"Bangun, Daxton! Kau baru saja mulai dan sudah ambruk huh?" Teriakan penuh amarah menggema di seluruh penjuru Guiner Mansion, membuat seorang anak lelaki yang sejak tadi berlari memutari lapangan belakang mansion berusaha untuk berdiri.
"Daxton!"Anak lelaki berusia 8 tahun itu hanya diam, tangannya bergetar dan bulir keringat membasahi dahinya, ia tak lagi sanggup untuk berlari seperti permintaan sang Ayah, jangankan berlari untuk berdiri saja ia sudah tak sanggup.Lelaki yang barusan berteriak menggelegar penuh amarah segera berjalan mendekati si anak lelaki, dan dengan kuat menarik tangan si anak lelaki bernama Daxton Guiner itu."Bangun! Kau ini lelaki dan seorang lelaki tidak boleh lemah, Daxton Guiner!" Lelaki itu kembali berteriak dan memaksa Daxton untuk berdiri dengan benar."Berhenti, Gozard Guiner!""Ayah mertua tidak perlu ikut campur!" balas si lelaki yang rupanya bernama Gozard Guiner."Aku berhak ikut campur karena Daxton juga cucuku!" sahut seseorang barusan yang disebut oleh Gozard sebagai Ayah mertuanya, ia adalah Kaslo Nesser.Dengan ekspresi wajah kesal Gozard melepaskan cengkeraman pada lengan putra sulungnya—Daxton, dan setelahnya lelaki itu melengang pergi meninggalkan lapangan di belakang Guiner Mansion itu.Kaslo langsung memeluk cucunya itu, lelaki paruh baya itu lalu mengusap keringat di wajah cucunya dan kembali memeluknya erat. "Tidak apa-apa, Daxton! Tidak apa-apa, jangan dengarkan apa pun yang dikatakan oleh Ayahmu itu," ucap Kaslo mencoba meyakinkan Daxton bahwa apa yang dikatakan oleh Gozard tak perlu anak lelaki itu dengarkan.Daxton tidak menangis, anak lelaki berusia 8 tahun itu hanya diam dengan wajah pucat yang tak disadari oleh Kaslo bahwa cucunya itu sudah tak sadarkan diri."Daxton, Daxton, sadarlah!" Kaslo berteriak memanggil nama Daxton dan bergegas menggendong sang cucu untuk dibawa masuk ke Guiner Mansion.Kini Daxton telah dibaringkan di ranjang besar yang berada di kamar anak lelaki itu."Bagaimana keadaannya?" Kaslo bertanya pada seorang dokter yang barusan memeriksa cucu lelakinya."Tuan Muda Daxton Guiner mengalami dehidrasi dan kondisi fisiknya melemah, sepertinya ia tidak beristirahat dengan baik, Tuan Kaslo Nesser," jelas dokter berkaca mata kotak itu jujur.Kaslo diam-diam mengepalkan tangannya. Bagiamana mungkin Daxton bisa beristirahat dengan baik kalau Ayahnya saja iblis seperti Gozard? Batin lelaki paruh baya itu merasa jengkel luar biasa pada sang menantu lelaki—Gozard Guiner."Baiklah, terima kasih karena sudah memeriksa cucuku," ucap Kaslo dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi ramah.Dokter lelaki berkaca mata kotak itu menganggukkan kepala dan setelahnya berpamitan pada Kaslo.Kini di kamar Daxton hanya tersisa anak lelaki itu dan Kaslo sang Kakek."Kakek," panggil Daxton dengan suara lirih nyaris tak terdengar.Kaslo tersenyum dan duduk di pinggir ranjang lalu memeluk erat cucu lelakinya itu. "Aku di sini Daxton, aku Kakekmu ada di sini," ucapnya membuat Daxton tersenyum tipis."Apa Ayah akan semakin membenciku karena aku lemah, Kakek?"Kaslo sungguh ingin mengutuk Gozard atas tindakan mengerikannya pada Daxton.Anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah diinfus dan masih saja memikirkan Gozard? Sungguh, rasanya Kaslo benar-benar ingin memukul Gozard, ia sungguh tak mengerti terbuat dari apa hati menantu lelakinya itu."Apa Ayah lagi-lagi mengganggu sesi latihan Daxton?"Apa lagi ini? Rasanya Kaslo juga ingin mengutuk putrinya sendiri yang kelakuannya juga tak jauh berbeda dengan Gozard. Mungkin karena itulah mereka akhirnya berjodoh."Posie! Anakmu hampir mati dan kau masih memikirkan latihan-latihan itu huh?" Suara Kaslo meninggi dengan tatapan tajam mengarah pada putrinya yang berdiri di ambang pintu kamar Daxton.Posie Nesser aka Posie Guiner adalah putri kedua Kaslo Nesser yang menikah dengan Gozard Guiner, dan ia juga merupakan ibu kandung Daxton.Posie menghela napas lalu berjalan masuk dan mendekati Daxton juga sang Ayah."Daxton harus dilatih agar ia bisa ....""Apa, Posie? Kutanya apa?" Kaslo kembali meninggikan suaranya, matanya masih menatap tajam Posie, "Pernahkah kau dan Gozard bertanya apa mimpinya? Pernahkah kau bertanya apa selama ini Daxton memang menginginkan semua ini? Pernahkah kau bertanya bagaimana keadaannya selama ini? Pernahkah kau dan Gozard menanyakan semua hal itu pada Daxton huh?" lanjutnya semakin murka pada Posie."Berhentilah bersikap egois! Jika mimpi dan harapanmu dulu tak terwujud, bukan berarti anakmu yang harus mewujudkannya, bukan berarti ia harus melanjutkan impian dan harapanmu! Setiap anak yang lahir ke dunia menggenggam impian dan harapan mereka masing-masing, orang tua hanya mengarahkan bukannya memaksa!"Posie terdiam mendengar ucapan yang meluncur penuh amarah dari mulut sang Ayah. Ia tahu betul tindakannya salah tetapi ia tetap tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri untuk berhenti bersikap egois pada Daxton."Ibu dulu melakukannya padaku, Ibu memaksaku untuk melanjutkan impian dan harapannya."Kaslo memeijit pelipisnya yang mulai keriput itu, "Kini aku menyadari seharusnya kau tidak pernah memiliki anak! Seharusnya kau menyembuhkan dirimu dulu, seharusnya kau memaafkan Ibumu dulu, sayangnya terlambat," ucapnya menatap serius ke arah Posie, "Jika kau terus bersikap egois maka aku akan membawa Daxton pergi dari sini, aku Kakeknya yang akan merawat dan membesarkannya. Akan kupastikan ia tumbuh tanpa dendam, akan kupastikan ia tumbuh dengan baik, tidak sepertimu!" lanjut lelaki paruh baya itu dengan wajah tanpa ekspresi.Posie menatap sang Ayah dingin, "Ayah bahkan tak pernah mencegah Ibu untuk melakukannya, Ayah membiarkan Ibu ....""Kau yang tidak mau ikut denganku, kau yang memilih hidup bersama perempuan gila itu! Kau yang memilihnya sendiri jadi jangan menyalahkan orang lain atas pilihan yang kau ambil sendiri!" balas Kaslo memotong kalimat putrinya begitu saja.Posie kembali terdiam lantaran menyadari kalau ucapan sang Ayah barusan memanglah benar, tentang ia yang memilih tinggal bersama sang Ibu, tentang ia yang menolak untuk tinggal bersama sang Ayah—Kaslo Nesser.Sejak tadi Daxton hanya diam menatap sang Ibu yang kini menangis, ia tahu Ibunya menangis walau tak terdengar suara isakkan lantaran wajah perempuan itu yang memerah dan air mata yang terus mengalir membasahi pipi."Daxton akan tinggal denganku!" Kaslo kembali berucap dan segera melepas infus dari tangan Daxton lalu menggendong cucu lelakinya itu."Ayah tidak bisa membawanya, ia anakku, ia anakku walau bagaimana pun!" teriak Posie berusaha meraih Daxton yang digendong oleh Kaslo dan hendak dibawa pergi dari Mansion Guiner.Kaslo menyingkirkan tangan putrinya bahkan mendorongnya, membuat Posie jatuh tersungkur dengan air mata yang terus berderai."Jangan melihatnya, Daxton! Air matanya hanya palsu, ia tidak pernah benar-benar menyayangimu!" ucap Kaslo menarik kepala Daxton perlahan pada pelukkannya agar tak perlu melihat Posie lagi."Ayah! Jangan bawa Daxton pergi!"Kaslo sama sekali tak menggubris teriakan Posie, lelaki paruh baya itu terus berjalan meninggalkan kamar Daxton di Guiner Mansion."Aku tidak mengizinkan Ayah mertua untuk membawa Daxton! Ia putraku!" Gozard menghadang langkah Kaslo di lorong Guiner Mansion.Kaslo hanya menatap menantu lelakinya itu tanpa ekspresi."Menyingkirlah dari hadapanku atau kau akan tahu akibatnya karena melawan orang sepertiku, Gozard!""Apa yang akan Ayah mertua lakukan memangnya?""Aku akan melaporkanmu pada Dewan Perlindungan Anak, dan aku memiliki bukti atas tindakanmu terhadap Daxton," ungkap Kaslo masih menggendong Daxton yang pada akhirnya membuat Gozard terdiam, ia tentu tak mau sampai satu dunia tahu kelakuannya, ini tentu saja akan merusak citra baiknya sebagai seorang politikus dan keluarga terpandang.Gozard menyingkir membuat Kaslo melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan Guiner Mansion."Kupikir menikahkan Posie dengan Gozard adalah keputusan benar, dan bisa membuat Posie berubah menjadi lebih baik. Tapi aku salah, ia justru bertemu dirinya yang lain. Aku justru mempertemukan sesama monster gila!" Kaslo berujar pada dirinya sendiri sembari mulai memasuki mobilnya yang berwarna silver."Ayo pergi dari sini, Hezart!" perintah Kaslo pada sopirnya."Baik, Tuan!"Hari itu Daxton meninggalkan Guiner Mansion untuk kali pertama.Anak lelaki 8 tahun yang malang.Bersambung.Setibanya di kediaman sang Kakek—Kaslo Nesser, Daxton dibawa oleh lelaki paruh baya itu menuju ke taman dan dibiarkan duduk di kursi taman."Daxton, mulai sekarang kau tinggal bersamaku, kau tinggal bersama Kakekmu ini," ungkap Kaslo yang berjongkok di hadapan Daxton sembari memegang kedua bahu anak lelaki berusia 8 tahun itu.Daxton yang masih lemah hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum tipis.Anak lelaki berusia 8 tahun itu selalu berdoa agar Kaslo panjang umur, ia selalu berharap Kaslo sehat dan baik-baik saja karena hanya Kaslo yang peduli padanya, di dunia ini hanya Kaslo yang menyayanginya dengan tulus, hanya Kakeknya itu yang menerimanya dan mengkhawatirkannya."Baiklah, mari kita masuk dan kau beristirahat dulu nanti aku akan memanggilkan seorang dokter untuk memeriksamu lagi," ucap Kaslo dengan ramah yang dibalas anggukkan patuh oleh Daxton.Dengan segera Kaslo kembali menggendong cucu lelakinya itu, cucu yang selalu ia harapkan tumbuh dengan baik, tumbuh menjadi manus
Daxton menatap Darcel membuat anak lelaki itu tertawa lagi, "Hei, aku hanya bertanya kenapa kau menatapku seolah aku mencuri sesuatu darimu?" ucap Darcel membuat Daxton hanya diam."Kau tidak mau datang lagi ke panti asuhan yah?" Darcel kembali mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak dijawab oleh Daxton."Kenapa aku harus datang ke sana?"Darcel menghela napas lalu tersenyum miris. "Benar juga, rumahmu kan jauh lebih nyaman ketimbang panti asuhan yah, aku lupa."Daxton hanya diam tak berusaha untuk meminta maaf, meski ia tahu Darcel tampaknya sedikit tersinggung atas ucapannya barusan.'Siapa peduli siapa menyinggung siapa? Persetan dengan perasaannya yang tersinggung, lenyapkan saja ia, aku sudah muak melihat wajahnya!'Dalam kelebatan ingatan Daxton kembali mengingat ucapan sang Ayah yang memerintahkan salah satu body guard di rumah untuk melenyapkan seseorang yang Daxton tak tahu siapa itu, dan menyebutkan mengenai sesuatu bernama tersinggung, yang ia ketahui maknanya setelah ber
Buku-buku yang dibelikan oleh Gozard adalah buku yang ditulis oleh Nikola Millian seorang professor dan ilmuwan."Aku akan menemui Daxton lagi, kau simpan saja buku-buku itu untuk kita serahkan pada pihak panti asuhan," ucap Gozard yang segera diangguki oleh Posie.Usai mengatakan hal itu Gozard keluar dari kamar Daxton, dan berjalan menuju ruang belajar di mana putra sulungnya berada."Daxton!" Gozard kini berjongkok dan memegang kedua bahu putra sulungnya, tatapan lelaki itu begitu serius. "Dengarkan ini baik-baik, Daxton! Kau hanya boleh bermimpi dan bercita-cita menjadi seorang presiden! Aku melarangmu untuk bermimpi atau pun memiliki cita-cita menjadi seorang professor dan guru!" Daxton terdiam tatapan anak lelaki berusia 8 tahun itu mengosong, dan air mata kembali luruh membasahi wajah yang sudah sembap juga merah itu.Sayapnya untuk terbang tinggi menggapai mimpi telah dipotong oleh Ayahnya sendiri-Gozard Guiner."Lupakan seluruh buku-buku milik Nikola Millian! Berhenti untuk
Beberapa tahun silam.Seorang lelaki muda tengah duduk terdiam menatap gadis yang tengah memetik bunga di taman belakang Guiner Mansion."Gozard!" Lelaki yang tengah duduk di bangku taman itu bangkit dan membalikkan badannya."Ada apa, Kakak lelaki?" tanya si lelaki yang barusan dipanggil Gozard."Aku akan pergi sebentar jadi tolong awasi Ellesta, jangan biarkan anak itu pergi dari Guiner Mansion lagi," balas lelaki yang siang ini mengenakan setelan formal berwarna biru gelap. Ia adalah Wozard Guiner yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner dan Leticia Guiner.Gozard dengan senyum yang terpampang di wajahnya menganggukkan kepala. "Tentu, aku akan mengawasinya."Setelahnya Wozard tersenyum sembari menepuk bahu adik bungsunya itu, dan berpamitan sembari mengatakan kalau ia hendak pergi menuju Guiner Corporation bersama Wilman."Be carefull, Brother!"Wozard menganggukkan kepala sembari melambaikan tangan di tengah langkahnya menuju SUV hitam yang terparkir tak jauh dari taman.Kin
"Semuanya sudah terjadi dan apabila aku meminta maaf, akankah semuanya bisa kembali seperti semula? Dan akankah Wozard memaafkanku?" Gozard menyahuti dengan wajah tanpa ekspresi menatap sang Ayah—Wilman Guiner.Malam semakin larut dan Wilman harus mendapati ia kembali berdebat dengan Gozard. Ia sungguh tak mengerti mengapa putra bungsunya itu bahkan tak pernah mau mendengarkan apa yang ia ucapkan, Gozard selalu saja membalas ucapannya, putra bungsunya itu selalu saja melawan setiap hal yang Wilman ucapkan.Wilman kini membalikkan badannya, ia menatap ke arah jendela. "Kau pernah menyesal dilahirkan, Gozard?""Tidak, aku tidak pernah menyesal!"Wilman tersenyum tetapi matanya menunjukkan luka dalam yang tak bisa disembuhkan. Tapi aku yang menyesal, aku yang menyesal membiarkan Leticia berkorban untukmu, ia rela mati demi melahirkanmu yang kini bahkan tak memiliki hati sedikit pun. Batin Wilman sembari menahan ucapan dalam hatinya itu tak ia ucapkan pada Gozard."Minta maaflah pada Woz
Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang
Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di
Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih