Langit senja perlahan memudar, mewarnai taman dengan cahaya orange yang lembut. Seorang gadis berdiri di balik semak-semak, tubuhnya kaku, sementara tatapannya terpaku pada dua sosok di bangku taman.
"Kamu yakin nggak ada yang tahu?" Tanya wanita itu dengan suara lembut, sambil bersandar di bahu pria yang ia kenal begitu baik. "Tenang saja. Semua aman." Jawab pria itu, tersenyum tipis, lalu meraih tangan wanita di sebelahnya. Sentuhan itu, yang dulu selalu membuatnya merasa aman, kini menjadi pisau yang menusuk jantungnya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat ponsel, menekan tombol rekam dengan tangan yang dingin. Air mata menggenang, kabur di pelupuk matanya, tapi dia berusaha menahannya. Isak tangis tertahan di tenggorokan, seolah jika ia mengeluarkannya, segalanya akan runtuh tak terkendali. “Ini... benar-benar terjadi.”Gumamnya dalam hati, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia lihat. Mata Audrey sontak melebar, napasnya terhenti di tenggorokan. Di depannya, kekasih yang selama ini ia percayai tengah bercumbu mesra dengan seorang gadis asing—tampak anggun dengan pakaian mahal dan perhiasan berkilau, gadis itu jelas berasal dari keluarga kaya raya. Sangat berbeda dari dirinya, seorang anak panti asuhan yang selama ini selalu merasa tak layak untuk bermimpi terlalu tinggi. Audrey berusaha mengatur napasnya yang mulai tercekat. Setiap ciuman, setiap sentuhan antara mereka seperti menambah beban di dadanya. Dunia di sekitarnya terasa memudar, hanya menyisakan perih yang menggigit dalam. "Pria brengsek." Umpatnya, menahan air mata yang hampir pecah. Setelah dirasa cukup merekam bukti perselingkuhan yang terhampar jelas di depan matanya, Audrey menurunkan ponselnya dengan tangan gemetar. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi dia tahu tidak ada gunanya lagi berdiri di sana lebih lama. Dengan langkah yang gontai namun tegas, ia segera berbalik, meninggalkan pemandangan yang menghancurkan hatinya. Tanpa menoleh lagi, Audrey berjalan menjauhi taman, menuju halte bus yang tidak jauh dari posisinya. Setiap langkah terasa berat, seolah beban emosionalnya merayap ke seluruh tubuhnya. Dia hanya ingin segera pergi, menjauh dari kenyataan pahit yang baru saja ia saksikan. Hanya deru angin yang menemani isak tangis yang terpendam dalam diam. "Sial, seharusnya aku tidak menangisi pria brengsek sepertinya." Dengus Audrey dengan nada marah bercampur perih. Ia segera menaiki bus yang berhenti di depannya, berusaha menyembunyikan perasaan hancurnya di balik raut wajah yang berusaha tenang. Baru saja duduk di kursi paling belakang, dering ponsel tiba-tiba memecah lamunannya. Dengan cepat, Audrey merogoh tasnya dan melihat nama di layar. Setelah berdehem pelan untuk memastikan suaranya tak terdengar goyah setelah menangis, ia menekan tombol jawab. “Halo?” Ujar Audrey, suaranya terdengar nyaris normal, meski hatinya masih berkecamuk. “......” “Iya, Bunda. Ini Audi sudah menaiki bus.” Jawab Audrey singkat, suaranya masih berusaha stabil. Setelahnya, ia mematikan panggilan, menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya deru mesin bus yang menemani pikirannya yang terus melayang pada apa yang baru saja terjadi. Saat bus akhirnya berhenti, Audrey segera berdiri dan menuruni tangga bus dengan langkah berat. Begitu kakinya menyentuh aspal, ia berjalan menyusuri trotoar, sedikit jauh dari halte. Udara sore mulai menusuk kulit, tapi Audrey hampir tidak merasakannya. Setelah