Beberapa tahun silam.
Seorang lelaki muda tengah duduk terdiam menatap gadis yang tengah memetik bunga di taman belakang Guiner Mansion."Gozard!" Lelaki yang tengah duduk di bangku taman itu bangkit dan membalikkan badannya."Ada apa, Kakak lelaki?" tanya si lelaki yang barusan dipanggil Gozard."Aku akan pergi sebentar jadi tolong awasi Ellesta, jangan biarkan anak itu pergi dari Guiner Mansion lagi," balas lelaki yang siang ini mengenakan setelan formal berwarna biru gelap. Ia adalah Wozard Guiner yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner dan Leticia Guiner.Gozard dengan senyum yang terpampang di wajahnya menganggukkan kepala. "Tentu, aku akan mengawasinya."Setelahnya Wozard tersenyum sembari menepuk bahu adik bungsunya itu, dan berpamitan sembari mengatakan kalau ia hendak pergi menuju Guiner Corporation bersama Wilman."Be carefull, Brother!"Wozard menganggukkan kepala sembari melambaikan tangan di tengah langkahnya menuju SUV hitam yang terparkir tak jauh dari taman.Kini Gozard kembali duduk di bangku taman, matanya yang tajam dan berwarna cokelat gelap itu memandangi gadis yang mengenakan gaun setinggi lutut berwarna kuning gading."Kau tidak menyukai adik perempuanku bukan, Paman Gozard?"Seketika Gozard berjingkit begitu mendengar suara yang amat ia kenali, yah suara milik putri sulung Wozard—Eve Guiner yang kini duduk di sebelahnya."Ehm ... tidak, salah, harusnya begini pertanyaannya ... kau menyukai Ellesta bukan?"Kini pertanyaannya berubah, dan itu membuat Gozard menjadi gusar juga gelisah.Bagaimana ini? Bagaimana Eve bisa tahu mengenai perasaan Gozard terhadap Ellesta?"Paman? Kau menyukainya dan aku tahu itu, tiap kali kau menatap adik perempuanku itu ada arti lain dari tatapan itu, kau menyukainya bahkan mencintainya sebagai seorang lelaki bukan sebagai pamannya."Gozard semakin diam lantaran apa yang disebutkan oleh Eve semuanya adalah benar, ia menyukai Ellesta, Gozard mencintai keponakan perempuannya sendiri, ia bahkan ingin memiliki Ellesta.Eve. Ia adalah Kakak perempuan dari Ellesta, dan Gozard tak tahu Eve akan melakukan apa jika sampai mengetahui kalau Gozard bahkan sudah mengungkapkan perasaannya pada Ellesta, pada gadis berusia 19 tahun itu.Gozard kini menatap Eve, menunggu gadis berusia 20 tahun itu untuk berbicara lagi, gadis yang juga seumuran dengannya.Eve tampak menghela napas. "Seharusnya tidak begini, Paman. Kau tahu? Ini sangat aneh, tidak masuk akal. Dari sekian banyak perempuan di luar sana mengapa harus Ellesta? Ia keponakanmu juga bukan? Ia sama sepertiku, kenapa kau malah mencintainya, Paman? Kenapa?""Cinta datang dengan sendirinya dan aku tak bisa mengendalikannya," sahut Gozard menatap Eve dengan ekspresi wajah serius.Eve membalas tatapan itu dengan wajah tanpa ekspresi."Kau bisa, kau bisa jika kau mau tapi sepertinya kau memang tak mau. Kau justru membiarkan perasaanmu seiring waktu bertambah besar dan dalam pada Ellesta. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Ayah dan Kakek, mungkin mereka akan membunuhmu jika sampai tahu kau bukan hanya mencintai Ellesta, tetapi kau juga berniat untuk menikah dengannya," ungkap Eve menjelaskan bahwa selama ini gadis itu memang tahu hubungan antara Gozard dan Ellesta.Gozard menghela napas sembari mengacak rambutnya, membuat rambut berwarna cokelat gelap itu jadi acak-acakkan. "Kau mengetahuinya?"Eve menganggukkan kepala dengan wajahnya yang masih sama—tanpa ekspresi. "Aku tahu, bahkan sejak lama, Paman! Dan kukira kau akan berhenti setelah tahu Ellesta didekati oleh beberapa lelaki di Vinson University, tetapi sepertinya perasaanmu sudah jatuh terlalu dalam, sampai pada akhirnya kau tak rela Ellesta dengan lelaki lain, kau hanya menginginkan Ellesta bersamamu, memilihmu, dan berada di sampingmu selamanya.""Cinta tidak pernah salah bukan, Eve?""Tidak, cinta tidak pernah salah, yang salah adalah manusia, mereka tak bisa menjaga kesucian cinta.""Termasuk diriku?"Eve menganggukkan kepala, "Yah, dirimu dan Ellesta!"Gozard kini terdiam, menyadari cintanya dengan Ellesta tidak akan mudah. Jika Eve saja sudah menentang meski secara halus, maka Gozard yakin sang Ayah dan Kakak lelakinya sudah pasti akan menentang juga bahkan akan lebih mengerikan mereka mungkin akan memisahkan Gozard dengan Ellesta."Jauhi Ellesta, Paman!" pinta Eve menatap serius ke arah lelaki muda yang merupakan adik lelaki bungsu sang Ayah."Kenapa?"Eve menatap Gozard tak percaya. "Cintamu dan Ellesta sudah pasti akan ditentang oleh Kakek dan Ayahku, Paman."Gozard tiba-tiba saja menyeringai. "Maka aku akan membawa Ellesta pergi bersamaku meninggalkan tempat ini, meninggalkan Guiner Mansion lalu kami berdua akan menikah dan bahagia bersama selamanya, Eve! Kami akan ...."Belum sempat Gozard menyelesaikan ucapannya mengenai mimpinya bersama Ellesta, gadis bernama Eve itu telah lebih dulu menampar wajahnya dengan keras."Sadarlah, Paman! Ia adalah keponakan perempuanmu, Ellesta adalah putri dari Kakak lelakimu sendiri!" bentak Eve menatap tajam Gozard, gadis berambut sepanjang punggung yang dikepang satu dengan ikatan pita di ujung itu mengepalkan tangannya kuat-kuat, amarah telah menguasainya."Kakak perempuan! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menampar Paman?" teriak Ellesta yang berlari dan melupakan kegiatannya memetik bunga di taman, gadis itu bahkan langsung mengusap wajah Gozard yang ditampar barusan oleh Eve.Eve menatap tak percaya pada apa yang dilakukan sang adik perempuan saat ini."Paman tidak apa-apa bukan?" Ellesta bertanya dengan mata yang menunjukkan betapa khawatirnya ia pada Gozard.Aku tahu, aku tahu kau mencintaiku Ellesta. Dan aku tidak akan membiarkan lelaki mana pun ada dalam mata indahmu ini, hanya aku yang boleh ada di mata indahmu, hanya aku. Batin Gozard tersenyum tipis sembari menyentuh kedua tangan mungil Ellesta yang masih berada di wajahnya.Bagaimana mungkin bisa begini? Kenapa Ellesta justru tampak semakin mencintai Paman Gozard? Kenapa malah begini? Batin Eve menyadari ia telah gagal menjaga Ellesta dan membuat adik perempuannya justru semakin dekat dengan Gozard."Paman! Ayo kita masuk dan aku akan akan mengobatimu," ucap Ellesta khawatir, membuat Gozard tersenyum menatap gadis yang ia cintai itu.Lelaki muda berusia 20 tahun itu lalu berkata, "Ellesta, aku tidak apa-apa, tidak ada yang terluka dan tamparan Eve sama sekali tak berefek padaku."Eve mendengarnya tetapi ia diam saja, gadis berusia 20 tahun itu terlalu terkejut menyadari Ellesta sepertinya sudah jatuh terlalu dalam pada Gozard.Seharusnya tidak begini.Seharusnya semua itu tidak terjadi.Tapi Eve bisa apa saat takdir justru menginginkan semua itu?"Ayah!"Seketika Wilman yang tengah melamun, dan mengingat kisah yang diceritakan oleh Eve mengerjap, lelaki paruh baya itu lalu membalikkan badan dan menemukan Gozard berdiri di hadapannya."Maaf karena tak mengetuk pintu, sebetulnya aku sudah mengetuk pintu tetapi Ayah tak menyahut jadi aku langsung masuk kemari," jelas Gozard tanpa diminta oleh Wilman.Tiap kali melihat Gozard membuat Wilman kembali teringat kejadian di masa