"Semuanya sudah terjadi dan apabila aku meminta maaf, akankah semuanya bisa kembali seperti semula? Dan akankah Wozard memaafkanku?" Gozard menyahuti dengan wajah tanpa ekspresi menatap sang Ayah—Wilman Guiner.
Malam semakin larut dan Wilman harus mendapati ia kembali berdebat dengan Gozard. Ia sungguh tak mengerti mengapa putra bungsunya itu bahkan tak pernah mau mendengarkan apa yang ia ucapkan, Gozard selalu saja membalas ucapannya, putra bungsunya itu selalu saja melawan setiap hal yang Wilman ucapkan.Wilman kini membalikkan badannya, ia menatap ke arah jendela. "Kau pernah menyesal dilahirkan, Gozard?""Tidak, aku tidak pernah menyesal!"Wilman tersenyum tetapi matanya menunjukkan luka dalam yang tak bisa disembuhkan.Tapi aku yang menyesal, aku yang menyesal membiarkan Leticia berkorban untukmu, ia rela mati demi melahirkanmu yang kini bahkan tak memiliki hati sedikit pun. Batin Wilman sembari menahan ucapan dalam hatinya itu tak ia ucapkan pada Gozard."Minta maaflah pada Wozard, bagaimana pun ia tetap Kakak lelakimu, dan di sini sudah jelas kau yang bersalah.""Sudah kukatakan aku tidak akan mau meminta maaf padanya. Cintaku pada Ellesta tidak pernah salah!"Wilman membalikkan badan lalu tanpa mengatakan apa-apa lelaki paruh baya itu meninggalkan kamar tamu, meninggalkan Gozard yang hanya diam memandangi punggung Ayahnya itu.Gozard menghela napas lalu menyeringai. "Meminta maaf? Tcih ... seharusnya Wozard lah yang meminta maaf padaku dan Ellesta!"Malam itu akhirnya Wilman memutuskan untuk pulang ke rumahnya—House Of Nesser. Lelaki paruh baya itu sudah tak ingin berdebat lagi dengan putra bungsunya karena itu membuat dadanya semakin sesak, membuatnya merasa telah menyesal membesarkan Gozard.***Pagi harinya seorang lelaki paruh baya mengenakan setelan formal berwarna hitam keluar dari SUV hitamnya usai berhenti di pelataran Guiner Mansion."Selamat pagi, Tuan Kaslo Nesser!" Nozer yang pagi ini akan mengantar Daxton ke sekolah menyapa seseorang barusan yang rupanya adalah Kaslo."Selamat pagi, Nozer!" balas Kaslo lalu berjalan dengan cepat memasuki Guiner Mansion.Ketika tiba di ruang makan Kaslo menatap tajam ke arah Gozard dan Posie yang tengah sarapan bersama Daxton juga Darcio."Begini caramu memperlakukan orang tua, Gozard? Posie?" Dengan nada terdengar begitu jengkel dan muak Kaslo menghentikan keheningan yang sebelumnya terjadi di ruang makan Guiner Mansion.Gozard dan Posie kompak menghela napas, merasa lelah harus menghadapi Kaslo lagi."Apa Ayah tidak bisa tenang dulu?" Posie mencoba menenangkan sang Ayah dengan nada terdengar sebal.Kaslo berdecih, lelaki paruh baya itu semakin muak pada putri dan menantu lelakinya itu."Tenang? Tenang kau bilang? Aku harus tenang saat kau datang ke sekolah dan menyeret Daxton pulang, begitukah? Aku harus tenang saat Wilman menghubungiku dan mengatakan kalau kau mengurung Daxton di dalam gudang, begitukah keinginanmu?" cecar Kaslo dengan raut wajah yang menunjukkan jelas bahwa lelaki paruh baya itu memang tengah marah.Gozard bangkit dari duduknya dan menghadap ayah mertuanya itu. "Ya, benar, aku memang menyeret Daxton pulang dari Evanest School, dan aku juga mengurungnya di gudang. Tapi aku memiliki alasan atas mengapa aku melakukan hal itu!""Apa alasannya, Gozard? Apa?""Nilai-nilai akademik Daxton telah menurun, bahkan ia tertinggal jauh dengan Vezord, Nafferic dan Darcel! Dan itu artinya anak ini tidak belajar dengan sungguh-sungguh," timpal Gozard menjelaskan dengan berapi-api, menunjukkan bahwa ia juga marah saat ini.Kaslo menghela napas mencoba meredakan amarahanya. "Apa pun alasannya kau tidak seharusnya mengurung Daxton di dalam gudang, kau sendiri tahu betapa ia takut pada kegelapan!""Itu hukuman untuknya, Ayah!"Kaslo kini berjalan mendekati Daxton, lelaki paruh baya itu mengabaikan Gozard dan Posie."Hari ini Daxton akan kuantar!" ucap Kaslo membuat Posie hendak mencegah, tetapi Gozard telah lebih dulu menatapnya sembari menggelengkan kepala, dan melalui tatapan mata seolah mengatakan untuk membiarkan Daxton diantar oleh Kaslo.Pagi itu Daxton diantar ke sekolah oleh Kaslo, dan Darcio yang meminta untuk ikut mengantar.***Di Evanest School, seolah sudah menjadi kegiatan sehari-hari bagi Daxton untuk mendapatkan tindakan kurang mengenakan yakni dirundung dan dikata-katai.Daxton hanya duduk diam di bangkunya, sebelum sebuah suara menyapanya membuat ia hanya diam meski diejek oleh si pemilik suara."Kemarin kau menangis ya, Daxton? Selain pecundang ternyata kau juga seorang anak lelaki yang cengeng," ejek seorang anak lelaki berambut hitam legam, ia adalah Nafferic."Dasar cengeng!""Daxton cengeng! Daxton cengeng!""Daxton anak lelaki yang cengeng!"Nafferic seolah belum puas lantaran tak mendapati reaksi apa pun dari Daxton mendekati bangku Daxton. "Tidak ada yang membelamu ya pagi ini?" cibir Nafferic dengan ekspresi wajah menyebalkan.Daxton hanya diam, ia memang selalu diam meski dikata-katai atau bahkan diejek oleh teman-temannya, anak lelaki berusia 8 tahun itu tidak pernah ingin membalas apa yang diucapkan oleh teman-temannya, dan tidak ada yang tahu apa alasannya.Nafferic tersenyum menyeringai lalu menatap ke arah di mana Vezord tengah duduk sembari membaca buku. "Hei, Vezord! Kau tidak ingin membela sepupu laki-lakimu ini huh?" tanya Nafferic dengan nada meledek.Vezord hanya melirik sekilas tanpa minat lalu menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih!"Tahu apa yang menyanyitkan? Benar, ketika seseorang yang kau kenal sebagai bagian dari keluargamu, sebagai orang yang seharusnya dekat denganmu malah bertingkah demikian, bertingkah seolah tak pernah mengenalmu dan tak peduli padamu. Inilah yang terjadi pada Daxton.Nafferic dan anak-anak yang lain tertawa mengejek ke arah Daxton."Lihat? Saking pecundang dan tak bergunanya dirimu, sepupu laki-lakimu sendiri, keluargamu sendiri pun menolak membelamu, Daxton," ejek Nafferic yang membuat Daxton mengepalkan kedua tangan kecilnya tanpa sadarmAku tidak butuh dibela oleh siapa pun, aku akan membela diriku sendiri meski hari ini aku tidak melakukannya, aku akan melakukannya di masa depan nanti, akan kupastikan siapa pun yang mencoba menyakitiku berakhir hancur tak ada sisa. Batin Daxton penuh amarah.Nafferic menyeringai lalu dengan tidak sopan ia mengambil buku tulis milik Daxton, dan melemparnya begitu saja ke lantai, setelahnya tanpa rasa bersalah anak lelaki itu pergi sembari tertawa jahat.Daxton lagi-lagi hanya diam, menahan sekuat tenaga untuk tak menangis. Ia tahu, ia sadar kalah ia lemah, kalau ia memang cengeng maka dari itu kala diejek dan disebut cengeng sejak tadi Daxton hanya diam, lantaran ia merasa ucapan teman-temannya itu benar.Rupanya di depan kelas Nafferic dihadang oleh Darcel yang sudah melihat kalau anak lelaki itu merundung Daxton lagi."Menyingkirlah dari hadapanku, Vinson!" tegas Nafferic dengan pandangan yang menunjukkan betapa ia tidak menyukai Darcel."Aku tidak mau, Nafferic Granson! Kau saja sana yang menyingkir!" balas Darcel tak mau kalah.Nafferic menyeringai. "Kau tahu siapa aku?"Darcel tertawa mengejek. "Tentu saja aku tahu, kau kan Nafferic Granson si anak lelaki manja! Dasar Nafferic Granson manja, dasar anak lelaki manja!"Nafferic kesal mendengar Darcel dengan berani menyebutnya sebagai anak lelaki yang manja."Awas saja kau, Vinson!" ucap Nafferic kesal lalu berjalan melewati Darcel dengan sengaja menyenggol bahu kanan Darcel."Dasar anak lelaki manja!"Setelahnya Darcel masuk ke kelas dan ia duduk di bangkunya yang mana berada di depan bangku Daxton."Halo, Daxton!" sapa Darcel yang diabaikan oleh Daxton."Daxton! Kudengar kau akan datang ke panti asuhan ya nanti?" Darcel kini bertanya dengan ekspresi wajah ceria.Daxton masih diam saja, ia hanya mengamati ekspresi wajah Darcel, dan membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu mendadak merindukan dirinya sendiri, Daxton rindu tersenyum lebar, ia rindu bersikap ceria selayaknya anak-anak pada umumnya.Kalau ia tinggal di panti asuhan seperti Darcel, apa ia juga akan selalu ceria sepanjang hari seperti anak lelaki di hadapannya ini?"Hei, Daxton! Kau melamun lagi, ada apa memangnya?" Darcel kembali bertanya membuat Daxton mengerjap dari lamunannya.Daxton hanya diam membuat Darcel menatapnya bingung. "Dulu saat bertemu kali pertama di Evanest House kurasa kau tidak begini, kau dulu banyak tersenyum, bahkan senyummu sangat lebar, kenapa sekarang tidak lagi?"Mendengar ungkapan Darcel barusan Daxton menundukkan kepala. Ia juga ingin seperti dulu, ia ingin tersenyum lebar, ia ingin menjadi Daxton yang dulu begitu ceria. Tapi Ayah dan Ibunya membenci senyum lebar milik Daxton, mereka berdua tidak suka wajah ceria Daxton, dan sampai saat ini Daxton tak pernah mengerti apa alasan Gozard juga Posie membenci senyumannya."Selamat pagi anak-anak, pagi ini kelas sejarah akan dimulai jadi siapkan buku tulis kalian!"Daxton segera mengambil buku tulisnya yang tadi dilemparkan ke lantai oleh Nafferic, lantaran guru sudah tiba di kelas untuk mengajar pagi ini.***Istirahat di Evanest School telah tiba, dan seperti biasa Daxton selalu datang seorang diri ke kantin, tidak ada yang mau berteman dengannya dan Daxton sudah terbiasa akan hal itu sejak kedua orang tuanya memasuki dunia politik, dan bersaing dengan orang tua Nafferic.Sementara itu Darcel seperti hari-hari biasa, ia duduk di taman belakang Evanest School sembari melempari batu berulang kali ke arah danau buatan di sana."Kapan yah aku bisa makan enak tanpa harus berbagi? Aku kan juga ingin makan di kantin sama seperti anak-anak yang lain," ucap Darcel pada dirinya sendiri sembari kembali melempar kerikil ke danau yang airnya tak terlalu jernih di hadapannya.Darcel asik bersenandung sampai seseorang ikut duduk di sebelahnya, dan mengulurkan sebuah kantong kertas berwarna cokelat ke hadapannya."Eh? Wah Daxton? Kau memberiku makan siang lagi ya?" Darcel menolehkan kepala dan tersenyum lebar melihat kalau Daxton yang mengulurkan kantong kertas berwarna cokelat barusan."Terima kasih ya, Daxton!" ucap Darcel berterima kasih sembari mengambil kantong kertas berisikan roti dan sebotol susu itu.Daxton menganggukkan kepala dan tak pernah diduga oleh Darcel kalau anak lelaki itu akan tersenyum padanya, senyumannya benar-benar lebar dan tulus."Wah! Kau sudah bisa tersenyum lagi? Sangat hebat, Daxton!" seru Darcel yang diangguki oleh Daxton.Akhirnya dua anak lelaki itu menjadi akrab, dan mengobrol banyak hal dalam sekejap.Tadi sebelum ke kantin sebetulnya Daxton telah berpikir, bahwa ia mungkin saja bisa berteman dengan Darcel, ia tidak tahu Darcel tulus berteman dengannya atau tidak, tapi Daxton tidak peduli itu ia hanya ingin punya teman saja bahkan meski itu hanya satu orang.Selama ini Daxton hanya punya satu orang teman yakni adik laki-lakinya—Darcio Guiner.Tapi hari ini ia punya teman yang lain, ia punya teman bernama Darcel Vinson yang berasal dari panti asuhan bernama Evanest House.***Siang ini setelah pulang sekolah, Daxton diajak oleh Gozard dan Posie untuk datang ke panti asuhan Evanest House lantaran dua orang itu hendak menyumbang, mengingat Gozard dan Posie memanglah donatur di sana bahkan donatur terbesar.Di dalam SUV hitam yang dikendarai oleh Gozard hanya ada suara deru mesin mobil, tak ada yang berbicara satu pun saat ini."Kakak lelaki, apa kau punya seorang teman di panti asuhan? Kata Nozer kau kenal seseorang di sini." Darcio bertanya sembari berbisik-bisik pada sang Kakak lelaki—Daxton Guiner.Daxton menganggukkan kepala mengiyakan atas pertanyaan dari adik lelakinya itu."Wah! Benarkah?""Iya, benar! Tapi jangan bilang pada Ayah atau pun Ibu," sahut Daxton berbisik pada Darcio yang diangguki dengan mantap oleh anak lelaki berusia 4 tahun itu.Tak terasa akhirnya mereka tiba di pelataran panti asuhan bernama Evanest House. Gozard turun lebih dulu lalu membukakkan pintu untuk Posie, dan setelahnya lelaki itu menggendong kedua putranya untuk segera turun dari mobil.Tentu saja di depan publik Daxton harus menunjukkan citra dirinya yang baik, citra dirinya sebagai seorang Ayah yang penyayang."Ayo kita masuk!" ajak Gozard tersenyum hangat membuat Daxton dan Darcio menatapnya.Daxton dan Darcio menyadari bahwa senyum milik Gozard sangatlah indah, dan seharusnya Ayah mereka itu menunjukkan senyum itu juga pada mereka bukan? Sayangnya Gozard hanya mau tersenyum di publik, jika tidak ia mana mau repot-repot tersenyum. Ia hanya mau tersenyum ketika di publik dan ketika bersama Posie.Posie menggandeng tangan Darcio sementara Gozard menggandeng tangan Daxton, keluarga kecil itu berjalan memasuki panti asuhan Evanest House yang pemiliknya bernama Vanderz Granson."Selamat datang, Pak Gozard Guiner, Bu Posie Guiner dan yah ... selamat datang untukmu Daxton Guiner dan Darcio Guiner," sapa seorang lelaki paruh baya dengan rambut berwarna cokelat agak terang, ia adalah Vanderz Granson sang pemilik panti asuhan yang juga seorang Dokter di Granson Hospital."Terima kasih, Pak Vanderz Granson!""Terima kasih atas sambutannya, Pak Granson!"Daxton dan Darcio juga turut mengucapkan terima kasih.Setelahnya Gozard dan Posie diajak memasuki ruang kerja milik Vanderz. Sementara Daxton dan Darcio diminta untuk berjalan-jalan di sekitar panti asuhan dengan bangunan tinggi menjulang itu."Hei, Daxton!" Seorang anak lelaki dengan rambut berwarna cokelat gelap menyapa penuh riang, ia adalah Darcel.Daxton tersenyum lebar. "Hai, Darcel!"Darcio yang digandeng oleh Daxton menatap penasaran ke arah Darcel."Hai, siapa namamu? Kau adik lelakinya Daxton ya?" Darcel bertanya sembari mengulurkan tangan kanannya mengajak berkenalan pada Darcio."Iya, benar, aku adalah adik laki-lakinya, namaku Darcio," balas Darcio dengan ramah menjabat tangan Darcel.Setelah berkenalan mereka berdua diajak oleh Darcel menuju taman belakang Evanest House, kata anak lelaki itu pohon apel di taman belakang sedang berbuah dan buahnya sangat manis."Lihat? Buahnya sangat banyak bukan?"Darcio dan Daxton menganggukkan kepala kompak, mereka berdua lalu mengikuti langkah kaki Darcel yang mendekati pohon apel merah itu."Bagaimana kalau kita memanjat pohon apel ini?" Darcio memberikan ide yang siapa sangka langsung disetujui oleh Daxton."Darcio, kau tunggu di bawah saja, biar aku dan Daxton yang memanjat dan memetik apelnya oke?""Tentu saja!"Bersambung.Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang
Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di
Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak
Sepulangnya Daxton ke Guiner Mansion, ia harus menghadapi kemarahan Gozard dan Posie padanya. Ya apa lagi memangnya selain kemarahan?Daxton yang malang itu harus terima dimarahi. Anak laki-laki itu sendiri juga tak ingin kalah, memang siapa yang ingin kalah? Tentu saja Daxton ingin menang, tapi mentalnya memang mudah terguncang apalagi di rumah ia juga tak punya pendukung, ia hanya seorang diri karena Gozard dan Posie hanya selalu memarahinya.Daxton menundukkan kepala begitu melewati ruang tamu di mana Gozard dan Posie tengah duduk bersebelahan dengan ekspresi tak bersahabat."Kau pikir aku menonton pertandingan renangmu untuk apa, Daxton?" Suara keras Gozard menghentikan langkah kaki Daxton, membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu semakin menundukkan kepala dalam diam."Kau ingin menunjukkan pada kami bahwa kau lemah? Kau kalah? Begitukah, Daxton?" Kembali Gozard mencecar putra sulungnya itu.Posie yang duduk di sebelah sang suami menghela napas. "Kau sudah berlatih selama ini buk
Pagi ini Daxton berangkat sekolah diantar oleh Wilman yang semalam menginap di Guiner Mansion, dan tidur di kamar Daxton."Biar aku yang mengantar Daxton," ucap Wilman menggandeng tangan mungil cucu lelakinya.Gozard hanya menganggukkan kepala, ia membiarkan sang Ayah untuk mengantar Daxton ke sekolah. Yah, ia tidak akan mau mencegah Ayahnya, karena tahu sang Ayah pada akhirnya akan tetap memaksa."Baiklah, hati-hati!"Wilman menganggukkan kepala lalu berjalan bersama Daxton keluar dari Guiner Mansion menuju SUV hitam milik Wilman yang terparkir di pelataran Guiner Mansion sejak malam tadi.Kini SUV hitam yang dikendarai Wilman telah melaju meninggalkan kawasan Guiner Mansion, membelah jalanan kota Evanesant yang ramai tetapi lancar.***Setibanya di kelas Daxton harus kembali menghadapi ejekkan dari teman-temannya, mereka mengejek dan meledek Daxton yang diantar ke sekolah pagi ini oleh Wilman.Memangnya apa salah Daxton? Apa terlahir kaya adalah sebuah kesalahan?"Beberapa hari lalu
