Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama.
"B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu. Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu." Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar. Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas, menatap Nyonya Maudy yang duduk di depannya. "Apakah boleh saya memikirkan lebih lanjut terlebih dahulu?" tanyanya, mencoba bersikap sopan namun tegas. Perasaan lega muncul ketika Nyonya Maudy mengangguk dengan senyum pengertian. Setelah mendapat izin, Audrey berpamitan untuk keluar sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang kini penuh dengan berbagai pertimbangan. Pernikahan dengan seseorang yang belum pernah ia temui benar-benar keputusan besar, dan ia butuh waktu untuk merenungkannya. Sambil duduk di bangku taman panti, Audrey membiarkan pikirannya melayang jauh, menimbang segala hal yang baru saja terjadi. Namun, lamunannya terhenti ketika ia mendengar suara mesin mobil yang sangat dikenalnya. Ia menoleh, dan benar saja, mobil milik Leo mulai memasuki area panti asuhan. Seketika perasaan tidak nyaman merasukinya. Tidak lama, Leo Mifta—mantan pacar Audrey itu keluar dari mobilnya dengan setelan jas abu-abu, wajahnya tampak tegang. Ia mendekati Audrey dengan langkah tergesa-gesa. “Sayang, maksud kamu kita akan putus. Itu bercanda kan, ya?” tanyanya penuh harap, wajahnya memperlihatkan ketidakpercayaan. Audrey menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang bercampur dalam dirinya. "Tidak, Leo. Itu sungguhan. Kita sudah tidak ada hubungan lagi." Kalimat itu keluar dari bibirnya dengan tegas, meskipun hatinya masih merasakan perih. Leo tampak tidak percaya, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku masih mencintaimu, Audrey. Kamu nggak serius, kan?” Leo memohon, suaranya mulai terdengar putus asa. Namun kali ini, Audrey merasa mantap dengan keputusannya. "Aku sudah melihat apa yang kamu lakukan, Leo. Kamu memilih jalanmu sendiri. Sekarang, aku juga harus memilih jalanku," jawabnya dengan suara yang lebih tenang, tapi jelas. Audrey menatap Leo dengan perasaan campur aduk, namun ia berusaha tetap tenang meskipun kata-kata Leo mulai menyakitkan. "Jadi, kamu sudah tahu dia sebenarnya?" tanya Leo, suaranya dingin. Audrey hanya mengangguk pelan, merasa tak perlu lagi menjelaskan apa yang telah ia lihat. Leo terkekeh sinis, ekspresinya berubah semakin sombong. "Bagus, kalau begitu kamu sudah tahu. Aku tidak perlu lagi berpura-pura mengenai hubungan kita. Kau hanyalah anak panti asuhan, Audrey. Kita benar-benar berbeda. Kau tidak cocok denganku. Kita tidak setara." ucapnya tajam, seolah ingin menancapkan luka yang lebih dalam. Audrey merasa hatinya sedikit terguncang mendengar kata-kata itu, tapi kali ini ia menahan air mata. Ia sudah cukup kuat untuk tidak lagi menangis karenanya. Dalam diam, Audrey menatap Leo dengan penuh keteguhan. "Terima kasih, Leo." ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Kamu baru saja mengingatkan aku kenapa kita harus berpisah. Aku tidak butuh seseorang yang merendahkan orang lain untuk merasa lebih tinggi." Leo terdiam, tampak terkejut dengan respons Audrey yang penuh ketegasan. Sementara itu, Audrey berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Leo yang masih berdiri di sana dengan kebingungan dan kekecewaan yang kini bergelayut di wajahnya. Audrey tahu, saat ini adalah waktunya untuk memulai hidup baru, dengan atau tanpa masa lalu yang menyakitkan. Audrey berusaha menenangkan diri lalu masuk menghampiri para orang tua, setelah merasa tenang ia berucap. "Aku akan menerima pernikahan ini, Bunda." katanya dengan mantap. Suasana di ruang tamu mendadak berubah, seolah ucapan itu membawa angin segar bagi semua orang di sana. Namun, ia tahu ada sesuatu yang masih perlu ia sampaikan. "Tapi, bolehkah aku meminta satu syarat?" lanjutnya, suaranya sedikit bergetar. Nyonya Maudy tersenyum lembut, lalu mengangguk sambil mengelus lengan suaminya. "Tentu, katakanlah, Audrey." Audrey menarik napas dalam-dalam, mencoba memberanikan diri. "Aku ingin pernikahannya digelar secara tersembunyi." Ujarnya, kata-katanya keluar perlahan, penuh hati-hati. Meskipun ini adalah permintaan yang sederhana, Audrey merasa takut menyinggung perasaan mereka. Tuan Peter yang selama ini diam, akhirnya tersenyum tipis. "Tentu saja, Audrey. Apapun untuk calon menantu kami. Bukan begitu, sayang?" katanya sambil melirik istrinya. Audrey merasa lega mendengar kesediaan mereka. Namun, ia segera tertegun saat mendengar pertanyaan Nyonya Maudy berikutnya. "Pernikahannya akan diadakan lusa, jadi persiapkan dirimu. Beberapa orang akan datang untuk membantu Audrey, kak." ujar Nyonya Maudy sambil berbicara kepada Bunda panti, yang akrab ia panggil "kak." Bunda panti segera mengangguk setuju, tampak tenang seperti biasanya. "Tentu saja, Nyonya." Namun, hati Audrey bergejolak. "Lusa?" pikirnya dengan syok. Kenapa harus secepat itu? Ini semua terasa begitu tiba-tiba dan jauh di luar pemikirannya. Satu sisi dari dirinya ingin bertanya lebih banyak, tapi sisi lain tahu bahwa ia sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini. Tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Audrey terdiam sejenak, hatinya berdegup kencang mendengar pernikahannya akan diadakan lusa. "Kenapa harus secepat ini?" pikirnya, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja disampaikan. Ini benar-benar di luar pemikirannya. Namun, ia tahu tidak ada jalan untuk mundur sekarang. Sudah terlalu banyak yang dipertaruhkan, termasuk masa depannya di panti ini. Audrey menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Tentu, aku akan mempersiapkan diri." jawab Audrey dengan suara yang lebih tenang meskipun hatinya masih bergemuruh. Nyonya Maudy tersenyum hangat. "Bagus. Jangan khawatir, Audrey. Kami akan memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu tidak perlu khawatir soal apa pun." Audrey mencoba tersenyum kembali, walaupun ada sedikit perasaan was-was di dalam dirinya. Ia belum mengenal keluarga ini dengan baik, apalagi pria yang akan menjadi suaminya. Meskipun mereka terlihat baik, Audrey tetap merasa seolah-olah terjebak dalam situasi yang tak sepenuhnya ia pahami. Setelah pamit dari ruang tamu, Audrey segera menuju kamarnya. Di sana, ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Kepalanya tertunduk lesu pada lipatan kakinya dengan memejamkan mata. Hatinya masih bertanya-tanya, apakah keputusan ini benar-benar tepat? Namun, tak ada waktu untuk menyesal. Lusa, hidupnya akan mulai berubah sepenuhnya. BersambungAudrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun. "Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey ters
Salsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka
Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat." Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk h
Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja." Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari ki
"Sebentar, Nyonya." Nick terlihat menekan tombol yang berada dimeja sofa ruang tamu. Hingga kedatangan wanita paruh baya yang berlari mendekati mereka. "Selamat siang, Tuan Nick. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan yang memakai seragam maid dengan simbol berbentuk hewan dengan warna emas di dadanya. Nick hanya mengangguk. "Ini adalah istri dari Tuan Elang, Nyonya Audrey. Mulai saat ini dia akan menjadi Nyonya rumah ini, kau paham Gret?" Jelas Nick pada Grett- Kepala pelayan dimansion Elang.Pelayan yang dipanggil Grett itu mengangguk sopan. "Selamat datang, Nyonya di mansion ini. Mari saya antarkan ke kamar anda." "Terima kasih, Grett." jawab Audrey dengan suara lembut, meski dalam hatinya masih merasa canggung berada di lingkungan baru ini.Grett segera memimpin jalan menuju lift mansion yang tampak elegan. Setiap sudut rumah ini memancarkan kemewahan, namun juga memberi perasaan dingin dan jauh dari kehangatan. Setelah bebe
Elang tetap tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak ingin membahas masalah ini lebih lama. "Tidak ada ruang untuk menolak, Audrey. Ini soal kesepakatan antara kau dan aku, yang wajib kita lakukan." Audrey terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini, dan meskipun hatinya menolak, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawaban Audrey membuat Elang segera memberi bulpoint agar gadis itu segera bertanda tangan. "Sekarang kau boleh pergi." Usir Elang dengan mengibas-ngibaskan tangannya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Audrey segera keluar tanpa berucap apapun dengan tangan memegang dokumen itu. Audrey berjeringkit terkejut, saat baru saja membuka pintu. Sosok pelayan yang tadinya mengantarnya ternyata menunggunya. "Maafkan saya, Nyonya." Ucap pelayan itu saat tidak sengaja mengejutkan majikannya. Audrey tersenyum. "Tidak masalah, boleh antarkan aku ke kamar?" Pinta Audrey yang j
Para pelayan dengan sigap langsung membersihkan meja, merasa malu terpergok majikan, bahwa mereka tengah mengintip. Juga tidak adanya, Grett yang biasa memarahi mereka. Audrey masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami kemarahan Elang yang tiba-tiba meledak. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dan terluka. "Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menyiram bunga?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Air matanya mulai menetes, namun segera dihapus dengan cepat, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para pelayan. Setelah meja makan dibersihkan, Audrey berjalan perlahan ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa dengan taman itu? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu?” pikirnya. Di dalam kamar, Audrey mencoba menenangkan perasaannya. "Aku harus mencari tahu kenapa dia begitu marah. Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri. Tiba-tiba saja ketukan di pintu membuat Audrey seger
Pelayan itu hanya menggeleng dengan munundukkan kepalanya takut. Lalu membungkuk-bungkukkan badannya dengan bergumam lirih. "Maafkan saya, Nona. Tolong ampuni saya." Pekik pelayan itu semakin histeris.Audrey yang melihat reaksi pelayan itu semakin mengerut kening. "Ada ap-""Maaf nyonya, silahkan nyonya kembali ke kamar. Saya yang akan menangani pelayan ini." Ujar Grett lalu membawa pergi pelayan itu dengan paksa."Astaga, apa gaya rambut ini tidak cocok denganku? Sepertinya aku harus menggantinya lagi." Ucap Audrey dengan bergegas berlari menuju kamar, guna menelepon Nick, untuk mengabulkan permintaannya.Begitu sampai dikamarnya, ia langsung meraih ponselnya dan menelepon Nick."Nick, bisakah kau atur agar penata rambut datang lagi? Aku merasa gaya ini tidak cocok denganku," ucap Audrey buru-buru, masih merasa tidak nyaman dengan tatapan para pelayan yang ia temui di sepanjang jalan. Juga dengan kejadian yang baru saja terjadiNick terdiam sejenak di telepon sebelum menjawab. "Bai