Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja."
Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari kita mulai upacara pernikahan ini." Suasana di ruangan itu menjadi khidmat. Audrey merasa semua tatapan tertuju padanya dan pria yang berdiri di sampingnya. Tangannya yang gemetar sesekali menyentuh gaunnya, mencoba menenangkan diri. Pria di sampingnya tampak tenang, tampak berbeda dengan keadaan Audrey. Saat janji pernikahan akan dimulai, Audrey memandang sekilas ke arah pria tersebut, bertanya-tanya apakah mereka benar-benar bisa menjalani hidup bersama. Setelah mengucap janji pernikahan, acara yang seharusnya ditutup dengan ciuman diganti dengan pelukan. Lantaran banyaknya anak-anak panti yang masih dibawah umur. Audrey duduk disamping Elang Benedict Loues- Pria tampan yang sudah resmi menjadi suaminya. Mereka berdiri cukup lama dengan menyambut tamu yang datang. Audrey diam-diam mengeluh, "Tamunya saja ini hanya kelurga, namun sangat banyak. Bagaimana jika mengundang tamu luar, itu pasti semakin melelahkan." Batin Audrey dengan mengulas senyum manis pada setiap tamu yang memberi mereka selamat. Audrey berusaha menjaga senyum di wajahnya meskipun rasa lelah mulai menjalar di tubuhnya. Berdiri berjam-jam untuk menyambut tamu, meski sebagian besar adalah keluarga, ternyata lebih melelahkan dari yang ia bayangkan. Di sampingnya, Elang tampak tenang dan anggun, seolah sudah terbiasa dengan suasana seperti ini. "Bagaimana perasaanmu?" bisik Elang tiba-tiba, tanpa menoleh padanya namun tetap tersenyum pada tamu-tamu yang datang. Audrey terkejut, tapi dengan cepat menjawab. "Sedikit lelah, tapi aku baik-baik saja." Elang tersenyum tipis. "Semoga kita tidak perlu melakukan ini terlalu sering." Audrey menahan tawa kecil, merasa ada sedikit humor dalam ucapan suaminya. Ia mulai merasa lebih nyaman berada di samping Elang. Meskipun awalnya tidak yakin, perlahan-lahan ia merasa ada sesuatu yang mungkin bisa mereka bangun bersama. Perasaannya menjadi lebih baik karena obrolan singkat dengan Elang. Sosok wanita yang berambut pendek itu menyenggol Maudy. "Tuh lihat bagaimana sikap Elang pada Audrey. Jadi kamu tenang saja." Ujar Gea- Sahabat Maudy juga istri dari Devan. Belum juga Maudy merespon. "Belum tentu juga, kita lihat aja perkembangan hubungan mereka bagaimana." Celetuk Sisil lalu menatap Gea dan Maudy secara bergantian. Gea yang mendengar itu mengangguk setuju. "Aku yakin El pasti berubah, seperti janjinya padaku." Batin Maudy menatap Audrey dan Elang dari tempat duduknya lalu mengelus lengan suaminya mencari ketenangan. Setelah beberapa jam acara, akhirnya sudah di penghujung akhir. Yaitu perpisahan, Audrey tak mampu menahan tangisnya saat berpelukan dengan bunda panti. Salsa pun menangis sesenggukan hingga harus dipeluk oleh Gea karena para tetua panti yang juga merasa sedih atas perpisahan mereka dengan Audrey. Peluan Audrey dan bunda panti terjadi cukup lama, hingga Elang menarik tubuh Audrey alu dipeluknya tubuh kecil istrinya itu. "Sudah ya, kamu bisa main kesini kok kalau merindukan mereka." Bisik Elang engan menepuk lembut kepala Audrey. Bunda panti diam-diam merasa bahagia juga lega melihat Elang begitu perhatian dengan Audrey. Sisil yang melihat anak-anak panti yang akan menangis segera menatap sang suami. "Sayang, lakukan sesuatu agar anak-anak itu tidak menangis dan membuat kepergian Elang dan istrinya tertunda." Pintanya pada suaminya, Dio segera menyuruh bawahannya untuk mengambil mainan yang telah ia siapkan. "Ayo anak-anak, yang ingin mainan segera berbaris rapi ya." Ucap Dio membuat semua anak-anak segera menyerbu mainan itu, meninggalkan Audrey dengan para orang dewasa. Mereka menahan tawa begitu melihat anak-anak mudah dipengaruhi oleh hal kecil. Gea menepuk pelan bahu seorang gadis yang hanya diam berada dibelakang Audrey tanpa berminat pada mainan-mainan itu. "Apakah kamu tidak tertarik dengan mainan-mainan itu?" Tanya Gea penasaran Salsa menatap Gea. "Tidak, Sasa mau ikut kak Audi." Gumam Salsa pelan dengan menatap punggung Audrey yang dirangkul Elang menuju mobil sedan hitam yang dihias sedemikian rupa dihias seperti mobil pengantin. Setelahnya mobil itu melaju menjauhi pekarangan panti. Didalam mobil, mata Audrey terpejam, merasakan lelahnya hari ini. Tangisan yang ia tahan, membuat Audrey semakin merasakan perasaan sedihnya. . Elang yang berada disamping Audrey hanya fokus dengan tablet yang ia pegang. Mobil hitam sedan itu berhenti disebuah rumah besar- atau lebih tepatnya seperti mansion mewah. Pintu mobil disebelah Audrey terbuka. "Silakan masuk Nyonya. Tuan Elang akan langsung berangkat ke kantor." Jelas Nick- Asisten suaminya dengan setelan formal. Audrey sontak saja menatap sang suami yang tetap fokus pada tablet ditangannya. Saat ini Elang terlihat acuh dan dingin, berbeda dengan tadi yang terlihat hangat juga perhatian. Audrey mencoba menyingkirkan pemikiran aneh itu. Audrey menatap Elang dengan perasaan campur aduk. Mereka baru saja melakukan pernikahan, namun suaminya sibuk dengan pekerjaan kantor. "Kamu akan pergi?" tanya Audrey pelan, mencoba menyembunyikan rasa kecewa dalam suaranya. Bersambung"Sebentar, Nyonya." Nick terlihat menekan tombol yang berada dimeja sofa ruang tamu. Hingga kedatangan wanita paruh baya yang berlari mendekati mereka. "Selamat siang, Tuan Nick. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan yang memakai seragam maid dengan simbol berbentuk hewan dengan warna emas di dadanya. Nick hanya mengangguk. "Ini adalah istri dari Tuan Elang, Nyonya Audrey. Mulai saat ini dia akan menjadi Nyonya rumah ini, kau paham Gret?" Jelas Nick pada Grett- Kepala pelayan dimansion Elang.Pelayan yang dipanggil Grett itu mengangguk sopan. "Selamat datang, Nyonya di mansion ini. Mari saya antarkan ke kamar anda." "Terima kasih, Grett." jawab Audrey dengan suara lembut, meski dalam hatinya masih merasa canggung berada di lingkungan baru ini.Grett segera memimpin jalan menuju lift mansion yang tampak elegan. Setiap sudut rumah ini memancarkan kemewahan, namun juga memberi perasaan dingin dan jauh dari kehangatan. Setelah bebe
Elang tetap tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak ingin membahas masalah ini lebih lama. "Tidak ada ruang untuk menolak, Audrey. Ini soal kesepakatan antara kau dan aku, yang wajib kita lakukan." Audrey terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini, dan meskipun hatinya menolak, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawaban Audrey membuat Elang segera memberi bulpoint agar gadis itu segera bertanda tangan. "Sekarang kau boleh pergi." Usir Elang dengan mengibas-ngibaskan tangannya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Audrey segera keluar tanpa berucap apapun dengan tangan memegang dokumen itu. Audrey berjeringkit terkejut, saat baru saja membuka pintu. Sosok pelayan yang tadinya mengantarnya ternyata menunggunya. "Maafkan saya, Nyonya." Ucap pelayan itu saat tidak sengaja mengejutkan majikannya. Audrey tersenyum. "Tidak masalah, boleh antarkan aku ke kamar?" Pinta Audrey yang j
Para pelayan dengan sigap langsung membersihkan meja, merasa malu terpergok majikan, bahwa mereka tengah mengintip. Juga tidak adanya, Grett yang biasa memarahi mereka. Audrey masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami kemarahan Elang yang tiba-tiba meledak. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dan terluka. "Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menyiram bunga?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Air matanya mulai menetes, namun segera dihapus dengan cepat, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para pelayan. Setelah meja makan dibersihkan, Audrey berjalan perlahan ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa dengan taman itu? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu?” pikirnya. Di dalam kamar, Audrey mencoba menenangkan perasaannya. "Aku harus mencari tahu kenapa dia begitu marah. Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri. Tiba-tiba saja ketukan di pintu membuat Audrey seger
Pelayan itu hanya menggeleng dengan munundukkan kepalanya takut. Lalu membungkuk-bungkukkan badannya dengan bergumam lirih. "Maafkan saya, Nona. Tolong ampuni saya." Pekik pelayan itu semakin histeris.Audrey yang melihat reaksi pelayan itu semakin mengerut kening. "Ada ap-""Maaf nyonya, silahkan nyonya kembali ke kamar. Saya yang akan menangani pelayan ini." Ujar Grett lalu membawa pergi pelayan itu dengan paksa."Astaga, apa gaya rambut ini tidak cocok denganku? Sepertinya aku harus menggantinya lagi." Ucap Audrey dengan bergegas berlari menuju kamar, guna menelepon Nick, untuk mengabulkan permintaannya.Begitu sampai dikamarnya, ia langsung meraih ponselnya dan menelepon Nick."Nick, bisakah kau atur agar penata rambut datang lagi? Aku merasa gaya ini tidak cocok denganku," ucap Audrey buru-buru, masih merasa tidak nyaman dengan tatapan para pelayan yang ia temui di sepanjang jalan. Juga dengan kejadian yang baru saja terjadiNick terdiam sejenak di telepon sebelum menjawab. "Bai
Maudy tersenyum lembut, memahami perasaan Audrey yang tampak kecewa. "Tidak apa-apa, sayang. Kita bisa merencanakan perjalanan di waktu libur yang lebih panjang nanti," ujarnya dengan suara menenangkan.Audrey mengangguk, merasa sedikit lega. "Mungkin liburan akhir tahun nanti, Mama?""Ya, itu ide yang bagus. Kita bisa mempersiapkannya dari sekarang. Kamu ingin pergi ke mana?" Maudy bertanya dengan antusias, berusaha menghidupkan kembali semangat Audrey.Audrey tersenyum tipis, membayangkan kemungkinan destinasi yang menyenangkan. "Aku selalu ingin ke Jepang, Mama.""Baiklah, kita bisa pertimbangkan Jepang," Maudy menjawab sambil menepuk pelan tangan Audrey. "Yang penting, kamu fokus dulu pada sekolah. Liburan bisa menunggu."Audrey tersenyum, kali ini dengan perasaan hangat di hatinya. Meskipun perjalanan itu belum pasti, perhatian dan dukungan dari Maudy membuatnya merasa lebih baik.Setelah berbincang cukup lama, Maudy akhirnya pulang saat dijemput oleh papa mertuanya.Audrey memut
Audrey tidak nyaman dengan tatapan yang orang-orang layangkan pada mereka. "Ayo kita pergi." ajak Audrey lalu mengiring Salsa keluar dari pekarangan sekolah"Kakak akan mengantarmu pulang okey?" ujar Audrey menatap Salsa.Salsa yang mendengar itu tak bisa melunturkan rasa bahagianya. "Wah, ma-" 'tin tin tin'Audrey dan Salsa sontak menoleh ke sumber suara. Dimana terdapat mobil yang terparkir dihalaman sekolah, sosok pengemudi itu keluar yang membuat beberapa siswi-siswi yang masih berada disekolah memekik melihat sosok pemuda tampan juga tampak kaya raya.Audrey yang melihat itu segera menarik Salsa untuk segera keluar dari halaman sekolah menuju jalan raya. Tanpa mempedulikan Leo yang berteriak memanggilnya.Salsa yang bingung hanya terdiam membiarkannya tubuhnya ditarik oleh kakaknya."Audi, tunggu. Aku akan memberimu tumpangan, sekaligus kita harus membahas beberapa hal." Cegat Leo pada Audrey dan Salsa yang akan menaiki bus.Audrey tersenyum manis. "Tidak perlu Leo, tidak ada ya
Audrey menatap Leo dengan mata yang tajam, tak terpengaruh oleh senyum lebar pria di depannya. “Bu Nina ingin bertemu denganku?” ulangnya, jelas masih meragukan maksud Leo.“Benar, Audi. Bu Nina sangat merindukanmu, hanya kamu yang bisa membantuku.” jawab Leo, berusaha terdengar serius, meski senyum di wajahnya tak pernah pudar.Audrey mendesah pelan. “Leo, kita sudah selesai. Hubunganku dengan orang-orang di perusahaan Mikie juga sudah selesai sejak lama. Kalau memang penting, mereka bisa menghubungiku langsung. Tidak perlu lewat kamu.”Leo tertawa kecil, tampak sedikit canggung. “Audi, kau tahu aku masih peduli padamu. Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan baik untukmu.”Audrey menggelengkan kepalanya, mencoba menahan diri agar tidak memperkeruh suasana. “Pedulimu tidak relevan lagi, Leo. Aku sudah menjalani hidupku tanpa perlu melibatkanmu. Jadi, tolong jangan melibatkan aku lagi dalam kehidupanmu.”Leo terdiam sejenak, matanya
Hari baru akhirnya tiba, Audrey dengan semangat memakan sarapannya dengan cepat guna mempersingkat waktu untuk segera berangkat sekolah.Elang yang juga hari itu sarapan bersama terlihat santai tak berpengaruh melihat Audrey yang terburu-buru."Sekarang, kau memiliki pelayan pribadi." ujar Elang membuat Audrey yang tadinya beranjak dari tempat duduknya segera menatap Elang."Tapi untuk apa ya kak?" tanya Audrey sembari mendudukan bokongnya pada kursi lagi."Nick." balas Elang singkat lalu segera keluar menuju perusahaannya meniggalkan Audrey yang tampak bingung dengan apa yang Elang maksud.Grett yang berdiri tidak jauh dari itu segera mendekati Audrey. "Makna dari ucapan tuan adalah nyonya bisa menanyakan hal itu kepada tuan Nick." jelas Grett.Audrey terlihat mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir membentuk huruf o, "Terima kasih, Grett." ucap Audrey lalu segera pergi menuju tempat mobil berada.Audrey semakin mempercepat laju jalannya saat mobil yang dikemudi pak Gaga terlihat, "