Share

Chapter 4

Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung.

“Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri.

“Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih.

“Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?”

“Memang angkuh!” batin Amora.

“Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup.

Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora.

“Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk.

Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang kesini? Sebenarnya apa rencanamu?”

“Sssth!” desis Gery. “Lihat saja nanti. Ini akan lebih menarik daripada sekedar membuat pelaku masuk ke dalam penjara.”

Dion berdiri tegak lagi dengan wajah bingung. Jarinya mengusap dagu mencoba menebak-nebak isi kepala tuannya.

“Siapa di luar?” tanya Atmaja pada Amora.

Amora sedang menuang minuman dan di samping ada Andy yang sedang duduk di meja makan.

“Itu, ayah. Ada tamu,” Amora mencoba menjawab dengan tenang. Ayah tidak boleh curiga, dan bagaimanapun caranya Amora tak mau kalau keluarganya tahu tentang jaminan kebebasan ayah.

“Kau tunggu di sini. Mengobrollah sama Putri,” kata Amora saat sudah mengangkat nampan berisi dua minuman jeruk.

Merasa namanya terpanggil, dengan centilnya Putri segera berlenggak menghampiri Andy. Bukan senang, tentunya wajah Andy seketika berubah jadi datar. Tak peduli dengan Putri yang sudah bergelayut manja, mata Andy tengah mengikuti langkah Amora yang perlahan menghilang.

“Silahkan, Tuan.” Amora meletakkan dua gelas tersebut di atas meja, kemudian ikut duduk sambil memangku nampan.

Amora tidak tahu apa yang sudah diobrolkan mereka sebelum Amora kembali ke ruang tamu lagi. Ayah yang sudah duduk di samping Amora, terlihat biasa saja. Semoga memang belum ada obrolan yang terjadi.

“Maaf, Tuan. Ada perlu apa datang kemari?” tanya Atmaja.

Gery tidak langsung menjawab melainkan menatap Amora untuk beberapa saat, membuat Amora merasa takut dan gugup.

“Tentu saja ada perlu dengan anakmu,” jawab Gery.

Atmaja tersenyum dan menoleh ke arah Amora sebentar. “Aku lupa berterima kasih, karena tuan sudah membebaskanku. Terimakasih, Tuan.”

Atmaja berdiri lalu membungkukkan badan sebelum kemudian duduk lagi. “Terimakasih.”

Dalam kondisi canggung seperti ini, Amoralah yang terlihat kian gelisah. Dan seringaian di wajah tampan itu, menjelaskan bagaimana ia sangat menyukai permainannya yang berhasil membuat Amora ketakutan.

“Apa anda sudah tahu mengapa bisa bebas?”

Degh! Amora membelalak sempurna. Kepalanya menatap lurus dengan badan mengkaku kayu. Atmaja yang memang sangat penasaran, tentunya terlihat sumringah dan sangat ingin tahu.

“Aku belum tahu. Amora belum mengatakan apapun padaku,” jawab Atmaja sambil menoleh ke arah Amora lagi.

Amora yang sudah gemetaran, segera ikut berkata, “Ayah tidak perlu tahu. Yang terpenting ayah sudah bebas kan?”

Amora memberanikan melirik tajam ke arah Gery. Pria itu justru membalas tatapan itu dengan senyum mengerikan.

“Sebaiknya ayah istirahat dulu. Biar aku bicara dengan Tuan Gery,” Amora meminta ayah untuk pergi ke dalam. Amora tidak ingin ayah tahu dalam waktu dekat ini.

“Kau takut?” seloroh Gery cengengesan. “Kenapa ayahmu tak boleh tahu?”

Di belakang Gery, masih dalam posisi berdiri, Dion yang juga belum tahu tentang perjanjian mereka berdua pastilah penasaran. Belum ada pemberitahuan apa-apa dari Tuan mudanya selain sebuah perkataan membingungkan beberapa waktu lalu.

“Aku hanya ingin ayah tidak kepikiran apapun,” ujar Amora.

“Kau yakin ayahmu akan memikirkan keadaanmu?” tanya Gery. Gery meraih gelas dan meneguk dengan posisi duduk kaki menyilang.

“Apa maksud, Tuan?” Amora balik bertanya.

Gery tertawa lagi. Gelas yang ia pegang diletakkan lagi di atas meja. “Kau tidak mau minum, Ion? Sudah dibuatkan. Duduklah!”

Dion mengangguk kemudian ikut duduk.

Amora sungguh ingin sekali menendang kedua orang angkuh ini. Dua pria berjas penuh kekuasaan, yang bisanya hanya menuntut tanpa perasaan. Ingin memaki, tapi hanya bisa Amora luapkan dalam hati.

Gery mendesah sambil mengedarkan pandangan. “Rumahmu sangat jelek.”

“A-apa?” Amora ternganga. Berkedip cepat, Amora kemudian memilih melengos. Yang namanya orang kaya memang sudah ditakdirkan memiliki sifat yang sok berkuasa. Tebakan Amora tentu benar.

“Bagaimana kau bisa betah tinggal di rumah seperti ini?” Gery mendecih jijik.

Amora memejamkan mata sebentar sambil menarik nafas panjang. “Maaf, Tuan. Kenapa tuan jadi membicarakan keadaan rumahku?”

Gery tertawa lagi. Ia menaikkan kedua pundak sambil mendesah kemudian berdiri. Dion juga spontan ikut berdiri. “Aku datang cuma untuk mengingatkanmu. Ingat! Datang ke rumahku tepat waktu!”

Gery melempar sebuah kertas berisikan alamat rumahnya. Amora menelan saliva sambil memandangi kertas tersebut yang masih melayang sebelum akhirnya terjatuh di atas meja.

“Tidak boleh terlambat, atau perjanjian akan kubuat lebih berat!”

Glek! Amora menelan saliva lagi. Satu tangannya menjulur dan bergegas meraih kertas tersebut. “Tidak, Tuan. Aku tidak akan terlambat.”

Sebelum beranjak, Gery sempat menelengkan kepala ke arah pintu menuju ke ruang bagian dalam. Di sana ada Atmaja yang sedang menguping. Amora yang heran, pada akhirnya ikut menoleh sesuai kemana arah Gery memandang.

Gery mendengus dan lagi-lagi menyeringai. “Aku heran, kenapa orang seperti dia sampai bisa membuatmu berkorban!”

“Maksudnya?” lagi-lagi Amora ternganga. Sedari tadi perkataan Gery sangat sulit untuk Amora pahami.

Gery tidak menjawab, melainkan beranjak pergi begitu saja tanpa mengucapkan permisi atau apapun itu. Membuat Amora mengelus dada dan mendesah berat.

“Kau yakin kalau Atmaja itu menyebalkan?” tanya Gery saat sudah dalam perjalanan. “Sepertinya tampang dia biasa saja dan tidak buruk?”

“Kalau tidak buruk, tidak mungkin dia sampai menyeleweng saat menyetir,” jawab Dion. “Dan terbukti dia sampai membuat seseorang tiada.”

“Kau benar,” balas Gery. Seseorang itu tentu tak lain adalah Tania. Kekasih yang seharusnya sebentar lagi Gery nikahi.

“Apa kau yakin tentang kalau pria itu kalau dia pernah masuk penjara sebelum ini?” tanya Gery serius.

Dion mengangguk yakin. “Aku sudah memastikan dan sangat yakin. Dia mencuri sepeda motor milik saudaranya sendiri.”

“Huh, sungguh membuktikan kalau pria itu memang tidak waras!” cemooh Gery. “Aku akan buat balas dendam ini terlihat sangat menarik.”

Nampaknya tidak sia-sia Gery meminta Dion untuk mencari informasi tentang keluarga Amora beberapa hari yang lalu. Info ini memang sangatlah berguna untuk melancarkan aksinya.

“Apa kau berencana balas dendam melalui Amora?” tanya Dion.

Gery tertawa. “Aku sampai lupa kalau aku belum bilang padamu. Bukan hanya Amora yang akan kubuat menderita, tapi ayahnya juga. Kematian harus dibalas sangat kejam.”

Dion yang sebelumnya sudah meyakini tentang rencana ini, hanya bisa manggut-manggut dan menyetujui. “Yang kudengar, seberapa buruk pria itu, dia sangat menyayangi Amora. Kata tetangganya dulu, Tuan Atmaja rela melakukan apapun demi kebahagiaan Amora.”

“Sangat menarik ...” Gery tertawa jahat sambil bersandar pada dinding sofa. “Aku semakin bersemangat melakukan misi ini.”

“Semua untuk Tania!” batin Gery tengah berkata. “Kesakitan dan kematian Tania, harus terbalaskan!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status