Daxton menatap Darcel membuat anak lelaki itu tertawa lagi, "Hei, aku hanya bertanya kenapa kau menatapku seolah aku mencuri sesuatu darimu?" ucap Darcel membuat Daxton hanya diam.
"Kau tidak mau datang lagi ke panti asuhan yah?" Darcel kembali mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak dijawab oleh Daxton."Kenapa aku harus datang ke sana?"Darcel menghela napas lalu tersenyum miris. "Benar juga, rumahmu kan jauh lebih nyaman ketimbang panti asuhan yah, aku lupa."Daxton hanya diam tak berusaha untuk meminta maaf, meski ia tahu Darcel tampaknya sedikit tersinggung atas ucapannya barusan.'Siapa peduli siapa menyinggung siapa? Persetan dengan perasaannya yang tersinggung, lenyapkan saja ia, aku sudah muak melihat wajahnya!'Dalam kelebatan ingatan Daxton kembali mengingat ucapan sang Ayah yang memerintahkan salah satu body guard di rumah untuk melenyapkan seseorang yang Daxton tak tahu siapa itu, dan menyebutkan mengenai sesuatu bernama tersinggung, yang ia ketahui maknanya setelah bertanya pada sang Kakek—Kaslo Nesser.'Kalau kau terus peduli pada perasaan orang lain, kau tidak akan pernah hidup dengan benar! Simpan itu dalam kepalamu baik-baik, Daxton!'Ucapan sang Ayah—Gozard Guiner beberapa hari lalu juga kembali terngiang di kepala Daxton, dan tanpa pernah diketahui oleh Kaslo, cucu lelakinya itu telah terpengaruh pada setiap kata dan tindakan Gozard Guiner.Tetapi tiba-tiba saja ucapan Kaslo yang bersebrangan dengan Gozard juga turut terngiang di kepalanya, 'Kalau kau nenyinggung perasaan orang lain usahakan untuk meminta maaf, karena orang baik akan selalu melakukan hal itu, Daxton!' Benar, dan Daxton tidak mau menjadi orang yang tidak baik, ia ingin jadi orang baik maka ia harus meminta maaf pada Darcel.Anak lelaki berusia 8 tahun itu lalu mengulurkan tangan kanannya pada Darcel yang tentu saja membuat Darcel heran, tetapi berikutnya anak lelaki berusia 6 tahun itu segera menjabat tangan Daxton dengan senyuman lebar."Maaf." Sangat singkat tetapi Darcel dengan senyuman lebar menganggukkan kepala, menerima ucapan maaf dari Daxton barusan."Permintaan maaf diterima, dan nanti pulang sekolah kau mau tidak datang ke panti asuhan? Yah anggap saja aku mengundangmu, bagaimana?" sahut Darcel masih tersenyum lebar.Daxton diam, ia menatap Darcel yang seolah dengan mudah dapat tersenyum selebar itu sementara Daxton sendiri tak bisa melakukannya, ia hanya bisa tersenyum tipis, tidak pernah bisa selebar senyuman Darcel.Dulu Daxton memiliki senyum itu, tapi sejak usianya 5 tahun ia kehilangannya, ia bahkan membenci senyumannya sejak hari itu, sejak hari di mana Gozard dan Posie memintanya untuk berhenti tersenyum lebar.'Berhentilah untuk tersenyum selebar itu, Daxton!''Kami tidak suka senyumanmu, Daxton!'Daxton kecil yang malang selalu hanya bisa menuruti perkataan kedua orang tuanya, dan sejak hari itu senyum lebar nan cerah milik Daxton telah sempurna menghilang, ia tidak bisa lagi tersenyum lebar, ia hanya bisa tersenyum tipis, membuatnya semakin persis seperti Gozard yang jarang bahkan hampir tak pernah tersenyum, pun demikian dengan Posie.Anak lelaki berusia 8 tahun itu menundukkan kepala sembari menatap sepotong roti di tangan kanannya yang sejak tadi masih utuh.Darcel yang menyadari perubahan ekspresi Daxton jadi menatapnya. "Ada apa, Daxton? Kau kenapa?"Daxton hanya diam tak menyahuti, tetapi berikutnya anak lelaki itu menggelengkan kepala sembari menatap Darcel dengan wajah tanpa ekspresi."Kau tidak mau makan roti itu? Apa kau tidak lapar?" Darcel bertanya lagi membuat Daxton menatap sepotong roti di tangan kanannya."Kenapa? Kau mau rotiku ini?" Daxton justru balik bertanya sembari menatap Darcel."Kau mau memberikannya padaku memang?" tanya Darcel lagi dengan senyumannya yang lebar dan ceria itu.Daxton dengan polos menganggukkan kepalanya lalu menyerahkan sepotong roti itu pada Darcel yang diterima dengan senang hati oleh anak lelaki berusia 6 tahun itu.Meski usianya baru 6 tahun, Darcel memiliki tubuh yang bahkan lebih tinggi dan besar dari pada Daxton."Terima kasih ya, kalau kau butuh bantuanku aku siap membantumu, kalau kau tidak mau menganggapku sebagai teman tidak apa, karena bagiku kau tetap temanku, Daxton!" ucap anak lelaki itu dengan ekspresi wajah cerah nan ceria.Daxton terdiam mendengar ucapan Darcel yang ia juga tak tahu mengapa terdengar begitu tulus.Benarkah Darcel ingin berteman dengannya?Benarkah Darcel tulus berteman dengannya?Benarkah Darcel tidak memanfaatkannya seperti Gozard dan Posie yang akan bersikap baik pada Daxton apabila menginginkan Daxton melakukan sesuatu untuk mereka.Benar, perasaan ragu pada ketulusan orang terhadapnya datang karena kedua orang tuanya. Daxton selalu mengira bahwa jika ia tidak bisa melakukan sesuatu untuk orang lain, jika ia tidak berguna untuk orang lain maka ia akan diperlakukan dengan buruk.Sayangnya Kaslo belum tahu akan hal ini, jika lelaki paruh baya itu tahu ia mungkin akan mengamuk di Guiner Mansion, memarahi Gozard dan Posie sampai ia sendiri puas."Hei, Daxton! Kau dipanggil ke ruang kepala sekolah!" Nafferic yang datang Vezord mengatakan pada Daxton untuk pergi ke ruang kepala sekolah.Vezord hanya menatap Daxton tanpa pernah berniat untuk menyapa sepupu lelakinya itu, ia merasa tak sudi untuk berdekatan atau bahkan akrab dengan Daxton—sepupu lelaki yang menurutnya lemah dan tidak berguna.Darcel langsung berdiri menatap Nafferic dan Vezord secara bergantian, dari tatapannya jelas anak lelaki itu tak percaya pada Nafferic dan Vezord."Kenapa? Kau tidak percaya pada kami?"Darcel menganggukkan kepala. "Iya, kau kan suka membual."Nafferic memasang wajah jengkel. "Kau yang suka membual, bukan aku."Kini Darcel dan Nafferic kembali bertengkar, mereka berdua berdebat.Sementara itu Vezord masih menatap Daxton, membuat anak lelaki yang sadar tengah ditatap itu balas menatap."Ada apa?" tanya Daxton pada Vezord."Lemah!" Hanya itu yang dikatakan oleh Vezord sebelum anak lelaki itu menyeret Nafferic untuk ikut pergi bersamanya."Wah dasar anak manja!" teriak Darcel mengejek Nafferic yang sudah pergi diseret oleh Vezord agar tak kembali bertengkar dengan Darcel."Dasar anak miskin kau, Darcel Vinson!" Dari kejauhan Nafferic membalas dengan teriakan.Darcel sudah akan membalas lagi, tetapi ia kembali mengatupkan bibir begitu melihat Daxton melangkah pergi meninggalkannya."Kau mau pergi kemana, Daxton?""Jangan memanggilku begitu, kita bahkan tidak dekat atau pun akrab!" balas Daxton dengan nada dingin.Darcel terdiam tetapi berikutnya mengangkat bahu acuh, membiarkan Daxton melanjutkan langkahnya yang tertunda barusan.Lemah, kata-kata yang diucapkan oleh Vezord kembali terngiang di kepala Daxton, dan ini membuatnya menyadari bahwa seharusnya ia bisa membela dirinya sendiri, bukan malah membiarkan Darcel Vinson yang melakukan hal itu, yang membelanya bahkan sampai bertengkar dengan Nafferic dan dihukum oleh guru.***Di Guiner Mansion Gozard kini tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat, merasa jengkel dan marah pada putra sulungnya—Daxton Guiner yang nilai akademiknya di Evanest School terus menurun, dan baru saja kepala sekolah menghubunginya untuk segera datang ke Evanest School."Ada apa, Gozard?" tanya Posie yang baru saja datang ke ruang kerja sang suami.Gozard menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya secara perlahan, lelaki itu memijit pelipisnya pelan. "Nilai-nilai akademik milik Daxton terus menurun dan sekolah menghubungiku untuk datang ke sana," timpalnya menjelaskan pada sang istri.Posie menghela napas. "Kau atau aku yang datang ke sana?""Biar aku saja yang datang dan akan kubawa pulang anak lelaki itu ke Mansion Guiner lagi, aku tidak peduli meski nanti Ayah mertua marah padaku," balas Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.Posie menganggukkan kepala. "Baik, kalau begitu berhati-hatilah."Gozard menganggukkan kepala lalu memeluk Posie dan mencium lembut kening sang istri."Aku pergi!""Ya, segeralah pulang!"***Daxton tentu tidak pernah mengira kalau sang Ayah—Gozard Guiner akan dipanggil ke sekolah juga.Sebenarnya ada apa? Begitulah isi kepala Daxton sekarang ini."Selamat siang, Pak Gozard Guiner!" Kepala sekolah yang seorang lelaki bernama Saveran Belz menyapa Gozard."Selamat siang, Pak Saveran Belz!" balas Gozard lalu mulai duduk di sebelah Daxton setelah Saveran mempersilakan untuknya duduk.Daxton hanya diam melirik sang Ayah yang bahkan tak menengok ke arahnya sama sekali."Jadi bagaimana, Pak Belz?" Gozard memutuskan untuk bertanya lebih dahulu.Saveran menganggukkan kepala lalu menunjukkan beberapa lembar kertas berisi nilai-nilai akademik milik Daxton ke hadapan Gozard."Silakan, Pak Guiner! Ini adalah nilai-nilai akademik milik Daxton selama ini yang terus menurun, ia semakin tertinggal dengan Vezord Nesser, Nafferic Granson dan Darcel Vinson," ungkap Saveran menjelaskan secara detail membuat Gozard melirik ke arah Daxton yang mana hal itu membuat Daxton menundukkan kepalanya, anak lelaki berusia 8 tahun itu merasa takut.Kini Daxton mengerti mengapa ia sampai dipanggil ke ruang kepala sekolah, dan sang Ayah juga dipanggil untuk datang oleh sang Kepala Sekolah—Saveran Belz.Jadi karena nilai-nilai akademikku yang menurun. Batin Daxton sembari menautkan kedua tangan kecilnya di atas paha, ia yakin setelah ini Gozard pasti akan memarahinya atau bahkan memukulnya, belum lagi nanti Posie.Gozard tersenyum ramah pada Saveran sembari menganggukkan kepala. "Baik, terima kasih atas informasinya, Pak Belz! Akhir-akhir ini Daxton jarang belajar jadi sepertinya aku harus menambah jam belajarnya lagi, dan mungkin harus memanggil beberapa guru les privat untuknya."Jarang belajar? Daxton merasa dadanya sesak kala usahanya selama ini bahkan tak pernah dianggap oleh sang Ayah. Anak lelaki itu diam-diam melirik sang Ayah dan matanya memerah, air mata juga mulai menggenang di pelupuk matanya.Daxton bahkan belajar dengan rajin dan bersungguh-sungguh, tapi apa kata Ayahnya tadi? Jarang belajar? Kenapa usahanya tidak pernah dilihat oleh lelaki itu? Kenapa Ayahnya tidak pernah menghargai apa yang telah ia lakukan? Kenapa?Gozard melirik ke arah Daxton dan ia segera bangkit sembari menarik lengan putranya itu yang ia tahu sebentar lagi akan menangis."Kalau begitu saya permisi, Pak Belz! Biarkan aku membawa pulang Daxton lebih awal," ucap Gozard dengan nada ramah.Saveran hendak melarang tetapi sepertinya lebih baik membiarkan Gozard membawa pulang Daxton."Baik, silakan!"Begitu keluar dari ruangan kepala sekolah, Gozard menatap tajam putranya itu, ia menarik kedua bahu Daxton. "Kau ini seorang laki-laki, Daxton! Laki-laki tidak pernah menangis!" bentak Gozard berusaha menahan suaranya agar tak terlalu keras.Daxton justru menangis, air mata yang sejak tadi ditahan oleh anak lelaki itu mengalir dengan deras.Gozard merasa geram dan langsung menggendong Daxton, langkahnya tergesa-gesa menuju SUV hitam yang terparkir di depan Evanest School."Nozer! Cepat jalankan mobilnya! Kita pergi dari sini!" perintah Gozard begitu ia sudah masuk ke mobil bersama Daxton yang kini sudah ia dudukkan di sampingnya.Seorang body guard yang juga sopir kepercayaan Gozard itu menganggukkan kepala. "Baik, Tuan!"SUV hitam itu melaju meninggalkan kawasan Evanest School.Di depan pintu ruang kepala sekolah, Saveran Belz menghela napas, menyadari Daxton sudah pasti akan dimarahi habis-habisan oleh Gozard."Kuharap kau akan baik-baik saja, Daxton!"***Sesampainya di Mansion Guiner, Gozard langsung keluar begitu saja dari mobil dan melangkah masuk ke Mansion Guiner meninggalkan Daxton yang masih duduk di bangku penumpang."Tuan Muda Daxton," sapa Nozer Abeyr yang merupakan body guard dan sopir yang memang dekat dengan Daxton dan Darcio."Mari turun, Tuan Muda Daxton!" Nozer yang berdiri di depan pintu mobil membujuk Daxton untuk turun."Biarkan aku yang membawanya turun, Nozer!" Suara Gozard membuat Nozer perlahan menyingkir, membiarkan sang tuan untuk membawa keluar Daxton.Gozard segera menggendong Daxton, membawa putra sulungnya yang masih berusia 8 tahun itu untuk memasuki Guiner Mansion."Berhentilah menangis, Daxton! Harus berapa kali aku mengatakan kalau lelaki tidak boleh menangis! Hanya hal sesepele ini saja kau sudah menangis, bagaimana kalau kau dewasa nanti? Kau mungkin sudah hancur lebur, Daxton!" Gozard membentak Daxton yang kini makin menangis dalam gendongannya.Posie yang mendengar tangisan Daxton bergegas menghampiri. "Ada apa?"Gozard menghela napas. "Daxton harus menambah jam belajarnya! Pastikan kau menghubungi guru privat terkemuka, Posie!" ucap Gozard lalu membawa Daxton untuk ke ruang belajar di Guiner Mansion.Setelah sampai di ruang belajar, Gozard menurunkan Daxton. "Duduklah di sini, dan tunggu aku kembali."Daxton mengusap wajahnya sendiri dan menarik ingusnya mencoba untuk berhenti menangis.Gozard keluar dari ruang belajar dan berjalan menuju kamar Daxton."Apa yang akan kau lakukan, Gozard?" tanya Posie yang kini berdiri di belakang Gozard."Menghancurkan segala hal yang memang harus dihancurkan, Posie!"Gozard berjalan menuju rak buku milik putra sulungnya itu, dan mengambil beberapa buku yang ia ketahui sering dibaca Daxton."Bukankah ini buku yang kau belikan untuk Daxton?" tanya Posie menatap kumpulan buku yang kini diletakkan di meja oleh Gozard."Benar dan buku ini juga yang membuatnya bercita-cita menjadi seorang guru atau pun professor, kau tahu Posie? Ia mengidolakan Nikola Millian dan ingin menjadi seperti ilmuwan dan professor itu," timpal Gozard menjelaskan, membuat Posie terkejut lantaran tak menyadari akan hal ini."Kau tidak tahu kalau ia mengidolakan Nikola Millian bukan?"Posie menganggukkan kepala. "Aku tidak pernah menduganya sama sekali."Gozard menganggukkan kepala, "Yah, pada awalnya aku juga tidak pernah menduganya, sampai aku mendengar obrolan Daxton bersama Ayah mertua, ia bercerita ingin menjadi seseorang seperti Nikola Millian," sahut Gozard menjelaskan."Jadi akan kau apakan buku-buku itu?""Aku tidak tahu, mungkin akan kubakar saja nanti," balas Gozard sembari menatap setumpuk buku yang ia belikan untuk Daxton beberapa bulan lalu.Bersambung.Buku-buku yang dibelikan oleh Gozard adalah buku yang ditulis oleh Nikola Millian seorang professor dan ilmuwan."Aku akan menemui Daxton lagi, kau simpan saja buku-buku itu untuk kita serahkan pada pihak panti asuhan," ucap Gozard yang segera diangguki oleh Posie.Usai mengatakan hal itu Gozard keluar dari kamar Daxton, dan berjalan menuju ruang belajar di mana putra sulungnya berada."Daxton!" Gozard kini berjongkok dan memegang kedua bahu putra sulungnya, tatapan lelaki itu begitu serius. "Dengarkan ini baik-baik, Daxton! Kau hanya boleh bermimpi dan bercita-cita menjadi seorang presiden! Aku melarangmu untuk bermimpi atau pun memiliki cita-cita menjadi seorang professor dan guru!" Daxton terdiam tatapan anak lelaki berusia 8 tahun itu mengosong, dan air mata kembali luruh membasahi wajah yang sudah sembap juga merah itu.Sayapnya untuk terbang tinggi menggapai mimpi telah dipotong oleh Ayahnya sendiri-Gozard Guiner."Lupakan seluruh buku-buku milik Nikola Millian! Berhenti untuk
Beberapa tahun silam.Seorang lelaki muda tengah duduk terdiam menatap gadis yang tengah memetik bunga di taman belakang Guiner Mansion."Gozard!" Lelaki yang tengah duduk di bangku taman itu bangkit dan membalikkan badannya."Ada apa, Kakak lelaki?" tanya si lelaki yang barusan dipanggil Gozard."Aku akan pergi sebentar jadi tolong awasi Ellesta, jangan biarkan anak itu pergi dari Guiner Mansion lagi," balas lelaki yang siang ini mengenakan setelan formal berwarna biru gelap. Ia adalah Wozard Guiner yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner dan Leticia Guiner.Gozard dengan senyum yang terpampang di wajahnya menganggukkan kepala. "Tentu, aku akan mengawasinya."Setelahnya Wozard tersenyum sembari menepuk bahu adik bungsunya itu, dan berpamitan sembari mengatakan kalau ia hendak pergi menuju Guiner Corporation bersama Wilman."Be carefull, Brother!"Wozard menganggukkan kepala sembari melambaikan tangan di tengah langkahnya menuju SUV hitam yang terparkir tak jauh dari taman.Kin
"Semuanya sudah terjadi dan apabila aku meminta maaf, akankah semuanya bisa kembali seperti semula? Dan akankah Wozard memaafkanku?" Gozard menyahuti dengan wajah tanpa ekspresi menatap sang Ayah—Wilman Guiner.Malam semakin larut dan Wilman harus mendapati ia kembali berdebat dengan Gozard. Ia sungguh tak mengerti mengapa putra bungsunya itu bahkan tak pernah mau mendengarkan apa yang ia ucapkan, Gozard selalu saja membalas ucapannya, putra bungsunya itu selalu saja melawan setiap hal yang Wilman ucapkan.Wilman kini membalikkan badannya, ia menatap ke arah jendela. "Kau pernah menyesal dilahirkan, Gozard?""Tidak, aku tidak pernah menyesal!"Wilman tersenyum tetapi matanya menunjukkan luka dalam yang tak bisa disembuhkan. Tapi aku yang menyesal, aku yang menyesal membiarkan Leticia berkorban untukmu, ia rela mati demi melahirkanmu yang kini bahkan tak memiliki hati sedikit pun. Batin Wilman sembari menahan ucapan dalam hatinya itu tak ia ucapkan pada Gozard."Minta maaflah pada Woz
Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang
Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di
Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak
Sepulangnya Daxton ke Guiner Mansion, ia harus menghadapi kemarahan Gozard dan Posie padanya. Ya apa lagi memangnya selain kemarahan?Daxton yang malang itu harus terima dimarahi. Anak laki-laki itu sendiri juga tak ingin kalah, memang siapa yang ingin kalah? Tentu saja Daxton ingin menang, tapi mentalnya memang mudah terguncang apalagi di rumah ia juga tak punya pendukung, ia hanya seorang diri karena Gozard dan Posie hanya selalu memarahinya.Daxton menundukkan kepala begitu melewati ruang tamu di mana Gozard dan Posie tengah duduk bersebelahan dengan ekspresi tak bersahabat."Kau pikir aku menonton pertandingan renangmu untuk apa, Daxton?" Suara keras Gozard menghentikan langkah kaki Daxton, membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu semakin menundukkan kepala dalam diam."Kau ingin menunjukkan pada kami bahwa kau lemah? Kau kalah? Begitukah, Daxton?" Kembali Gozard mencecar putra sulungnya itu.Posie yang duduk di sebelah sang suami menghela napas. "Kau sudah berlatih selama ini buk
Pagi ini Daxton berangkat sekolah diantar oleh Wilman yang semalam menginap di Guiner Mansion, dan tidur di kamar Daxton."Biar aku yang mengantar Daxton," ucap Wilman menggandeng tangan mungil cucu lelakinya.Gozard hanya menganggukkan kepala, ia membiarkan sang Ayah untuk mengantar Daxton ke sekolah. Yah, ia tidak akan mau mencegah Ayahnya, karena tahu sang Ayah pada akhirnya akan tetap memaksa."Baiklah, hati-hati!"Wilman menganggukkan kepala lalu berjalan bersama Daxton keluar dari Guiner Mansion menuju SUV hitam milik Wilman yang terparkir di pelataran Guiner Mansion sejak malam tadi.Kini SUV hitam yang dikendarai Wilman telah melaju meninggalkan kawasan Guiner Mansion, membelah jalanan kota Evanesant yang ramai tetapi lancar.***Setibanya di kelas Daxton harus kembali menghadapi ejekkan dari teman-temannya, mereka mengejek dan meledek Daxton yang diantar ke sekolah pagi ini oleh Wilman.Memangnya apa salah Daxton? Apa terlahir kaya adalah sebuah kesalahan?"Beberapa hari lalu
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih