“Kita mau kemana, Tuan?” tanya Amora. “Aku bahkan belum sempat berbelanja.”“Tidak perlu. Hari ini kau wajib temani aku di kantor,” jawab Gery.“Di kantor?” kata Amora bingung.“Kenapa?” salak Gery. Kalau saja sedang tidak menyetir, mungkin Gery sudah melotot. “Kau tidak mau?”“Bu-bukan begitu, Tuan. Tapi ...”“Tidak ada tapi-tapian! Nurut saja. Patuhi saja perintahku, itu kan sudah jadi tugasmu!”Amora menelan ludah. Pandangannya teralihkan pada beberapa penjual kali lima di tepian jalan dekat taman.“Mau apa menyuruhku ke kantor? Memangnya aku bisa apa dengan urusan kantor?” Amora masih bertanya-tanya di dalam hati. Sampai di kantor, Gery langsung mengajak Amora menuju ruangannya. Betapa terkejutnya saat baru saja Amora masuk, tapi sudah dihadapkan dengan beberapa buku dan berkas ataupun majalah yang berserakan di atas lantai. Amora membulatkan mata dan tercengang.Gery sudah maju dan berjalan ke arah meja. “Kau lihat apa? Kenapa diam saja?” pertanyaan Gery membuat lamunan
Malam harinya saat baru saja sampai rumah, Gery mendapat panggilan dari Lina. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, Gery menyuruh Amora masuk ke kamar lebih dulu sambil membawa tas dan jas.Gery lalu kembali ke ambang pintu ruang tamu dan berdiri di sana.“Ada apa? Aku bahkan baru sampai rumah,” sungut Gery.Di seberang sana, Lina yang saat ini tengah duduk di sebuah kafe terdengar berdecak. “Aku perlu bicara denganmu! Sekarang!”“Apaan kau ini!” salak Gery. “Aku capek, Besok saja.”“Sekarang!” tekan Lina sekali lagi. “Ini sangat penting.”Mau tak mau, akhirnya Gery pergi juga. Dia sampai lupa berpamitan pada Amora kalau akan pergi lagi. Amora yang sudah menunggunya di kamar, mulai bertanya-tanya karena Gery tak kunjung muncul.Saat Amora turun, yang ia jumpai bukanlah Gery melainkan Belva yang hendak berjalan mendekat ke tangga dimana dirinya sedang berada.“Cari suamimu?” tebak Belva bernada acuh.Mencoba ramah, Amora tersenyum dan mengangguk.“Kulihat dia pergi buru-buru
Terasa ada benda kekar yang tersampir di pinggangnya. Amora seketika membuka mata lebar-lebar lalu menunduk. Satu lengan dengan bulu-bulu halus tengah melingkar di pinggangnya. Tepatnya sebuah dekapan erat.Amora yang posisi tidurnya miring, kini juga merasakan ada embusan napas di bagian tengkuk hingga ke bagian selipan telinga. Dengkuran lirih pun bisa Amora dengar dengan jelas.Dia Gery. Ya, tangan yang mendekap adalah Gery. Amora yakin itu. Amora kemudian mengingat-ingat kejadian semalam. Setahu Amora, ia hanya tidur berdampingan tanpa saling menyentuh. Lalu ini apa? Bagaimana posisinya bisa seerat ini? Amora sungguh ingin berteriak.“Bagaimana ini?” batin Amora sambil menggigit bibir. “Kenapa erat sekali?”Amora menarik napas dalam lalu mencoba mengangkat lengan kekar tersebut. Namun, baru saja sedikit terangkat, si pemilik melenguh dan mengeratkan kembali pelukannya.“Eh!” jerit Amora saat tangan itu justru mendarat di bagian dadanya.“Astaga! Aku harus bagaimana ini?”Am
Amora masih tercengang bingung memandangi rumahnya sendiri. Ini seolah ada rasa berat untuk melangkah karena hatinya mendadak tidak tenang. Apalagi tatkala melirik ke arah Gery yang dengan santainya sudah melangkah sampai di depan pintu, hal itu membuat perasaan Amora semakin bergemuruh.“Kenapa dia mengajakku kemari?” batin Amora lagi. “Ada apa ini?”“Kau mau di situ saja?”“Eh, iya!” Amora buru-buru tersadar dari lamunan saat Gery menegurnya. “Aku datang.”Amora berdiri di samping Gery kemudian mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka dan seseorang dari dalam muncul.“Kalian?” kata Ambar. Ibu tiri Amora yang membukakan pintu. “Ada perlu apa kalian datang?”Amora tidak bisa menjawab, karena ia sendiri bingung mengapa bisa datang kemari. Ada perlu apa, tentunya Gery yang tahu. Dan benar saja, Gery kemudian mulai berkata.“Apa ayah Atmaja ada?” tanya Gery.“Ayah?” pekik Amora dalam hati. “Dia menyebut ayah?”“Dia ada di kebun,” jawab Ambar acuh. “Ada perlu apa
Pagi harinya rumah Atmaja mulai direpotkan dengan persiapan untuk acara pernikahan di hari esok. Sesuai permintaan Putri dan ayahnya, Amora pun datang lebih awal usai sang suami berangkat ke kantor.Halaman yang tidak terlalu luas, kini sedang disulap oleh beberapa tukang dekorasi.Sementara Atmaja dan Ambar tengah membantu tukang dekorasi, Amora yang sedang membuatkan minuman di dapur dihampiri Putri.“Maaf,” kata Putri.Amora yang sedang mengaduk minuman, lantas menoleh. “Maaf untuk apa?”“Aku tidak bermaksud. Aku hanya mencintai Andy.” Wajah sendu Putri terlihat nyata.Amora meletakkan sendok di dalam bak wastafel. “Aku tidak masalah,” kata Amora sambil tersenyum.“Aku tidak tahu kenapa kau bisa tiba-tiba menikah dengan Tuan Gery. Kau tidak pernah cerita. Tapi aku tahu saat itu kau masih mencintai Andy.”Amora tersenyum lalu bersandar pada meja menghadap ke arah Putri. “Tidak masalah, mungkin Andy bukan jodohku. Dia lebih pantas mendapatkan wanita yang benar-benar mencintai
Awalnya Amora pulang akan diantar Lina, tapi Amora langsung menolak karena takut merepotkan. Dan lagi, Amora juga bukan pulang ke rumah sang suami, melainkan ke rumah ayahnya. Di sana sedang kerepotan, tidak mungkin untuk Amora ditinggalkan. “Sungguh kau tidak mau kuantar?” tawar Lina sekali lagi. Lina sudah di dalam mobil, sementara Amora berdiri di samping badan mobil sambil menjinjing paperbag belanjaannya. “Tidak usah. Aku mau mampir ke rumah ayahku. Nanti adikku marah.” “Baiklah, Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok.” Lina melambaikan kelima jari sebelum menutup jendela mobil. Setelah mobil Lina sudah melesat cukup jauh, Amora mencari tempat duduk lebih dulu. Hatinya terasa tidak tenang karena dia sudah memakai uang sang suami tanpa meminta izin. Amora lantas memilih duduk di kursi besi panjang di halte bus. Tidak ada siapapun di sana, sementara langit mulai gelap dan awan-awan mulai bergeser mencari tempatnya. “Ha-halo,” kata Amora gugup begitu panggilan telepon tersambung
Kembali ke kamar, Gery langsung meminta Amora untuk mengambilkan baju yang baru ia beli tadi. Gery tahu kalau di sini tidak ada baju, jadi terpaksa membelinya berbarengan dengan membeli gaun untuk Amora. Dan karena tak mau berlama-lama mengotori mata dengan memandangi dada bidang yang masih sedikit basah itu, Amora pun buru-buru mengulurkan baju yang sudah ia ambil.Selama Gery sedang sibuk berpakaian, Amora terlihat membereskan ranjangnya. Ia hanya tak mau kalau suaminya merasa tidak nyaman di kamar ini.“Kau sudah mau tidur?” tanya Amora.Gery mendekat, kemudian naik ke atas ranjang melewati hadapan Amora begitu saja. “Ya, aku sudah ngantuk.”Amora nampak gugup dan salah tingkah. “Em, kalau begitu ... aku, aku tidur di luar.”“Hei!” panggil Gery.Amora yang sudah mencengkeram gagang pintu lantas menoleh. “Ada apa?”“Kau mau keluargamu berpikiran aneh?”Amora mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Gery berdecak kemudian turun dari atas ranjang. Gery berjalan menghampiri Amora dan me
Hari pernikahan pun tiba. Para tamu sudah berkumpul untuk memberi saksi pada sepasang sejoli yang sebentar lagi akan sah menjadi suami istri. Di ruangan lain, Amora sendiri sudah siap dengan penampilannya. Memakai gaun yang dibelikan Gery, Amora nampak begitu cantik.Gery terpesona, tapi dia tidak mampu mengungkapkannya. Cukup diam-diam tersenyum tipis sambil curi-curi pandang.“Bagaimana dia bisa terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana?” batin Gery.Sebelum keluar dari kamar, Amora melangkah dan berdiri di hadapan Gery. “Maaf ...” Amora meraih kemeja Gery yang belum terkancing sempurna di bagian kerah.Keduanya sempat berpandangan mata. Berkedip bersamaan dengan perasaan masing-masing. Siapa yang tahu kalau jantung keduanya sudah berdegup begitu kencang. Ketika salah satu wajah mendekat maju dan hampir saja bersentuhan bibir, seseorang mengetuk pintu.Perasaan campur aduk, keduanya pun saling buang muka dan pura-pura sibuk membenarkan tampilan diri sendiri.“Ya, tunggu s
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di