Audrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun.
"Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey tersenyum kecil melihat adiknya yang begitu polos dan ceria, seakan tak ada beban di dunia ini. Mungkin bersama anak-anak panti bisa menjadi pelipur lara bagi Audrey, setidaknya untuk sementara waktu, sebelum pernikahan yang tak terduga itu mengubah seluruh hidupnya. Setelah menghabiskan waktu dengan makan bersama juga diselingi canda tawa, malam pun tiba. Di dalam kamar yang gelap, Audrey dan Salsa berbaring bersebelahan, memandang atap dengan pikiran masing-masing. Suasana hening, hanya terdengar bunyi napas teratur dari anak-anak panti yang sudah tertidur lelap. Lampu kamar sudah dipadamkan, namun bayangan dari cahaya bulan sedikit menerangi wajah mereka. "Kak, tadi Kak Leo kesini ya. Kok gak masuk sih?" Tanya salsa dengan berbisik. Pada Audrey yang sibuk menatap atap atau lebih tepatnya melamun. Audrey tersenyum. "Kak Leo hanya mampir sebentar. Oh iya, kalau besok-besok Kak Leo gak kesini. Jangan cari-cari ya." Pinta Audrey Salsa segera menoleh pada Audrey. "Loh kenapa Kak?" Tanyanya heran "Kakak dan Kak Leo sudah putus. Jadi mungkin kak Leo akan jarang kemari." Jelas Audrey menatap Salsa Salsa terdiam sejenak, mencerna kata-kata Audrey. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan, tapi ia tak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menatap kakaknya dalam gelap, mencoba memahami sesuatu yang sepertinya terlalu rumit baginya. "Putus? Kakak dan Kak Leo?" Gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam. Namun, melihat ekspresi Audrey yang tenang tapi penuh luka, Salsa tahu bahwa topik ini bukanlah sesuatu yang ingin dibahas lebih lama. Audrey menghela napas dan menoleh pada Salsa. "Iya, Sasa. Kakak sudah tidak bersama Kak Leo lagi. Kadang, hal seperti itu terjadi, tapi kamu gak perlu khawatir, ya? Semua akan baik-baik saja." Salsa mengangguk pelan, meski raut wajahnya masih menyimpan segudang tanya. "Ya Udah deh, Kak. Tapi kalau Kakak sedih, Sasa ada kok." Ucapan sederhana itu menyentuh hati Audrey. Ia tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan. "Terima kasih, Sasa. Sekarang kita tidur, ya." Mereka berdua akhirnya terbaring diam di atas kasur, memandangi langit-langit yang gelap. Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar hembusan angin dari jendela yang sedikit terbuka. Audrey menutup matanya, berusaha untuk tidak memikirkan Leo atau pernikahan yang akan segera datang. Namun, di sudut hatinya, mencoba melupakan semua kekhawatirannya, setidaknya untuk malam itu. •• Bunyi kicauan burung terdengar menyapa pagi hari dengan udara sejuk yang menerpa. "Loh kak, kata bunda, kakak akan menikah ya?" Tanya salsa dengan menggebu-gebu mengabaikan beberapa gadis yang sibuk memijat juga merawat wajah Audrey. Yah, pagi-pagi Audrey kedatangan tamu yang berasal dari calon mama mertuanya untuk merawat tubuh dan wajahnya sebelum pernikahan terjadi. Audrey yang diberi masker pada wajahnya segera bangkit dari posisi tidurannya mengabaikan masker yang bisa saja tumpah. "Sasa tau dari siapa hm? Boleh nanti kita berbicara? Sekarang kakak sedikit sibuk." Pinta Audrey menatap Salsa dengan tatapan memelas membuat salsa terpaksa mengiyakan. Salsa mengangguk dengan wajah cemberut, meskipun rasa penasaran masih membayanginya. "Iya deh, nanti ya kak." Jawabnya dengan suara lirih sebelum melangkah keluar kamar, meninggalkan Audrey yang kembali direbahkan oleh para spa yang sibuk merawat dirinya. Audrey menatap langit-langit kamar sambil menarik napas panjang. Di dalam kepalanya, semua terasa begitu cepat—pernikahan yang mendadak, Leo yang pergi, dan sekarang kehidupan barunya yang akan segera dimulai. Ia belum sepenuhnya siap, tetapi semua sudah diatur dengan sangat cepat oleh keluarga calon suaminya. "Nona, jangan terlalu tegang, cantik. Ini semua akan baik-baik saja. Kamu akan terlihat cantik sekali di hari spesialmu." ujar salah satu perias dengan senyum ramah, seakan bisa membaca pikiran gelisah Audrey. Audrey hanya tersenyum tipis di balik maskernya. "Iya, terima kasih, Kak." Sementara itu, di luar kamar, Salsa masih bergumul dengan rasa penasaran. Ia berjalan perlahan menuju halaman panti, memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Kak Audi menikah? Kenapa dia nggak pernah cerita sebelumnya?" Gumamnya, bingung dengan situasi yang tampak begitu tiba-tiba. Salsa yang sibuk dengan pemikirannya tidak menyadari adanya sosok asing yang duduk diatas pohon dengan menatap salsa dengan tatapan dingin. Salsa yang merasa diperhatikan segera menoleh. "Loh, kamu ngapain diatas pohon. Cepat turun, nanti dimarahi ibu loh!" Seru Salsa menatap anak laki-laki yang seusia sang kakak. Pemuda remaja itu hanya mendengus namun tak urung menuruti perkataan gadis cantik yang menatapnya dengan tatapan polos. "Astaga, kamu ini siapa? kok bisa-bisanya manjat ke pohon." Celoteh Salsa namun wajahnya berubah menjadi sendu. "Kakak aku bakal pergi buat nikah, aku bakal sendirian disini. Nama kamu siapa? biar aku punya teman. Namaku salsa, umur 16 tahun." Ujar Salsa dengan bibir mencabik namun berusaha tersenyum seraya memperkenalkan dirinya pada teman barunya. Pemuda itu menaikkan alisnya. " Siapa nama kakakmu?" Salsa yang mendengar itu menghela napas. "Kakak Audrey cantik. Eh wajah kamu kenapa kok datar sekali? suara kamu juga aneh kedengarannya." Ujar Salsa heran juga menatap pemuda itu dengan tatapan penuh tanya. Pemuda itu hanya diam menatap Salsa, setelahnya tangannya terulur menarik jepit bunga yang Salsa tengah kenakan. "Kuharap kita akan bisa bertemu kembali." Bisik pemuda itu tepat pada telinga Salsa. Salsa yang mendengar itu hanya terdiam kaku, tanpa menyadari sosok pemuda itu berjalan keluar panti. "Eh, itu punya Sasa jepitnya. Kamu mau kemana? Namamu siapa. Hei! kembalikan jepit Sasa." Seru salsa setelah sadar dari rasa terkejutnya saat pemuda itu sudah pergi menghampiri mobil yang berada diluar pagar panti asuhan. Salsa berusaha mengejar langkah pemuda itu dengan berlari mengabaikan sandalnya yang terlempar tidak jauh. BersambungSalsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka
Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat." Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk h
Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja." Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari ki
"Sebentar, Nyonya." Nick terlihat menekan tombol yang berada dimeja sofa ruang tamu. Hingga kedatangan wanita paruh baya yang berlari mendekati mereka. "Selamat siang, Tuan Nick. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan yang memakai seragam maid dengan simbol berbentuk hewan dengan warna emas di dadanya. Nick hanya mengangguk. "Ini adalah istri dari Tuan Elang, Nyonya Audrey. Mulai saat ini dia akan menjadi Nyonya rumah ini, kau paham Gret?" Jelas Nick pada Grett- Kepala pelayan dimansion Elang.Pelayan yang dipanggil Grett itu mengangguk sopan. "Selamat datang, Nyonya di mansion ini. Mari saya antarkan ke kamar anda." "Terima kasih, Grett." jawab Audrey dengan suara lembut, meski dalam hatinya masih merasa canggung berada di lingkungan baru ini.Grett segera memimpin jalan menuju lift mansion yang tampak elegan. Setiap sudut rumah ini memancarkan kemewahan, namun juga memberi perasaan dingin dan jauh dari kehangatan. Setelah bebe
Elang tetap tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak ingin membahas masalah ini lebih lama. "Tidak ada ruang untuk menolak, Audrey. Ini soal kesepakatan antara kau dan aku, yang wajib kita lakukan." Audrey terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini, dan meskipun hatinya menolak, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawaban Audrey membuat Elang segera memberi bulpoint agar gadis itu segera bertanda tangan. "Sekarang kau boleh pergi." Usir Elang dengan mengibas-ngibaskan tangannya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Audrey segera keluar tanpa berucap apapun dengan tangan memegang dokumen itu. Audrey berjeringkit terkejut, saat baru saja membuka pintu. Sosok pelayan yang tadinya mengantarnya ternyata menunggunya. "Maafkan saya, Nyonya." Ucap pelayan itu saat tidak sengaja mengejutkan majikannya. Audrey tersenyum. "Tidak masalah, boleh antarkan aku ke kamar?" Pinta Audrey yang j
Para pelayan dengan sigap langsung membersihkan meja, merasa malu terpergok majikan, bahwa mereka tengah mengintip. Juga tidak adanya, Grett yang biasa memarahi mereka. Audrey masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami kemarahan Elang yang tiba-tiba meledak. Pikirannya berkecamuk, merasa bingung dan terluka. "Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menyiram bunga?" batinnya, berusaha menenangkan diri. Air matanya mulai menetes, namun segera dihapus dengan cepat, tidak ingin terlihat rapuh di hadapan para pelayan. Setelah meja makan dibersihkan, Audrey berjalan perlahan ke kamarnya, mencoba menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa dengan taman itu? Apa ada sesuatu yang aku tidak tahu?” pikirnya. Di dalam kamar, Audrey mencoba menenangkan perasaannya. "Aku harus mencari tahu kenapa dia begitu marah. Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebingungan seperti ini." gumamnya pada diri sendiri. Tiba-tiba saja ketukan di pintu membuat Audrey seger
Pelayan itu hanya menggeleng dengan munundukkan kepalanya takut. Lalu membungkuk-bungkukkan badannya dengan bergumam lirih. "Maafkan saya, Nona. Tolong ampuni saya." Pekik pelayan itu semakin histeris.Audrey yang melihat reaksi pelayan itu semakin mengerut kening. "Ada ap-""Maaf nyonya, silahkan nyonya kembali ke kamar. Saya yang akan menangani pelayan ini." Ujar Grett lalu membawa pergi pelayan itu dengan paksa."Astaga, apa gaya rambut ini tidak cocok denganku? Sepertinya aku harus menggantinya lagi." Ucap Audrey dengan bergegas berlari menuju kamar, guna menelepon Nick, untuk mengabulkan permintaannya.Begitu sampai dikamarnya, ia langsung meraih ponselnya dan menelepon Nick."Nick, bisakah kau atur agar penata rambut datang lagi? Aku merasa gaya ini tidak cocok denganku," ucap Audrey buru-buru, masih merasa tidak nyaman dengan tatapan para pelayan yang ia temui di sepanjang jalan. Juga dengan kejadian yang baru saja terjadiNick terdiam sejenak di telepon sebelum menjawab. "Bai
Maudy tersenyum lembut, memahami perasaan Audrey yang tampak kecewa. "Tidak apa-apa, sayang. Kita bisa merencanakan perjalanan di waktu libur yang lebih panjang nanti," ujarnya dengan suara menenangkan.Audrey mengangguk, merasa sedikit lega. "Mungkin liburan akhir tahun nanti, Mama?""Ya, itu ide yang bagus. Kita bisa mempersiapkannya dari sekarang. Kamu ingin pergi ke mana?" Maudy bertanya dengan antusias, berusaha menghidupkan kembali semangat Audrey.Audrey tersenyum tipis, membayangkan kemungkinan destinasi yang menyenangkan. "Aku selalu ingin ke Jepang, Mama.""Baiklah, kita bisa pertimbangkan Jepang," Maudy menjawab sambil menepuk pelan tangan Audrey. "Yang penting, kamu fokus dulu pada sekolah. Liburan bisa menunggu."Audrey tersenyum, kali ini dengan perasaan hangat di hatinya. Meskipun perjalanan itu belum pasti, perhatian dan dukungan dari Maudy membuatnya merasa lebih baik.Setelah berbincang cukup lama, Maudy akhirnya pulang saat dijemput oleh papa mertuanya.Audrey memut