Pagi itu, Ziva bangun lebih awal dari Leon, merasakan udara segar yang masuk melalui jendela kamar mereka yang besar. Perasaan gelisah yang selalu ada sejak pernikahannya dengan Leon kembali menghantuinya. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Leon, lalu berjalan menuju kamar mandi.Sesampainya di sana, Ziva membuka seluruh pakaiannya, membiarkan air hangat dari shower mengalir di atas tubuhnya. Dia mencoba menenangkan pikirannya, merenungkan langkah-langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Namun, ketika dia mendengar pintu kamar mandi terbuka, jantungnya langsung berdegup kencang.Leon masuk, matanya masih sedikit mengantuk, namun senyum kecil terlihat di wajahnya. "Pagi, sayang," katanya dengan suara lembut. Dia mendekati Ziva, niatnya jelas untuk bergabung dengannya di kamar mandi. Namun, ekspresi Ziva berubah seketika, tubuhnya menegang dan refleks menutupi dirinya dengan tangan.Leon berhenti di tempat, terkejut dengan reaksi Ziva. "Ad
Pagi hari, kota itu dipenuhi dengan suasana yang meriah dan glamor. Di sebuah gedung megah yang sering digunakan untuk acara-acara besar, sebuah pesta diadakan untuk merayakan kehamilan anak seorang pengusaha kaya. Pesta ini merupakan acara besar, yang menandai pengumuman jenis kelamin anak tersebut. Ruang pesta dihiasi dengan lampu kristal berkilauan dan bunga-bunga eksotis. Tenda putih yang elegan menutupi area luar, sementara di dalam, meja-meja panjang dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah. Musik orkestra lembut mengalun, menambah suasana yang berkelas dan penuh kehangatan. Para tamu berpakaian formal, mengenakan gaun-gaun mewah dan jas-jas elegan, menikmati hidangan dan bersosialisasi.Brok, Leon, dan Ziva diundang ke acara tersebut. Namun, hanya Ziva dan Leon yang hadir. Raka dan Nanda juga hadir, meski suasana antara mereka terasa canggung. Raka, yang tidak bisa menahan emosinya, terus memandang Ziva dari kejauhan. Pesta semakin meriah saat pengumuman tentang jenis kelamin
Pagi itu, Ziva berolahraga di taman dekat rumahnya, mencoba untuk menghilangkan stres yang membelenggu pikirannya. Dengan napas teratur dan tubuh bergerak mengikuti irama, ia mencoba menenangkan diri. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk. Ziva berhenti sejenak dan membuka ponselnya, melihat pesan dari Raka. Isi pesannya singkat tapi jelas: "Ziva, aku minta tolong, bisa kita bertemu?"Ziva ragu, namun entah mengapa, dorongan untuk menyelesaikan masalah membuatnya setuju. Mereka sepakat untuk bertemu di taman kota, tempat yang cukup ramai sehingga Ziva merasa aman. Ketika tiba, Ziva melihat Raka sudah menunggunya di bangku taman, wajahnya kusut dan penuh penyesalan."Maaf, Ziva," ucap Raka, suaranya serak. "Aku benar-benar minta maaf atas kejadian semalam. Aku… aku hanya tidak bisa mengendalikan perasaanku. Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Itu menghancurkanku melihatmu bersama orang lain…"Ziva menatap Raka dengan sorot mata yang penuh ketegasan. “Raka, kita suda
"Seharusnya, kau beritahukan di mana hartamu itu!"Teriakan kejam dari ketua gangster itu begitu mengerikan.Sayangnya, hujan yang turun begitu deras seolah menutupi jerit ketakutan yang memenuhi rumah besar di ujung jalan. Padahal, keluarga Determine sedang menghadapi malam terburuk dalam hidup mereka.Kris Determine, sang pengusaha sukses yang dikenal karena ketangguhannya, sudah terkulai lemah dengan darah mengalir dari pelipisnya. Di hadapannya, sang istri, Leoni, dan anak sulung mereka, Arga, diikat dan ditutup matanya. Hanya Ziva, anak perempuan mereka yang baru berusia tujuh tahun, yang berhasil diselamatkan oleh salah satu anak buah setia Kris, Black D. Keduanya bersembunyi di ruang rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga dan orang-orang terdekat.Dor!Tiba-tiba terdengar suara tembakan, menggema di seluruh rumah. Ziva menutup telinganya dan mulai menangis, tapi Black D tidak bisa membiarkan dirinya terbawa emosi. Dia harus segera membawa Ziva keluar dari situasi menge
"Hei, lihat jalan dong!" Seorang gadis dari grup populer di kampus Sun Rise membentak Ziva begitu saja.Padahal, dialah yang berjalan sambil bercanda tawa, hingga buku-buku Ziva jatuh berserakan di tanah.Hal itu sontak membuat Ziva memandang mereka dengan tatapan dingin. "Kalian yang harusnya lebih berhati-hati," jawabnya singkat namun tajam, sambil mulai memunguti buku-bukunya.Raka, pemimpin kelompok mahasiswa populer itu, sontak melangkah maju. "Maaf, kita nggak sengaja," katanya dengan nada lebih lembut.Dia mencoba meredakan ketegangan.Sayangnya, Raka dan teman-temannya tak menyangka dengan ucapan Ziva selanjutnya."Kalian pikir permintaan maaf bisa memperbaiki segalanya?" Suasana di sekitar mendadak tegang.Teman-teman Raka bahkan menatap Ziva dengan pandangan tak percaya.Biasanya, semua orang berusaha mendapatkan perhatian mereka, tapi gadis ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya terlihat tak tersentuh."Kamu katakan apa tadi?" tanya Dom seakan tak terima. Ia berkacak p
"Aku tidak tertarik," jawabnya tanpa basa-basi, kemudian berbalik meninggalkan Raka yang terdiam dan dua siswa yang masih kebingungan yang berdiri di belakangnya, Ardi dan gadis bernama Sari. Ziva memilih lanjut ke kelasnya. Namun di dalam kelas, Ziva menatap kehadiran salah satu siswa yang baru saja masuk dari pintu kelas. Walau telihat biasa saja, namun di mata Ziva mahasiswi itu tampak waspada. “Apa kamu lihat-lihat? Tidak pernah ya melihat gadis cantik sepertiku?” ucapnya tiba-tiba pada Ziva. Ekspresi Ziva sama datarnya saat melihat mahasiswi itu. “Murah!” ucap Ziva pelan, namun menyakitkan. Seketika itu juga gadis itu murka. Rautnya berubah, wajahnya memerah. “Apa maksud kata kamu itu?” “Aku melihat semuanya, perempuan kotor!” pekik Ziva. Seluruh pandangan tertuju pada Ziva, menyaksikan kegaduhan walau belum tau pasti maksud dari Ziva. “Awas kamu, Ziva!” ancam Celine dengan geramnya. Ia kembali ke bangkunya. Ziva tersenyum sinis. Siswi itu sangat dibenci oleh Ziva, begi
"Hai, Leon," sapa Ziva dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan motifnya. "Boleh aku duduk di sini?" Ya, Ziva melihat Leon yang pergi ke kantin. Dengan cepat, Ziva memutuskan untuk mengambil langkah pertama--menghampiri pria bernama belakang Bearpo itu! "Tentu, silakan," jawab Leon tampak terkejut namun senang. "Ziva, kan? Aku ingat kamu dari kelas tadi." Ziva duduk dan memandang Leon dengan mata penuh perhatian. "Ya, betul. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Jadi, bagaimana rasanya pindah dari Inggris ke sini?" Leon menghela napas lega. "Cukup berbeda, tapi menyenangkan. Semua orang di sini sangat ramah." Ziva tersenyum tipis. "Senang mendengarnya. Nama keluargamu, Bearpo, terdengar unik. Apakah ada cerita di balik nama itu?" Leon tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya, itu nama keluarga lama yang diwariskan dari kakek buyutku. Tidak banyak cerita menarik, hanya sejarah keluarga biasa." Ziva mengangguk, berusaha menyingkap lebih banyak informasi tanpa terlihat terlalu men
Saat kelas Sosiologi berakhir, Ziva mengemasi barang-barangnya dengan cepat. Bersiap untuk pulang dengan sepedanya yang sudah diperbaiki. Namun, hari ini, Leon kembali mendekatinya dengan senyum ramah di halaman kampus. Itu artinya rencananya berhasil memancing Leon. "Ziva, mau pulang bareng? Aku bawa mobil hari ini," tawarnya sambil mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. Ziva melirik ke arah mobil Leon yang terparkir di dekat gerbang sekolah. Mobil mewah itu memancarkan kesan eksklusif dengan logo yang familiar di bagian depan. Logo yang sama dengan yang dilihatnya pada orang-orang yang melayani bos tua dengan tongkat mahal tempo hari. "Terima kasih, Leon, tapi aku lebih suka pulang dengan sepeda. Rumahku tidak terlalu jauh," jawab Ziva, berusaha menyembunyikan rasa curiganya. Leon tampak sedikit kecewa, namun dia menghormati keputusan Ziva. "Baiklah, hati-hati di jalan ya." Ziva mengangguk dan mengayuh sepedanya menjauh, namun pikirannya terus bekerja. Dia memutuskan untuk mengi