Pertengkaran Amora dan Andy benar-benar terjadi. Andy yang meradang, bahkan sampai tega melewati Amora yang sedang berjongkok begitu saja hingga terjengkang. Putri yang seharusnya merasa senang karena ada harapan mereka berdua akan pisah, mendadak ketakutan sendiri.Putri memilih memutar badan dan pergi meninggalkan mereka berdua.“Jadi ini alasan kau sering mengabaikanku?” tanya Andy. Andy masih membuang muka dari Amora yang masih terduduk di atas lantai.“Kau menolakku saat aku mengajakmu menikah. Tapi ... tiba-tiba kau malah minta putus dariku dan akan menikah dengan orang lain. Kenapa?”Kali ini Andy menatap Amora. Secara perlahan, Amora pun berdiri dan balas menatap Andy. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ini sungguh bukan kemauanku.”“Lalu apa artinya ini?” salak Andy. Andy meraih kedua pundak Amora sebelum Amora sempat berdiri secara sempurna.Andy mengguncang tubuh Amora hingga kepalanya manggut-manggut dan lemas. “Jawab Amora!”Amora masih terdiam dan menerima apa
Lina menarik paksa lengan Gery. “Kapan ada surat perjanjian? Dan kapan Amora menandatanganinya.” Lina menatap Gery dengan serius. “Sejak dia memutuskan untuk meminta ayahnya dibebaskan. Dion yang mengurusnya.” “Ja-jadi ... kalian berdua memang sudah merencanakan semuanya. Apa maksudnya ini, ha?” Lina merasa bingung. Yang dia tahu Gery hendak menikah dengan Amora karena cemburu dengan Belva dan memang sudah mengenal Amora cukup lama. “Hei!” hardik Lina saat dari mereka berdua tidak ada yang menjawab. “Jawab Aku! Sebenarnya apa yang kalian rencanakan? Dan tunggu ... ayah? Siapa yang dimaksud ayahnya?” Gery dan Dion saling pandang. Keduanya kini sama-sama mengatupkan bibir rapat-rapat dan membuang muka ke arah lain. Mereka sama-sama tidak ada yang mau menjelaskan pada Lina. “Kalian tuli ya!” bentak Lina yang sudah tak sabar lagi. “Ada apa dengan Amora dan Ayahnya? Kalian merahasiakan sesuatu dariku kan? Ayolah, jawab!” Lina sampai menendang kaki Dion cukup keras, tapi pria itu teta
Gery sebenarnya bukan mau pergi ke kantor, melainkan pergi ke rumah Amora. Urusan kantor sudah dikendalikan oleh Dion. Gery sudah menyiapkan sesuatu di saku celananya yang sempat ia beli saat berbelanja dengan Dion kemarin malam.Sejujurnya, Gery akan datang ke rumah Amora untuk melamar. Meskipun hanya sebatas pernikahan sandiwara tanpa rasa, tapi Gery harus melakukan hal ini untuk meyakinkan keluarganya.Di ruang tamu sudah ada Atmaja dan Ambar yang duduk berdampingan. Mereka berdua sama-sama melirik ke arah Gery penuh tanda tanya. Belum sempat Atmaja berbicara empat mata dengan Amora sejak kejadian waktu itu—kejadian di mana Gery membawa Amora pergi saat ada Andy—kini Gery sudah muncul lagi di hadapannya.Kali ini sedikit berbeda. Gery terlihat lebih berwibawa dan lebih pakem. Wajah menyeramkan kala itu tidak terlihat.“Mohon maaf, ada perlu apa Tuan Gery datang kemari?” tanya Atmaja.“Aku ingin meminta ijin pada kalian sebagai orang tua Amora,” jawab Gery.“Meminta izin?” At
“Kenapa tuan acuh sekali dengannya?” tanya Amora.Gery yang masih menggandeng lengan Amora cukup menoleh tajam, memberi peringatan supaya Amora tetap diam. Amora pun menurut.“Gery, kau sudah pulang?” sapa Wenda saat hendak menuju dapur.Gery hanya mengangguk. “Kau tunggu sini, aku mau mandi dulu,” kata Gery pada Amora.Melihat mereka berdua bergandengan tangan, tak terasa senyum Wenda mengembang. “Kau tunggu di sini dengan bibi.”Gery sudah naik ke atas dan Amora pergi ke dapur bersama Wenda. Amora diajak Wenda membuat puding. Wenda bilang pada Amora kalau suaminya sangat suka puding.“Apa bibi selalu buat sendiri?” tanya Amora sambil mengambil wadah berukuran sedang.Wenda tersenyum dan meraih wadah yang Amora ulurkan. “Tentu saja. Ayah Gery tidak mau kalau pelayan yang membuatkannya.”Apa kau bisa buat puding?” tanya Wenda kemudian. Satu bungkus agar-agar bubuk ia tuang ke dalam wadah.Malu-malu, Amora mengangguk. “Aku sudah terbiasa membuat apapun di rumah.”“Benarkah?”
Gery yang sudah panik segera keluar dari mobil. Sampai di depan badan mobil Belva, Gery langsung mengetuk-ngetuk bagian kaca jendela dan menempelkan wajah di sana.Di dalam, Gery bisa melihat kalau Belva tengah meringis sambil memijat keningnya. Mungkin Belva terpentok bundaran setir.“Buka pintunya!” pinta Gery dari luar.Belva pun membuka pintu, menurunkan kedua kakinya bergantian dan Gery berjalan mundur untuk memberi ruang.“Kau tidak apa-apa?” tanya Gery sambil mengamati wajah Belva.Belva mendesis lirih. “Tidak apa-apa, cuma sedikit sakit di bagian kening.” Belva masih memijat keningnya.“Biar kulihat.” Gery menyibakkan poni Belva lalu mengusap dengan ibu jari bagian yang terpentok itu.Belva terdiam. Ia membiarkan Gery mengusap keningnya. Rasanya nyaman dan ingin terus. Sudah lama sekali Belva tidak menghirup aroma tubuh Gery sedekat ini. Rasa rindu dan penyesalan, serasa merusak kala mengingat masa di mana dirinya meninggalkan Gery.“Terimakasih,” kata Belva tiba-tiba.
Sentuhan bibir itu masih melekat di benak Amora. Kecupan yang kemudian berubah menjadi sebuah ciuman, Amora tak akan memikirkan tentang ini sebelumnya. Gery datang mengendap-endap hanya untuk memberi ciuman? Kenapa?”Amora kini terduduk lunglai di atas ranjang dengan kaki menjuntai. Kelima jarinya yang masih gemetaran, kini sedang menyentuh bibirnya. Bibir kenyal itu sungguh masih begitu terasa. Amora masih bisa merasakan basah dan hangat lidah yang meruak mencoba membuka bibirnya yang kenyal.“Dia itu kenapa?” gumam Amora. “Dan ada apa ini? Di-dia, dia sudah mengambil ciuman pertamaku.” Amora mendadak seperti orang linglung.Saat masih termenung, mata Amora tertuju pada benda kotak yang tergeletak di atas meja. Amora setengah berdiri dan menggapai benda tersebut kemudian duduk kembali.Benda kotak itu terbuka dan benda bulat melingkar dengan mata berlian di tengah kembali membuat mata Amora terkagum. Benda mahal ini miliknya sekarang. Amora mengangkat tangan sebelah kiri kemudian
Satu minggu lebih sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Malam di mana Gery tiba-tiba datang menemui Amora dan memberi sebuah kejutan yang tak pernah keduanya duga.Pernikahan berlangsung cukup mewah dan pada akhirnya ada dua pasang pengantin di sini. Ya, pernikahan Gery dan Theo dilangsungkan secara bersamaan. Meskipun Gery sempat menolak, tapi akhirnya mau daripada harus disuruh satu bulan lagi menunggu.Ayah bilang kalau tradisi keluarga tidak boleh menikah mendahului yang tertua. Kakak perempuan maupun kakak laki-laki, yang pertama harus didahulukan.Dua pasang pengantin kini sudah berdiri berjejeran setelah perjanjian suci diucapkan selesai. Mereka bergantian menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Jika Keluarga Belva terlihat begitu disambut, lain dengan Amora. Keluarga Amora tentu merasa terasingkan karena memang berasal dari kalangan kelas bawah.“Kapan acara selesai?” gerutu Gery dalam hati. “Aku sudah gerah!”Beberapa menit kemudian, acara berjabat pun usai. P
Mimpi waktu memang belum bisa Amora lakukan. Rasa bersalah pada Andy, masih terus menghantui pikiran Amora. Pria yang mengajaknya menikah namun Amora tolak, kini sudah bukan menjadi siapa-siapa lagi. Memikirkan cara bagaimana menemui Andy dan meminta maaf bahkan masih Amora pikirkan sampai detik ini.Di ruangan ini, di sebuah kamar mewah dengan lampu yang terang. Amora harusnya bisa menepikan sesaat tentang keadaan Andy. Amora sudah menjadi seorang istri, tentunya memikirkan pria lain bukanlah ide yang baik.“Ganti bajumu dan tidurlah,” kata Gery yang sedang melepas kemejanya.Amora sendiri sudah membawa pakaian seadanya, itupun ayah yang menyiapkannya. Mereka berdua saling memunggungi. Amora tengah membongkar tasnya, sementara Gery kini sudah berbaring bertelanjang dada. Matanya terpejam, Amora tahu itu. Karena tak mau tenggorokannya terus menelan ludah melihat tumpukkan roti sobek itu, Amora kembali membuang muka.Memeluk mamanya, Amora berjalan menunduk menuju kamar mandi.“As
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di