Share

Sandiwara

"Aku tidak tertarik," jawabnya tanpa basa-basi, kemudian berbalik meninggalkan Raka yang terdiam dan dua siswa yang masih kebingungan.

Dia memilih lanjut ke kelas lainnya.

Namun di dalam kelas, Ziva menatap kehadiran salah satu siswa yang baru saja masuk dari pintu kelas.

Walau telihat biasa saja, namun di mata Ziva mahasiswi itu tampak kebingungan.

“Apa kamu lihat-lihat? Tidak pernah ya melihat gadis cantik sepertiku?” ucapnya tiba-tiba pada Ziva.

Ekspresi Ziva sama datarnya saat melihat mahasiswi itu.

“Murah!” ucap Ziva pelan, namun menyakitkan.

Seketika itu juga gadis itu murka. Rautnya berubah, wajahnya memerah. “Apa maksud kata kamu itu?”

“Aku melihat semuanya, perempuan kotor!” pekik Ziva.

Seluruh pandangan tertuju pada Ziva, menyaksikan kegaduhan walau belum tau pasti maksud dari Ziva.

“Awas kamu, Ziva!” ancam Celine dengan geramnya. Ia kembali ke bangkunya.

Ziva tersenyum sinis. Siswi itu sangat dibenci oleh Ziva, begitupun sebaliknya.

Sepulang dari kampus, Ziva berjalan di trotoar, melangkah menuju rumah. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah mobil mewah yang berhenti di seberang jalan. Dari dalam mobil, seorang pria tua dengan tongkat mahal turun, dikelilingi oleh beberapa orang berpakaian rapi yang melayaninya dengan penuh hormat.

Ziva memperhatikan dengan seksama, matanya tertuju pada pin yang tersemat di baju para anak buah pria tua itu. Pin itu adalah simbol beruang yang familiar, sama dengan yang dikenakan oleh para penyerang yang membantai keluarganya empat belas tahun lalu.

Jantung Ziva berdegup kencang. Ini bukan kebetulan. Dia merasa harus menyelidiki lebih lanjut tentang kelompok ini. Dengan tekad yang kuat, dia bergegas pulang, pikirannya penuh dengan rencana.

Saat tiba di rumah, Black D yang baru pulang dari pekerjaannya di barber shop menyapanya. "Hai, Ci. Bagaimana harimu?" tanyanya dengan senyum hangat.

"Baik," jawab Ziva singkat, berusaha menutupi kegelisahannya. "Bagaimana denganmu, Om Bek?"

Black D mengangguk. "Cukup sibuk, tapi semuanya berjalan lancar. Aku akan memasak makan malam nanti. Apa ada yang ingin kamu ceritakan?"

Ziva menggeleng. "Tidak ada yang istimewa. Aku akan ke kamar sebentar."

Black D mengangguk, memperhatikan Ziva yang bergegas menuju kamarnya. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu Ziva, tapi memilih untuk tidak menekan lebih lanjut. Black D percaya bahwa Ziva akan menceritakan jika sudah siap.

Namun, setelah makan malam yang tenang, Ziva memilih duduk di meja belajarnya dengan laptop terbuka. Bayangan masa lalu terus menghantuinya, membuatnya semakin bertekad untuk menemukan jawaban. Dia mencari informasi tentang kelompok yang dilihatnya tadi siang, mencatat setiap detail yang mungkin berguna.

Pikirannya melayang kembali ke malam mengerikan itu. Kilatan ingatan tentang keluarganya yang terbantai memenuhi pikirannya. Gambar wajah-wajah penyerang, suara tembakan, dan tatapan terakhir ayahnya yang memohon agar Black D harus menyelamatnya terus menghantuinya.

“Bearpo!” ucap Ziva dengan geramnya. Ia menyebut salah satu nama keluarga terkaya di kota itu. Ia mendapat informasi dari laptopnya, perusahaan keluarga Bearpo dipimpin oleh Brok Bearpo, orang yang ia temui tadi sore di depan hotel.

Ziva ingin terus menyiasat data keluarga Bearpo, namun sialnya, data-data keluarga ini memilki pengaman yang tak bisa diretas oleh orang awam seperti Ziva.

Dan Ziva tahu bahwa kelompok berlogo beruang bernama Berpo itu adalah kunci untuk mengungkap kebenaran. Dia harus mencari tahu siapa mereka dan apa motif sebenarnya di balik serangan brutal itu. Dengan hati yang penuh dendam dan tekad yang membara, Ziva mulai menyusun rencana untuk menyelidiki kelompok misterius ini lebih dalam.

Dia tahu langkah ini penuh bahaya, tapi dia tidak peduli. Baginya, keadilan bagi keluarganya adalah segalanya.

Malam itu, Ziva berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan berhenti sampai keadilan terwujud, dan kelompok berlogo beruang dengan julukan 'Bearpo' itu membayar setiap tetes darah yang telah mereka tumpahkan.

Namun, siapa sangka jawaban yang dibutuhkan Ziva akan datang tak begitu lama.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa kepala rektor dengan senyum ramah ketika Ziva berada di kelas Sosiologi masyarakat keesokan harinya. "Hari ini, kita kedatangan mahasiswa baru yang berasal dari luar negeri. Namanya Leon Bearpo."

Deg!

Ketika mendengar nama itu, Ziva tersentak. Leon Bearpo. Nama yang terdengar asing namun entah kenapa terasa penting. Dia segera menatap ke arah pintu, tempat seorang pemuda tinggi dengan rambut pirang dan mata biru masuk ke dalam kelas. Leon tampak tampan dan karismatik, membuat banyak siswa lain terkesan pada pandangan pertama.

"Silakan, Leon, perkenalkan dirimu," kata dosen yang mengajar Sosiologi itu sambil tersenyum.

Kepala rektor itu lalu mempersilahkan dengan hormat pada Leon.

Leon tersenyum, memandang seluruh kelas dengan tatapan tenang. "Halo, nama saya Leon Bearpo. Saya baru pindah dari Inggris. Senang bisa bergabung di sini," ucapnya dengan suara hangat.

Setelah perkenalan singkat, Leon duduk di bangku kosong yang terletak beberapa deret di belakang Ziva.

Ziva memerhatikan setiap detail tentang Leon dengan seksama.

Dia sepertinya punya ide untuk mengulik informasi tentang Bearpo!

Di lain sisi, di dalam kamar yang lebih dengan nuansa basket itu, Raka memegang foto Ziva. Ternyata ia memotret gambar Ziva diam-diam di kampus saat ia sedang istirahat di kafetaria.

Raka tersenyum manis memandangi wajah Ziva yang mulus nan menawan itu. Ia berjanji dalam hatinya ia harus mendapatkan hati Ziva yang dingin itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status