Saat semua orang rumah sedang berkumpul di ruang tengah, Gery datang. Awalnya Gery hendak langsung nyelonong masuk ke kamar, tapi ayah buru-buru mencegahnya. “Kau baru pulang? Duduklah dulu kemari.” Memutar bola mata malas dan mendesah, Gery akhirnya ikut duduk. Sepertinya Belva sudah pulang. Gery sempat mengedarkan pandangan tapi memang tidak menemukan sosok Belva. Perlu diketahui, yang tahu tentang hubungan Gery dan Belva di masa lalu hanyalah Theo. Ayah dan ibu hanya tahu kalau Gery dan Belva sempat satu kampus dan dekat saat masa SMA. “Ada apa, Ayah?” tanya Gery malas. Gery duduk di samping ibunya yang langsung mengusap bagian pundak. “Ikut kita ngobrol,” jawab Wenda. “Kakakmu kan sebentar lagi menikah, kau harus ikut bersiap-siap.” Gery mendengkus lirih. “Aku juga akan menikah, Bu,” kata Gery kemudian. Ketiga orang di sini sontak menoleh menatap Gery penuh tanya. “Apa dengan wanita yang kemarin malam kau ajak ke sini?” tanya Wenda. Gery mengangguk. “Tentu saja. Aku bahka
Amora sudah menjelaskan semuanya pada keluarganya. Tentang pernikahannya dengan Gery yang akan segera dilaksanakan. Hanya saja, Amor tidak menjelaskan secara pasti mengapa dirinya bisa sampai mau menikah dengan Gery sementara dirinya sendiri sudah memiliki kekasih. Semalam hampir saja Amora tidak tidur tentunya. Ia hanya memikirkan bagaimana cara memutuskan Andy secara baik-baik tanpa membuatnya terluka. Mungkin hanya sekitar dua jam saja Amora merasakan dua matanya terlelap sebelum akhirnya terbangun saat mendengar suara tikus di plafon langit-langit kamarnya. “Hari ini aku harus menemui Andy,” kata Amora. Amora menyeret kedua kakinya turun dari atas ranjang. Setelah menjuntai dan memakai sandal bulunya, Amora mengucek-ngucek mata lalu menguap. “Tapi ... bagaimana caranya aku menjelaskan?” Ucapan dari mulutnya kini berubah menjadi desahan berat. Berat seperti tertimpa reruntuhan gunung. Benarkah? Amora sendiri pernah menolak saat Andy mengajaknya menikah. Amora beralasan belum si
Pertengkaran Amora dan Andy benar-benar terjadi. Andy yang meradang, bahkan sampai tega melewati Amora yang sedang berjongkok begitu saja hingga terjengkang. Putri yang seharusnya merasa senang karena ada harapan mereka berdua akan pisah, mendadak ketakutan sendiri.Putri memilih memutar badan dan pergi meninggalkan mereka berdua.“Jadi ini alasan kau sering mengabaikanku?” tanya Andy. Andy masih membuang muka dari Amora yang masih terduduk di atas lantai.“Kau menolakku saat aku mengajakmu menikah. Tapi ... tiba-tiba kau malah minta putus dariku dan akan menikah dengan orang lain. Kenapa?”Kali ini Andy menatap Amora. Secara perlahan, Amora pun berdiri dan balas menatap Andy. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ini sungguh bukan kemauanku.”“Lalu apa artinya ini?” salak Andy. Andy meraih kedua pundak Amora sebelum Amora sempat berdiri secara sempurna.Andy mengguncang tubuh Amora hingga kepalanya manggut-manggut dan lemas. “Jawab Amora!”Amora masih terdiam dan menerima apa
Lina menarik paksa lengan Gery. “Kapan ada surat perjanjian? Dan kapan Amora menandatanganinya.” Lina menatap Gery dengan serius. “Sejak dia memutuskan untuk meminta ayahnya dibebaskan. Dion yang mengurusnya.” “Ja-jadi ... kalian berdua memang sudah merencanakan semuanya. Apa maksudnya ini, ha?” Lina merasa bingung. Yang dia tahu Gery hendak menikah dengan Amora karena cemburu dengan Belva dan memang sudah mengenal Amora cukup lama. “Hei!” hardik Lina saat dari mereka berdua tidak ada yang menjawab. “Jawab Aku! Sebenarnya apa yang kalian rencanakan? Dan tunggu ... ayah? Siapa yang dimaksud ayahnya?” Gery dan Dion saling pandang. Keduanya kini sama-sama mengatupkan bibir rapat-rapat dan membuang muka ke arah lain. Mereka sama-sama tidak ada yang mau menjelaskan pada Lina. “Kalian tuli ya!” bentak Lina yang sudah tak sabar lagi. “Ada apa dengan Amora dan Ayahnya? Kalian merahasiakan sesuatu dariku kan? Ayolah, jawab!” Lina sampai menendang kaki Dion cukup keras, tapi pria itu teta
Gery sebenarnya bukan mau pergi ke kantor, melainkan pergi ke rumah Amora. Urusan kantor sudah dikendalikan oleh Dion. Gery sudah menyiapkan sesuatu di saku celananya yang sempat ia beli saat berbelanja dengan Dion kemarin malam.Sejujurnya, Gery akan datang ke rumah Amora untuk melamar. Meskipun hanya sebatas pernikahan sandiwara tanpa rasa, tapi Gery harus melakukan hal ini untuk meyakinkan keluarganya.Di ruang tamu sudah ada Atmaja dan Ambar yang duduk berdampingan. Mereka berdua sama-sama melirik ke arah Gery penuh tanda tanya. Belum sempat Atmaja berbicara empat mata dengan Amora sejak kejadian waktu itu—kejadian di mana Gery membawa Amora pergi saat ada Andy—kini Gery sudah muncul lagi di hadapannya.Kali ini sedikit berbeda. Gery terlihat lebih berwibawa dan lebih pakem. Wajah menyeramkan kala itu tidak terlihat.“Mohon maaf, ada perlu apa Tuan Gery datang kemari?” tanya Atmaja.“Aku ingin meminta ijin pada kalian sebagai orang tua Amora,” jawab Gery.“Meminta izin?” At
“Kenapa tuan acuh sekali dengannya?” tanya Amora.Gery yang masih menggandeng lengan Amora cukup menoleh tajam, memberi peringatan supaya Amora tetap diam. Amora pun menurut.“Gery, kau sudah pulang?” sapa Wenda saat hendak menuju dapur.Gery hanya mengangguk. “Kau tunggu sini, aku mau mandi dulu,” kata Gery pada Amora.Melihat mereka berdua bergandengan tangan, tak terasa senyum Wenda mengembang. “Kau tunggu di sini dengan bibi.”Gery sudah naik ke atas dan Amora pergi ke dapur bersama Wenda. Amora diajak Wenda membuat puding. Wenda bilang pada Amora kalau suaminya sangat suka puding.“Apa bibi selalu buat sendiri?” tanya Amora sambil mengambil wadah berukuran sedang.Wenda tersenyum dan meraih wadah yang Amora ulurkan. “Tentu saja. Ayah Gery tidak mau kalau pelayan yang membuatkannya.”Apa kau bisa buat puding?” tanya Wenda kemudian. Satu bungkus agar-agar bubuk ia tuang ke dalam wadah.Malu-malu, Amora mengangguk. “Aku sudah terbiasa membuat apapun di rumah.”“Benarkah?”
Gery yang sudah panik segera keluar dari mobil. Sampai di depan badan mobil Belva, Gery langsung mengetuk-ngetuk bagian kaca jendela dan menempelkan wajah di sana.Di dalam, Gery bisa melihat kalau Belva tengah meringis sambil memijat keningnya. Mungkin Belva terpentok bundaran setir.“Buka pintunya!” pinta Gery dari luar.Belva pun membuka pintu, menurunkan kedua kakinya bergantian dan Gery berjalan mundur untuk memberi ruang.“Kau tidak apa-apa?” tanya Gery sambil mengamati wajah Belva.Belva mendesis lirih. “Tidak apa-apa, cuma sedikit sakit di bagian kening.” Belva masih memijat keningnya.“Biar kulihat.” Gery menyibakkan poni Belva lalu mengusap dengan ibu jari bagian yang terpentok itu.Belva terdiam. Ia membiarkan Gery mengusap keningnya. Rasanya nyaman dan ingin terus. Sudah lama sekali Belva tidak menghirup aroma tubuh Gery sedekat ini. Rasa rindu dan penyesalan, serasa merusak kala mengingat masa di mana dirinya meninggalkan Gery.“Terimakasih,” kata Belva tiba-tiba.
Sentuhan bibir itu masih melekat di benak Amora. Kecupan yang kemudian berubah menjadi sebuah ciuman, Amora tak akan memikirkan tentang ini sebelumnya. Gery datang mengendap-endap hanya untuk memberi ciuman? Kenapa?”Amora kini terduduk lunglai di atas ranjang dengan kaki menjuntai. Kelima jarinya yang masih gemetaran, kini sedang menyentuh bibirnya. Bibir kenyal itu sungguh masih begitu terasa. Amora masih bisa merasakan basah dan hangat lidah yang meruak mencoba membuka bibirnya yang kenyal.“Dia itu kenapa?” gumam Amora. “Dan ada apa ini? Di-dia, dia sudah mengambil ciuman pertamaku.” Amora mendadak seperti orang linglung.Saat masih termenung, mata Amora tertuju pada benda kotak yang tergeletak di atas meja. Amora setengah berdiri dan menggapai benda tersebut kemudian duduk kembali.Benda kotak itu terbuka dan benda bulat melingkar dengan mata berlian di tengah kembali membuat mata Amora terkagum. Benda mahal ini miliknya sekarang. Amora mengangkat tangan sebelah kiri kemudian