"Hai juga," jawab Ziva dengan datar, berusaha menyembunyikan motifnya. Ia sedikit gugup saat tiba-tiba disapa.
"Boleh aku duduk... di sini?" tanyanya, ragu.
Ya, Leon tiba-tiba menghampiri Ziva di kantin kampus. Rupanya dia penasaran dengan Ziva sejak pertama kali melihatnya di kelas tadi. Dan ia mengikuti Ziva.
"Ya, silakan," jawab Ziva tampak terkejut namun sedikit senang.
Leon duduk, memandang Ziva dengan mata penuh perhatian. "Ehm... nama kamu siapa?"
"Ziva, panggil aja Ziva," jawab Ziva mencoba senyum. Sejauh ini ia belum pernah menampakkan senyumnya kepada siapapun. Leon beruntung. "Dan elu..."
"Leon, Leon Bearpo," ucapnya, menyodorkan tangannya.
Ziva tersentak memandangi tangan Leon. "Oh, oke," jawab Ziva datar, masih tak bereaksi.
Leon mulai canggung. Ia turunkan tangannya. "So, nama lu Ziva... good name. Eh, iya, by the way, kenapa kamu ambil jurusan sosiologi?"
"Ya, emangnya kenapa?"
"Ow, sorry! I mean, cewek kayak kamu itu cocoknya ambil jurusan kedokteran."
"Kedokteran? Kenapa gitu?"
"Karena jika aku sakit hati, kamu bisa obati aku dengan..." Leon menaikkan tangan kanannya hendak mengelus pipi Ziva.
SLAPP!!
Ziva segera menepis tangan Leon. "Leon, gua bukan cewe murahan!" umpat Ziva menatap tajam ke Leon.
Leon terdiam, sedikit gugup.
"So-sory! Aku nggak bermaksud begitu. A-aku cuma..."
"Oke, lupain!" kata Ziva. "Sekarang gua mau nanya, lu itu asli mana? Dan lu kok bisa milih di sini?" potong Ziva mengganti topik.
"Aku blasteran, England-Indonesia. Papah asli Indonesia, Mamah asli England. Aku nyelesain SMA tuh di England. Dan kenapa gua milih di sini karena bujukan Papah.
"Terus, kenapa nggak mau lanjut kuliah di Inggris aja? Kan, universitas di sana lebih baik daripada di sini."
"Ya, kamu betul, tapi... begini, jadi papah tuh suggest buat kuliah di sini aja. Karena ada urusan penting, so aku harus stay di Indonesia for a long time."
Ziva mengangguk, berusaha menyingkap lebih banyak informasi tanpa terlihat terlalu mencurigakan. "Lu bilang lu udah lama di Inggris, tapi lu udah mulai fasih kok ngomong bahasa Indonesia."
"Oh ya, thank you." Leon senyum. "Itu karena aku juga belajar bahasa Indonesia sejak kecil di Inggris."
"Oh ya? Waw, itu luarbiasa."
Di saat yang sama, tanpa Ziva sadari, Raka memperhatikan Ziva dan Leon duduk berduaan di kantin. Seketika hati Raka remuk. Baru pertama kali ini Raka melihat Ziva begitu antusias berbicara dengan orang lain di kampus, cowok pula. Hal itu menimbulkan kecemburuan.
"Itu musang jenis mana sih? Kayak baru liat gua," kata Raka menunjuk Leon. Dia bersandar di dinding gedung kampus tak jauh dari kantin, sambil minum.
"Aih, udahlah Rak, buat apa sih lu kejer-kejer dia." Dom membuka kaleng minumannya lalu meminumnya. "Masih banyak cewek lain."
"Gua dah pernah bahas kan?" Raka melotot ke Dom.
"Ckk... iya iya... tuh bocah anak baru. Katanya sih pindahan dari Inggris. Bule katanya."
"Dih, anak baru udah lancang tuh. Bule pula. Awas aja dia keterlaluan, bakal gua kasih pelajaran tuh bule!" Raka berbalik badan.
"Kemana lu?"
"Berak! Ikut lu?"
"Gas!"
***
Malam hari di kediaman Black D, sebuah rumah sederhana yang selama ini menjadi tempat persinggahan Ziva dan Black D. Tempat Ziva bertumbuh dari kecil hingga dewasa sekarang ini. Letak rumah itu jauh dari keramaian, hal itu disengaja oleh Black D, karena ia tak ingin ada yang mengetahui keberadaan Ziva, apalagi menyakiti Ziva suatu saat nanti.
Di kamar, Ziva ternyata sudah mulai menyusun strategi. Dia mulai menempelkan kertas-kertas berisi informasi berharga mengenai penyelidikannya terhadap Bearpo di sebuah papan mini dekat lemari pakaiannya. Namun ia sembunyikan di balik lemari jika ia selesai.
Dia menempelkan kertas berisi nama-nama, Brok Bearpo, Beruang, keluarga Beruang, mafia. Dan sekarang ia menempelkan nama Leon Bearpo dengan keterangan, "Anak Brok Bearpo! Motif? Belum diketahui."
Setelahnya, ia membuka laptopnya dan mencari informasi tentang keluarga Bearpo. Kali ini ia fokuskan kepada salah seorang mahasiswa baru yang menemuinya di kantin. Leon Bearpo! Dia mencurigainya.
Berjam-jam lamanya ia mengutak-atik laptopnya, tak banyak yang ia temukan di malam itu, hanya ada informasi keseharian Leon di Inggris yang suka pergi ke bar, diskotik, dan hobinya yang bermain golf sama seperti anak orang berada pada umumnya lewat akun Pacebooknya. Ziva pun hampir menyerah mengusut pria bermata biru itu. Terlebih saat Black D hendak masuk ke kamar Ziva.
Ziva bergegas menyembunyikan kinerjanya itu ke balik lemari.
"Sup lele daun kemangi siap!"
"Iya Om, aku ke sana!"
***
Keesokan harinya ..
"Jadi, apa rencana lu setelah lulus nanti?" tanya Ziva, mencoba memancing cerita lebih pribadi. Mereka berdua berbincang-bincang di taman kampus setelah selesai kelas.
Leon tersenyum. "Ehm... aku sih belum punya plan yang pasti. But, mungkin aku akan melanjutkan studi ke universitas Oxford, atau mungkin memenuhi tugasku sebagai anak."
"Tugas sebagai anak? Apa maksudnya itu?" tanya Ziva penasaran walau tak terlalu ia nampakkan.
"Ah... ehm... aku nggak bisa ceitain lebih rinci. Tapi intinya ini tentang bisnis keluarga."
Ziva mengangguk. "Bisnis keluarga? Kayak apa bisnis keluarga lu?"
Leon tampak sedikit ragu sebelum menjawab. "Jadi begini, keluargaku punya beberapa bisnis di bidang perhiasan dan properti. Nggak terlalu besar, tapi cukup sukses. Nah, aku ditujukan untuk menggantikan posisi Ayah setelah aku selesai kuliah nanti."
"Wah, pewaris!"
"Exactly!"
Ziva memperhatikan sekitar. Ziva tiba-tiba murung.
"Why? Ada apa?" tanya Leon.
Sebelum Ziva lanjut berbicara, dia merasakan ada yang mengawasi mereka. Dia menoleh dan melihat Raka berdiri di kejauhan, memperhatikan mereka dengan tatapan nggak suka. Raka tampak jelas cemburu, dan Ziva tahu ini bisa menimbulkan masalah. "Raka!" gumam Ziva, kesal.
"What's wrong?" tanya Leon. Dia melihat ke sekitar.
"Oh, enggak! Cuma..."
"Well well well!" Raka bertepuk tangan berjalan menghampiri mereka berdua.
"Hai, Ziva. Dan lu Leon ya? Anak baru?" sapanya dengan suara yang terdengar tegang. Ia menunjuk Leon.
Leon menatap jengkel ke Raka. "Kamu siapa?"
"Oh, shuut shutt!" Raka menutup bibir Leon dengan jari telunjuknya.
"Ngapain lu di sini?" tanya Ziva datar. Ia tidak nyaman akan kehadiran Raka dan Dom di sampingnya.
"Gua? Hm, mungkin gua ada urusan sama anak baru ini," jawab Raka menunjuk Leon.
"Bangkit lu!" pinta Dom sambil berkacak pinggang. "Ayok bangkit!" Dom memaksa Leon berdiri.
"Heh!" Ziva membentak Dom. "Bajingan kayak lu ngapain di sini!"
"Ckk, gak usah macem-macem lu!" pekik Dom merasa tersinggung. "Lu tau apa akibatnya kan?"
"Dom!" tegur Raka ke Dom.
Dom menghela napas kasarnya, menahan diri.
Leon bingung. Ia segera bangkit. Bertepatan Leon berdiri, tiba-tiba... WHOSSSHHH!!!
Bola basket tiba-tiba melayang ke arah Leon dan hampir mengenainya. Leon menghindar dengan cepat, dan bola itu jatuh di dekat mereka. Raka tersenyum tipis.
"Ups, sorry, Leon," katanya dengan nada yang terdengar sengaja. "Wah... boleh juga cara lu ngehindar. Bisa main basket lu?"
Leon menatap Raka dengan penuh tantangan. "Nggak terlalu sering, tapi aku bisa ngalahin kamu."
"Cih, boleh juga nyali lu."
Raka, yang adalah salah satu ketua tim basket kampus, melihat ini sebagai kesempatan. "Kalau begitu... gimana kalau lu ikut turnamen basket bulanan?"
"Turnamen basket bulanan?"
"Ups, sorry! Gua lupa, lu masih anak baru di sini. Jadi, di kampus tercinta ini, diadakan turnamen basket antar klub basket, yang nanti pemenangnya bakal jadi perwakilan kampus ke turnamen nasional. Gimana? Paham?"
"Oh, begitu... tapi, aku belum masuk klub." Leon memungut bola basket itu lalu memutarkan di atas jari telunjuknya. "Dan mungkin nggak akan ada yang mau nerima pemain jago kayak aku."
"Dih, nggak usah sok songong lu! Gua denger klub sebelah kekurangan pemain. Dan kalau emang lu jago, buktiin ke gua!"
Leon tersenyum, menghentikan putaran bola di jarinya bagai menerima tantangan itu. "Oh, why not."
"Wah... bisa juga lu anak baru! Gua suka gaya lu!"
Ziva memandang kedua pemuda itu dengan sedikit khawatir, tetapi dia menyembunyikan perasaannya. Dia bingung menempatkan dirinya.
"Udah? Lu udah puas?" tanya Ziva mengambil bola dari tangan Leon dan mendorongnya ke tangan Raka.
"Pergi!"
Raka hanya tersenyum dan berjalan ke belakang sambil mengacungkan dua jarinya di sebelah keningnya ke Leon.
***
Beberapa hari kemudian...
Namun, siapa sangka, beberapa hari kemudian, suasana kampus dipenuhi semangat kompetisi menjelang turnamen basket bulanan.
Raka memimpin latihan timnya dengan penuh semangat, sementara Leon sudah bergabung dengan klub basket lain. Setiap hari mereka berlatih di klubnya masing-masing
Hari ini Ziva dan Leon berjalan bersama setelah dari kantin, mereka melewati lapangan basket tempat Raka sedang berlatih. Ternyata giliran mereka berlatih hari ini.
Tanpa sengaja, bola yang dilempar Raka melayang ke arah Leon lagi. WHOOOOOSSSS!!!
Leon menangkap bola itu dengan cepat dan melemparkannya kembali dengan senyum tipis.
Raka mendekati mereka dengan napas sedikit terengah. "Woi, lu mesti siap buat pertandingan nanti. Ini bakal jadi pertandingan yang sulit buat tim lu."
Leon mengangguk dengan percaya diri. "Sulit? Cih, bagiku nggak ada yang sulit. Kita liat aja siapa yang menang nanti."
Raka tertawa sinis sambil kembali bermain basket bersama Dom, Ardi dan temannya yang lain. Di pinggir lapangan, terlihat juga anggota geng Raka yang menunggu mereka latihan. Sari dkk.
"Leon, lu yakin ikut pertandingan itu?" tanya Ziva.
Leon tersenyum padanya. "Don't worry, aku bisa kok."
"Oh ya, berarti selama di Inggris lu juga bermain basket?" tanya Ziva sambil berjalan.
"Ya, aku juga pernah ikut turnamen basket. Oh iya juga... aku mau tanyakan ini sejak kemarin-kemarin." Leon berbalik badan. "Kamu sebenarnya kenal dia?"
"Siapa?"
"Itu si Raka ya namanya? Dia nggak suka aku kayaknya."
"Ah, paling dia cuma nyari perhatian ke anak baru kayak lu. Gua juga nggak kenal kok sama dia. Dia emang terkenal suka nyari masalah. Dan harusnya lu nggak usah repot-repot nerima tantangan dia."
"Ah, its okay. Aku juga sekalian mau melatih kemampuan olahragaku. And then dengan aku nerima tantangan itu, mungkin aja aku bakal dapat teman di kampus ini."
Raka melihat interaksi mereka dari kejahuan dengan tatapan cemburu, tetapi dia berusaha menyembunyikannya. Dia sungguh tak ingin membiarkan Leon merebut perhatian Ziva begitu saja!
"Rak, tangkep!"
BUMMM!!
Bola mengenai kepala Raka.
"Anjir!" umpat Raka.
Bersambung...
"Hai, Leon," sapa Ziva dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan motifnya. "Boleh aku duduk di sini?" Ya, Ziva melihat Leon yang pergi ke kantin. Dengan cepat, Ziva memutuskan untuk mengambil langkah pertama--menghampiri pria bernama belakang Bearpo itu! "Tentu, silakan," jawab Leon tampak terkejut namun senang. "Ziva, kan? Aku ingat kamu dari kelas tadi." Ziva duduk dan memandang Leon dengan mata penuh perhatian. "Ya, betul. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Jadi, bagaimana rasanya pindah dari Inggris ke sini?" Leon menghela napas lega. "Cukup berbeda, tapi menyenangkan. Semua orang di sini sangat ramah." Ziva tersenyum tipis. "Senang mendengarnya. Nama keluargamu, Bearpo, terdengar unik. Apakah ada cerita di balik nama itu?" Leon tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya, itu nama keluarga lama yang diwariskan dari kakek buyutku. Tidak banyak cerita menarik, hanya sejarah keluarga biasa." Ziva mengangguk, berusaha menyingkap lebih banyak informasi tanpa terlihat terlalu men
Saat kelas Sosiologi berakhir, Ziva mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Bersiap untuk pulang dengan sepedanya yang sudah diperbaiki. Namun, hari ini, Leon kembali mendekatinya dengan senyum ramah di halaman kampus. Itu artinya rencananya berhasil memancing Leon. "Ziva, mau pulang bareng? Aku bawa mobil hari ini," tawarnya sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ziva melirik ke arah mobil Leon yang terparkir di dekat gerbang sekolah. Mobil mewah itu memancarkan kesan eksklusif dengan logo yang familiar di bagian depan. Logo yang sama dengan yang dilihatnya pada orang-orang yang melayani bos tua dengan tongkat mahal tempo hari. "Terima kasih, Leon, tapi aku lebih suka pulang dengan sepeda. Rumahku tidak terlalu jauh," jawab Ziva, berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Leon tampak sedikit kecewa, namun dia menghormati keputusan Ziva. "Baiklah, hati-hati di jalan ya." Ziva mengangguk dan mengayuh sepedanya menjauh, namun pikirannya terus bekerja. Dia memutuskan untuk mengi
Beberapa hari telah berlalu. Suasana di gymnasium kampus sangat meriah, dipenuhi oleh sorak-sorai dan semangat para mahasiswa yang datang untuk menyaksikan pertandingan. Bendera, poster, dan yel-yel terdengar riuh mengiringi pertandingan yang akan dimulai. Dua tim yang paling ditunggu-tunggu adalah tim "Wings" yang dipimpin oleh Leon dan tim "Rabbits X" yang dipimpin oleh Raka. Ziva duduk di bangku penonton, hatinya berdebar kencang. Meski fokus utamanya adalah menyelidiki Leon, dia tidak bisa menahan perasaan gugup dan semangat untuk pertandingan ini. Saat Leon dan Raka masuk ke lapangan, sorak-sorai semakin menggema. Pertandingan dimulai dengan cepat. Tim "Rabbits X" langsung mengambil alih kendali permainan. Raka, dengan kelihaiannya, berhasil mencetak beberapa poin awal, membuat timnya unggul. Penonton bersorak gembira, namun Ziva tetap tenang, matanya terus mengikuti gerak-gerik Leon. Di babak pertama, tim "Rabbits X" unggul jauh. Raka menunjukkan kemampuannya yang luar biasa,
Sayangnya, Ziva tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, malam harinya, Ziva duduk di kamar. Merenung tentang semua kejadian yang menimpanya. Dia masih belum berbicara dengan Black D, yang sejak awal melarangnya untuk ikut campur urusan kelompok beruang. Setiap kali membahas insiden 14 tahun lalu, dan membahas segala sesuatu tentang masa lalu. Namun, ketegangan di antara mereka terasa semakin tak tertahankan. Tok tok tok! Black D mengetuk pintu kamar Ziva. Dia masuk dengan wajah penuh beban, membawa sebuah kotak kecil di tangannya. "Ziva, ada sesuatu yang harus kuberikan padamu." Ziva menatapnya dengan bingung. Black D membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan sebuah cincin emas yang indah. "Ini milik ibumu, Nyonya Leoni. Dia memberikannya padaku untuk diserahkan kepadamu ketika kau sudah dewasa." Ziva terdiam, menatap cincin itu dengan mata berkaca-kaca. Ziva melanjutkan dengan suara yang semakin berat, "Ziva, aku mungkin tidak punya banyak waktu lagi. Kelompok beruang sedang memburuku.
"Ziva, bagaimana perasaanmu hari ini? Apakah tanganmu masih sakit?" Esok harinya di kampus, Ziva berjalan ke kelas dengan tangan yang masih diperban. Begitu memasuki kelas, dia langsung disambut oleh Leon yang sudah menunggunya di meja. Ziva sontak tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Leon. Terima kasih sudah membawaku ke rumah sakit kemarin.""Ya sama-sama. Senang membantu kamu," ucap Leon tersenyum. "Eh sini aku bantu!" Leon membantu membawa buku-buku Ziva menuju kelas. Leon terus memperhatikan Ziva sepanjang hari, memastikan dia tidak terlalu kesulitan dengan tangan yang diperban. Dari kejahuan, Raka, yang biasanya selalu memperhatikan gerak-gerik Ziva, kini mulai merasa segan terhadap Leon setelah insiden di toilet kemarin. Namun, dia masih memantau dengan hati-hati, meskipun dari kejauhan. *** Saat pulang dari kampus, Ziva berjalan kaki pulang menuju rumah. Leon yang melihat Ziva berjalan kaki, segera memarkir mobilnya di dekatnya dan memaksa untuk membawanya pulang. "Ziv
Hari berikutnya di kampus, suasana terasa lebih santai. Di kafetaria, Ziva duduk sendirian dengan segelas kopi di tangannya. Dia sedang merenung ketika Leon mendekatinya dengan senyum lebar."Ziva, aku punya sesuatu untukmu," kata Leon sambil duduk di sebelahnya. Dia mengeluarkan sebuah kartu undangan khusus dari sakunya dan memberikannya kepada Ziva.Ziva mengambil kartu itu dengan rasa penasaran. "Apa ini, Leon?""Besok adalah ulang tahunku, dan aku ingin mengundangmu ke pestaku. Akan ada banyak teman dan keluarga. Aku harap kau bisa datang," kata Leon dengan penuh harap.Ziva membuka kartu undangan itu dan membaca isinya. "Terima kasih, Leon. Aku akan mencoba datang."Leon tersenyum puas. "Aku senang mendengarnya. Aku akan memastikan ini menjadi malam yang tak terlupakan. Oh iya kamu minum apa?""Oh ini?" Ziva menunjuk kopinya. "Kopi Arabika, favoritku.""Boleh aku coba?""Buat apa? Eh, maksudku si-silahkan."Leon menatap Ziva sejenak. Ia lalu mencicipi kopi itu. "Manis.""Manis?
Di sisi lain kampus, Raka berkumpul dengan Dom, seorang perempuan bernama Sari, dan seorang laki-laki bernama Ardi di sebuah kafe yang sepi. Mereka duduk di meja sudut, berbicara dengan suara rendah sambil menyusun rencana untuk merusak pesta ulang tahun Leon."Jadi, ini rencananya," kata Raka sambil membuka peta mansion Leon yang besar di atas meja. "Pesta akan diadakan di halaman belakang mansion. Kita harus mencari cara untuk masuk tanpa terdeteksi."Dom menyeringai, menambahkan, "Aku sudah mendapatkan beberapa alat untuk membuat kerusakan. Kita bisa merusak sistem suara dan lampu sehingga pestanya kacau. Aku juga siapkan asap buatan biar pesta itu menjadi ricuh seperti kebakaran."Sari, yang memiliki keterampilan dalam teknologi, berkata, "Aku bisa meng-hack sistem keamanan mereka. Begitu kita masuk, aku akan memastikan kamera pengawas tidak menangkap kita."Ardi, yang memiliki fisik kuat, menambahkan, "Dan kalau ada masalah, aku yang akan menangani keamanan. Kita akan memastikan t
Di sisi lain, Raka, Dom, Sari, dan Ardi sedang menyelinap ke area belakang mansion, membawa beberapa kaleng asap bohongan. Raka memberi isyarat kepada yang lain untuk bersiap. "Begitu kita menyalakan asap ini, pesta Leon akan hancur berantakan," bisik Raka dengan penuh dendam. Setelah Sari sudah melakukan tugasnya, Dom sudah menyabotase sistem suara, mereka lalu menyalakan kaleng-kaleng asap dan menyebarkannya di sekitar halaman belakang. Asap mulai memenuhi udara, membuat para tamu panik dan mulai berlarian mencari jalan keluar. Ditambah suara sirine yang langsung menggema di telinga seluruh tamu undangan. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Asap yang semula hanya untuk membuat kekacauan, berubah menjadi api yang cepat menyebar. Pesta berubah menjadi kekacauan penuh, dengan para tamu berteriak dan berlari menyelamatkan diri.Raka berlari menghampiri Dom, "Kok begini?""Aku tidak tahu, yang penting ricuh!" kata Dom tertawa sinis.Raka tertawa kecil sambil menepuk dada Dom. Me
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Malam itu, setelah makan malam yang hangat namun sarat dengan keheningan penuh makna, Brok memanggil Ziva dan Leon untuk ikut dengannya ke sebuah tempat yang tak pernah mereka duga. Ziva, yang sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari Brok, mengikuti Leon dengan tenang namun penuh antisipasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan pribadi Brok, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku kuno dan artefak antik. Di sini, suasana terasa tenang, hampir mistis, dengan cahaya lampu gantung yang memancarkan sinar lembut di ruangan. Brok berhenti di depan salah satu rak buku yang tampak biasa saja. Namun, saat dia menyentuh sebuah buku tua dengan sampul kulit, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Rak buku itu bergeser perlahan, memperlihatkan sebuah pintu rahasia di baliknya. Ziva menatap dengan takjub, sementara Leon tersenyum tipis, seolah sudah terbiasa dengan rahasia-rahasia ayahnya."Masuklah," kata Brok dengan nada tegas, mengisyaratkan mereka untuk mengikuti.Mereka melangk
Seiring berjalannya waktu, Ziva semakin mengukuhkan posisinya sebagai istri Leon yang perhatian dan penuh dedikasi. Setiap pagi, Ziva bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, mengurus keperluan rumah, dan memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Brok semakin menyukai menantunya, merasa yakin bahwa Ziva adalah pilihan yang tepat untuk putranya.Leon dan Ziva sering menghabiskan waktu bersama, baik di rumah maupun di luar. Leon mengajak Ziva untuk berkenalan dengan para pengusaha dan rekan-rekannya, memperluas jaringan sosial mereka. Ziva selalu tampil anggun dan cerdas, memenangkan hati banyak orang dengan kepribadiannya yang menawan.Suatu hari, Leon mengajak Ziva untuk menghadiri sebuah pertemuan bisnis penting di sebuah hotel mewah. Di sana, mereka bertemu dengan banyak orang berpengaruh, termasuk beberapa mitra bisnis Brok. Leon merasa bangga memiliki Ziva di sisinya, melihat betapa mudahnya Ziva bergaul dengan semua orang."Ziva, kau benar-benar luar biasa. Kau membu
Acara pernikahan yang meriah telah usai, dan para tamu sudah mulai pulang. Leon dan Ziva akhirnya berada di kamar pengantin mereka. Ruangan itu dihias dengan indah, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan kelopak bunga mawar tersebar di seluruh tempat tidur.Leon masuk ke dalam kamar, sedikit gugup namun penuh harapan. Ia menutup pintu perlahan, membiarkan Ziva masuk terlebih dahulu. Ziva tampak cantik dalam gaun tidurnya yang sederhana namun elegan. Mereka berdua berdiri canggung di tengah ruangan, merasakan ketegangan yang manis namun aneh."Ziva, ini... adalah malam yang sangat spesial bagi kita," kata Leon dengan suara lembut.Ziva tersenyum, namun ada kelelahan yang jelas terlihat di matanya. "Leon, aku benar-benar lelah. Hari ini sangat melelahkan, dan aku butuh istirahat."Leon mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Tentu, aku mengerti. Kita bisa beristirahat malam ini."Mereka berdua naik ke tempat tidur, berbaring berdampingan namun dengan jarak yang terasa. Le
Pagi yang cerah di hari pernikahan Ziva dan Leon. Di rumah Ziva, suasana sibuk dan penuh kegembiraan. Ziva duduk di depan cermin besar di kamarnya. Seorang makeup artist profesional sedang merias wajahnya dengan teliti. Di sekitar Ziva, beberapa asisten membantu mengenakan gaun pengantin putih yang indah, lengkap dengan detail renda dan kristal. Bu Kiki dan beberapa teman dekat Ziva memberikan dukungan moral, membuat Ziva merasa lebih tenang."Ini adalah hari yang luar biasa, Ziva. Kau terlihat sangat cantik," kata Bu Kiki dengan senyum penuh kasih.Ziva tersenyum, meski ada sedikit kegugupan di matanya. "Terima kasih, Bu Kiki. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa dukunganmu."Setelah selesai berdandan, Ziva berdiri dan melihat dirinya di cermin. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Gaun pengantin itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, dan riasan wajahnya menonjolkan kecantikannya yang alami.Di sisi lain, Leon sedang bersiap di rumahnya. Ayahnya, Brok Bearpo, yang biasanya tampak
Di sebuah ruangan yang penuh dengan kemewahan dan aura kekuasaan, Brok Bearpo, dengan tongkat emasnya, berdiri di depan Eleanor. Eleanor, seorang mafia kakap dengan aura yang tak kalah menakutkan, berdiri dengan anggun di hadapannya. Mereka saling menatap dengan mata penuh kewaspadaan.Brok membuka pembicaraan dengan nada sedikit meninggi, “Eleanor, meskipun kita memiliki perbedaan, aku ingin tetap profesional. Ini undangan pernikahan Leon dan Ziva.” Ia menyerahkan kartu undangan mewah itu dengan tangan kokohnya.Eleanor, yang sudah mengetahui rencana pernikahan ini melalui mata-matanya, menerima undangan itu dengan elegan. Ia membaca sekilas undangan tersebut sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Brok. “Terima kasih, Brok. Aku sudah mendengar tentang rencana ini. Kau tahu, dunia kita memang kecil, ya?” ucap Eleanor dengan senyum tipis yang penuh arti.Brok mengangguk, walau matanya tetap tajam. “Memang, Eleanor. Aku harap kau bisa hadir dan melihat bahwa kita bisa menjalin hub
Hari itu dimulai dengan sinar matahari yang cerah menerangi kota. Leon dan Ziva memulai persiapan pernikahan mereka dengan penuh semangat. Mereka berdua pergi ke berbagai tempat untuk memastikan semua kebutuhan pernikahan terpenuhi. Leon, yang tampak sangat antusias, memastikan bahwa Ziva mendapatkan semua yang diinginkannya.Leon membawa Ziva ke sebuah butik gaun pengantin terkenal di kota. Di sana, Ziva mencoba beberapa gaun, dengan Leon yang memberikan pendapatnya dengan tulus.“Aku suka yang ini,” kata Leon, sambil menunjuk pada gaun putih sederhana dengan hiasan renda yang elegan. “Kau terlihat sangat cantik.”Ziva tersenyum malu-malu. “Terima kasih, Leon. Aku juga suka gaun ini.”Setelah memilih gaun, mereka juga memilih pakaian untuk Leon, memastikan semuanya serasi. Leon memilih setelan hitam klasik dengan dasi perak, yang membuatnya tampak gagah dan elegan.Selanjutnya, mereka pergi ke sebuah kafe untuk mendiskusikan tema pernikahan. Ziva menginginkan pernikahan yang sederhan