lalu itu, ia kembali mengingat bagaimana tingkah gila putra bungsunya yang akan membawa pergi Ellesta dari Guiner Mansion.Ia ingat malam itu Wozard putra sulungnya begitu murka, amarah lelaki itu bahkan tak kunjung padam hingga hari ini."Aku selalu mengingat kejadian di masa lalu itu tiap menatap wajahmu. Seluruh kegilaanmu terhadap Ellesta, seluruh tindakan nekatmu dan Ellesta," ucapnya lalu menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan, "Seluruh hal itu membuatku merasa sesak luar biasa, Gozard! Jika saja aku menyadari lebih awal, aku tahu kau menyukai keponakan perempuanmu sendiri, mungkin sejak awal aku sudah mengirimmu jauh dari Guiner Mansion, sayangnya aku dan Wozard tak percaya pada apa yang dikatakan oleh Eve, March bahkan Walbert tentang hubunganmu dengan Ellesta," lanjut Wilman menatap Gozard dengan pandangan hampa."Aku pernah berjanji pada Leticia, aku berjanji pada Ibumu untuk merawat dan membesarkanmu sebaik mungkin setelah kepergiannya, tetapi aku gagal menepati janji itu, aku justru membuatmu menjadi monster! Tapi aku tidak akan meminta maaf untuk itu, aku tidak akan meminta maaf! Kau yang harus meminta maaf, untuk cinta suci yang telah kau nodai itu, cinta murni keluarga yang kau hancurkan hingga tak tersisa sekeping pun."Gozard hanya diam mendengarkan ucapan sang Ayah."Kau harus meminta maaf pada Wozard!""Aku tidak menginginkannya, dan cintaku pada Ellesta tidaklah salah jadi aku tak perlu meminta maaf untuk itu!"Wilman menatap putranya dengan raut wajah menggelap, menandakan amarah mulai menguasai lelaki paruh baya itu."Cintamu salah, jika benar maka tidak akan ada luka di antara cinta kalian, tidak akan ada yang nyawanya hilang karena cintamu dan Ellesta! Cintamu telah menghilangkan nyawa Ellesta, Gozard!" ucap Wilman dengan nada tenang yang terdengar menohok di telinga Gozard.Bersambung."Semuanya sudah terjadi dan apabila aku meminta maaf, akankah semuanya bisa kembali seperti semula? Dan akankah Wozard memaafkanku?" Gozard menyahuti dengan wajah tanpa ekspresi menatap sang Ayah—Wilman Guiner.Malam semakin larut dan Wilman harus mendapati ia kembali berdebat dengan Gozard. Ia sungguh tak mengerti mengapa putra bungsunya itu bahkan tak pernah mau mendengarkan apa yang ia ucapkan, Gozard selalu saja membalas ucapannya, putra bungsunya itu selalu saja melawan setiap hal yang Wilman ucapkan.Wilman kini membalikkan badannya, ia menatap ke arah jendela. "Kau pernah menyesal dilahirkan, Gozard?""Tidak, aku tidak pernah menyesal!"Wilman tersenyum tetapi matanya menunjukkan luka dalam yang tak bisa disembuhkan. Tapi aku yang menyesal, aku yang menyesal membiarkan Leticia berkorban untukmu, ia rela mati demi melahirkanmu yang kini bahkan tak memiliki hati sedikit pun. Batin Wilman sembari menahan ucapan dalam hatinya itu tak ia ucapkan pada Gozard."Minta maaflah pada Woz
Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang
Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di
Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak
Sepulangnya Daxton ke Guiner Mansion, ia harus menghadapi kemarahan Gozard dan Posie padanya. Ya apa lagi memangnya selain kemarahan?Daxton yang malang itu harus terima dimarahi. Anak laki-laki itu sendiri juga tak ingin kalah, memang siapa yang ingin kalah? Tentu saja Daxton ingin menang, tapi mentalnya memang mudah terguncang apalagi di rumah ia juga tak punya pendukung, ia hanya seorang diri karena Gozard dan Posie hanya selalu memarahinya.Daxton menundukkan kepala begitu melewati ruang tamu di mana Gozard dan Posie tengah duduk bersebelahan dengan ekspresi tak bersahabat."Kau pikir aku menonton pertandingan renangmu untuk apa, Daxton?" Suara keras Gozard menghentikan langkah kaki Daxton, membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu semakin menundukkan kepala dalam diam."Kau ingin menunjukkan pada kami bahwa kau lemah? Kau kalah? Begitukah, Daxton?" Kembali Gozard mencecar putra sulungnya itu.Posie yang duduk di sebelah sang suami menghela napas. "Kau sudah berlatih selama ini buk
Pagi ini Daxton berangkat sekolah diantar oleh Wilman yang semalam menginap di Guiner Mansion, dan tidur di kamar Daxton."Biar aku yang mengantar Daxton," ucap Wilman menggandeng tangan mungil cucu lelakinya.Gozard hanya menganggukkan kepala, ia membiarkan sang Ayah untuk mengantar Daxton ke sekolah. Yah, ia tidak akan mau mencegah Ayahnya, karena tahu sang Ayah pada akhirnya akan tetap memaksa."Baiklah, hati-hati!"Wilman menganggukkan kepala lalu berjalan bersama Daxton keluar dari Guiner Mansion menuju SUV hitam milik Wilman yang terparkir di pelataran Guiner Mansion sejak malam tadi.Kini SUV hitam yang dikendarai Wilman telah melaju meninggalkan kawasan Guiner Mansion, membelah jalanan kota Evanesant yang ramai tetapi lancar.***Setibanya di kelas Daxton harus kembali menghadapi ejekkan dari teman-temannya, mereka mengejek dan meledek Daxton yang diantar ke sekolah pagi ini oleh Wilman.Memangnya apa salah Daxton? Apa terlahir kaya adalah sebuah kesalahan?"Beberapa hari lalu
Setelah permainan bola itu usai Darcel mengantar Daxton ke ruang perawatan kesehatan sekolah untuk mengobati lutut anak lelaki itu."Bagaimana, Daxton? Apa lututmu masih sakit?" tanya Darcel menatap Daxton yang lututnya baru selesai diobati oleh Dokter pihak Evanest School.Daxton tersenyum. "Aku sudah tidak apa-apa, ini sama sekali tidak sakit."Darcel membalas senyum itu lalu menganggukkan kepala, "Kau tadi bermain bola dengan sangat keren, Daxton," ucap Darcel memuji Daxton sembari mengacungkan jempolnya."Terima kasih, tapi kau lebih keren karena bisa menendang ke gawang tim merah," balas Daxton membuat Darcel terkekeh."Ya, ya terima kasih tapi itu juga berkat operan darimu, Daxton."Kini suasana mendadak hening, Daxton yang tenggelam dalam pikirannya dan Darcel yang juga sama-sama tenggelam dalam pikirannya sendiri, mengingat ucapan dari Eisen saat tadi Darcel hendak menghampiri Daxton yang jatuh dan lututnya terluka.Kadang Darcel terheran-heran atas setiap kata yang diucapkan
"Selamat siang, Tuan!" sapa seorang body guard berambut cokelat gelap dengan alis tebal dan luka goresan di alis kanannya. Ia adalah body guard kepercayaan Gozard selain Nozer, namanya Notarzd Rinz.Gozard yang tengah menulis sesuatu di meja kerjanya menganggukkan kepala, dan melalui tatapan mata mempersilakan Notarzd untuk menjelaskan alasan kedatangannya menemui Gozard."Tuan Kaslo Nesser mengirim surat untuk anda," ucap Notarzd lalu dengan sopan menyerahkan selembar surat di tangannya pada Gozard.Tampak Gozard menghela napas lalu menganggukkan kepala usai menerima surat barusan."Kalau begitu saya undur diri, Tuan!" ucap Notarzd berpamitan dengan sopan pada Gozard."Yah, silakan!" balas Gozard dengan wajah tanpa ekspresi.Sepeninggal Notarzd, lelaki yang merupakan Ayah dari Daxton dan Darcio itu hanya diam memandangi selembar surat di meja kerjanya.Ada apa sebenarnya? Kenapa Ayah mertua mengirim surat? Tidak biasanya ia begini. Batin Gozard bertanya-tanya dan tangannya mulai meng
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih