Audrey dan Maudy tengah sibuk berbelanja, mengitari berbagai toko dengan penuh semangat. Ketika tiba-tiba Maudy memekik kaget, “Nina?!” Audrey menoleh dan melihat seorang wanita elegan, Nina, berjalan mendekat dengan senyum lebar. Maudy bergegas menghampiri dan memeluknya erat. “Ya ampun, sudah lama sekali tidak bertemu!” Nina balas memeluk Maudy dengan hangat. "Maudy! Betapa menyenangkan bisa bertemu di sini! Sudah bertahun-tahun rasanya." Setelah berpelukan, Maudy langsung mengajak Nina untuk makan bersama. "Ayo kita makan, Nina. Sudah lama kita tidak berbicara banyak." Mereka lalu menuju restoran terdekat. Audrey mengikuti, tetap tenang, meski merasa asing dengan pertemuan ini. Ketika mereka duduk, Nina menyapa Audrey dengan senyum hangat. "Audrey, ya? Senang bertemu lagi. Apa kamu tidak bersekolah hari ini?" tanya Nina dengan nada santai, melihat Audrey yang mengenakan pakaian kasual alih-
Setelah makan malam sendirian, Elang berjalan menuju perpustakaan di mansion, di mana Audrey sudah menunggunya. Audrey duduk di depan meja besar dengan beberapa buku matematika terbuka di hadapannya. Ia terlihat serius menyiapkan catatan, meski sesekali terlihat melamun. Elang membuka pintu dan melangkah masuk dengan tenang, suaranya rendah namun cukup untuk menarik perhatian Audrey. "Siap untuk belajar malam ini?" Audrey menoleh, tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku sudah menyiapkan semua buku dan soal-soal yang perlu kupelajari." Elang duduk di samping Audrey, memandang buku-buku yang berserakan. "Baiklah, kita mulai dari mana? Fungsi atau trigonometri?" Audrey menghela napas. "Trigonometri mungkin? Aku masih merasa sedikit bingung dengan konsep sinus dan kosinus." Elang mengangguk, mengambil sebatang pensil dan mulai menjelaskan. Dengan sabar, ia menjelaskan konsep dasar trigonom
Sepulang sekolah, Audrey langsung mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga kasual dan memulai sesi jogging sore di sekitar halaman mansion. Langit senja tampak indah, memberikan suasana yang menenangkan. Langkah-langkah kecilnya berirama, seiring dengan detak jantung yang semakin cepat. Setelah berlari beberapa putaran, ia memutuskan untuk berhenti dan kembali ke kamar. Setelah membersihkan diri, Audrey merebahkan tubuhnya di sofa empuk di dalam kamarnya. Tubuhnya yang lelah terasa segar setelah mandi, namun ia tetap merasakan sedikit keletihan. Dengan malas, tangannya meraih ponsel di atas meja samping, membuka sosial media sekadar untuk membuang waktu. Tak ada yang menarik, hanya foto-foto dan video biasa dari teman-temannya. Hatinya masih terbayang kejadian di sekolah tadi, terutama hasil ujiannya yang membuatnya bahagia. Tak terasa, waktu makan malam tiba. Audrey turun ke ruang makan, di mana Elang sudah duduk d
Langit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman. "Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik. "Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali. “Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat. Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, keka
Pagi hari yang cerah menyambut Audrey dan anak-anak panti dengan sinar matahari yang hangat. Namun, suasana di panti asuhan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Audrey dan anak-anak lainnya mengerutkan kening heran saat melihat para wanita paruh baya—ibu, nenek, dan pengurus panti—sibuk memasak makanan dan membersihkan seluruh area panti. “Ada apa, ya? Kenapa semua pada sibuk banget pagi-pagi begini?” tanya Audrey sambil melirik ke arah dapur dan area panti yang tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa anak panti lainnya tampak penasaran dan kebingungan, saling bertanya satu sama lain. Meskipun suasana pagi yang cerah dan biasa saja, aktivitas yang tidak biasa ini menimbulkan rasa ingin tahu di antara mereka. Nenek Sri, yang melihat Audrey berdiri di dekat dapur dengan tatapan heran, segera menghampirinya dan memanggilnya. "Nak Audi, nenek minta tolong belikan santan dan beberapa bahan lainnya, ya? Lebih cepat, ya, nak. Hati-hati jalannya." Ujar Nenek Sri sambil menyerahkan
Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama. "B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu. Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu." Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar. Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas,
Audrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun. "Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey ters
Salsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka