Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.
Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang melihat interaksi antara Daxton dan Darcio tersenyum, ia jadi membayangkan kalau memiliki seorang adik pasti akan menyenangkan, sayangnya Darcel bahkan tak pernah tahu dari mana ia berasal, ia tak tahu bagaimana rupa kedua orang tuanya. Ia hanya anak lelaki yang tak diharapkan sehingga dikirim ke panti asuhan.Menyedihkan, tapi apa boleh buat?"Heii! Kalian berdua mau mendengar sebuah dongeng tidak?" Darcel tiba-tiba saja teringat sebuah dongeng yang beberapa hari lalu diceritakan oleh Vanderz padanya, yah pemilik panti asuhan Evanest House itu memang cukup akrab dengan Darcel.Darcio dan Daxton yang memang menyukai dongeng dengan cepat menganggukkan kepala."Tentu saja mau, Kakak lelaki Darcel!" sahut Darcio tersenyum lebar."Aku mau dengar dongeng itu," balas Daxton juga tersenyum.Darcel menganggukkan kepala dengan senyum yang juga tak kalah lebar dari Daxton dan Darcio."Baiklah, kalian harus bersiap untuk mendengarnya! Pertama kalian harus menutup mata lebih dulu," ujar Darcel memberikan perintah membuat Darcio dan Daxton saling tatap tak mengerti."Kenapa kami harus menutup mata?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa anak lelaki itu tengah bingung saat ini.Darcel tersenyum pada Daxton dan Darcio. "Kata Pak Vanderz, dongeng akan jadi lebih nyata kalau kita memejamkan mata sembari mulai berimajinasi kalau kita tengah berada di dunia dongeng itu," jelasnya dengan percaya diri.Daxton dan Darcio dengan kompak menganggukkan kepala lalu mulai memejamkan mata bersama-sama."Setelahnya ayo bergandengan tangan," ucap Darcel membuat mereka yang duduk melingkar itu jadi saling menggandeng tangan satu sama lain."Apa selanjutnya?""Pegangan yang erat karena sebentar lagi kita akan terjun dari helikopter ke sebuah kota kecil nan indah!" seru Darcel ikut memejamkan mata dengan senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya.Daxton dan Darcio saling menggenggam erat.Ketika memejamkan mata, ketika tangan mungil mereka saling menggenggam. Ketika itulah Daxton menyadari bahwa selamanya Darcio akan menjadi orang yang selalu ada untuknya, dan hari ini bertambah satu orang yakni Darcel.'Aku akan selalu bersama Kakak lelaki apa pun keadaannya, seperti yang Kakek bilang bahwa saudara harus saling melindungi, menjaga dan selalu bersama.'Di situasi ini juga Daxton mengingat ucapan adik lelakinya—Darcio yang begitu tulus padanya.Hari ini, siang ini juga Daxton memiliki teman selain adik lelakinya, ia memiliki teman lain bernama Darcel Vinson yang tak pernah ia sangka akan selalu bersamanya bahkan hingga mereka dewasa.***Sore ini di Guiner Mansion para pelayan tengah disibukkan untuk menyiapkan pertemuan para orang kaya dan berpengaruh di Negara Dawnsaid ini, mereka adalah para pengusaha dan politikus yang akan datang dalam pertemuan di kediaman Gozard Guiner nanti malam.Daxton yang tengah duduk di taman depan Guiner Mansion berjingkit begitu Gozard duduk di sebelahnya. "Apa yang kau pikirkan?"Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang Ayah barusan Daxton hanya diam, lantaran sejujurnya ia memang sedang tak memikirkan apa-apa.Memangnya apa yang harus Daxton pikirkan di sore hari yang amat menyenangkan untuk beristirahat ini? Lagi pun Daxton masih anak-anak, memangnya apa isi pikiran anak-anak?"Daxton!" panggil Gozard menyadari putra sulungnya yang berusia 8 tahun itu tak menyahuti pertanyaannya barusan.Daxton menatap sang Ayah. "Tidak ada."Gozard berdecih mendengar jawaban yang amat singkat dari Daxton.Memangnya apa yang ia harapkan dari seorang anak laki-laki yang bahkan masih suka menangis? Gozard seharusnya tak terlalu berharap berlebihan bahwa Daxton akan menjawab pertanyaannya dengan satu atau bahkan dua kalimat panjang."Kau bahkan tidak pernah berbicara lebih dari dua kata, Daxton! Aku ragu kalau kau adalah anakku dan Posie," ucap Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.Daxton yang mendengar ucapan sang Ayah barusan terdiam, ia merasa terkejut mendengar ucapan Gozard yang meragukannya.Apa Ayahnya itu buta atau bagaimana? Bukankah sudah jelas Daxton bahkan memiliki wajah yang amat mirip dengan Gozard? Dari ujung kepala hingga kaki, Daxton benar-benar mirip dengan Gozard semasa kecil dulu, dan beraninya ia mengatakan hal itu?Gozard tak pernah memikirkan perasaan orang lain, ia tak peduli meski kadang tahu kalau ucapannya bisa saja menyakiti hati. Dan kali ini ia tahu kalau ia baru saja menyakiti hati kecil Daxton, yah putra sulungnya sendiri.Memangnya monster mana yang repot-repot memikirkan perasaan orang lain? Tentu saja tidak ada."Kau tahu, Daxton? Kau hadir di antara kebencian Posie padaku, Ibumu itu amat membenciku ketika ia tahu dirinya hamil, padahal kami sudah menikah kala itu! Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Ia mengatakan tidak ingin melahirkanmu, dan hendak menggugurkanmu. Tapi aku tentu tidak akan membiarkan itu, aku mengurungnya di lantai 3 pavilliun selama ia hamil dirimu dan itu membuatnya sempat depresi juga hampir bunuh diri," ucap Gozard tiba-tiba membuat Daxton yang masih kecil itu tak mengerti mengapa sang Ayah harus menceritakan hal itu padanya.Gozard berhenti sejenak lalu menghela napas. "Dan sekali lagi aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku datang dan memeluknya erat ketika ia hendak melompat dari lantai 3 pavilliun, aku memaksanya untuk tetap berada di sisiku, aku memeluknya sangat erat karena aku takut kehilangannya. Dan seiring berjalannya waktu ia pada akhirnya menerimaku, ia mulai mencintaiku, Daxton. Dan tiap menatapmu itu membuatku teringat masa lalu, teringat hal mengerikan itu."Setelah mengatakan hal itu Gozard bangkit begitu saja meninggalkan Daxton yang terdiam dengan ekspresi wajah kebingungan."Kenapa Ayah menceritakan hal itu kepadaku? Aku harus apa?" Daxton bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap sekeliling dengan tatapan kosong, ia kini sadar kalau kebencian Gozard dan Posie padanya adalah karena ketika hamil Daxton, Posie begitu membenci Gozard bahkan Posie hampir melenyapkan dirinya sendiri.Lantas apakah itu semua salah Daxton?Apakah anak kecil yang tak tahu apa-apa harus menanggung kebencian itu? Apakah Daxton yang tak mengerti cinta antara kedua orang tuanya harus bertanggung jawab? Haruskah Daxton tak dilahirkan di dunia? Tapi itu semua sudah takdir, mau bagaimana pun juga Tuhan telah mentakdirkan jalan hidup Gozard dan Posie begini, dan memiliki putra sulung yang akhirnya mereka beri nama Daxton."Jadi aku tidak pernah diharapkan ada di dunia ini ya?" Daxton kecil yang malang itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Semua manusia yang telah dilahirkan, tidak pernah tidak diharapkan ada di dunia ini, Tuan Muda Daxton!"Seharusnya memang begitu tetapi tidak bagi Daxton.Bersambung.Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di
Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak
Sepulangnya Daxton ke Guiner Mansion, ia harus menghadapi kemarahan Gozard dan Posie padanya. Ya apa lagi memangnya selain kemarahan?Daxton yang malang itu harus terima dimarahi. Anak laki-laki itu sendiri juga tak ingin kalah, memang siapa yang ingin kalah? Tentu saja Daxton ingin menang, tapi mentalnya memang mudah terguncang apalagi di rumah ia juga tak punya pendukung, ia hanya seorang diri karena Gozard dan Posie hanya selalu memarahinya.Daxton menundukkan kepala begitu melewati ruang tamu di mana Gozard dan Posie tengah duduk bersebelahan dengan ekspresi tak bersahabat."Kau pikir aku menonton pertandingan renangmu untuk apa, Daxton?" Suara keras Gozard menghentikan langkah kaki Daxton, membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu semakin menundukkan kepala dalam diam."Kau ingin menunjukkan pada kami bahwa kau lemah? Kau kalah? Begitukah, Daxton?" Kembali Gozard mencecar putra sulungnya itu.Posie yang duduk di sebelah sang suami menghela napas. "Kau sudah berlatih selama ini buk
Pagi ini Daxton berangkat sekolah diantar oleh Wilman yang semalam menginap di Guiner Mansion, dan tidur di kamar Daxton."Biar aku yang mengantar Daxton," ucap Wilman menggandeng tangan mungil cucu lelakinya.Gozard hanya menganggukkan kepala, ia membiarkan sang Ayah untuk mengantar Daxton ke sekolah. Yah, ia tidak akan mau mencegah Ayahnya, karena tahu sang Ayah pada akhirnya akan tetap memaksa."Baiklah, hati-hati!"Wilman menganggukkan kepala lalu berjalan bersama Daxton keluar dari Guiner Mansion menuju SUV hitam milik Wilman yang terparkir di pelataran Guiner Mansion sejak malam tadi.Kini SUV hitam yang dikendarai Wilman telah melaju meninggalkan kawasan Guiner Mansion, membelah jalanan kota Evanesant yang ramai tetapi lancar.***Setibanya di kelas Daxton harus kembali menghadapi ejekkan dari teman-temannya, mereka mengejek dan meledek Daxton yang diantar ke sekolah pagi ini oleh Wilman.Memangnya apa salah Daxton? Apa terlahir kaya adalah sebuah kesalahan?"Beberapa hari lalu
