Share

Pembalasan Dendam Nona Dingin
Pembalasan Dendam Nona Dingin
Author: NaLaTu

#1 Prolog

Author: NaLaTu
last update Last Updated: 2024-06-15 13:56:24

“Gue bilang, tunjukin ke gua di mana lo simpen kunci itu!”

Suara ketua mafia itu menggema di ruang keluarga yang mewah, mengancam. Nada suaranya berat. Dia memegang pistol antik ala mafia itu lalu menodongkannya ke seorang pria bertubuh kekar di depannya. "JAWAB, ANJING!!"

"LEPASIN GUAAA!" teriak pria itu, masih memakai baju tidur dan diikat tangannya. Ia tak bisa bergerak. "Gua nggak akan sudi ngasih ke bajingan kayak lo!"

DUAARTTTT!!!

Suara petir menyambar disertai hujan deras terdengar sampai ke ruang keluarga itu, tempat dimana keluarga Determine disekap oleh sekelompok mafia yang dengan brutal menyerbu kediaman Kris Determine.

Kris Determine, pengusaha sukses yang punya kekuasaan, kini terduduk lemah. Darah mengalir dari pelipisnya, membasahi lantai marmer ruang itu. Di depannya, istrinya, Leoni, dan anak sulungnya, Arga, diikat, matanya ditutup kain hitam. Mereka pingsan setelah dipukul oleh anak buah ketua mafia itu.

"Oh ya? Kita liat aja seberapa kuat lo bertahan." Ketua mafia itu tersenyum sinis sambil memainkan matanya ke anak buahnya.

Anak buahnya mendudukkan tubuh istri dan anak Kris dan menyandarkan ke dinding.

"BANGSAD!! Jangan coba-coba lu sentuh anak-istri gua!" Pria itu menggeliat, "Lu boleh ambil nyawa gua, tapi jangan anak-istri gua!"

"Gua nggak butuh nyawa lo. Gua cuma butuh kunci itu." Ketua mafia itu mendekat ke wajah Kris sambil menempelkan pistol itu ke keningnya. "Hahahahah... Kris Kris... setelah sekian lama, akhirnya gue bisa ngeliat lu jadi pengecut kayak gini. Wah! Gua udah lama banget nantiin saat-saat kayak gini, Kris!" teriak ketua mafia itu masih dengan menodongkan pistolnya.

Napas Kris tersengal-sengal. Kris melotot ke Brok dengan tatapan sangar. Mafia berdarah dingin itu. 

"Oh... atau..." Dia lalu menggeser pistolnya tepat ke arah istri dan anak Kris yang tak berdaya itu. "Lu pilih, kunci harta itu atau nyawa istri anak lo!"

"Cukup!" Kris tak berdaya. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya gemetar hebat. Ia bingung dengan pilihan yang diberikan. Apa yang akan dilakukannya?

Sedangkan di tempat lain di rumah itu, seorang pria berjas hitam—Black D, anak buah setia Kris bersembunyi di ruang rahasia bersama Ziva, anak perempuan Kris yang baru tujuh tahun. Ia berhasil menyelamatkannya.

“Ci, jangan nangis... tenang ya, Om ada di sini,” bisik Black D, mencoba menenangkan gadis kecil itu yang menggigil ketakutan.

“Om Bek... Papa, Mama sama kak Arga kenapa? Mereka dimana? Om Om bertato itu siapa?” suara Ziva gemetar, matanya membelalak penuh air mata.

Black D, atau ‘Bek’, memeluk Ziva erat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Dia tahu, kalau mereka ketahuan, putri satu-satunya majikannya itu akan melayang. Ia sudah berjanji kepada tuannya, ia akan menyelamatkan Ziva bagaimanapun situasinya.

“Mamah Papah sama kak Arga nggak kenapa-napa, Ci. Nggak usah dipikirin... pokoknya Cici harus kuat. Cici harus percaya sama Om. Kita keluar dari sini, oke?” ujarnya, sambil menyentuh kalung berlian di leher Ziva. “Ingat, jangan sampai ini hilang. Ini berharga buat Cici.”

Ziva hanya mengangguk pelan. Dia terlalu takut untuk berkata apa-apa lagi. "Tapi... Mamah papah dan kak Arga..."

Tiba-tiba, DOR DOR DOR!!!

Suara tembakan berkali-kali terdengar dari ruang tamu. Ziva menjerit kecil, menutup telinganya. Black D langsung meraih ponselnya, mengirim pesan singkat: "Operasi penyelamatan dimulai. Sekarang!!"

Dia menggenggam tangan Ziva erat, matanya waspada menembus kegelapan. "Itu apa Om?" jerit Ziva ketakutan sambil menutupi telinganya.

"Sudah, sayang... nggak apa-apa. Itu cuma suara kembang api. Sekarang ikut Om, pelan-pelan,” katanya sambil mulai menyelinap keluar dari ruang rahasia itu.

Sementara di ruang keluarga, Kris yang lemah mulai terbatuk darah. Suaranya nyaris tak terdengar. Istri dan anaknya sudah tak bernyawa lagi. Mayat-mayat anak buahnya berjatuhan di setiap sisi ruang keluarga itu saat mencoba melindungi majikannya.

"Kris, gue cuma mau satu hal, tunjukin dimana kunci itu!" teriak pemimpin mafia itu. Dia lalu menarik dan menjambak rambut Kris sambil mendongakkan ke atas. "JAWAB!"

Kris berusaha melawan dengan meluruskan kepalanya. Walau kesakitan ia menatap ke depan, menatap kosong ke arah mayat istri dan anaknya.

"Kris Kris... lo gak pantes disebut ayah atau suami... lo tega ngebiarin gua bunuh mereka. Ckk ckk ckk..."

Kris lalu berusaha menatap ketua mafia itu, melotot.

"Oh? Lu udah mau ngasih tau?" Ketua mafia itu mendekat ke wajah Kris. "Gimana? Dimana kuncinya?"

CUIH! Kris meludah ke wajah ketua mafia itu. Seketika ludah campur darah itu meleleh hingga ke janggut ketua itu.

"ANJING!" DORR!!

Kris kini tak berdaya, sekarat akibat luka tembak di bagian kepalanya.

“Zi-ziva putriku... se-selamatkan dia, Black D... dia… kun-kunci…” katanya terputus-putus sebelum matanya tertutup sendiri, menghembuskan nafas terakhirnya.

Ketua mafia itu sempat mendengar rintihan Kris. “Kunci? Apa maksud si bodoh ini?"

"Maaf Tuan, ternyata masih ada satu anak lagi," ucap salah atau anak buah ketua mafia itu sambil menunjuk sebuah foto yang terpampang jelas di dinding ruang itu.

"Oh... jadi putrinya kunci itu?” Dia tertawa kecil, licik. “Cari dia sampai dapat! Sekarang juga!”

"Siap, Tuan!" jawab mereka serempak.

Sementara itu, Black D dan Ziva terus berjalan menembus malam, hujan membasahi mereka berdua setelah berhasil keluar dari kediaman Determine. Black D walau tertatih-tatih, ia menggendong Ziva berlari entah kemana. "Om... Ziva capek...," rintih Ziva, lemah.

"Tenang, sayang!" ucap Black D menenangkan.

POM POM!

Tak lama kemudian sebuah mobil hitam membunyikan klakson, datang menjemput mereka.

***

12 Tahun Kemudian...

Bruk!

“Woi, tuh mata kalau jalan liat-liat dong!” teriak seseorang sambil menghindar. Ia berjalan bersama dengan gengnya yang terkenal disegani di kampus.

Padahal jelas-jelas mereka yang asal jalan sambil ketawa-ketiwi. Mereka lanjut jalan tanpa memperdulikan Ziva lagi.

Karena tabrakan tadi membuat Ziva membungkuk, memunguti bukunya satu per satu. Tatapannya dingin, seolah menusuk ke arah mereka. “Bego, lu semua yang harusnya ngeliat jalan,” ujarnya pelan tapi tajam.

Mereka berhenti. Seorang cewek berbalik, “Lu ngomong apa?" Tangannya berkacak pinggang.

Ziva diam, fokus dengan bukunya.

"Woi, jawab!" Sari nama cewek itu. Dia senggol bahu Ziva.

Ziva menepis.

"Dih, santai dong, Nona Dingin.” Sari mendesis. Dia tau Ziva, dijuluki "Nona Dingin" oleh seisi kampus.

Teman Sari yang lain berbalik. "Heh, udah udah nggak udah ngurusin tuh bocah!" ucap cowok di geng itu, Ardi namanya.

Sari kembali menyenggol bahu Ziva, "Ups!"

Saat Sari berbalik, PLAK!

BRUK!!!

Sari terjatuh! Ziva menyenggol kaki Sari. Membuatnya terjegal dan terjatuh.

Ziva menatap mereka balik, "Denger... gua gak punya waktu ngelayani orang bebal kayak kalian!"

"Wah, beran-"

"Udah udah udah!" potong Raka, cowok paling menonjol di geng itu, melangkah maju. “Maaf ya, kita nggak sengaja,” katanya dengan nada lebih lembut, mencoba meredakan suasana. "Kamu nggak kenapa-napa kan?"

Ziva mengangkat alis, langsung membalas, “Lo pikir, permintaan maaf bisa balikin waktu gua?”

Kalimat itu bikin suasana mendadak hening.

Dom, salah satu teman Raka, yang biasanya paling cepat tersulut emosi, langsung berkacak pinggang. “Lo barusan ngomong apa, hah?” tanyanya, matanya menyipit penuh tantangan. "Ngomong lagi!"

Ziva mendongak, menatapnya tanpa rasa takut. “Lo tuli?”

“Woi, bantuin gua!" Sari menjerit kesakitan. Ardi membantu Sari berdiri. "Tuh bocah kurang ajar!" Sari menggeram.

Dom makin maju, mukanya udah merah. “Heh, lo anak baru nggak usah sok cool gitu. Gue kasih tahu ya, lo bukan siapa-siapa di sini. Dan lu harus nurut sama kita, kating elu!"

Ziva menghela napas pelan, menegakkan tubuhnya. “Dan lu semua pikir, lu semua penting di kampus ini?” Matanya membara, tatapan itu lebih tajam dari pisau chef. “Jangan mentang-mentang lo semua kating atau geng yang paling ditakuti apalah itu, that faking makes me sick! Dan lo semua nggak sama rendahnya kok sama babi.”

“Lo—”

“Udah!” suara Raka memotong, tangannya terangkat untuk menenangkan Dom yang udah hampir meledak. “Nggak perlu diperpanjang.”

Dom melotot, nggak percaya. “Lo ngebela dia, Rak? Si manusia es ini? Seriusan?”

“Gue bilang cukup,” tegas Raka lagi, kali ini lebih keras. "Sama cewe juga ngapain sih diperpanjang?"

"Rak, dia..." Sari kesal.

Menyadari mereka sibuk debat, Ziva segera memungut buku terakhirnya, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun. Dia begitu karena dia tahu satu hal: masalah kayak gitu cuma buang waktu.

Dan biasanya cewek-cewek kampus apalagi adik kelas yang dibela atau disenggol oleh Raka pasti kepincut akan ketampanan Raka, statusnya dan pengaruhnya di kampus. Oleh karena dia ialah cowok terpopuler di kampus. Anak pengusaha juga.

"Cih, gue jadi penasaran ama tuh cewe," gumam Raka menyadari kepergian Ziva. Ia menatap Ziva yang berjalan santai ke ujung lorong kampus.

Ziva yang kini tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan kulit putih bersih, rambut terurai rapi dan hitam selalu ia ikat ke belakang. Meski begitu, penampilan Ziva selalu yang terbaik walau terkadang tertutupi oleh sikapnya yang begitu dingin. Sehingga ia dijuluki "Si Nona Dingin".

***

Malamnya di Rumah Ziva...

“Gimana di kampus, Ci?”

Ziva yang duduk di balkon, memandangi langit malam berbintang, menoleh pelan. Black D, yang sekarang terlihat lebih tua datang dengan secangkir teh hangat di tangan. Wajahnya berkumis, rambutnya botak, sangar perawakannya. Kocak sifatnya.

“Kayak biasa,” jawab Ziva singkat.

Black D duduk di kursi sebelahnya, meletakkan teh itu di meja kecil. “Masalah lagi?” tanyanya dengan senyum tipis. “Apa kali ini?”

Ziva tidak langsung menjawab. Matanya kembali menatap bintang-bintang di langit. “Orang-orang yang gak penting,” gumamnya, suaranya datar. Tangan kanannya memainkan kalung berlian yang melingkar di lehernya.

Black D menghela napas, tahu betul apa yang Ziva maksud. “Ci, kamu nggak harus terus pasang tembok sama semua orang. Nggak semua orang itu musuh, tahu.”

Ziva melirik sekilas, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya kembali ke langit. “Aku tau, Om. Ya... belum saatnya aja aku mau bersosialisasi.”

Masa lalu Ziva rupanya telah mengubah kepribadiannya. Walaupun Black D selama ini sudah berusaha mengubah sifat Ziva kembali menjadi gadis yang periang, namun semua itu gagal. Ziva selalu terbayang-bayang dengan kejadian masa lalu itu. Trauma itu pun menciptakan kepribadian Ziva yang dingin dan tertutup terhadap orang lain.

"Udah saatnya!" ucap Black D sambil menepuk pundaknya lembut lalu berlalu.

***

Keesokan harinya di kampus

Selesai kelas Sosiologi, Ziva memutuskan ke kamar mandi untuk cuci muka. Tapi begitu dia membuka pintu, dia terdiam.

KREEEK!

Deg!

Di sana, seorang mahasiswi dan mahasiswa sedang sibuk bercumbu, terlalu asyik sampai nggak sadar mereka ada yang melihat. Mereka beradu mulut, dengan tangan mereka yang saling meraba alat vital mereka masing-masing.

"Yeah! Come on baby! Eum... Yeah!" desah mahasiswa itu keenakan.

Ziva mengerutkan dahi. “Kalian tahu ini tempat apa?” tegurnya, dingin. Dia menendang bokong mahasiswa itu membuat ia terkejut dan menempel ke pacarnya itu.

BUM!

"AW!" jerit mahasiswi itu.

Mereka langsung kaget, buru-buru melepaskan diri. Mahasiswi itu dengan panik membenahi kancing bajunya yang hampir lepas, sementara si cowok membelakangi Ziva, menyembunyikan wajahnya. Ziva kenal mahasiswi itu. "Kayak nggak ada tempat lain aja lu berdua begituan di sini!"

Mereka kalang kabut.

"Ya, apa urusan lu!" Si cewek ngotot sambil mendorong Ziva keluar dari kloset. "Minggir! Nggak usah sok suci."

Ziva menangkis tangan cewek itu dengan sigap. "Ckk ckk ckk... gak tau malu!"

"Awas lu!" ancam cowok itu sambil menyenggol bahu Ziva dengan kasar sambil keluar dari kamar mandi. "Denger ya... awas aja lu cepu, gua congkel biji mata lu!"

Wajah Ziva datar, "Dasar babi-babi birahi!"

***

Ziva berjalan melewati lapangan basket setelah keluar dari kamar mandi. Ia masih kesal mengingat kejadian tadi, tapi mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba...

WHOOOOOSSSS!!

Sebuah bola basket meluncur keras dari arah samping, tepat mengenai bahu kirinya.

"Ah!" Ziva meringis kesakitan, hampir kehilangan keseimbangan. Suara tawa sinis terdengar dari arah lapangan. Ia menoleh, dan melihat para pemain basket itu berdiri dan menertawakannya.

"Ups! Nggak sengaja!" teriak salah satu cowok itu sambil tertawa. Teman-temannya ikut terkekeh, memandang Ziva seperti mainan yang baru saja mereka rusak.

Ziva menahan emosi, menggigit bibirnya. Ia mencoba tetap berdiri tegak meski bahunya terasa ngilu. Saat itu, kerumunan mulai terbentuk, suara-suara orang yang berbisik penasaran memenuhi udara.

Dari kejauhan, Raka, berjalan bersama gengnya setelah dari kantin kampus. Raka memulai perbincangan dengan membahas ketertarikannya dengan Ziva. "Jujur gue penasaran ama tuh cewe."

"Aih, ngapain sih, Rak. Kayak nggak ada adek kelas yang lain aja? Lu nggak liat dia ga-"

"Wait!" potong Raka. Sorot matanya tertuju ke kerumunan orang di pinggir lapangan. "Apaan tuh rame-rame?"

"Entah," kata Dom. "Liat dulu!" Mereka semua berjalan cepat menuju kerumunan itu.

"Ziva?" panggil Raka, bergegas menghampiri. Matanya menyapu situasi, langsung menangkap pelaku yang berdiri dengan ekspresi puas.

Cowok itu melangkah mundur, namun Raka sudah berdiri di depannya. “Lu yang ngelakuin ini?” suaranya rendah, dingin. Kerumunan semakin rapat, menunggu apa yang akan terjadi.

"Emangnya kenapa kalau iya?" tantang cowok itu, pura-pura santai meskipun jelas terlihat gugup.

Tanpa basa-basi, Raka menarik kerah bajunya, mendekatkannya ke wajahnya. "Maksud lu apaan hah? Mau cari mati, lu?"

"Lepasin gue! Lu kira lu siapa, hah?" Cowok itu mencoba melawan, tapi genggaman Raka terlalu kuat.

Tanpa peringatan, Raka melayangkan pukulan keras ke wajahnya. Suara dentuman tinju menggema, membuat kerumunan terdiam. Cowok itu tersungkur ke tanah, mengusap sudut bibirnya yang berdarah.

"Lu mau lagi?" tanya Raka, matanya penuh amarah.

"L-lo gila! Ini... ini bakal gue laporin!" ancamnya, meski suaranya gemetar. Jelas dia tidak kenal Raka, mahasiswa yang memiliki kekuasaan di kampus.

Raka mendekat, membungkuk untuk menatapnya langsung. "Sana laporin! Tapi sebelum gua lepasin lu, lu minta maaf ke Ziva."

Cowok itu terdiam, menunduk malu. Kerumunan mulai mencemooh, memojokkannya lebih jauh. "Nggak akan!" teriaknya.

"Udah, Ka!" cegak Dom mencoba menarik baju Raka saat Raka bersiap memberi pukulan lagi.

"Diem lu!" pekik Raka ke Dom. Seketika Dom terdiam tak bisa berbuat apa-apa.

"Ziva," Raka menoleh ke arah Ziva yang masih memegang bahunya. "Lu nggak apa-apa?"

Ziva menatapnya dengan ekspresi bingung bercampur sinis. "Gue nggak kenapa-napa, nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan," ucap Ziva datar lalu pergi meninggalkan keributan itu. Dia merasa risih.

Raka membeku. Ia lalu menepis cowok itu dan segera berdiri di tengah lapangan, menatap kerumunan yang mulai membubarkan diri. "Buat lu semua, denger gua! Kalau ada yang berani macam-macam lagi sama Ziva ya Ziva Determine... Cewek yang jalan di depan sana, gue orang pertama yang bakal cari lu!"

Suasana perlahan mereda. Raka menoleh ke Ziva yang sudah pergi jauh namun ia sempat mendengar teriakan Raka.

"Bener-bener sedingin itu kah elu? Cih... makin penasaran gue sama lu!" gumam Raka.

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   #2 Leon Bearpo

    Ziva berjakan ke kelas.Sesampainya di dalam, dia segera duduk di kursinya, melemparkan buku-buku ke atas meja. Menghembuskan napasnya yang kasar. Hari ini agak pusing rasanya.PRAKK!!Pintu kelas terbuka, muncul seorang mahasiswi, berjalan santai dengan angkuh sambil menyilangkan tangannya.Tatapan Ziva tak sengaja bertemu dengan gadis itu, yang langsung menyadari keberadaannya. “Apa lo liat-liat? Nggak pernah, ya, liat cewek cantik kayak gue?” ucap gadis itu dengan nada sinis sambil memutar rambutnya.Ziva tetap diam. Ekspresinya tetap datar, tapi sorot matanya dingin.Gadis itu terus berjalan ke kursinya yang posisinya tak terlalu jauh dari kursi Ziva.“Cih,” gumam Ziva pelan, cukup untuk didengar gadis itu.Wajah gadis itu berubah muram, tersinggung, yang tak lain adalah Celine. “Heh, manusia es!" tunjuk Celine. Dia berjalan ke kursi Ziva, "Nggak usah sok suci lu!” katanya tajam dekat Ziva, matanya membara.Ziva menatap Celine, alisnya terangkat.Celine mendekatkan wajahnya ke teli

    Last Updated : 2024-06-15
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   #3 Tantangan

    "Hai juga," jawab Ziva dengan datar, berusaha menyembunyikan motifnya. Ia sedikit gugup saat tiba-tiba disapa."Boleh aku duduk... di sini?" tanyanya, ragu.Ya, Leon tiba-tiba menghampiri Ziva di kantin kampus. Rupanya dia penasaran dengan Ziva sejak pertama kali melihatnya di kelas tadi. Dan ia mengikuti Ziva."Ya, silakan," jawab Ziva tampak terkejut namun sedikit senang.Leon duduk, memandang Ziva dengan mata penuh perhatian. "Ehm... nama kamu siapa?""Ziva, panggil aja Ziva," jawab Ziva mencoba senyum. Sejauh ini ia belum pernah menampakkan senyumnya kepada siapapun. Leon beruntung. "Dan elu...""Leon, Leon Bearpo," ucapnya, menyodorkan tangannya.Ziva tersentak memandangi tangan Leon. "Oh, oke," jawab Ziva datar, masih tak bereaksi.Leon mulai canggung. Ia turunkan tangannya. "So, nama lu Ziva... good name. Eh, iya, by the way, kenapa kamu ambil jurusan sosiologi?""Ya, emangnya kenapa?""Ow, sorry! I mean, cewek kayak kamu itu cocoknya ambil jurusan kedokteran.""Kedokteran? Kena

    Last Updated : 2024-06-15
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Kebenaran

    "Hai, Leon," sapa Ziva dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan motifnya. "Boleh aku duduk di sini?" Ya, Ziva melihat Leon yang pergi ke kantin. Dengan cepat, Ziva memutuskan untuk mengambil langkah pertama--menghampiri pria bernama belakang Bearpo itu! "Tentu, silakan," jawab Leon tampak terkejut namun senang. "Ziva, kan? Aku ingat kamu dari kelas tadi." Ziva duduk dan memandang Leon dengan mata penuh perhatian. "Ya, betul. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Jadi, bagaimana rasanya pindah dari Inggris ke sini?" Leon menghela napas lega. "Cukup berbeda, tapi menyenangkan. Semua orang di sini sangat ramah." Ziva tersenyum tipis. "Senang mendengarnya. Nama keluargamu, Bearpo, terdengar unik. Apakah ada cerita di balik nama itu?" Leon tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya, itu nama keluarga lama yang diwariskan dari kakek buyutku. Tidak banyak cerita menarik, hanya sejarah keluarga biasa." Ziva mengangguk, berusaha menyingkap lebih banyak informasi tanpa terlihat terlalu men

    Last Updated : 2024-06-15
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Sosok Leon Bearpo

    Saat kelas Sosiologi berakhir, Ziva mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Bersiap untuk pulang dengan sepedanya yang sudah diperbaiki. Namun, hari ini, Leon kembali mendekatinya dengan senyum ramah di halaman kampus. Itu artinya rencananya berhasil memancing Leon. "Ziva, mau pulang bareng? Aku bawa mobil hari ini," tawarnya sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ziva melirik ke arah mobil Leon yang terparkir di dekat gerbang sekolah. Mobil mewah itu memancarkan kesan eksklusif dengan logo yang familiar di bagian depan. Logo yang sama dengan yang dilihatnya pada orang-orang yang melayani bos tua dengan tongkat mahal tempo hari. "Terima kasih, Leon, tapi aku lebih suka pulang dengan sepeda. Rumahku tidak terlalu jauh," jawab Ziva, berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Leon tampak sedikit kecewa, namun dia menghormati keputusan Ziva. "Baiklah, hati-hati di jalan ya." Ziva mengangguk dan mengayuh sepedanya menjauh, namun pikirannya terus bekerja. Dia memutuskan untuk mengi

    Last Updated : 2024-06-15
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Perhatian

    Beberapa hari telah berlalu. Suasana di gymnasium kampus sangat meriah, dipenuhi oleh sorak-sorai dan semangat para mahasiswa yang datang untuk menyaksikan pertandingan. Bendera, poster, dan yel-yel terdengar riuh mengiringi pertandingan yang akan dimulai. Dua tim yang paling ditunggu-tunggu adalah tim "Wings" yang dipimpin oleh Leon dan tim "Rabbits X" yang dipimpin oleh Raka. Ziva duduk di bangku penonton, hatinya berdebar kencang. Meski fokus utamanya adalah menyelidiki Leon, dia tidak bisa menahan perasaan gugup dan semangat untuk pertandingan ini. Saat Leon dan Raka masuk ke lapangan, sorak-sorai semakin menggema. Pertandingan dimulai dengan cepat. Tim "Rabbits X" langsung mengambil alih kendali permainan. Raka, dengan kelihaiannya, berhasil mencetak beberapa poin awal, membuat timnya unggul. Penonton bersorak gembira, namun Ziva tetap tenang, matanya terus mengikuti gerak-gerik Leon. Di babak pertama, tim "Rabbits X" unggul jauh. Raka menunjukkan kemampuannya yang luar biasa,

    Last Updated : 2024-06-15
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Insiden

    Sayangnya, Ziva tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, malam harinya, Ziva duduk di kamar. Merenung tentang semua kejadian yang menimpanya. Dia masih belum berbicara dengan Black D, yang sejak awal melarangnya untuk ikut campur urusan kelompok beruang. Setiap kali membahas insiden 14 tahun lalu, dan membahas segala sesuatu tentang masa lalu. Namun, ketegangan di antara mereka terasa semakin tak tertahankan. Tok tok tok! Black D mengetuk pintu kamar Ziva. Dia masuk dengan wajah penuh beban, membawa sebuah kotak kecil di tangannya. "Ziva, ada sesuatu yang harus kuberikan padamu." Ziva menatapnya dengan bingung. Black D membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan sebuah cincin emas yang indah. "Ini milik ibumu, Nyonya Leoni. Dia memberikannya padaku untuk diserahkan kepadamu ketika kau sudah dewasa." Ziva terdiam, menatap cincin itu dengan mata berkaca-kaca. Ziva melanjutkan dengan suara yang semakin berat, "Ziva, aku mungkin tidak punya banyak waktu lagi. Kelompok beruang sedang memburuku.

    Last Updated : 2024-06-25
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Klub Malam

    "Ziva, bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah tanganmu masih sakit?" Esok harinya di kampus, Ziva berjalan ke kelas dengan tangan yang masih diperban. Begitu memasuki kelas, dia langsung disambut oleh Leon yang sudah menunggunya di meja. Ziva sontak tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Leon. Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit kemarin.""Ya sama-sama. Senang membantu kamu," ucap Leon tersenyum. "Eh sini aku bantu!" Leon membantu membawa buku-buku Ziva menuju kelas. Leon terus memperhatikan Ziva sepanjang hari, memastikan dia tidak terlalu kesulitan dengan tangan yang diperban. Dari kejahuan, Raka, yang biasanya selalu memperhatikan gerak-gerik Ziva, kini mulai merasa segan terhadap Leon setelah insiden di toilet kemarin. Namun, dia masih memantau dengan hati-hati, meskipun dari kejauhan. *** Saat pulang dari kampus, Ziva berjalan kaki pulang menuju rumah. Leon yang melihat Ziva berjalan kaki, segera memarkir mobilnya di dekatnya dan memaksa untuk membawanya pulang. "Ziv

    Last Updated : 2024-06-25
  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Air Susu Dibalas Air Tuba

    Hari berikutnya di kampus, suasana terasa lebih santai. Di kafetaria, Ziva duduk sendirian dengan segelas kopi di tangannya. Dia sedang merenung ketika Leon mendekatinya dengan senyum lebar."Ziva, aku punya sesuatu untukmu," kata Leon sambil duduk di sebelahnya. Dia mengeluarkan sebuah kartu undangan khusus dari sakunya dan memberikannya kepada Ziva.Ziva mengambil kartu itu dengan rasa penasaran. "Apa ini, Leon?""Besok adalah ulang tahunku, dan aku ingin mengundangmu ke pestaku. Akan ada banyak teman dan keluarga. Aku harap kau bisa datang," kata Leon dengan penuh harap.Ziva membuka kartu undangan itu dan membaca isinya. "Terima kasih, Leon. Aku akan mencoba datang."Leon tersenyum puas. "Aku senang mendengarnya. Aku akan memastikan ini menjadi malam yang tak terlupakan. Oh iya kamu minum apa?""Oh ini?" Ziva menunjuk kopinya. "Kopi Arabika, favoritku.""Boleh aku coba?""Buat apa? Eh, maksudku si-silahkan."Leon menatap Ziva sejenak. Ia lalu mencicipi kopi itu. "Manis.""Manis?

    Last Updated : 2024-06-26

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Cintanya Raka

    Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Godaan

    Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Leona

    Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Dua Sisi

    Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Menantu

    Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Awal Rencana

    Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Pernikahan Sah

    Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Ancaman Serius

    Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub

  • Pembalasan Dendam Nona Dingin   Persiapan Pernikahan

    Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status