beberapa menit berjalan, pemukiman mulai terlihat, dengan bangunan-bangunan kokoh yang menjulang di sekitarnya. Di antara bangunan besar itu, tujuan Audrey sudah tampak—rumah besar dengan pagar tinggi yang seolah memisahkannya dari dunia yang baru saja menghancurkan hatinya. Kedatangan Audrey disambut oleh pekikan riang anak-anak panti, membuat senyum tipis terukir di wajahnya. Meskipun hatinya gundah, keceriaan anak-anak itu seolah memberikan kehangatan singkat di tengah badai perasaannya. Setelah berbincang sejenak dengan mereka, mendengarkan celoteh polos yang sedikit mengusir pikirannya yang kacau, Audrey melangkah menuju ruangan Bunda panti. "Bunda, ini Audi." Panggilnya saat memasuki ruangan yang tampak kosong. Suara itu menggema di ruangan yang sepi, namun tak ada jawaban. Ia mendesah, lalu duduk di sofa, membiarkan tubuhnya yang lelah terkulai. Tak lama kemudian, bunyi langkah kaki terdengar dari luar. Audrey segera menegakkan tubuhnya, menghapus sisa-sisa keletihan dari wajahnya. Saat pintu terbuka, sosok wanita paruh baya yang dikenal hangat itu muncul. Senyum Audrey melengkung, meski sedikit lelah, "Bunda dari mana saja sih? Audi bosan tau nungguin." Ucapnya manja, mencoba menyembunyikan kerapuhannya di balik nada bercandanya. Tatapan lembut Bunda menatapnya, seolah bisa melihat lebih dalam dari apa yang Audrey coba sembunyikan. "Aduh, manjanya. Bunda tadi ada urusan sebentar, bagaimana tadi, sudah ketemu buku yang kamu cari?" Bunda panti mengulas senyum lembut, jemarinya mengelus rambut panjang Audrey dengan kasih sayang. Audrey mencabikkan bibirnya, berusaha menutupi perasaannya yang campur aduk. "Belum, Bunda. Susah banget carinya." Jawab Audrey berbohong, meski suara dan sikapnya tampak biasa, ada sedikit kegelisahan yang ia sembunyikan. Bunda panti tertawa kecil, "Kamu carinya mungkin kurang teliti, Di. Kamu kan gak sabaran, pasti buru-buru carinya jadi nggak ketemu." Ujarnya dengan tawa ringan yang membuat suasana terasa lebih hangat. Audrey ikut tersenyum meski hatinya terasa berat. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Bunda melanjutkan. "Oh iya, besok pagi Bunda mau ngobrol sama kamu." Audrey menatap Bunda dengan sedikit heran, tetapi sebelum sempat bertanya, Bunda sudah mengalihkan perhatiannya. "Sekarang, ayo kita masak dulu buat makan malam. Adik-adik kamu pasti sudah kelaparan." ajaknya dengan penuh semangat. Senyum lembut wanita paruh baya itu tak hanya menghangatkan suasana, tapi juga membuat Audrey merasa sedikit lebih baik, meski hatinya masih menyimpan luka yang baru saja menggores. “Aye aye, Captain! Hari ini jadwalnya Audi sama Salsa cuci piring, ya, Bun? Aduh, malas deh kalau cuci piring." Keluh Audrey dengan nada bercanda, meski wajahnya sedikit meringis saat Bunda menariknya pelan menuju dapur. Setibanya di dapur, sudah ada dua wanita paruh baya—ibu dan nenek pengurus panti—serta seorang gadis remaja yang lebih muda dari Audrey, Salsa. Wajah gadis itu tampak kesal, dan begitu melihat Bunda dan Audrey masuk, ia langsung merenggut. "Kenapa Kakak dan Bunda lama banget sih! Sasa, Ibu, sama Nenek udah nunggu dari tadi. Ini pasti Kak Audi yang lama, kan? Makanya Bunda jadi telat datang!" Sembur Salsa dengan nada protes, tatapan matanya seolah menuduh Audrey. Audrey hanya mengangkat bahu sambil tersenyum tipis, "Heh, Kakak tadi nggak lama kok, mungkin kamu yang nggak sabaran." Balasnya santai, meski ada sedikit keletihan yang masih tersisa di matanya. Bunda tertawa kecil melihat keduanya, suasana dapur yang tadinya sedikit tegang seketika mencair dengan canda tawa ringan mereka. Setelah sedikit drama di dapur, akhirnya mereka semua mulai menyantap makanan yang telah mereka masak bersama. Suasana hangat makan malam mengurangi ketegangan hari itu, dan setelah semua selesai, Audrey dan Salsa kembali ke kamar mereka. Kasur panjang di kamar membuat mereka merasa lebih nyaman setelah hari yang melelahkan. Dengan berusaha sekuat tenaga, Audrey dan Salsa merangkak perlahan menuju pintu, menyelinap keluar dari kamar dan memasuki taman panti asuhan yang tampak sepi di malam hari. Meskipun malam semakin larut, keduanya tampak tidak merasa takut. “Kita ngapain sih, kak. Ke sini?” Tanya Salsa, nada suaranya terdengar sedikit kesal karena tidurnya terganggu oleh ajakan kakaknya. Audrey hanya memutar matanya malas dan menyuruh adiknya untuk diam, “Sttt, diam dulu. Kakak mau menelepon Leo sebentar, setelah itu kita akan tidur, okey?” Salsa mengangguk, meski keningnya berkerut heran. Dia tidak mengerti mengapa kakaknya harus menelepon pacarnya pada jam segini. Namun, Salsa memilih untuk diam dan menunggu, penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Audrey di tengah malam. Audrey menatap malas telepon genggamnya, frustrasi karena Leo belum juga menjawab panggilannya. Dengan kesal, ia akhirnya mengakhiri panggilan dan mendekati Salsa, yang tampak mengantuk. “Loh, udah selesai, Kak?” tanya Salsa, menegakkan kepalanya dengan mata yang setengah terpejam. Audrey tersenyum tipis. “Tidak jadi, besok pagi saja. Ayo kita masuk dan segera tidur.” Ajaknya sambil meraih tangan Salsa. Namun, saat Audrey baru melangkah, getaran pada ponselnya menginterupsi. Audrey menghentikan langkahnya, dan Salsa juga berhenti, memperhatikan dengan cemas. Salsa berkata. “Tidak apa-apa, Kak. Jawab dulu, Sasa tunggu di sini kok!” Audrey mengangguk dan mengangkat telepon. 'Halo, sayang, ada apa kamu meneleponku di tengah malam ini? Maaf ya tadi aku sudah tidur, jadi angkatnya lama.' “Gak papa, gue mau kita putus. Good night, Leo.” Jawab Audrey, lalu memutus sambungan telepon dengan cepat. Salsa yang mendengar itu sontak melebarkan matanya, mengabaikan rasa kantuknya. "Kenapa Kakak putus sama Kak Singa?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Audrey hanya tersenyum lembut, lalu menuntun Salsa kembali ke kamar mereka. "Hanya masalah kecil, Sasa. Sekarang ayo tidur, hari semakin larut." BersambungPagi hari yang cerah menyambut Audrey dan anak-anak panti dengan sinar matahari yang hangat. Namun, suasana di panti asuhan terasa sedikit berbeda dari biasanya. Audrey dan anak-anak lainnya mengerutkan kening heran saat melihat para wanita paruh baya—ibu, nenek, dan pengurus panti—sibuk memasak makanan dan membersihkan seluruh area panti. “Ada apa, ya? Kenapa semua pada sibuk banget pagi-pagi begini?” tanya Audrey sambil melirik ke arah dapur dan area panti yang tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa anak panti lainnya tampak penasaran dan kebingungan, saling bertanya satu sama lain. Meskipun suasana pagi yang cerah dan biasa saja, aktivitas yang tidak biasa ini menimbulkan rasa ingin tahu di antara mereka. Nenek Sri, yang melihat Audrey berdiri di dekat dapur dengan tatapan heran, segera menghampirinya dan memanggilnya. "Nak Audi, nenek minta tolong belikan santan dan beberapa bahan lainnya, ya? Lebih cepat, ya, nak. Hati-hati jalannya." Ujar Nenek Sri sambil menyerahkan
Audrey menelan ludah, merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan kabar sebesar itu. Sambil berusaha tetap tenang, ia melirik ke arah Bunda panti yang tersenyum lembut, seolah-olah ini adalah hal yang sudah direncanakan sejak lama. "B-bunda, ini maksudnya...?" Audrey berusaha mencari klarifikasi, suaranya terdengar ragu. Bunda panti meraih tangan Audrey, menggenggamnya dengan hangat. "Iya, Nak. Ini keputusan yang sudah lama kami bicarakan. Keluarga mereka sangat baik, dan Bunda yakin ini akan menjadi keputusan yang terbaik untukmu." Audrey menunduk, mencoba mencerna semua ini. Ia tidak pernah berpikir bahwa hidupnya akan berubah secepat ini, apalagi soal pernikahan dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia temui. Dalam hatinya, masih ada rasa kekecewaan yang belum pulih setelah perselingkuhan Leo, dan sekarang ia dihadapkan pada kenyataan baru yang jauh lebih besar. Audrey menegakkan kepalanya dengan tegas,
Audrey menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan semua bayangan tentang Leo yang mengusik pikirannya. Ucapan-ucapan menyakitkan dari mantan kekasihnya terus berputar di kepalanya, tetapi ia tahu, menangisi hal itu tidak akan mengubah apa pun. "Leo brengsek! Aku akan membuktikan kalau aku bisa lebih baik tanpamu." Gumam Audrey dengan suara pelan, menatap foto mereka berdua dalam pigura kecil yang dulu penuh kenangan manis. Sekarang, kenangan itu terasa pahit. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Kak Audi? Kakak di dalam kah? Sasa mau masuk ya?" Suara riang Salsa terdengar dari luar pintu. Audrey buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah mengalir, lalu berdiri di depan cermin, meraih bedak untuk menyamarkan wajahnya yang terlihat sembap. Saat Salsa masuk, gadis itu langsung mendengus. "Astaga, bedakan mulu, kak. Tamunya sudah pergi kok. Ayo kak, kita makan makanan yang masih ada." ajak Salsa dengan semangat, menarik lengan Audrey menuju ruang makan. Audrey ters
Salsa berlari sekuat tenaga, namun mobil yang dinaiki pemuda itu sudah mulai menjauh. "Aduh, kenapa sih dia cepat sekali?" Keluh Salsa, sambil terus berlari hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Salsa terengah-engah, berhenti di pinggir jalan sambil mengatur napas. Ia memandang ke arah mobil yang semakin jauh, merasa kecewa dan kesal. Jepit bunga yang diambil oleh pemuda itu sangat berharga baginya, dan kehilangan itu membuatnya merasa frustasi. "Kakiku sakit lagi." Gumamnya menatap nanar kakinya yang terluka karena goresan bebatuan juga beberapa pasir. Dengan rasa kesal, Salsa kembali ke panti asuhan, dan langsung menuju kamar Audrey mengabaikan kakinya yang terluka. “Kak, ada yang aneh tadi. Sasa kehilangan jepit, dan ada seorang pemuda yang mengambilnya!” Ucap Salsa, mencoba menjelaskan dengan cepat kepada Audrey yang sedang bersiap-siap. Audrey mendengarkan dengan seksama, lalu mengernyitkan dahi. “Pemuda itu seperti apa? Apakah kamu mengenalnya? Kamu tidak terluka
Maudy kemudian menambahkan dengan nada yang penuh dukungan. "Bagaimana kalau kita ajak mereka makan malam bersama? Ini bisa menjadi kesempatan baik untuk mengenal satu sama lain lebih dekat." Audrey merasa lega mendengar respon positif dari Maudy. "Terima kasih, Mama. Itu akan sangat berarti bagi mereka." Benar, tidak semua orang seperti keluarga Leo. Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat makanan yang ingin dikunjungi Audrey, membuat perjalanan sore itu terasa lebih berarti dan hangat. ^^^ Setelah beberapa saat mereka membeli makanan, akhirnya mobil memasuki pekarangan panti asuhan. Audrey turun diikuti Maudy juga sopir yang sibuk mengeluarkan barang-barang yang sudah mereka beli untuk anak panti. "Sepertinya mama tidak bisa makan malam bersama dengan kalian, Audi. Papa menelepon mama, jadi mama harus segera pulang." Jelas Maudy setelah mendapat telepon singkat dari sang suami. Audrey tampak kecewa mendengar hal itu. "Baiklah, Mama. Terima kasih untuk h
Tatapan Audrey terus mencari, bertanya-tanya apakah ia akan segera bertemu pria yang akan menjadi suaminya. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan pemikirannya, suara lembut dari Devan membuyarkan lamunannya. "Sudah sampai, Nak. Tetaplah tenang, semuanya akan baik-baik saja." Kepergian Devan, membuat kegugupan Audrey semakin meningkat. Hingga kedatangan sosok pria tampan yang mengenakan setelan pengantin. "Dia sangat tampan." Batin Audrey menatap sosok pria yang akan menjadi suaminya. Audrey menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Sosok pria tampan yang akan menjadi suaminya berdiri gagah di sampingnya, membuat kegugupan bercampur dengan kekaguman yang tak bisa ia tolak. "Apakah dia benar-benar orang yang tepat untukku?" Pikir Audrey, masih meraba perasaannya sendiri. Suara pembawa acara mulai terdengar, memecah keheningan saat mereka akan memulai prosesi. "Baiklah, karena kedua mempelai sudah hadir. Mari ki
"Sebentar, Nyonya." Nick terlihat menekan tombol yang berada dimeja sofa ruang tamu. Hingga kedatangan wanita paruh baya yang berlari mendekati mereka. "Selamat siang, Tuan Nick. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya pelayan yang memakai seragam maid dengan simbol berbentuk hewan dengan warna emas di dadanya. Nick hanya mengangguk. "Ini adalah istri dari Tuan Elang, Nyonya Audrey. Mulai saat ini dia akan menjadi Nyonya rumah ini, kau paham Gret?" Jelas Nick pada Grett- Kepala pelayan dimansion Elang.Pelayan yang dipanggil Grett itu mengangguk sopan. "Selamat datang, Nyonya di mansion ini. Mari saya antarkan ke kamar anda." "Terima kasih, Grett." jawab Audrey dengan suara lembut, meski dalam hatinya masih merasa canggung berada di lingkungan baru ini.Grett segera memimpin jalan menuju lift mansion yang tampak elegan. Setiap sudut rumah ini memancarkan kemewahan, namun juga memberi perasaan dingin dan jauh dari kehangatan. Setelah bebe
Elang tetap tenang, meskipun sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak ingin membahas masalah ini lebih lama. "Tidak ada ruang untuk menolak, Audrey. Ini soal kesepakatan antara kau dan aku, yang wajib kita lakukan." Audrey terdiam sejenak, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Tidak ada jalan keluar dari situasi ini, dan meskipun hatinya menolak, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. "Baiklah." Jawaban Audrey membuat Elang segera memberi bulpoint agar gadis itu segera bertanda tangan. "Sekarang kau boleh pergi." Usir Elang dengan mengibas-ngibaskan tangannya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Audrey segera keluar tanpa berucap apapun dengan tangan memegang dokumen itu. Audrey berjeringkit terkejut, saat baru saja membuka pintu. Sosok pelayan yang tadinya mengantarnya ternyata menunggunya. "Maafkan saya, Nyonya." Ucap pelayan itu saat tidak sengaja mengejutkan majikannya. Audrey tersenyum. "Tidak masalah, boleh antarkan aku ke kamar?" Pinta Audrey yang j