Mimpi waktu memang belum bisa Amora lakukan. Rasa bersalah pada Andy, masih terus menghantui pikiran Amora. Pria yang mengajaknya menikah namun Amora tolak, kini sudah bukan menjadi siapa-siapa lagi. Memikirkan cara bagaimana menemui Andy dan meminta maaf bahkan masih Amora pikirkan sampai detik ini.Di ruangan ini, di sebuah kamar mewah dengan lampu yang terang. Amora harusnya bisa menepikan sesaat tentang keadaan Andy. Amora sudah menjadi seorang istri, tentunya memikirkan pria lain bukanlah ide yang baik.“Ganti bajumu dan tidurlah,” kata Gery yang sedang melepas kemejanya.Amora sendiri sudah membawa pakaian seadanya, itupun ayah yang menyiapkannya. Mereka berdua saling memunggungi. Amora tengah membongkar tasnya, sementara Gery kini sudah berbaring bertelanjang dada. Matanya terpejam, Amora tahu itu. Karena tak mau tenggorokannya terus menelan ludah melihat tumpukkan roti sobek itu, Amora kembali membuang muka.Memeluk mamanya, Amora berjalan menunduk menuju kamar mandi.“As
Mereka sudah sampai di rumah dan tentunya langsung disambut para pelayan yang membantu mereka bergantian membawa barang-barang. Dua pelayan membantu Gery dan Amora, dua pelayan lagi membantu Theo dan Belva. Tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka karena langsung menuju kamar masing-masing. Mungkin acara kemarin masih menyisakan rasa lelah teramat. Dion yang ternyata juga di sana, ikut membantu Gery membawa barang-barang menuju kamarnya di lantai dua. “Terimakasih kau sudah datang sepagi ini,” kata Gery sembari menepuk pundak Dion. “Pekerjaan kantorku kan belum dimulai, jadi kupikir sebaiknya membantumu dulu,” ujar Dion. Gery, Dion dan Amora sudah masuk ke kamar, Theo dan Belva juga masuk ke kamarnya sendiri. Mereka tetap terlihat acuh dan enggan untuk saling menyapa satu sama lain. “Sini aku bantu.” Amora tiba-tiba berlari menghampiri Gery yang duduk di sofa. Amora kemudian berjongkok dan membantu melepas sepatu Gery. Dion yang melihat itu, melirik Gery dengan seutas senyu
Sore hari, usai mandi Gery mendapati Amora tengah duduk di sofa sambil memijat ponselnya. Entah sedang chatting dengan siapa, Gery tak ingin tahu. Yang ada di kepala Gery saat ini adalah benda ber cup yang ukurannya cukup besar itu.Gery memang sempat melihat tubuh Amora saat mandi, tapi tidak terlalu jelas di bagian dada. Hanya melihat tubuh Amora yang memang molek dan menggiurkan.“Shit!” umpat Gery sambil menggosok rambut basahnya dengan kasar menggunakan handuk.Amora yang terkejut, sampai-sampai menjatuhkan ponselnya dan buru-buru berdiri. “Ada apa?” tanya Amora saat itu juga.Gery yang tidak sadar kalau ucapannya terdengar, hanya bisa melengos dan pura-pura berwajah masam. “Tidak. Aku hanya asal bicara.”Amora lantas menunduk dan menggamit ponselnya yang tergeletak di lantai. Sementara Gery, ia sudah beranjak keluar dari kamar hanya dengan mengenakan celana kolor selutut dan kaos oblong.“Hai Gery,” sapa Belva saat Gery baru saja menampakkan kedua kakinya di lantai satu.
Sekedar kesalahan membuat kopi, Gery bisa sampai marah besar. Amora masih tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi. Pasalnya, takaran gula yang ia gunakan sama persis saat membuatkan untuk ayah di rumah, dan rasanya Amora yakin sudah pas.Lalu, kenapa Gery bilang itu kemanisan?Amora yang wajahnya kini sembab dengan mata memerah, memilih berdiam diri di kamar setelah selesai membereskan pecahan cangkir. Masih untung belum ada siapapun di bawah sana, terkecuali Ira yang sempat bertanya kenapa.Amora yang memang tidak mau ada yang tahu, tentunya menjawab kalau gelas itu jatuh karena tersenggol. Namun sayangnya, mata sembabnya tak bisa menyembunyikan sesuatu.“Besok, aku akan kasih tahu apa yang Tuan Gery suka dan tidak suka,” kata Ira saat Amora sedang mencuci tangannya.Amora yang salah tingkah karena Ira bisa tahu, lantas tersenyum sekenanya. Setelah ngobrol singkat di dapur, Amora sudah kembali ke kamar. Ia berencana untuk tidak ikut makan malam karena takut bertemu Gery.Selepas
Pagi hari Gery tidak terlihat semengerikan semalam. Namun, tetap saja Amora mencoba waspada supaya tidak membuat kesalahan lagi. Amora yang sudah belajar menjadi seorang istri yang baik dari internet, bangun pagi tadi langsung menyiapkan keperluan suaminya.Semoga saja tidak ada yang salah.Amora juga sudah mandi dan berpakaian rapi tentunya. Ia tak mau saat bangun tidur suaminya menjumpai dirinya masih awut-awutan. Selesai dari itu, Amora mencari setelan jas dan juga sepatu senada. Tak lupa dasi juga.“Beres!” kata Amora sambil tersenyum memandangi setelah jas yang susah tergeletak di tepian ranjang. Sementara sepasang sepatu pantofel ada di depan kaki ranjang.“Aku ngapain setelah ini?” kata Amora. Ia mendadak bingung.“Oh iya. Aku sebaiknya tanya Ira saja.”Berjalan mengendap-endap, Amora perlahan keluar dari kamar. Ini masih jam lima, Amora tidak mau kalau sampai Gery terbangun belum waktunya.“Hai Ira,” sapa Amora lirih sesampainya di dapur.Di sana hanya ada Ira dan satu
Amora meninggalkan rumah setelah ijin pada ibu mertuanya. Tentunya Amora juga menjelaskan kalau sudah mendapat ijin dari Gery. Semua isi rumah toh hari ini juga pergi. Mereka mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak terkecuali untuk Belva. Ya, walaupun dia pergi hanya untuk sekedar berbelanja atau gosip bersama teman.Sampai di tempat loundry, Amora sudah ditunggu Lela. Amora yang memang sudah menghubunginya.“Maaf lama,” kata Amora sambil membuka gembok pintu teralis besi.“Tidak apa. Aku juga baru sampai,” sahut Lela.Mereka berdua masuk ke dalam. Sebenarnya tidak terlalu repot, karena sudah dibenahi satu bulan yang lalu. Kini sisanya hanya tinggal menyapu dan mengepel saja. Sisanya bisa di atur belakangan setelah Amora mendapat izin dari suami untuk mengurus laundry.Kalau pernikahan berakhir, hanya ini harapan Amora untuk biaya hidup.“Itu putri?” kata Lela tiba-tiba. Lela sampai memiringkan kepala untuk memandangi Putri yang sedang menyeberang jalan di luar sana.Pu
“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Amora. “Aku bahkan belum sempat berbelanja.”“Tidak perlu. Hari ini kau wajib temani aku di kantor,” jawab Gery.“Di kantor?” kata Amora bingung.“Kenapa?” salak Gery. Kalau saja sedang tidak menyetir, mungkin Gery sudah melotot. “Kau tidak mau?”“Bu-bukan begitu, Tuan. Tapi ...”“Tidak ada tapi-tapian! Nurut saja. Patuhi saja perintahku, itu kan sudah jadi tugasmu!”Amora menelan ludah. Pandangannya teralihkan pada beberapa penjual kali lima di tepian jalan dekat taman.“Mau apa menyuruhku ke kantor? Memangnya aku bisa apa dengan urusan kantor?” Amora masih bertanya-tanya di dalam hati. Sampai di kantor, Gery langsung mengajak Amora menuju ruangannya. Betapa terkejutnya saat baru saja Amora masuk, tapi sudah dihadapkan dengan beberapa buku dan berkas ataupun majalah yang berserakan di atas lantai. Amora membulatkan mata dan tercengang.Gery sudah maju dan berjalan ke arah meja. “Kau lihat apa? Kenapa diam saja?” pertanyaan Gery membuat lamunan
Malam harinya saat baru saja sampai rumah, Gery mendapat panggilan dari Lina. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, Gery menyuruh Amora masuk ke kamar lebih dulu sambil membawa tas dan jas.Gery lalu kembali ke ambang pintu ruang tamu dan berdiri di sana.“Ada apa? Aku bahkan baru sampai rumah,” sungut Gery.Di seberang sana, Lina yang saat ini tengah duduk di sebuah kafe terdengar berdecak. “Aku perlu bicara denganmu! Sekarang!”“Apaan kau ini!” salak Gery. “Aku capek, Besok saja.”“Sekarang!” tekan Lina sekali lagi. “Ini sangat penting.”Mau tak mau, akhirnya Gery pergi juga. Dia sampai lupa berpamitan pada Amora kalau akan pergi lagi. Amora yang sudah menunggunya di kamar, mulai bertanya-tanya karena Gery tak kunjung muncul.Saat Amora turun, yang ia jumpai bukanlah Gery melainkan Belva yang hendak berjalan mendekat ke tangga dimana dirinya sedang berada.“Cari suamimu?” tebak Belva bernada acuh.Mencoba ramah, Amora tersenyum dan mengangguk.“Kulihat dia pergi buru-buru
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di