Share

Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati
Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati
Penulis: Emilia Sebastian

Bab 1

Penulis: Emilia Sebastian
“Kak, makan dong! Kenapa kamu nggak makan?”

Di ruang bawah tanah yang remang-remang, Syakia Angkola yang tubuhnya dipenuhi luka tergeletak di lantai dalam keadaan sekarat. Leher dan anggota tubuhnya diikat dengan rantai besi hingga dia tidak bisa melarikan diri.

Di hadapan Syakia, seorang gadis yang mengenakan gaun kuning sedang memegang semangkuk makanan anjing dan menggodanya seperti menggoda seekor anjing. Gadis yang tersenyum cantik ini adalah adiknya, Ayu Angkola.

Ayu berkata kepada dayang di belakangnya dengan tidak senang, “Lihat, kakakku benar-benar nggak berguna. Dia bahkan nggak bisa jadi seekor anjing yang patuh. Aku sudah menyuapinya sendiri, tapi dia malah berani menolak makan?”

Dayang itu segera melangkah maju dan menendang Syakia. Syakia pun meringis kesakitan.

Kemudian, dayang itu menyanjung Ayu, “Nona, jangan hiraukan dia. Anjing ini mungkin masih mengira dirinya adalah putri sah Keluarga Angkola.”

Ayu mencibir, “Syakia itu putri sah dari keluarga mana? Bahkan Ayah dan kakak-kakak sekalian juga nggak mengakuinya lagi. Dia seharusnya merasa terhormat karena aku membiarkannya jadi anjingku. Sayangnya, dia malah nggak tahu bersyukur.”

Seusai melontarkan kata-kata dingin itu, Ayu langsung menginjak tangan Syakia dan menggeseknya dengan kuat hingga terdengar suara kretek yang nyaring. Syakia pun berteriak kesakitan.

“Syakia, aku kasih kamu satu kesempatan terakhir. Serahkan giok itu padaku!”

“He ... hehe ....” Begitu mendengar ucapan Ayu, Syakia yang hampir kehilangan kesadarannya akhirnya menunjukkan sedikit reaksi. Dia tertawa lemah dan berkata, “Ayu, jangan mimpi ....”

Giok itu adalah satu-satunya barang yang ditinggalkan ibu Syakia untuk Syakia. Meskipun mati, dia tidak akan menyerahkannya kepada Ayu.

“Dasar wanita jalang! Mau mati kamu!” seru Ayu dengan marah.

Tepat pada saat ini, pintu ruang bawah tanah dibuka oleh seseorang. Kemudian, terlihat beberapa sosok yang melangkah masuk.

Setelah melihat siapa yang datang, Ayu segera memberikan makanan anjing di tangannya kepada dayangnya untuk disembunyikan. Dia juga langsung mengubah ekspresinya menjadi gadis polos dan imut seperti biasa, lalu menghampiri orang-orang itu dengan gembira.

“Ayah! Kak Abista! Kak Kama! Kak Kahar! Kak Ranjana! Buat apa kalian datang kemari?”

Kelima orang itu adalah Adipati Pelindung Dinasti Minggana beserta keempat putranya.

Sebagai orang yang berjasa dalam mempertahankan keamanan kerajaan, Damar Angkola memiliki perawakan yang tinggi dan paras yang menonjol. Keempat putranya juga mewarisi gennya. Mereka semua berperawakan tinggi, tampan, dan memiliki aura mengesankan. Selain itu, mereka juga memiliki beberapa karakteristik seorang Adipati Pelindung Kerajaan, yaitu memiliki ekspresi dingin atau garang.

Namun, yang tak bisa dipungkiri adalah, orang-orang yang terlihat dingin dan tidak berperasaan ini akan menunjukkan ekspresi lembut begitu Ayu memanggil mereka dengan nada manja dan lembut.

Kama Angkola, kakak kedua Syakia itu melirik Syakia dengan ekspresi mengejek dan bertanya, “Ayu, gimana? Apa dia sudah serahkan giok yang dicurinya darimu?”

Syakia tidak mencuri apa pun! Giok itu pada dasarnya adalah miliknya.

“Haih, belum.” Ayu berkata dengan nada yang sangat sedih, “Kak Syakia jelas-jelas tahu itu barang paling penting bagiku, juga satu-satunya barang peninggalan ibuku untukku. Tapi, nggak peduli gimana aku mohon padanya, dia tetap nggak bersedia kembalikan giok itu padaku. Aku benar-benar nggak tahu harus gimana lagi.”

Saat berbicara sampai akhir, suara Ayu terdengar agak bergetar seperti hendak menangis. Setelah mendengarnya, Kama pun merasa sangat sedih.

“Syakia, aku benar-benar kecewa sama kamu!” seru Kama dengan marah.

Kahar Angkola, kakak ketiga Syakia yang berdiri di depan pintu langsung menunjukkan ekspresi dingin dan mengeluarkan sebilah pedang yang tajam.

“Berhubung dia begitu keras kepala, potong saja tangannya sambil suruh dia untuk ngaku. Kalau dia tetap nggak mau ngomong, potong semua kaki dan tangannya. Aku mau tahu dia sehebat apa sampai berani curi barang Ayu!”

“Nggak usah potong tangannya.” Tepat pada saat ini, Abista Angkola, kakak sulung Syakia berkata, “Ada yang lihat Syakia buru-buru menelan sesuatu sebelum ditangkap.”

Syakia sontak kaget dan panik setelah mendengarnya. Begitu melihat reaksinya, Kama dan orang lainnya langsung mengerti apa yang sudah terjadi.

Kama pun berseru marah, “Syakia, kamu sudah gila! Kamu rela menelan giok itu daripada mengembalikannya pada Ayu?”

Syakia pun bersikap layaknya orang gila. Berhubung sudah ketahuan, tidak ada lagi yang perlu disembunyikannya. “Haha .... Benar, aku memang sudah gila! Ayu sudah celakai aku sampai begini, juga mau rebut barang peninggalan terakhir Ibu kepadaku. Mana mungkin aku nggak gila?”

Syakia menarik beberapa rantai besi yang membelenggunya dengan marah. Suaranya dan suara gemerincing besi menggema di dalam ruang bawah tanah ini. “Gimana? Sekarang, kalian cuma punya 2 pilihan. Mau menyerah atau belah perutku?”

Ekspresi Kama dan orang lainnya sangat muram, termasuk Ranjana Angkola, kakak keempat Syakia yang dari tadi menyaksikan semua ini dalam diam. Mereka melirik ke arah Damar secara reflek. Pada saat ini, hanya Damar seorang yang dapat membuat keputusan.

Ada secercah kekelaman yang melintasi mata Ayu. Dia menggigit bibirnya dan hanya melontarkan sebuah kalimat. “Ayah, aku rindu sama Ibu.”

Begitu mendengar ucapan itu, Syakia dapat melihat sedikit perubahan ekspresi di wajah Damar. Pada detik itu, dia tahu bahwa dirinya sudah kalah.

Damar menghela napas dan berujar, “Syakia, jangan salahkan kakak-kakakmu. Salahkan saja aku. Kalau kamu masih terlahir sebagai putri Keluarga Angkola di kehidupan berikutnya, Keluarga Angkola akan menebus semua kerugianmu dengan baik.”

Syakia tertawa histeris, tetapi matanya malah meneteskan air mata. “Nggak, aku nggak mau jadi putri Keluarga Angkola lagi di kehidupan selanjutnya!”

Ketika pedang yang dingin dan tajam membelah perut Syakia, dia pun mengembuskan napas terakhir di dalam ruang bawah tanah ini. Sementara itu, giok yang sudah bersatu dengan tubuhnya tiba-tiba memancarkan sinar yang menyilaukan mata.

...

Awal musim panas tahun ke-76 Dinasti Minggana. Di Kediaman Adipati.

Hari ini, suasana di Kediaman Adipati sangat ramai. Semua penduduk ibu kota tahu bahwa kedua putri Adipati Pelindung Kerajaan akan melangsungkan upacara kedewasaan hari ini.

Pada saat ini, di sebuah kamar dalam Kediaman Adipati ....

“Jangan ... jangan ....”

Di atas ranjang, seorang gadis berusia 15 tahun tidak berhenti menggumamkan sesuatu dengan suara gemetar, seolah-olah sedang mimpi buruk. Pada detik selanjutnya, dia tiba-tiba membuka kedua matanya sambil berseru ketakutan. Dia tiba-tiba duduk di ranjang dan mengulurkan tangannya secara refleks untuk menutupi diri.

“Ah!”

Namun, rasa sakit yang seharusnya timbul dari pembelahan perut tidak kunjung datang. Setelah sesaat, Syakia baru berani membuka matanya dengan ketakutan dan hati-hati.

Begitu melihat jelas lingkungan di sekitarnya, Syakia baru menyadari bahwa dirinya bukan sedang berada di ruang bawah tanah itu. Dia juga tidak melihat ayah maupun saudara-saudaranya. Ruangan ini sangat tenang dan perabot yang berada dalam ruangan ini terlihat familier.

Setelah berpikir sejenak, Syakia yang benaknya dipenuhi dengan ketakutan baru mengingat di mana dirinya. “Bukannya ini kamarku sebelumnya?”

Ini merupakan kamar yang ditempati Syakia ketika dia masih disayangi oleh ayah dan saudara-saudaranya.

“Tunggu! Kenapa aku ada di sini?” Syakia akhirnya menyadari ada yang tidak beres dan buru-buru bangkit dari ranjang dengan terkejut. Namun, karena gerakannya terlalu mendadak, dia pun jatuh ke lantai.

“Kenapa bisa begini? Kenapa aku bisa kembali kemari!” seru Syakia dengan terkejut. Dia harus segera meninggalkan tempat ini sebelum ditangkap oleh ayah dan kakak-kakaknya. Jika tidak, dia pasti akan mati!

Namun, sebelum Syakia sempat berlari menuju pintu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

“Tok! Tok!”

“Nona Syakia, kamu mau tidur sampai kapan? Hari ini adalah upacara kedewasaanmu dan Nona Ayu. Kalau terlambat, jangan salahkan aku nggak membangunkanmu.”

Terdengar suara seorang dayang yang tidak sopan. Syakia yang baru hendak membuka pintu buru-buru menarik kembali tangannya dengan ketakutan. Namun, ucapan dayang itu membuatnya terpaku di tempat.

“Upacara ... kedewasaan?”

Bab terkait

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 2

    Upacara kedewasaan? Bukankah upacara kedewasaannya sudah lewat? Syakia bahkan masih mengingat penghinaan-penghinaan yang diterimanya di upacara kedewasaannya.Ejekan dari para tamu, sindiran kakak-kakaknya, pembatalan pernikahan yang diajukan tunangannya, serta cercaan orang tuanya .... Syakia sudah mengalami semua ini sebelumnya. Kenapa dia masih harus melewati upacara kedewasaan lagi sekarang? Apa ini trik baru Ayu? Ayu ingin mempermalukannya sekali lagi sebelum membunuhnya?Napas Syakia sontak menjadi terengah-engah. Namun, pada saat dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya, dia tiba-tiba mematung.Tunggu sebentar!Mata Syakia membelalak lebar. Dia menatap kedua tangannya yang masih utuh, lalu menunduk untuk melihat kedua kakinya. Kemudian, rasa tidak percaya yang kental muncul di wajahnya. Bukankah tangan dan kakinya sudah dilumpuhkan? Kenapa sekarang dia baik-baik saja? Mana mungkin bisa begini?Perlu diketahui bahwa sebelumnya, urat tangan dan kaki Syakia telah dipotong.

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 3

    Syakia duduk di depan meja rias. Tidak ada dayang yang melayaninya, jadi dia hanya bisa berdandan sendiri. Dia menoleh ke arah datangnya suara, lalu menyapa dengan acuh tak acuh sambil menahan rasa muaknya, “Kak Kama.”Orang yang menerjang masuk dengan marah itu tidak lain adalah Kama. Dia memelototi Syakia sambil berseru, “Jawab aku, kamu yang merusak pakaian resmi Ayu? Kenapa kamu begitu kejam? Kamu jelas-jelas tahu hari ini juga hari upacara kedewasaan Ayu, tapi kamu malah merusak pakaian resminya!”Ketika Kama menuduh Syakia, orang yang paling dibenci Syakia itu menjulurkan kepalanya dari belakang Kama dengan ekspresi bersalah.“Kak Kama, sudahlah. Bukannya aku sudah menjelaskannya padamu? Kak Syakia bukan melakukannya dengan sengaja.”Ayu berperawakan langsing, bertampang imut, dan selalu terlihat lembut. Ditambah dengan sepasang matanya yang memelas, siapa yang mungkin tidak kasihan padanya? Dia mengetahui keunggulannya itu, juga mengetahui semua orang di Kediaman Adipati merasa

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 4

    Syakia pun tersandung dan menabrak meja rias. Dia menggigit bibirnya erat-erat. Di kehidupan sebelumnya, dia sudah banyak dicelakai oleh Ayu. Begitu melihat tampang Ayu sekarang, dia langsung tahu bahwa Ayu pasti ingin menggunakan trik kotor lagi. Dia memungut pakaian resmi itu dari lantai.“Aku juga nggak tahu apa yang kulakukan sampai Ayu bisa bereaksi seperti itu. Gimana kalau Ayu jelaskan padaku?”“Kamu sendiri yang tahu paling jelas apa yang sudah kamu perbuat!” bentak Kama sebelum Ayu sempat berbicara.Tatapan Syakia terlihat makin dingin. Dulu, dia tidak menyadarinya. Sekarang, dia merasa Kama sangatlah buta. Kama bahkan tidak dapat membedakan siapa sebenarnya yang melakukan trik kotor, padahal dia sudah menyaksikan seluruh kejadiannya sendiri. Mungkin saja dia juga hanya akan tetap percaya pada ucapan seseorang meskipun sudah melihat jelas.Kama memelototi Syakia untuk sesaat, lalu menepuk-nepuk pundak Ayu dan menghibur dengan nada lembut, “Ayu, jangan takut. Katakan saja apa y

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 5

    “Syakia, kamu sudah gila?”Ayu yang mengira dirinya masih memiliki kesempatan untuk merebut pakaian resmi itu pun tidak bisa berkata-kata saking marahnya. Dia merasa Syakia seperti sedang menggunting pakaiannya.Syakia menghentikan gerakannya, lalu menyahut sambil masih tersenyum, “Aku lagi gunting baju. Bukannya kalian sudah lihat? Buat apa kalian bereaksi begitu berlebihan?”Kama berseru marah, “Kamu masih berani tanya kenapa reaksiku begitu berlebihan? Pakaian ini kami pesan khusus untukmu! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu mengguntingnya!”“Karena sudah nggak ada yang mau.” Syakia lanjut menggunting dan menjawab, “Aku nggak mau, Ayu juga nggak mau. Barang yang sudah nggak diinginkan tentu saja harus dibuang.”Ekspresi Syakia terlihat sangat dingin hingga Kama merasa agak asing.‘Siapa bilang aku nggak mau?’ seru Ayu dalam hati. Dia hanya tidak ingin Kama curiga, makanya dia sengaja menolak. Siapa sangka Syakia akan bertindak segila ini? Ayu jelas-jelas sudah memutuskan untuk meng

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 6

    Pria yang datang itu bertubuh tinggi dan tegap. Dia mengenakan jubah berwarna biru tua. Penampilannya terlihat berwibawa dan wajahnya juga tampan. Namanya Abista Angkola. Dia adalah kakak pertama Syakia dan putra sulung Keluarga Angkola.“Syakia, kamu sudah sadari kesalahanmu?” tanya Abista sambil menatap Syakia dengan dingin.Aura intimidasi yang dipancarkan Abista membuat Syakia hampir tidak bisa bernapas. Dulu, dia sangat bodoh dan mengira dirinya merasa terintimidasi karena Abista memiliki perawakan tinggi dan tegap. Setelah melihat Abista membungkuk untuk menyejajarkan pandangannya dengan Ayu demi mendengar keluhannya, Syakia baru mengerti bahwa di mata kakaknya, dirinya berstatus lebih rendah.“Aku nggak ngerti maksud Kakak. Apa salahku? Harap Kakak menjelaskannya.”Syakia bukannya tidak melihat pakaian resmi yang dipegang Abista. Jadi, dia tentu saja bisa menebak maksud kedatangan Abista. Namun, memangnya kenapa meskipun begitu? Atas dasar apa Abista membuatnya mengaku salah ta

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 7

    Panji berjalan ke arah Syakia dengan tampang marah dan sepertinya ingin mencari masalah. Di belakangnya, Ayu membuka mulut dengan takut dan berseru “jangan”. Namun, dia sama sekali tidak menunjukkan gerak-gerik untuk menghentikan Panji.Setelah bertemu pandang dengan Syakia, Ayu bahkan terlihat bangga. Sangat jelas bahwa dia merasa bangga dan ingin mengatakan bahwa dirinya dapat membuat Panji membelanya dengan mudah. Sayangnya, sebelum Panji sampai di depan Syakia, suara seseorang yang berat dan dalam sudah terdengar dari arah panggung ....“Syakia, Ayu, waktunya sudah tiba. Cepat kemari untuk mulai upacaranya!”Syakia menoleh ke arah datangnya suara. Di atas panggung, seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah berwarna hijau dan terlihat sangat berwibawa sedang duduk di kursi utama. Dia sedang menatap ke arah Syakia dan Ayu dengan ekspresi dingin. Orang itu tidak lain adalah ayahnya Syakia dan adipati militer, Damar Angkola.Pada saat ini, Panji yang berencana untuk mencari masal

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 8

    Saat naik ke panggung, Abista awalnya masih menatap kedua adiknya dengan ragu. Namun, setelah bertemu pandang dengan tatapan Ayu yang penuh harapan, dia hanya tersenyum dengan tidak berdaya.Siapa suruh Syakia sendiri yang pencemburu dan tidak bisa menerima Ayu. Oleh karena itu, Abista tidak lagi ragu dan langsung berjalan melewati Syakia untuk memberikan bunganya kepada Ayu. Setelahnya, Kama, Kahar, Ranjana, dan seluruh anggota Keluarga Angkola juga memberikan bunga mereka kepada Ayu.Seperti di kehidupan sebelumnya, Syakia tidak menerima sekuntum bunga pun, sedangkan Ayu dikelilingi dengan bunga pemberkatan. Namun, Syakia sama sekali tidak merasakan apa-apa. Bagaimanapun juga, dia sudah mengetahui hasil seperti ini dari awal. Jadi, dia sama sekali tidak menaruh harapan.Pada saat giliran Panji, dia bukan hanya menggenggam sekuntum bunga seperti orang lain, melainkan buket besar berisi bunga-bunga yang indah. Dia melirik Syakia sekilas, lalu langsung memberikan buket bunga itu kepada

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 9

    “Nggak bisa!”“Nggak mungkin!”Itu hanyalah sebuah sumpah biasa. Awalnya, semua orang mengira Panji akan setuju. Tak disangka, Panji malah menolaknya. Anehnya, masih ada satu orang lagi yang juga ikut membantah.“Ayu?” Abista menatap Ayu dengan heran.Ekspresi Ayu langsung membeku. Setelah menyadari dirinya sudah kehilangan kendali atas sikapnya, dia buru-buru menenangkan diri dan memaksakan seulas senyum sambil berkata, “Bukan .... Umm, aku ... aku cuma merasa syarat yang diajukan Kak Syakia kurang baik. Gimana ... gimana kalau Kak Panji berubah pikiran kelak. Jadi, sebaiknya Kak Syakia pertimbangkan hal ini?”Abista mengernyit karena merasa ucapan Ayu agak aneh. Kahar tidak menunjukkan reaksi apa pun, sedangkan Ranjana melirik Ayu dan Panji dengan ekspresi sulit ditebak. Satu-satunya orang yang sepenuhnya percaya pada kepolosan Ayu hanyalah Kama. Dia sama sekali tidak berpikir kejauhan.“Sudahlah, Ayu. Aku tahu kamu khawatirkan Syakia. Tapi, aku merasa yang dikatakannya nggak salah.”

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 50

    Setelah membaca sekitar 8 kali, Syakia merasa tenggorokannya sudah kering. Dia pun akhirnya berhenti lagi.Alhasil, pria yang sepertinya hanya berpura-pura tidur langsung sadar kembali dan bertanya dengan tidak senang, “Kenapa kamu berhenti lagi?”Syakia menjulingkan matanya dan menjawab, “Kalau lanjut baca, pita suaraku akan rusak.”Adika baru menyadari bahwa suara Syakia memang agak serak. Dia pun bertanya dengan bingung, “Sudah berapa lama waktu yang berlalu?”Syakia menjawab, “Aku sudah baca 2 jam penuh.”Adika sontak kaget. “Sudah selama itu?”Adika mengira waktu yang berlalu paling-paling baru setengah jam. Pantas saja Syakia mengatakan pita suaranya akan rusak.Kemudian, Adika berdiri dan merasa sekujur tubuhnya terasa rileks, terutama kepalanya yang paling sering sakit akhir-akhir ini. Ternyata Sutra Cahya yang dibacakan Syakia benar-benar bermanfaat dalam menyembuhkan penyakitnya. Adika pun berniat untuk menyuruh orang lain membacakan sutra ini untuknya setelah pulang nanti.

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 49

    Syakia berjalan ke hadapan Adika dan bertanya dengan bingung, “Ada apa?”“Sutra apa yang kamu baca kemarin?”Adika menyuruh Syakia duduk di sampingnya. Namun, untuk menghindari gunjingan orang, dia tidak duduk di batu besar itu, melainkan di batu kecil di samping yang kebetulan cocok untuk didudukinya sendiri.“Sutra yang kubaca kemarin? Maksud Pangeran Adika, Sutra Cahya yang kuhafal waktu timba air?”“Benar.”Melihat Syakia yang duduk begitu jauh darinya, entah kenapa Adika merasa sedikit kesal. Namun, tatapan Syakia masih mengandung sedikit kewaspadaan. Dia pun tidak mengatakan apa-apa dan lanjut membicarakan masalah sutra.“Bukannya kamu bilang kamu akan bantu aku selama itu masih dalam batas kemampuanmu?” tanya Adika sambil menatap Syakia.Syakia pun tertegun sejenak tanpa menjawab. Namun, Adika yang memiliki insting tajam dapat merasakan sesuatu dan bertanya dengan tidak senang, “Kamu mau tarik kembali kata-katamu? Kenapa? Aku sudah begitu sering bantu kamu, tapi kamu bahkan ngga

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 48

    Adika hanya tersenyum tipis, lalu menatap Syakia. Saat ini, sekujur tubuh Syakia memancarkan aura dingin. Entah itu ilusinya atau bukan, dia sepertinya menemukan sedikit kewaspadaan dari mata Syakia yang ditujukan terhadap dirinya. Apa karena dia menangkap adiknya Syakia?Tidak. Adika dapat melihat jelas bahwa hubungan kakak beradik ini tidaklah bagus. Seharusnya bukan itu alasannya. Namun, kewaspadaan di mata Syakia memang baru muncul begitu melihatnya bersama dengan gadis bernama Ayu ini. Apa sebenarnya yang ingin diwaspadai Syakia? Apa Syakia mengira dia akan menghukum Syakia hanya karena ucapan Ayu? Adika merasa hal ini agak konyol. Dia memang sakit, tetapi keadaannya belum begitu parah hingga dia akan langsung menghukum seorang gadis karena beberapa patah ucapan gadis lain. Namun, Adika tidak tahu bahwa tebakannya itu memang benar.Di kehidupan sebelumnya, Syakia juga tidak percaya Damar yang selalu bersikap adil dan memiliki akal sehat akan begitu membela Ayu hanya karena beber

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 47

    Jika bukan karena tahu Adika sangat membenci didekati wanita, Syakia hampir salah paham pada ucapan Adika. Dia berdeham dan menjawab, “Doa pagi sudah selesai. Sebelum doa malam, aku memang nggak punya kerjaan lain.”“Baguslah kalau begitu. Ayo jalan!” Adika langsung berbalik dan berjalan di depan.Syakia buru-buru mengikutinya. “Pangeran Adika boleh pergi ke sana dulu? Aku mau simpan buku-buku ilmu pengobatan dan buku doa pagi di kamar. Habis itu, aku akan pergi cari Pangeran Adika.”“Oke. Jangan buat aku tunggu terlalu lama lagi.” Seusai berbicara, Adika pun terlebih dahulu pergi ke gunung belakang.Syakia mengiakannya, lalu berlari ke kamar untuk meletakkan buku-buku yang dipegangnya. Lima belas menit kemudian, dia memikul 2 ember air sambil berjalan ke arah gunung belakang. Namun, baru saja dia tiba di tepi sungai, dia menyadari ada yang aneh. Kenapa ada begitu banyak orang?Saat ini, di tepi sungai, bukan hanya ada Adika, tetapi juga 4 prajurit dari Pasukan Bendera Hitam dan seoran

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 46

    “Benar.”Pada saat ini, gerbang Kuil Bulani baru dibuka.Sebelumnya, Adika diutus Kaisar mengantar Syakia datang ke kuil untuk menjalankan upacara menjadi biksuni. Semua biksuni di kuil mengetahui hal ini. Jadi, biksuni yang membuka gerbang kuil tidak meragukan ucapan Adika.Meskipun biksuni itu meragukan ucapan Adika, Adika juga tidak berbohong. Kemarin, dia sudah pergi ke istana dan menawarkan diri untuk mengawasi upacara doa kali ini.Kaisar merasa agak aneh, tetapi tetap menyetujui permintaan pamannya yang mendadak itu. Jadi, Adika memang termasuk sedang menjalankan perintah Kaisar.“Sahana lagi doa pagi bersama Master Shanti di aula utama. Harap Pangeran Adika tunggu di luar untuk sejenak.”Pada akhirnya, Adika menunggu satu jam penuh. Ini adalah pertama kalinya dia menunggu orang sampai selama ini.Ketika Syakia mengikuti Shanti keluar dari aula, dia langsung melihat pria yang sedang bersandar di pilar dengan ekspresi mengantuk. Dia pun bergumam dalam hati, ‘Tunggu, kenapa dia da

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 45

    Ketika melihat Adika pulang dengan keadaan yang baik-baik saja, Gading dan yang lain mengira penyakit Adika tidak kambuh. Setelah mengamati dengan saksama, dia baru menemukan bahwa mata Adika terlihat agak merah dan wajahnya juga lumayan pucat.Adika mengangguk dengan acuh tak acuh dan mengiakannya. Meskipun sudah kembali tenang, setiap kali penyakitnya kambuh, tubuhnya akan menunjukkan beberapa gejala. Jadi, wajar saja Gading menyadarinya.Gading dan orang lainnya sontak tercengang. “Secepat itu? Kenapa gejala kali ini berlangsung begitu singkat?”Nada Gading terdengar gembira. Ketika penyakit Adika kambuh sebelumnya, waktu tersingkat sampai dia sadar kembali adalah 6 jam, sedangkan waktu terpanjang adalah sehari penuh. Hari ini, gejalanya sepertinya hanya berlangsung tidak sampai 2 jam.Meskipun tidak tahu apa alasannya, Gading tetap berujar dengan gembira, “Apa obat dari Tabib Deska akhirnya berkhasiat juga?”“Seharusnya bukan,” bantah Adika setelah berpikir sejenak. Adika sebenar

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 44

    Adika mengangkat alisnya dan bergumam dalam hati, ‘Lumayan. Dia cukup waspada juga.’“Jangan khawatir, aku nggak akan menjualmu,” ujar Adika sambil melepaskan genggamannya pada ember kayu itu.Syakia menerima ember itu, tetapi masih tidak berkomentar.Adika sontak tertawa pelan. “Aku sudah kumpulkan buku ilmu pengobatan untukmu. Besok, aku akan memberikannya kepadamu.”“Terima kasih ba ....” Sebelum menyelesaikan kata-katanya, Syakia melihat alis Adika yang terangkat lagi. “Kalau Pangeran Adika butuh bantuan, aku akan berusaha yang terbaik untuk membantumu.” Meskipun tidak merasa dirinya dapat memberikan bantuan berarti kepada Adika yang begitu berkuasa, Syakia tetap menyetujui permintaan Adika.Setelah Syakia setuju, ekspresi Adika pun menjadi jauh lebih baik. “Nggak ada yang kuperlukan darimu hari ini. Besok, aku akan pergi mencarimu.”Syakia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Oke.”Setelah Syakia pulang, Adika baru kembali ke kuil dengan suasana hati yang sangat bagus. Beberapa bawa

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 43

    Setelah mendengar suara Syakia yang melafalkan sutra, suasana hati Adika yang awalnya kacau pun berangsur-angsur tenang. Dia mendengar suara Syakia sambil memejamkan matanya. Tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa suara itu sudah hilang. Begitu membuka mata, dia baru menyadari bahwa biksuni muda yang ingin menimba air itu sudah tiba di lokasi tujuannya. Syakia berhenti melafalkan sutra untuk sesaat. Dia meletakkan ember kayu yang dipikulnya, lalu naik ke batu besar di samping sungai dan berjongkok untuk menimba air ke salah satu ember kayu yang dibawanya.Di kehidupan ini, Syakia tidak pernah bekerja sehingga tenaganya sangat kecil. Dia hanya mampu mengangkat setengah ember air. Namun, saat mengangkat ember itu, dia oleng sejenak sehingga sedikit air dari ember tumpah ke sekitar tempat pijakannya.Syakia yang masih belum menyadari keseriusan masalah ini pun meletakkan ember itu, lalu mulai mengisi ember yang satu lagi. Kali ini, ketika mengangkat ember itu, dia malah menginjak tumpa

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 42

    Ayu mau tak mau pergi ke Kuil Bulani lagi beberapa kali. Setiap hari, dia harus naik kereta kuda untuk pulang pergi dari ibu kota ke Gunung Selatan. Namun, selain tidak bertemu dengan Syakia sekali pun, dia bahkan dilarang masuk ke kuil.Awalnya, Ayu ingin berbaur dengan orang lain yang datang untuk bersembahyang. Tak disangka, orang yang datang bersembahyang di Kuil Bulani sangatlah sedikit. Setelah gerbang utama ditutup beberapa hari, orang yang datang juga berkurang banyak. Meskipun ada yang datang, orang-orang itu juga langsung pergi begitu melihat gerbang yang tertutup rapat.Mereka semua sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan kuil yang jam operasionalnya tidak menentu. Jadi, tidak ada seorang pun yang berkomentar.Setelah menunggu beberapa hari, Ayu akhirnya tidak tahan lagi. Dia pun menyogok seorang wanita dari desa kaki gunung dan menyuruhnya untuk bertanya seberapa lama Kuil Bulani akan ditutup. Tak disangka, jawaban yang didapatkannya adalah, putri suci perlu mendoakan kera

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status