Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung.
“Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri.“Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih.“Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?”“Memang angkuh!” batin Amora.“Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup.Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora.“Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk.Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang kesini? Sebenarnya apa rencanamu?”“Sssth!” desis Gery. “Lihat saja nanti. Ini akan lebih menarik daripada sekedar membuat pelaku masuk ke dalam penjara.”Dion berdiri tegak lagi dengan wajah bingung. Jarinya mengusap dagu mencoba menebak-nebak isi kepala tuannya.“Siapa di luar?” tanya Atmaja pada Amora.Amora sedang menuang minuman dan di samping ada Andy yang sedang duduk di meja makan.“Itu, ayah. Ada tamu,” Amora mencoba menjawab dengan tenang. Ayah tidak boleh curiga, dan bagaimanapun caranya Amora tak mau kalau keluarganya tahu tentang jaminan kebebasan ayah.“Kau tunggu di sini. Mengobrollah sama Putri,” kata Amora saat sudah mengangkat nampan berisi dua minuman jeruk.Merasa namanya terpanggil, dengan centilnya Putri segera berlenggak menghampiri Andy. Bukan senang, tentunya wajah Andy seketika berubah jadi datar. Tak peduli dengan Putri yang sudah bergelayut manja, mata Andy tengah mengikuti langkah Amora yang perlahan menghilang.“Silahkan, Tuan.” Amora meletakkan dua gelas tersebut di atas meja, kemudian ikut duduk sambil memangku nampan.Amora tidak tahu apa yang sudah diobrolkan mereka sebelum Amora kembali ke ruang tamu lagi. Ayah yang sudah duduk di samping Amora, terlihat biasa saja. Semoga memang belum ada obrolan yang terjadi.“Maaf, Tuan. Ada perlu apa datang kemari?” tanya Atmaja.Gery tidak langsung menjawab melainkan menatap Amora untuk beberapa saat, membuat Amora merasa takut dan gugup.“Tentu saja ada perlu dengan anakmu,” jawab Gery.Atmaja tersenyum dan menoleh ke arah Amora sebentar. “Aku lupa berterima kasih, karena tuan sudah membebaskanku. Terimakasih, Tuan.”Atmaja berdiri lalu membungkukkan badan sebelum kemudian duduk lagi. “Terimakasih.”Dalam kondisi canggung seperti ini, Amoralah yang terlihat kian gelisah. Dan seringaian di wajah tampan itu, menjelaskan bagaimana ia sangat menyukai permainannya yang berhasil membuat Amora ketakutan.“Apa anda sudah tahu mengapa bisa bebas?”Degh! Amora membelalak sempurna. Kepalanya menatap lurus dengan badan mengkaku kayu. Atmaja yang memang sangat penasaran, tentunya terlihat sumringah dan sangat ingin tahu.“Aku belum tahu. Amora belum mengatakan apapun padaku,” jawab Atmaja sambil menoleh ke arah Amora lagi.Amora yang sudah gemetaran, segera ikut berkata, “Ayah tidak perlu tahu. Yang terpenting ayah sudah bebas kan?”Amora memberanikan melirik tajam ke arah Gery. Pria itu justru membalas tatapan itu dengan senyum mengerikan.“Sebaiknya ayah istirahat dulu. Biar aku bicara dengan Tuan Gery,” Amora meminta ayah untuk pergi ke dalam. Amora tidak ingin ayah tahu dalam waktu dekat ini.“Kau takut?” seloroh Gery cengengesan. “Kenapa ayahmu tak boleh tahu?”Di belakang Gery, masih dalam posisi berdiri, Dion yang juga belum tahu tentang perjanjian mereka berdua pastilah penasaran. Belum ada pemberitahuan apa-apa dari Tuan mudanya selain sebuah perkataan membingungkan beberapa waktu lalu.“Aku hanya ingin ayah tidak kepikiran apapun,” ujar Amora.“Kau yakin ayahmu akan memikirkan keadaanmu?” tanya Gery. Gery meraih gelas dan meneguk dengan posisi duduk kaki menyilang.“Apa maksud, Tuan?” Amora balik bertanya.Gery tertawa lagi. Gelas yang ia pegang diletakkan lagi di atas meja. “Kau tidak mau minum, Ion? Sudah dibuatkan. Duduklah!”Dion mengangguk kemudian ikut duduk.Amora sungguh ingin sekali menendang kedua orang angkuh ini. Dua pria berjas penuh kekuasaan, yang bisanya hanya menuntut tanpa perasaan. Ingin memaki, tapi hanya bisa Amora luapkan dalam hati.Gery mendesah sambil mengedarkan pandangan. “Rumahmu sangat jelek.”“A-apa?” Amora ternganga. Berkedip cepat, Amora kemudian memilih melengos. Yang namanya orang kaya memang sudah ditakdirkan memiliki sifat yang sok berkuasa. Tebakan Amora tentu benar.“Bagaimana kau bisa betah tinggal di rumah seperti ini?” Gery mendecih jijik.Amora memejamkan mata sebentar sambil menarik nafas panjang. “Maaf, Tuan. Kenapa tuan jadi membicarakan keadaan rumahku?”Gery tertawa lagi. Ia menaikkan kedua pundak sambil mendesah kemudian berdiri. Dion juga spontan ikut berdiri. “Aku datang cuma untuk mengingatkanmu. Ingat! Datang ke rumahku tepat waktu!”Gery melempar sebuah kertas berisikan alamat rumahnya. Amora menelan saliva sambil memandangi kertas tersebut yang masih melayang sebelum akhirnya terjatuh di atas meja.“Tidak boleh terlambat, atau perjanjian akan kubuat lebih berat!”Glek! Amora menelan saliva lagi. Satu tangannya menjulur dan bergegas meraih kertas tersebut. “Tidak, Tuan. Aku tidak akan terlambat.”Sebelum beranjak, Gery sempat menelengkan kepala ke arah pintu menuju ke ruang bagian dalam. Di sana ada Atmaja yang sedang menguping. Amora yang heran, pada akhirnya ikut menoleh sesuai kemana arah Gery memandang.Gery mendengus dan lagi-lagi menyeringai. “Aku heran, kenapa orang seperti dia sampai bisa membuatmu berkorban!”“Maksudnya?” lagi-lagi Amora ternganga. Sedari tadi perkataan Gery sangat sulit untuk Amora pahami.Gery tidak menjawab, melainkan beranjak pergi begitu saja tanpa mengucapkan permisi atau apapun itu. Membuat Amora mengelus dada dan mendesah berat.“Kau yakin kalau Atmaja itu menyebalkan?” tanya Gery saat sudah dalam perjalanan. “Sepertinya tampang dia biasa saja dan tidak buruk?”“Kalau tidak buruk, tidak mungkin dia sampai menyeleweng saat menyetir,” jawab Dion. “Dan terbukti dia sampai membuat seseorang tiada.”“Kau benar,” balas Gery. Seseorang itu tentu tak lain adalah Tania. Kekasih yang seharusnya sebentar lagi Gery nikahi.“Apa kau yakin tentang kalau pria itu kalau dia pernah masuk penjara sebelum ini?” tanya Gery serius.Dion mengangguk yakin. “Aku sudah memastikan dan sangat yakin. Dia mencuri sepeda motor milik saudaranya sendiri.”“Huh, sungguh membuktikan kalau pria itu memang tidak waras!” cemooh Gery. “Aku akan buat balas dendam ini terlihat sangat menarik.”Nampaknya tidak sia-sia Gery meminta Dion untuk mencari informasi tentang keluarga Amora beberapa hari yang lalu. Info ini memang sangatlah berguna untuk melancarkan aksinya.“Apa kau berencana balas dendam melalui Amora?” tanya Dion.Gery tertawa. “Aku sampai lupa kalau aku belum bilang padamu. Bukan hanya Amora yang akan kubuat menderita, tapi ayahnya juga. Kematian harus dibalas sangat kejam.”Dion yang sebelumnya sudah meyakini tentang rencana ini, hanya bisa manggut-manggut dan menyetujui. “Yang kudengar, seberapa buruk pria itu, dia sangat menyayangi Amora. Kata tetangganya dulu, Tuan Atmaja rela melakukan apapun demi kebahagiaan Amora.”“Sangat menarik ...” Gery tertawa jahat sambil bersandar pada dinding sofa. “Aku semakin bersemangat melakukan misi ini.”“Semua untuk Tania!” batin Gery tengah berkata. “Kesakitan dan kematian Tania, harus terbalaskan!”***“Apa orang itu yang menangkap paman Atmaja?” tanya Andy. Atmaja kembali duduk di ruang tengah bersama yang lainnya. “Ya, dia orangnya.” “Sepertinya orang itu sangat berkuasa,” timbruk Putri. “Kau lihat wajahnya?” sambung Ambar. “Apa dia tampan?” “Ish, ibu!” sembur Putri. “Apa urusannya?” Ambar menoyor kepala Putri hingga membentur pundak Andy. “Kalau dia bisa berbaik hati membebaskan ayahmu, bisa jadi dia juga mudah kau rayu. Kau paham maksud ibu kan?” “Ambar!” hardik Atmaja. “Kau mengajari anakmu untuk merayu? Dimana pikiranmu?” “Memangnya kenapa?” Ambar mencebik. “Siapa tahi memang jodoh Putri kan?” “Kita bahkan belum tahu bagaimana Tuan Gery bisa membebaskanku. Jangan berkhayal yang aneh-aneh.” “Benar. Ibu itu aneh. Aku kan suka dengan Andy untuk apa harus mendekati pria bermuka kejam itu?” dengan manjanya, Putri merangkul lengan Andy. Andy hanya meringis kaku. “Kau ini!” Ambar menoyor pelipis Putri lagi. “Andy itu kan kekasih Amora. Carilah yang lain!” Dari balik tirai,
Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berp
Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga. Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayang-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.” “Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.” Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan. “Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar. “Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva. “Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik. Belva mend
“Hei tunggu!” teriak Andy saat menarik lengan Amora dengan paksa. “Aku sedang bicara dengan Amora. Kau sangat tidak sopan menyeretnya begitu!” Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora. Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil. “Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu ditutup oleh Gery. “Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis. “Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang. Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya. Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh. “Tuan kan tidak
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di