Setelah permainan bola itu usai Darcel mengantar Daxton ke ruang perawatan kesehatan sekolah untuk mengobati lutut anak lelaki itu."Bagaimana, Daxton? Apa lututmu masih sakit?" tanya Darcel menatap Daxton yang lututnya baru selesai diobati oleh Dokter pihak Evanest School.Daxton tersenyum. "Aku sudah tidak apa-apa, ini sama sekali tidak sakit."Darcel membalas senyum itu lalu menganggukkan kepala, "Kau tadi bermain bola dengan sangat keren, Daxton," ucap Darcel memuji Daxton sembari mengacungkan jempolnya."Terima kasih, tapi kau lebih keren karena bisa menendang ke gawang tim merah," balas Daxton membuat Darcel terkekeh."Ya, ya terima kasih tapi itu juga berkat operan darimu, Daxton."Kini suasana mendadak hening, Daxton yang tenggelam dalam pikirannya dan Darcel yang juga sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengingat ucapan dari Eisen saat tadi Darcel hendak menghampiri Daxton yang jatuh dan lututnya terluka.Kadang Darcel terheran-heran atas setiap kata yang diucapkan
"Selamat siang, Tuan!" sapa seorang body guard berambut cokelat gelap dengan alis tebal dan luka goresan di alis kanannya. Ia adalah body guard kepercayaan Gozard selain Nozer, namanya Notarzd Rinz.Gozard yang tengah menulis sesuatu di meja kerjanya menganggukkan kepala, dan melalui tatapan mata mempersilakan Notarzd untuk menjelaskan alasan kedatangannya menemui Gozard."Tuan Kaslo Nesser mengirim surat untuk anda," ucap Notarzd lalu dengan sopan menyerahkan selembar surat di tangannya pada Gozard.Tampak Gozard menghela napas lalu menganggukkan kepala usai menerima surat barusan."Kalau begitu saya undur diri, Tuan!" ucap Notarzd berpamitan dengan sopan pada Gozard."Yah, silakan!" balas Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.Sepeninggal Notarzd, lelaki yang merupakan Ayah dari Daxton dan Darcio itu hanya diam memandangi selembar surat di meja kerjanya.Ada apa sebenarnya? Kenapa Ayah mertua mengirim surat? Tidak biasanya ia begini. Batin Gozard bertanya-tanya dan tangannya mulai meng
Siang ini di halaman belakang House Of Nesser, telah berkumpul para cucu Kaslo Nesser. "Vivianne, kalau nanti kau satu sekolah dengan Darcio, kau harus akur dengannya ya," ucap seorang remaja perempuan berusia 17 tahun, rambutnya cokelat gelap dikepang satu dengan pita yang mengikat di ujung kepangan, wajahnya putih bersih dengan alis tebal, bulu mata lentik, dan bibir tipis. Ia adalah Rose Nesser saudara kembar dari Ronaz Nesser."Aku selalu akur dengan Darcio, Kakak perempuan," balas Vivianne yang rambutnya tengah dikepang oleh Rose. Yah, anak perempuan berusia 4 tahun dengan wajah putih bersih alis tipis, mata bulat dan bibir agak tebal itu adalah Vivianne Nesser putri bungsu dari Evans Nesser dan Nancy Nesser.Rose tersenyum, "Bagus kalau begitu, kalian harus saling menjaga satu sama lain, kau setuju?" Vivianne dengan senyum lebar dan mata berbinar menganggukkan kepala, anak perempuan itu sedikit menolehkan kepalanya pada Rose yang memang be
Siang ini sepulang sekolah Daxton telah berjanji pada Darcel bahwa ia akan datang ke panti asuhan Evanest House bersama Darcio.Tapi siapa sangka siang ini di rumahnya ada Vivianne yang datang dengan senyum lebar bersama Dyvette Abeyr yang merupakan body guard perempuan sekaligus pengasuh Vivianne.Gozard dan Posie selalu senang tiap kali Vivianne datang kemari, mereka memang hanya membenci Evans saja. Selain itu hubungan mereka dengan Nancy, Vivianne atau pun Vezord baik-baik saja."Hai, Vivianne, kau mau bertemu dengan Darcio?" Gozard bertanya dengan senyum yang tampak di wajah tegasnya.Posie yang tengah mengepang rambut Vivianne tersenyum."Aku mau bertemu Darcio dan Kakak lelaki Daxton," ucap Vivianne membalas senyum Gozard.Lelaki itu menganggukkan kepala lalu berpamitan pada Posie dan Vivianne, ia hendak pergi ke tambang batu bara, memastikan semua berjalan lancar di sana.Di ruang baca itu tersisa Posie dan Vivia
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih