Home / Urban / Pembalasan Dendam Si Sulung / 1. Pecundang Seperti Daxton

Share

1. Pecundang Seperti Daxton

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setibanya di kediaman sang Kakek—Kaslo Nesser, Daxton dibawa oleh lelaki paruh baya itu menuju ke taman dan dibiarkan duduk di kursi taman.

"Daxton, mulai sekarang kau tinggal bersamaku, kau tinggal bersama Kakekmu ini," ungkap Kaslo yang berjongkok di hadapan Daxton sembari memegang kedua bahu anak lelaki berusia 8 tahun itu.

Daxton yang masih lemah hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum tipis.

Anak lelaki berusia 8 tahun itu selalu berdoa agar Kaslo panjang umur, ia selalu berharap Kaslo sehat dan baik-baik saja karena hanya Kaslo yang peduli padanya, di dunia ini hanya Kaslo yang menyayanginya dengan tulus, hanya Kakeknya itu yang menerimanya dan mengkhawatirkannya.

"Baiklah, mari kita masuk dan kau beristirahat dulu nanti aku akan memanggilkan seorang dokter untuk memeriksamu lagi," ucap Kaslo dengan ramah yang dibalas anggukkan patuh oleh Daxton.

Dengan segera Kaslo kembali menggendong cucu lelakinya itu, cucu yang selalu ia harapkan tumbuh dengan baik, tumbuh menjadi manusia bukannya monster seperti Gozard dan Posie.

Aku amat berharap kau tumbuh dengan baik, Daxton. Aku berharap kau menjadi manusia, bukan monster seperti kedua orang tuamu itu, bukan seperti Gozard dan Posie. Batin Kaslo berjalan memasuki House Of Nesser sembari menggendong Daxton.

***

Satu minggu telah berlalu dan selama itu juga Daxton tinggal di House Of Nesser bersama sang Kakek—Kaslo Nesser.

Pagi ini Daxton harus kembali sekolah setelah beberapa hari ia tak ke sekolah lantaran sakit.

"Kau sudah memasukkan semua buku pelajaranmu, Daxton?" Kaslo bertanya kala Daxton selesai memakan sarapannya pagi ini di meja makan.

Daxton dengan senyum lebar menganggukkan kepala. "Sudah, Kakek. Aku sudah memasukkan buku dan semua yang kuperlukan saat di sekolah nanti."

Kaslo membalas senyum sang cucu lelaki lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kalau begitu ayo berangkat ke sekolah!"

Daxton menganggukkan kepala dengan senyum yang melebar sempurna di wajahnya, senyum yang tak pernah disukai oleh Ayah dan Ibunya.

Kaslo menggandeng tangan kecil sang cucu lelaki untuk menuju mobil yang telah disiapkan oleh Hezart Abeyr sopir pribadinya.

"Selamat pagi, Tuan Nesser dan Tuan Muda Daxton Gui...."

"Tidak perlu menyebutkan nama belakangnya, Hezart," sahut Kaslo menghentikan Hezart yang hendak menyebut nama belakang Daxton yakni Guiner.

Dengan perasaan bersalah Hezart menganggukkan kepala lalu meminta maaf pada Kaslo.

Setelahnya Kaslo hanya menganggukkan kepala dan masuk ke mobil bersama Daxton yang segera diikuti oleh Hezart yang duduk di bangku kemudi.

SUV hitam itu melaju meninggalkan House Of Nesser membelah jalanan Kota Evanesant yang cukup ramai pagi ini.

Di perjalanan menuju ke Evanest School Daxton hanya diam melamun sembari menatap keluar jendela mobil.

Jujur saja Daxton tidak suka pergi ke sekolah, ia benci tempat itu, di sana ia selalu dirundung dan dikata-katai oleh teman-teman kelasnya, ia sering disebut sebagai pecundang apalagi tiap pelajaran olahraga yang mana Daxton tak unggul dalam pelajaran itu.

Daxton benci sekolah, ia juga takut ke sekolah karena semua orang yang ada di sana seolah selalu menatapnya benci, tetapi Daxton lebih takut akan amarah Ayah dan Ibunya, ia lebih takut pada amarah Gozar dan Posie yang dengan tega mengurungnya di gudang gelap Guiner Mansion.

Jika aku tidak dilahirkan sebagai Daxton Guiner apakah hidupku akan jauh lebih baik. Anak lelaki berusia 8 tahun itu membatin, membayangkan kemungkinan-kemungkinan jika ia tak dilahirkan dengan nama Daxton Guiner.

"Daxton," panggil Kaslo menyadari cucu lelakinya itu melamun sejak tadi.

Daxton mengerjap lalu menolehkan kepalanya pada sang Kakek sembari tersenyum tipis. "Ada apa, Kakek?"

Kaslo membalas senyum itu dan mengusap kepala Daxton penuh kasih, "Apa teman-temanmu masih merundungmu, Daxton?" tanya lelaki paruh baya itu dengan nada hangat.

Daxton terdiam mendengar pertanyaan barusan dari sang Kakek, ekspresi wajah anak lelaki berusia 8 tahun itu berubah jadi sedikit masam. Daxton tentu saja ingin mengatakan kalau teman-teman sekolahnya itu bahkan makin keterlaluan merundungnya, tapi Daxton bisa apa? Semakin ia mencoba bersuara untuk membela diri, teman-teman sekolahnya itu pasti akan semakin membencinya dan merundungnya.

Daxton juga tak ingin ia disebut sebagai pecundang lagi karena memanfaatkan kekuasaan sang Ayah atau pun kini sang Kakek. Teman-temannya pasti akan mengatainya pecundang tidak berguna dan kata-kata menyakitkan lainnya, yang selama ini telah begitu mengganggu pikiran anak lelaki berusia 8 tahun itu.

Daxton terlahir di keluarga Guiner yang kaya raya dan berasal dari keluarga terpandang, Kakeknya dari pihak Ayah—Wilman Guiner adalah seorang pebisnis dan pemilik perusahaan Guiner Corporation, sementara Kakeknya dari pihak Ibu—Kaslo Nesser adalah seorang pengacara ulung.

Lantas apakah itu salah Daxton karena ia terlahir di keluarga yang kaya raya dan terpandang? Apakah itu salah Daxton karena menyandang nama belakang Guiner? Apakah itu salahnya karena menjadi putra dari Gozard Guiner dan Posie Guiner?

Daxton tidak bersalah tetapi orang-orang tetap saja menyalahkannya karena iri, karena tidak bisa memiliki apa yang Daxton miliki, orang-orang membencinya tanpa alasan jelas, orang-orang merundungnya hanya karena ia berasal dari keluarga kaya raya dan terpandang.

Begitulah manusia, jika mereka tak bisa melukai fisik seseorang maka mereka akan menghancurkan jiwa seseorang itu sampai habis tak bersisa, dan hanya menyisakan kebencian juga rasa rendah diri pada seseorang itu.

Jahat.

Sangat jahat.

Tapi begitulah realitas hidup.

Daxton anak lelaki berusia 8 tahun itu harus menerimanya, menerima kenyataan yang begitu jahat padanya.

"Daxton," panggil Kaslo menyadari sejak tadi Daxton hanya diam dengan tatapan yang mengosong.

Dengan segera Daxton mengerjap lalu menatap sang Kakek. "Aku tidak apa-apa, Kek! Mereka sudah tak merundungku bahkan mereka sudah baik padaku dan mengajakku bermain bersama," ucap anak lelaki berusia 8 tahun itu berusaha tersenyum walau rasanya sulit.

Bohong, Daxton terpaksa berbohong mengenai perundungan yang ia alami di Evanest School, ia membohongi sang Kakek agar lelaki paruh baya itu tak perlu datang ke sekolah dan memarahi beberapa guru juga siswa, yang melakukan perundungan pada Daxton.

Kaslo lalu membalas senyum sang cucu lelakinya itu. "Kuharap kau tidak berbohong, Daxton. Jika teman-teman sekolahmu masing merundungmu maka katakan saja padaku, biar aku yang mengurus mereka, biar mereka tahu dengan siapa mereka berurusan."

Inilah yang Daxton takutkan, Kakeknya pasti akan membuat perhitungan dan setelahnya bisa dipastikan Daxton akan semakin diledek dan dikata-katai.

Padahal semua yang ada dalam hidup Daxton adalah takdirnya bukan? Dan itu sudah menjadi ketentuan, seharusnya kalau orang-orang tidak terima atas takdir Daxton, mereka bisa protes pada Tuhan bukan pada Daxton yang bahkan tak tahu apa-apa.

Akhirnya setelah beberapa menit SUV hitam itu berhenti di depan Evanest School, Daxton turun dari mobil diikuti oleh Kaslo.

Beberapa siswa SD di Evanest School melihat itu, mereka diam-diam menatap penuh cemooh ke arah Daxton yang bahkan tak melakukan apa-apa.

"Daxton!" Suara seorang anak lelaki yang merupakan teman satu kelas Daxton menyapa.

"Halo, Darcel!" Kaslo menyapa anak lelaki barusan yang rupanya adalah Darcel, yah ia Darcel Vinson.

"Halo, Tuan Kaslo Nesser!" Darcel balas menyapa Kaslo dengan ramah.

"Kakek, aku masuk ke kelas dulu," ucap Daxton berpamitan pada sang Kakek.

Kaslo menganggukkan kepala, membiarkan Daxton masuk ke kelas bersama Darcel.

***

Kini pelajaran seni dimulai dan pagi ini kelas akan melakukan praktik menyanyi, tetapi guru keluar sebentar untuk membiarkan anak-anak SD ini untuk latihan terlebih dahulu.

"Hei! Daxton! Kau sekarang mau pamer juga kalau Kakekmu itu Kaslo Nesser huh?" Seorang anak lelaki dengan rambut berwarna cokelat terang mendatangi Daxton yang duduk di bangkunya.

Daxton hanya diam ia tak ingin berdebat atau pun membuat keributan, ia senang ketenangan.

"Benar, mentang-mentang Kakekmu Kaslo Nesser jadi kau minta diantar olehnya, dan pamer pada kami, begitu kan, Daxton? Dasar pecundang!" seorang anak lelaki berambut hitam legam juga mendatangi Daxton sembari mencercanya.

Sekali lagi Daxton hanya diam, tatapannya lurus ke depan, ia mengabaikan dua teman kelasnya yang suka merundung itu.

"Dasar pecundang!"

"Hei lihatlah si pecundang ini selain lemah sekarang ia juga tidak bisa bicara!"

"Sepertinya sih ia kehilangan mulutnya!"

"Harusnya ia bisa membeli mulut lagi bukan? Ia kan kaya raya."

Darcel yang mendengar itu semua tak terima, anak lelaki yang usianya 2 tahun lebih muda dari Daxton dan anak-anak kelas itu menggebrak meja, membuat atensi kini seluruhnya teralih kepada bocah lelaki dengan rambut cokelat gelap yang cepak rapi itu.

"Kalian seharusnya tidak boleh mengganggu Daxton terus-terusan!" Teriakan Darcel menggema membuat anak-anak perundung itu terdiam, merasa terkejut melihat Darcel yang marah.

Daxton yang mendengar bagaimana Darcel membelanya hanya diam, ia tak tertarik berteman atau bahkan bersahabat dengan siapa pun termasuk Darcel Vinson si bocah lelaki cerdas yang bisa masuk sekolah lebih awal, padahal usianya masih 6 tahun itu.

"Memangnya kenapa huh? Vezord yang sepupunya saja tidak protes kok, bahkan ia tak membela Daxton sama sekali, kenapa kau yang bukan siapa-siapa mau repot membela Daxton si pecundang ini huh?" Anak lelaki berambut hitam legam yang bernama Nafferic Granson itu mencibir Darcel.

Daxton memang satu kelas dengan sepupunya yang bernama Vezord Nesser, sayangnya sejak dulu mereka berdua memang tak pernah akur, bahkan tak jarang Vezord juga turut merundung Daxton, dan ia juga selalu membuat Daxton dimarahi sang Ayah karena selalu saja kalah dari Vezord di sekolah.

'Kau itu harus bisa lebih baik dari Vezord! Dan kalau tidak bisa setidaknya tirulah ia, jadilah anak yang berguna yang bisa membanggakan kedua orang tua, Daxton!'

Dalam keterdiamannya anak lelaki berusia 8 tahun itu kembali mengingat ucapan penuh amarah sang Ayah.

Kenapa aku harus seperti Vezord? Kenapa aku tidak bisa menjadi diriku sendiri saja? Apa aku tidak seberharga itu sehingga Ayah selalu membandingkanku dengan Vezord, dan memintaku untuk seperti Vezord? Batin bocah lekaki kecil itu merasa sedih.

"Aku temannya! Aku temannya Daxton! Dan seorang teman akan membela temannya!" sahut Darcel kembali membela Daxton dengan nada lantang.

Ketika itu Daxton menatap ke arah Darcel dengan tatapan terkejut, untuk kali pertama ia mendengar ada yang membelanya selain sang Kakek—Kaslo Nesser dan adik lelaki Daxton—Darcio Guiner.

"Jangan sombong begitu, Darcel! Kau pikir kau siapa? Kau itu hanya anak panti yang beruntung bisa bersekolah di tempat elite ini!" Nafferic dengan kesal menyahuti ucapan Darcel barusan, anak lelaki berusia 8 tahun itu juga menatap tajam ke arah Darcel yang sama sekali tak gentar bahkan turut membalas tatapan itu tak kalah tajam.

"Dan kau pikir kau siapa, Nafferic? Kau bahkan tidak akan punya teman jika kau tidak berasal dari keluarga kaya dan terpandang!" sahut Darcel membalas ucapan Nafferic yang pada akhirnya membuat dua anak lelaki itu berkelahi.

***

Kini istirahat makan siang telah tiba, seluruh siswa Evanest School berbondong-bondong menuju ke kantin.

Siang ini Daxton ke kantin seorang diri seperti hari-hari biasa, bedanya kali ini ia mengambil tiga potong roti, tiga botol susu, dan tiga buah apel.

Setelahnya Daxton keluar dari kantin membawa kantung kertas berisikan makanan itu menuju ke taman belakang Evanest School, dan tanpa mengatakan apa-apa Daxton langsung duduk di sebelah anak lelaki yang tadi membelanya di kelas, dan berakhir dihukum bersama Nafferic oleh guru lantaran berkelahi di kelas.

"Wah, ada apa kau repot-repot mendatangiku, Daxton?" Benar, anak lelaki itu adalah Darcel.

Daxton tak mengatakan apa-apa, ia diam dan mengambil sepotong roti, satu botol susu, dan sebuah apel dari kantung kertas barusan lalu menyerahkan kantung kertas itu pada Darcel.

"Apa ini? Wah kau memberikannya untukku?" tanya Darcel tetapi segera menerima kantung kertas itu dengan wajah yang berseri-seri.

Kapan lagi Darcel bisa makan-makanan enak ini bukan? Selama ini ia tidak bisa mendapatkan makanan ini di kantin karena kantin itu diperuntukkan anak-anak orang kaya yang berasal dari keluarga terpandang, sementara Darcel hanya anak lelaki dari panti asuhan yang beruntung bisa bersekolah di Evanest School.

Dengan segera Darcel memakan sepotong roti itu ia bahkan dengan terburu-buru meminum susu, membuat Daxton menatapnya heran lantaran melihat Darcel yang seolah tak pernah memakan roti juga minum susu itu.

Darcel yang telah menghabiskan sepotong roti dan sebotol susunya itu tertawa menyadari tatapan heran Daxton.

"Aku tidak pernah bisa makan sepertimu, Daxton! Tiap di panti asuhan hanya ada roti keras yang bahkan sepotong harus dibagi menjadi beberapa potong lagi, menyebalkan memang tapi apa boleh buat kan?" ucap Darcel menjelaskan dengan cengiran lebar di wajahnya.

Daxton terdiam, ia tidak pernah tahu kalau kehidupan di panti asuhan ternyata semiris itu.

"Eh iya, semua makanan ini untukku? Kau tidak akan memintaku untuk membayarnya kan?" Darcel yang cerewet itu kembali bertanya.

Daxton hanya diam, sepotong roti di tangannya sejak tadi bahkan tak berkurang sama sekali, masih utuh tak tersentuh.

"Hei Daxton!" Darcel memanggil Daxton yang melamun.

"Tidak, kau bisa memakannya, dan terima kasih karena telah membelaku tadi," ucap Daxton sekaligus berterima kasih atas apa yang dilakukan oleh Darcel tadi.

Darcel tersenyum dan menganggukkan kepala. "Tidak masalah, sudah kubilang kita ini kan teman."

Daxton tahu sejak kali pertama bertemu Darcel di Panti Asuhan Evanest School, bocah lelaki itu mengajaknya mengobrol dan mengatakan ingin menjadi temannya. Tapi siapa yang percaya kalau permintaan pertemanan itu tulus? Daxton memiliki keraguan terhadap orang-orang di sekelilingnya, ia merasa jika ada yang mendekatinya maka mereka hanya akan memanfaatkannya, mereka mau berteman dengannya karena ia adalah putra dari Gozard Guiner.

Daxton kecil yang malang.

"Hei, Daxton! Kau tidak mau datang ke panti asuhan lagi?" Darcel mengajak Daxton untuk mengobrol sembari ia mengunyah apel merah di tangan kanannya.

Bersambung.

Related chapters

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   2. Anak Lelaki yang Menyukai Nikola Millian

    Daxton menatap Darcel membuat anak lelaki itu tertawa lagi, "Hei, aku hanya bertanya kenapa kau menatapku seolah aku mencuri sesuatu darimu?" ucap Darcel membuat Daxton hanya diam."Kau tidak mau datang lagi ke panti asuhan yah?" Darcel kembali mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak dijawab oleh Daxton."Kenapa aku harus datang ke sana?"Darcel menghela napas lalu tersenyum miris. "Benar juga, rumahmu kan jauh lebih nyaman ketimbang panti asuhan yah, aku lupa."Daxton hanya diam tak berusaha untuk meminta maaf, meski ia tahu Darcel tampaknya sedikit tersinggung atas ucapannya barusan.'Siapa peduli siapa menyinggung siapa? Persetan dengan perasaannya yang tersinggung, lenyapkan saja ia, aku sudah muak melihat wajahnya!'Dalam kelebatan ingatan Daxton kembali mengingat ucapan sang Ayah yang memerintahkan salah satu body guard di rumah untuk melenyapkan seseorang yang Daxton tak tahu siapa itu, dan menyebutkan mengenai sesuatu bernama tersinggung, yang ia ketahui maknanya setelah ber

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   3. Nomor 1 dan 2

    Buku-buku yang dibelikan oleh Gozard adalah buku yang ditulis oleh Nikola Millian seorang professor dan ilmuwan."Aku akan menemui Daxton lagi, kau simpan saja buku-buku itu untuk kita serahkan pada pihak panti asuhan," ucap Gozard yang segera diangguki oleh Posie.Usai mengatakan hal itu Gozard keluar dari kamar Daxton, dan berjalan menuju ruang belajar di mana putra sulungnya berada."Daxton!" Gozard kini berjongkok dan memegang kedua bahu putra sulungnya, tatapan lelaki itu begitu serius. "Dengarkan ini baik-baik, Daxton! Kau hanya boleh bermimpi dan bercita-cita menjadi seorang presiden! Aku melarangmu untuk bermimpi atau pun memiliki cita-cita menjadi seorang professor dan guru!" Daxton terdiam tatapan anak lelaki berusia 8 tahun itu mengosong, dan air mata kembali luruh membasahi wajah yang sudah sembap juga merah itu.Sayapnya untuk terbang tinggi menggapai mimpi telah dipotong oleh Ayahnya sendiri-Gozard Guiner."Lupakan seluruh buku-buku milik Nikola Millian! Berhenti untuk

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   4. Mansion Guiner dan Cinta

    Beberapa tahun silam.Seorang lelaki muda tengah duduk terdiam menatap gadis yang tengah memetik bunga di taman belakang Guiner Mansion."Gozard!" Lelaki yang tengah duduk di bangku taman itu bangkit dan membalikkan badannya."Ada apa, Kakak lelaki?" tanya si lelaki yang barusan dipanggil Gozard."Aku akan pergi sebentar jadi tolong awasi Ellesta, jangan biarkan anak itu pergi dari Guiner Mansion lagi," balas lelaki yang siang ini mengenakan setelan formal berwarna biru gelap. Ia adalah Wozard Guiner yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner dan Leticia Guiner.Gozard dengan senyum yang terpampang di wajahnya menganggukkan kepala. "Tentu, aku akan mengawasinya."Setelahnya Wozard tersenyum sembari menepuk bahu adik bungsunya itu, dan berpamitan sembari mengatakan kalau ia hendak pergi menuju Guiner Corporation bersama Wilman."Be carefull, Brother!"Wozard menganggukkan kepala sembari melambaikan tangan di tengah langkahnya menuju SUV hitam yang terparkir tak jauh dari taman.Kin

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   5. Evanest House

    "Semuanya sudah terjadi dan apabila aku meminta maaf, akankah semuanya bisa kembali seperti semula? Dan akankah Wozard memaafkanku?" Gozard menyahuti dengan wajah tanpa ekspresi menatap sang Ayah—Wilman Guiner.Malam semakin larut dan Wilman harus mendapati ia kembali berdebat dengan Gozard. Ia sungguh tak mengerti mengapa putra bungsunya itu bahkan tak pernah mau mendengarkan apa yang ia ucapkan, Gozard selalu saja membalas ucapannya, putra bungsunya itu selalu saja melawan setiap hal yang Wilman ucapkan.Wilman kini membalikkan badannya, ia menatap ke arah jendela. "Kau pernah menyesal dilahirkan, Gozard?""Tidak, aku tidak pernah menyesal!"Wilman tersenyum tetapi matanya menunjukkan luka dalam yang tak bisa disembuhkan. Tapi aku yang menyesal, aku yang menyesal membiarkan Leticia berkorban untukmu, ia rela mati demi melahirkanmu yang kini bahkan tak memiliki hati sedikit pun. Batin Wilman sembari menahan ucapan dalam hatinya itu tak ia ucapkan pada Gozard."Minta maaflah pada Woz

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   6. Menanggung Kebencian

    Daxton dan Darcel benar-benar memanjat pohon apel yang tak terlalu tinggi itu, sementara Darcio hanya duduk sembari memandangi danau di taman belakang Evanest House ini.Anak lelaki berusia 4 tahun itu memang pendiam dan menyukai hal-hal berbau ketenangan, ia seorang anak lelaki yang suka menuliskan banyak hal, sehingga siang ini di taman belakang Evanest House, Darcio mulai mengeluarkan buku catatan kecil dan pena dari sakunya lalu ia mulai menulis.Meski tulisannya belum rapi, Darcio tetap senang membaca tulisannya sendiri, ia kadang juga membiarkan Daxton dan Nozer untuk membaca tulisannya.Darcio ingin menjadi seorang penulis.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Darcel dan Daxton turun dari pohon apel membawakan banyak buah apel pada Darcio."Ini untukmu, Darcio!" ucap Daxton tersenyum lebar pada adik lelakinya itu.Darcio menerima apel itu dengan senang hati, senyum di wajah anak lelaki berusia 4 tahun itu mengembang sempurna. "Terima kasih, Kakak lelaki Daxton."Darcel yang

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   7. The Capitalists

    Daxton menatap seseorang yang berdiri di sebelahnya, ia adalah Nozer Abeyr."Apakah tadi Tuan Muda bertemu dengan Darcel?" tanya Nozer menatap Daxton sembari tersenyum hangat.Perlahan senyum di wajah Daxton tampak, meski tak selebar sebelumnya. "Iya, aku bertemu Darcel dan mengajak Darcio untuk berkenalan dengannya juga."Nozer tersenyum lalu menganggukkan kepala, tadinya ia hendak menemani Daxton mengobrol atau mungkin saja menceritakan sebuah dongeng, tetapi lelaki itu malah dipanggil oleh seorang pelayan untuk membantu menyiapkan beberapa hal."Aku pergi dulu, Tuan Muda!" ucap Nozer berpamitan pada Daxton."Ya tentu, terima kasih, Nozer!" balas Daxton tersenyum yang hanya diangguki oleh Nozer, lantaran lelaki itu memang harus bergegas untuk membantu mempersiapkan segala hal dalam pertemuan para tamu Gozard dan Posie.Kini kembali Daxton seorang diri, ia menatap sekeliling dengan pandangan hampa."Kalau Ayah dan Ibu membenciku, bukan berarti satu dunia membenciku juga. Aku punya di

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   8. Pecundang

    Hari minggu telah tiba dan itu artinya sekolah libur, meski begitu Daxton tidak akan bisa menikmati hari minggunya dengan bermain seperti kebanyakan anak-anak lain. Ia harus pergi bersama sang Ayah, entah itu untuk mendengarkan ceramah politik di kediaman salah satu Ketua Umum Partai Politik atau ia harus berlatih berlari, menembak bahkan berkuda.Pagi ini Daxton harus mau ketika Gozard mengajaknya menuju ke hutan yang terletak agak jauh di belakang Guiner Mansion, hutan yang merupakan milik Gozard Guiner sendiri."Kita akan melakukan apa di sini, Ayah?" Daxton bertanya dengan ekspresi wajah begitu polos.Gozard hanya diam, lelaki itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari ransel besar yang sejak tadi ia bawa.Akhirnya Daxton memilih diam dan mengamati sekitar, ia menatap sekeliling dengan mata polosnya yang berbinar apa lagi kala melihat burung-burung berterbangan melewatinya, dan anak lelaki berusia 8 tahun itu begitu terkejut ketika salah satu burung terjatuh di depan matanya dengan anak

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   9. Kakak Lelaki Terhebat

    Sepulangnya Daxton ke Guiner Mansion, ia harus menghadapi kemarahan Gozard dan Posie padanya. Ya apa lagi memangnya selain kemarahan?Daxton yang malang itu harus terima dimarahi. Anak laki-laki itu sendiri juga tak ingin kalah, memang siapa yang ingin kalah? Tentu saja Daxton ingin menang, tapi mentalnya memang mudah terguncang apalagi di rumah ia juga tak punya pendukung, ia hanya seorang diri karena Gozard dan Posie hanya selalu memarahinya.Daxton menundukkan kepala begitu melewati ruang tamu di mana Gozard dan Posie tengah duduk bersebelahan dengan ekspresi tak bersahabat."Kau pikir aku menonton pertandingan renangmu untuk apa, Daxton?" Suara keras Gozard menghentikan langkah kaki Daxton, membuat anak lelaki berusia 8 tahun itu semakin menundukkan kepala dalam diam."Kau ingin menunjukkan pada kami bahwa kau lemah? Kau kalah? Begitukah, Daxton?" Kembali Gozard mencecar putra sulungnya itu.Posie yang duduk di sebelah sang suami menghela napas. "Kau sudah berlatih selama ini buk

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   30. Ia Itu Sepertimu

    Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   29. Kukis Cokelat

    Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   28. Hadiah Untukmu

    "Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   27. Alasan Tidak Peduli Pada Keluarga?

    Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   26. Ayah Tidak Marah?

    Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   25. Ksatria

    Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   24. Tidak Pulang

    Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   23. Untuk Menjadi Temanku

    Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak

  • Pembalasan Dendam Si Sulung   22. Aku Juga Akan Melakukan Hal yang Sama

    Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih

DMCA.com Protection Status