bebetnya, main nikah aja, rasain dah tuh, dapat istri solehot.""Entahlah May, tapi waktu awal taaruf dengan Bang Raihan, Fitri sempat menutup aurat beberapa bulan, setelah menikah tidak berapa lama si Fitri kembali lagi ke jalan yang salah dengan memakai pakaian sexi.""Oh, jadi sepertinya Bang Raihan ini tertipu pada topeng si Fitri, kasihan sekali lah."" Sssttt …," ucapku pada Maya karena Bang Raiha
Sehari sebelum lamaran, Nirmala dan ibunya sudah kembali ke rumah mereka, jangan ditanya rasa hati Bu Herlina, doa yang ia langitkan di sepertiga malam untuk anaknya, diijabah sama Allah, kini, Roni sudah kembali ke jalan yang benar, bukan lagi secara membabi buta marah-marah tidak jelas tanpa mencari tahu masalahnya dari dua belah pihak, padahal selama ini Bu Herlina selalu berkata pada Roni agar bertabayyun dalam menyikapi masalah, mencari kejelasan tentang sesuatu masalah hingga jelas dan benar keadaannya, karena selama ini, Roni hanya mendengar kata istrinya. Bu Herlina senang jika rumah tangga anaknya akur dan Roni begitu menyayangi istrinya tapi lihat dulu istri yang bagaimana, jika mempunyai istri seperti Melda yang banyak mudharatnya dan yang lebih parahnya tega berselingkuh, memfitnah dan ingin menghabisi nyawa Nirmala, jadi lebih baik dilepas/dicerai."Nirmala, kalau bisa nanti setelah lamaran, jangan terlalu lama jaraknya ke acara pernikahan, kalau bisa lebih cepat lebih b
Roni tidak langsung pulang kerumah, tiba-tiba saja hatinya dilanda rasa curiga yang datang menyerang begitu saja, saat itu Roni masih berada di rutan, tepatnya di parkiran, pikirannya berkecamuk, ia juga heran, biasanya ia selalu percaya pada Melda, tapi tidak kali ini.Roni kembali masuk ke dalam bukan untuk menemui Melda tetapi menemui sipir untuk meminta ponsel Melda yang dititipkan di bagian loker, siapa tau dengan memeriksa ponsel Melda, ia menemukan titik terang tentang kecurigaan yang baru saja datang menghinggap. "Saya ingin mengambil ponsel istri saya," ucap Roni."Maaf Pak, semua barang napi diberikan saat napi selesai masa jabatannya, eh, apa nih, Pak? Oh iya, iya, bisa diatur Pak. Selow saja Bapak," ucap penjaga sambil senyum sumringah menerima sejumlah uang dari Roni. Kini, ponsel dengan logo apel terbelah berwarna gold itu berada di genggaman Roni, ia tidak memeriksa ponsel itu sekarang, melainkan nanti saat di rumah. Bagai disayat sembilu, bagai mendengar petir di s
Roni terlihat keluar dari sebuah Bank sambil menenteng tas berisi sejumlah uang, ia dikawal oleh beberapa anggota ormas kelapa burung garuda. Lelaki berdarah Batak–Melayu itu terlihat masuk ke dalam mobil fortuner berwarna dark grey menuju kediaman AKP( Ajun Komisaris Polisi) Tegar Nasution. Maksud kedatangan Roni ke tempat AKP Tegar, untuk memberi uang sogok agar istrinya– Melda dapat keluar dari jeruji besi atas kasus yang menjeratnya, tak tega rasa hati Roni melihat kondisi Melda yang semakin hari badannya semakin menyusut, kulit glowingnya kini tampak menghitam disertai munculnya beberapa flek di area pipi, padahal Roni kerap kali membawakan semua kebutuhan Melda saat berada di dalam penjara, peralatan mandi, skincare, kosmetik tapi semua nihil dan tak berhasil membuat Melda tampak cantik, yang ada semakin tak terawat dan tak sedap dipandang mata. Melda tidak serasi dengan air yang ada di rutan tersebut, apalagi di dalam rutan ia harus bekerja bahkan kerap disiksa oleh beberapa
Pov Mela. Cantik, kaya, dan mendapatkan suami tampan dan tajir plus sholeh, sudah pasti menjadi impian semua wanita, tapi stock lelaki kaya di kampungku ini amatlah sedikit maklum karena rata-rata penduduknya masih berada di bawah garis kemiskinan, entah kenapa, padahal daerahku ini penghasil sawit yang lumayan tinggi di sumatera ini, bahkan pabrik kelapa sawit juga ada di daerah ini, apa karena tingkat pendidikan rendah? Adapun lelaki kaya yaitu Bang Roni–abang iparku, tapi aku tidak seberuntung Kak Melda, kakak kandungku yang bisa mendapatkan lelaki kaya, banyak yang mengatakan jika wajah Kak Melda lebih cantik daripada aku, tapi, menurutku sama cantiknya. Kak Melda berubah jadi cantik juga setelah bekerja di Pekan baru, katanya dia bekerja di sebuah perusahaan eksport import minyak, tapi aku tak yakin, secara Kak Melda cuma tamatan SD. Syarat masuk perusahaan itu pasti harus mengantongi ijazah perguruan tinggi. Ah, tidak perlu aku permasalahkan dia bekerja apa di Pekanbaru sana
Dia lagi, dia lagi, batin Raihan kesal. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak suka jika aku memeluk calon suamiku, biasa aja lah melihatnya, nanti buta pulak mata kau itu karena tatapanmu kayak, setan! " Mela berbicara dengan nada judes pada Nirmala"Perasaan aku biasa saja menatapmu, kau Lah yang sinis melihatku.""Ya wajarlah aku sinis, ngapain kau dekat-dekat calon suamiku, apa selama ini kau buta, tidak bisa melihat tatapan mesra Bang Raihan padaku."Nirmala malas menanggapi Mela, wanita secantik purnama itu pun beranjak hendak pergi. "Nirmala, tunggu." Raihan mencegah. "Biarin saja dia pergi, Bang. Ada Mela disini," ujar Mela seraya bergelayut manja di lengan Raihan. "Jaga sikapmu, Mela.""Sikap apa? Sikap apa, Bang. Jangan sebut namaku Mela jika tidak bisa membuat Abang bertekuk lutut padaku!""Ya Allah!" Raihan menjerit seraya menutup wajahnya karena Mela menaburkan sesuatu ke wajahnya lalu mengenai mata. Melihat Raihan yang seperti kesakitan, cepat Nirmala berlari m
"Mela, hei! Jangan bertindak nekat, jauhkan pisau itu dari lehermu.""Enggak. Enggak mau. Sebelum Abang janji akan menikahiku, kalau perlu pakai perjanjian hitam di atas putih.""Ga mungkin Mela, menikah ga segampang itu.""Gampang kok, tinggal panggil penghulu, udah beres. ""Menikah harus dengan pasangan yang sesuai hati kita, tidak ada keterpaksaan diantara lelaki dan perempuan.""Aku ga terpaksa, aku ikhlas, Bang.""Tapi aku yang terpaksa." Mau tidak mau Raihan harus jujur, agar wanita itu mengerti, tapi yang namanya Mela, mungkin urat malunya juga sudah putus, dia malah berteriak seperti orang kesurupan. "Tidak! Tidaak! Aku akan bunuh diri sekarang.""Apalagi, cepatlah kau bunuh diri," ucap Afis dengan geram. "Diam kau, aku tidak bicara sama kau, marbot setan!""Astaghfirullah," ucap Raihan lalu mengajak Afis untuk meninggalkan tempat itu. "Bang Raihan! Bang Raihan! Baaaaanng!" Raihan terus keluar dan tidak memperdulikan Mela. Mela yang melihat Raihan keluar setelahnya mende
Mela menghubungi nomor Raihan sambil berjalan mundur agar jaraknya jauh dengan Roni. "Bang Roni, aku bukan, Kak Melda." "Melda Sayang," ucap Roni lagi dengan parau sambil tangannya berusaha menggapai tubuh Mela. Sambungan telepon tersambung. "Bang, Bang Raihan, tolong Bang! Aku hendak di nodai Bang Roni, tolong Bang!""Posisi kamu dimana?" tanya Raihan. "Di rumahnya, tolong Bang Raihan, sepertinya Bang Roni sangat menginginkanku karena kecantikanku yang pari–"Tut tut tut sambungan telepon dimatikan, sebelum Mela menyelesaikan ucapannya. Mela mendengus kesal, lalu melemparkan Roni dengan benda apapun yang bisa ia raih. Bugh. Botol parfum milik Melda berhasil mendarat dengan indah di kening Roni, lelaki setengah mabuk itu ambruk dan tergolek di lantai. "Bang. Bang." Mela memanggil, tapi Roni tanpa reaksi, lalu ia berjalan mendekat memeriksa kondisi lelaki itu, ia meraba hidung, ternyata masih ada nafas. "Huh, pake pingsan segala, padahal kan seru tuh kalau saat aku sedang din
"Ampun Mak! Ampun!" pekik Syifa. Terdengar suara tangisan Syifa memilukan hati, Nirmala mencoba untuk menolong tapi ponselnya berdering dan nama Abdul yang tertera di layar. "Assalamualaikum Dul, kamu dimana?""Kak, Kak Nirmala, tolong aku kak.""Dul, kamu dimana?""Masih mending Pak Dedi mau sama kau Syifa, kita ini orang miskin, jangan bermimpi terlalu tinggi, Mamak saja umur 15 tahun sudah menikah." Bu Salamah masih terdengar meracau sambil sesekali terdengar suara Syifa menjerit, mulut dan tangan Bu Salamah bekerja, mulut menyakiti hati, tangan menyiksa badan gadis kecil itu. Nirmala posisinya sudah di luar, karena tadi Bu Salamah sempat mendorongnya keluar dengan penuh emosi, lalu menutup pintu dengan kasar. Dalam keadaan bimbang, harus menolong siapa, Nirmala memprioritaskan Abdul terlebih dahulu, setelahnya baru dia mengurus masalah Syifa. Dengan perasaan sedih merintih, Nirmala melangkah dengan gamang meninggalkan kediamanan Syifa. "Aku tidak tau kak, tapi, disini gelap,
"Ya Allah … apalagi ini, pelakor?""Iya, kau lah pelakor, kau tau sedang makan sama siapa?" Mela berdiri dengan mengangkat dagu sambil tangan dilipat ke dada. "Sama, Bang Raihan.""Kau tau Bang Raihan itu, siapa? Nirmala memutar bola mata malas menanggapi Mela lalu mengangkat bahu, matanya fokus menatap makanan yang terhidang, ia tidak ingin berakhir sakit, sebisa mungkin ia harus makan karena kegiatannya akan padat, apa yang Raihan katakan tadi memang benar, ia tidak boleh menzalimi tubuhnya sendiri dengan tidak menjaga kesehatan, ketika rasa lapar dibiarkan, maka penyakit akan ramah menghampiri, beda konteks jika sedang berpuasa. "Heh! Aku sedang mengajak kau bicara! Jangan diam saja, sombong kali kau jadi manusia.""Mela, apa-apaan kau? Jangan mempermalukan dirimu sendiri seperti ini, lebih baik kau pulang saja." Raihan jengah juga dengan tingkah Mela yang menunjuk-nunjuk Nirmala seolah dialah nyonya besar yang sedang berbicara pada kacungnya. "Apa Bang? Abang menyuruhku pula