Setelah permainan bola itu usai Darcel mengantar Daxton ke ruang perawatan kesehatan sekolah untuk mengobati lutut anak lelaki itu."Bagaimana, Daxton? Apa lututmu masih sakit?" tanya Darcel menatap Daxton yang lututnya baru selesai diobati oleh Dokter pihak Evanest School.Daxton tersenyum. "Aku sudah tidak apa-apa, ini sama sekali tidak sakit."Darcel membalas senyum itu lalu menganggukkan kepala, "Kau tadi bermain bola dengan sangat keren, Daxton," ucap Darcel memuji Daxton sembari mengacungkan jempolnya."Terima kasih, tapi kau lebih keren karena bisa menendang ke gawang tim merah," balas Daxton membuat Darcel terkekeh."Ya, ya terima kasih tapi itu juga berkat operan darimu, Daxton."Kini suasana mendadak hening, Daxton yang tenggelam dalam pikirannya dan Darcel yang juga sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengingat ucapan dari Eisen saat tadi Darcel hendak menghampiri Daxton yang jatuh dan lututnya terluka.Kadang Darcel terheran-heran atas setiap kata yang diucapkan
"Selamat siang, Tuan!" sapa seorang body guard berambut cokelat gelap dengan alis tebal dan luka goresan di alis kanannya. Ia adalah body guard kepercayaan Gozard selain Nozer, namanya Notarzd Rinz.Gozard yang tengah menulis sesuatu di meja kerjanya menganggukkan kepala, dan melalui tatapan mata mempersilakan Notarzd untuk menjelaskan alasan kedatangannya menemui Gozard."Tuan Kaslo Nesser mengirim surat untuk anda," ucap Notarzd lalu dengan sopan menyerahkan selembar surat di tangannya pada Gozard.Tampak Gozard menghela napas lalu menganggukkan kepala usai menerima surat barusan."Kalau begitu saya undur diri, Tuan!" ucap Notarzd berpamitan dengan sopan pada Gozard."Yah, silakan!" balas Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.Sepeninggal Notarzd, lelaki yang merupakan Ayah dari Daxton dan Darcio itu hanya diam memandangi selembar surat di meja kerjanya.Ada apa sebenarnya? Kenapa Ayah mertua mengirim surat? Tidak biasanya ia begini. Batin Gozard bertanya-tanya dan tangannya mulai meng
Siang ini di halaman belakang House Of Nesser, telah berkumpul para cucu Kaslo Nesser. "Vivianne, kalau nanti kau satu sekolah dengan Darcio, kau harus akur dengannya ya," ucap seorang remaja perempuan berusia 17 tahun, rambutnya cokelat gelap dikepang satu dengan pita yang mengikat di ujung kepangan, wajahnya putih bersih dengan alis tebal, bulu mata lentik, dan bibir tipis. Ia adalah Rose Nesser saudara kembar dari Ronaz Nesser."Aku selalu akur dengan Darcio, Kakak perempuan," balas Vivianne yang rambutnya tengah dikepang oleh Rose. Yah, anak perempuan berusia 4 tahun dengan wajah putih bersih alis tipis, mata bulat dan bibir agak tebal itu adalah Vivianne Nesser putri bungsu dari Evans Nesser dan Nancy Nesser.Rose tersenyum, "Bagus kalau begitu, kalian harus saling menjaga satu sama lain, kau setuju?" Vivianne dengan senyum lebar dan mata berbinar menganggukkan kepala, anak perempuan itu sedikit menolehkan kepalanya pada Rose yang memang be
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih