Gery tidak tahan lagi melihat dua orang bodoh itu. Tampangnya begitu menyedihkan, tapi tidak berhasil membuat Gery merasa iba. Rasa marah, dendam, benci bersatu menjadi satu.
"Aku berani jamin kalau ayahku tidak bersalah." suara itu terdengar gemetaran.Suasana di ruang pengadilan semakin memanas. Ruangan yang memang sudah dilengkapi dengan alat pendingin, sama sekali tidak bisa membuat siapapun orang yang berada di dalamnya merasa nyaman dan tenang. Merasa sebagai korban yang telah kehilangan, Gery terus saja mendesak pelaku supaya benar-benar mengakui kesalahannya, meskipun sedari tadi terus menyangkal.Amora Atmaja, atau biasa dipanggil Amora. Dia berdiri tegak memberi kesaksian bahwa dirinya tetap menyangkal tidak terlibat dalam kecelakaan tersebut."Ayahku bukan pembunuh! aku sebagai saksi di sini!" suaranya menggelegar mesti terdengar genetaran. Amora beserta ayahnya yang saat itu tengah mengendarai mobil, tiba-tiba saja diserempet oleh mobil lain dan kemudian mobil dirinyalah yang pada akhirnya menabrak mobil si korban yang telah meninggal. Korban yang tak lain adalah kekasih Gery.Amora berkata dengan lantang tanpa takut untuk membela dirinya dan sang ayah. Meski kesempatan menang sangat sedikit, Amora tetap mencoba demi mempertahankan kebenaran.“Bukti apa yang bisa kau tunjukkan pada kami, ha?” Gery menyalak. Di belakangnya, Dion berkedip—memberi kode supaya tetap tenang.Sudah sekitar satu jam persidangan berlangsung, pada akhirnya hakim ketua pun memutuskan. Seperti apa yang terjadi pada setiap drama sebuah pertelevisian, sebagai orang yang hidup di bawah rata-rata pada akhirnya akan kalah. Persidangan dimenangkan oleh pihak Gery. Bukan seratus persen dimenangkan, melainkan ayah Amora tetap ditahan, akan tetapi Amora diberi kesempatan untuk mencari bukti.Nampaknya bukti dari Gery pun tidak terlalu cukup kuat untuk menjebloskan ayah Amora ke dalam penjara selamanya.“Tuan!” panggil Amora pada Gery yang hendak masuk ke dalam mobil. Amora berlari mengejarnya. “Boleh aku bicara?”Gery mendecih sambil melirik ke arah Amora yang tampilannya begitu sangat sederhana. “Mau bicara apa kamu? Jangan pikir aku berubah pikiran untuk mengeluarkan ayahmu!”Amora lantas memejamkan mata dan menarik nafas panjang sebelum bicara kembali. “Berikan waktu aku untuk bicara, Tuan”Gery yang awalnya acuh, mendadak risih melihat kedua mata Amora yang berkaca-kaca. Wanita itu perlahan membuat Gery merasa iba.“Bicara saja seperlunya,” kata Gery kemudian.Mereka bertiga berbicara di dalam sebuah kafe. Duduk saling berdekatan, tentunya dengan tatapan aneh masing-masing.Baru juga mulai berbicara, Amora tiba-tiba menangis dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Aku mohon, Tuan. Bebaskan ayahku? Dia sama sekali tidak bersalah.”Amora sedang memohon sambil menangis. Gery dan Dion yang terkejut dengan apa yang dilakukan Amora, sempat saling pandang sebelum kemudian menoleh ke beberapa pengunjung lain.“Hei! Kau ini apa-apaan! Kenapa malah menangis!” hardik Gery.“Tolong, Tuan. Ayahku sama sekali tidak bersalah. Biarkan dia bebas.” Amora tetap memohon.Tiba-tiba, Amora mengusap air matanya dan duduk tertegak. “Atau Tuan bisa melakukan apapun padaku, asalkan ayahku bebas.”Gery diam sejenak. Ia mengusap dagu seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang lebih menarik. Dion yang mungkin sedikit paham dengan isi dari kepala tuannya itu, terlihat menggelengkan kepala saat saling tatap. Dion berharap Gery tidak melakukan apapun yang saat ini tengah mendarat di kepalanya.Seperti tak mempedulikan cegahan dari Dion, Gery menyeringai ke arah Amora. Kelima jarinya mendarat di atas meja, kemudian mengetuk meja bergantian.“Siapa namamu?” tanya Gery acuh.“A-Amora. Amora, Tuan,” jawab Amora gugup.“Berikan aku nomor ponselmu!”Buru-buru, Amora merogoh ponsel di dalam tas. Setelah berada di genggaman, Amora segera menulis beberapa digit nomornya. Kemudian meletakkannya di atas meja. Mendorong ponsel tersebut mendekat ke arah Gery.Dion segera mencatat nomor tersebut lalu coba menghubungi. Setelah nomor tersebut membuat ponsel Amora berdering, seringaian penuh arti itu terlihat lagi di wajah Gery.“Temui aku di kantorku!” Gery meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. “Kalau kau tidak datang, kesempatan ayahmu bebas sangatlah sempit.”Amora meraih kartu nama tersebut dengan cepat dan buru-buru ikut berdiri. “Baik, Tuan.” Amora menunduk dan mengangguk beberapa kali.Di dalam perjalanan pulang, Dion yang sangat penasaran dengan rencana Gery pun bertanya.“Sebenarnya apa yang kau rencanakan?” tanya DionGery menangkup kedua telapak tangan di depan dada, kemudian menggerak-gerakan jarinya bergantian seperti kaki ubur-ubur. “Memenjarakan orang sepertinya nggak menarik, Ion.”Dion yang bingung menoleh sekilas. “Maksudmu?”Gery tertawa setengah menyeringai. Bisa dikatakan wajah Gery saat ini terlihat mengerikan.“Aku memikirkan sebuah rencana. Ya … mungkin saja rencana ini justru bisa menghukum mereka dengan sepadan.”Dion mulai mengerti dengan jalan pikiran Gery, tapi dia kurang paham dengan rencananya. Membebaskan orang dari Sel tahanan dalam keadaan hati mendendam, pastilah ada rencana dibaliknya.Sampai di rumah, Dion tetap tidak mendapatkan jawaban dari Gery. Gery hanya tersenyum dan menyeringai membuat Dion sangat penasaran. Di dalam otaknya, tengah Menyusun sebuah rencana yang pastinya akan membuat hatinya senang. Dia harus membuat orang yang membuat kekasihnya pergi untuk selamanya mendapatkan balasan.Rahang itu mengeras, bersamaan dengan mata yang terpejam menyimpan sebuah rasa yang amat dalam menusuk hati.“Kamu pulang saja, istirahat. Besok datang ke kantor lebih awal,” kata Gery pada Dion saat turun dari mobil.Setelah itu, Gery pun masuk ke dalam rumah. Sampai di atas teras, Gery melirik ke arah samping kiri. Di sana ada sebuah mobil berwarna merah yang terparkir.“Lina di sini?” gumam Gery.Penasaran, Gery pun masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di ruang tamu ada Lina dan mama yang sedang mengobrol.“Tuh, orangnya sudah datang,” kata Wenda sambil menunjuk ke arah Gery dengan pandangan mata.“Halo, Gery,” sapa Lina. “Aku mampir buat menemuimu.”“Ngobrol saja di kamarku.” Gery berlalu setelah berkata demikian.“Aku permisi, Bibi.” Lina berdiri dan menyusul Gery yang melangkah begitu cepat.“Pelankan langkahmu!” decak Lina. “Temanmu datang, tapi kau malah merenggut begitu.”Gery tetap diam hingga sampai di kamar. Merasa gerah, Gery melepas kemejanya kemudian melempar ke sembarang tempat. Di belakang Gery, Lina hanya menghela napas lalu memungut kemeja yang tergeletak di atas lantai.“Masih mikirin Tania?” tanya Lina. Kemeja yang ia pegang dilempar ke keranjang di dekat kamar mandi.Gery membantingkan tubuhnya di atas ranjang. “Tentu saja. Aku tidak mungkin jika tidak memikirkan Tania. Kau tahukan aku cinta mati sama dia.”Lina mendengus pelan. Wajahnya terlihat datar dan menunjukkan rasa ketidaksukaan dengan kalimat Gery.“Aku tahu …” Lina duduk di tepi ranjang sambil menyentuh kaki Gery yang masih terbalut celana jeans. “Tapi tidak baik kalau kau berlarut-larut dalam kesedihan.”“Kau pikir ini mudah?” salak Gery dan duduk tertegak. “Aku masih belum siap kehilangan!”“Siapa bilang kalau ini mudah?” kata Lina. “Tapi … kau hanya membuat Tania menderita dengan kesedihanmu.”Gery terdiam. Ia kemudian merobohkan lagi badannya di atas ranjang. “Lalu aku harus bagaimana?”“Lepaskan dia. Tania Tidak mau kau seperti ini. Kalau kau memang sayang dengan Tania, kau harusnya bisa berpikir ke depan. Jalani hidup seperti biasanya. Berhentilah merenung nggak jelas.”Suara kamar mendadak hening.***Keesokan harinya, Amora memberanikan diri datang ke kantor Intan Group untuk menemui Gery. Apapun akan Amora lakukan demi membebaskan sang ayah yang sama sekali tidak bersalah. Sampai di depan gedung, Amora berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya yang berderu cepat. Sambil mengedarkan pandangan, Amora menggigit bibir lalu memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung. Amora berjalan mendekati seorang resepsionis. “Maaf, ruangan Tuan Gery di sebelah mana ya?” tanya Amora. Resepsionis wanita dengan pakaian di bagian dada sedikit terbuka itu tersenyum dan berdiri. “Apa sudah ada janji?” Amora terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng. Resepsionis itu tersenyum lagi. “Kalau begitu, mohon maaf. Nona tidak diijinkan menemui Tuan Gery.” “Tapi dia menyuruhku datang kemari,” kata Amora. “Dia memberikan aku kartu namanya.” Amora meletakkan benda pipih persegi di atas meja konter. “Tunggu sebentar, biar saya hubungi Tuan Gery. Nona silahkan menunggu.” Amora kemudian duduk di kursi yan
Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.” “Apa maksud dari kata budak?” tanya Amora. Melihat bagaimana cara Gery memandang, sudah berhasil membuat Amora bergidik ngeri. Amora semakin paham, resiko memohon pada pria angkuh dengan kekuasaan tinggi memang membutuhkan sebuah pengorbanan. “Kau melayaniku siang malam tanpa mendapat bayaran.” “Me-melayani?” Amora terpekik membuat bola matanya membulat sempurna. “Tapi aku ...” “Heh!” sembur Gery tiba-tiba. “Kau pikir aku minta dilayani untuk apa? Dasar pikiran dangkal!” Amora menarik diri mundur dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepertinya pikiran Amora memang terlalu jauh untuk menebak apa yang dimaksud oleh Gery. “Lalu apa, Tuan? Aku tidak mengerti,” kata Anggun. “Kau menjadi pelayan untukku. Setiap pagi kau datang ke rumahku, menyiapkan segala keperluanku. Bagaimana?” Amora melamun. Bibirnya sedikit terbuka sementara otaknya sedang mencoba mencerna perkataan dari Gery.
Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung. “Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri. “Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih. “Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?” “Memang angkuh!” batin Amora. “Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup. Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora. “Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk. Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang ke
“Apa orang itu yang menangkap paman Atmaja?” tanya Andy. Atmaja kembali duduk di ruang tengah bersama yang lainnya. “Ya, dia orangnya.” “Sepertinya orang itu sangat berkuasa,” timbruk Putri. “Kau lihat wajahnya?” sambung Ambar. “Apa dia tampan?” “Ish, ibu!” sembur Putri. “Apa urusannya?” Ambar menoyor kepala Putri hingga membentur pundak Andy. “Kalau dia bisa berbaik hati membebaskan ayahmu, bisa jadi dia juga mudah kau rayu. Kau paham maksud ibu kan?” “Ambar!” hardik Atmaja. “Kau mengajari anakmu untuk merayu? Dimana pikiranmu?” “Memangnya kenapa?” Ambar mencebik. “Siapa tahi memang jodoh Putri kan?” “Kita bahkan belum tahu bagaimana Tuan Gery bisa membebaskanku. Jangan berkhayal yang aneh-aneh.” “Benar. Ibu itu aneh. Aku kan suka dengan Andy untuk apa harus mendekati pria bermuka kejam itu?” dengan manjanya, Putri merangkul lengan Andy. Andy hanya meringis kaku. “Kau ini!” Ambar menoyor pelipis Putri lagi. “Andy itu kan kekasih Amora. Carilah yang lain!” Dari balik tirai,
Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berp
Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor