Awalnya Amora pulang akan diantar Lina, tapi Amora langsung menolak karena takut merepotkan. Dan lagi, Amora juga bukan pulang ke rumah sang suami, melainkan ke rumah ayahnya. Di sana sedang kerepotan, tidak mungkin untuk Amora ditinggalkan. “Sungguh kau tidak mau kuantar?” tawar Lina sekali lagi. Lina sudah di dalam mobil, sementara Amora berdiri di samping badan mobil sambil menjinjing paperbag belanjaannya. “Tidak usah. Aku mau mampir ke rumah ayahku. Nanti adikku marah.” “Baiklah, Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok.” Lina melambaikan kelima jari sebelum menutup jendela mobil. Setelah mobil Lina sudah melesat cukup jauh, Amora mencari tempat duduk lebih dulu. Hatinya terasa tidak tenang karena dia sudah memakai uang sang suami tanpa meminta izin. Amora lantas memilih duduk di kursi besi panjang di halte bus. Tidak ada siapapun di sana, sementara langit mulai gelap dan awan-awan mulai bergeser mencari tempatnya. “Ha-halo,” kata Amora gugup begitu panggilan telepon tersambung
Kembali ke kamar, Gery langsung meminta Amora untuk mengambilkan baju yang baru ia beli tadi. Gery tahu kalau di sini tidak ada baju, jadi terpaksa membelinya berbarengan dengan membeli gaun untuk Amora. Dan karena tak mau berlama-lama mengotori mata dengan memandangi dada bidang yang masih sedikit basah itu, Amora pun buru-buru mengulurkan baju yang sudah ia ambil.Selama Gery sedang sibuk berpakaian, Amora terlihat membereskan ranjangnya. Ia hanya tak mau kalau suaminya merasa tidak nyaman di kamar ini.“Kau sudah mau tidur?” tanya Amora.Gery mendekat, kemudian naik ke atas ranjang melewati hadapan Amora begitu saja. “Ya, aku sudah ngantuk.”Amora nampak gugup dan salah tingkah. “Em, kalau begitu ... aku, aku tidur di luar.”“Hei!” panggil Gery.Amora yang sudah mencengkeram gagang pintu lantas menoleh. “Ada apa?”“Kau mau keluargamu berpikiran aneh?”Amora mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Gery berdecak kemudian turun dari atas ranjang. Gery berjalan menghampiri Amora dan me
Hari pernikahan pun tiba. Para tamu sudah berkumpul untuk memberi saksi pada sepasang sejoli yang sebentar lagi akan sah menjadi suami istri. Di ruangan lain, Amora sendiri sudah siap dengan penampilannya. Memakai gaun yang dibelikan Gery, Amora nampak begitu cantik.Gery terpesona, tapi dia tidak mampu mengungkapkannya. Cukup diam-diam tersenyum tipis sambil curi-curi pandang.“Bagaimana dia bisa terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana?” batin Gery.Sebelum keluar dari kamar, Amora melangkah dan berdiri di hadapan Gery. “Maaf ...” Amora meraih kemeja Gery yang belum terkancing sempurna di bagian kerah.Keduanya sempat berpandangan mata. Berkedip bersamaan dengan perasaan masing-masing. Siapa yang tahu kalau jantung keduanya sudah berdegup begitu kencang. Ketika salah satu wajah mendekat maju dan hampir saja bersentuhan bibir, seseorang mengetuk pintu.Perasaan campur aduk, keduanya pun saling buang muka dan pura-pura sibuk membenarkan tampilan diri sendiri.“Ya, tunggu s
Usai pernikahan, Gery langsung meminta pulang. Gery tak lagi mau menginap. Selain merasa gerah karena kamar Amora yang sempit, sebenarnya ia malas bertatap muka dengan Andy.Seperti hal tadi sore, saat Gery sedang menunggu Amora di teras rumah, Andy datang menghampiri. Pria itu duduk di kursi kosong di samping Gery.“Apa alasanmu menikahi Amora?” tanya Gery tanpa basa-basi.“Tidak sopan sekali kau bertanya begitu?” sahut Gery acuh.“Amora masih menjalin hubungan denganku, tapi tiba-tiba kau menikahinya. Itu sangat aneh.” Andy menatap Gery. “Benarkan?”“Benar apanya?” sahut Gery.“Pasti ada sesuatu sampai Amora mau menikah denganmu kan?”Gery memalingkan wajah dan tidak menjawab. Tuduhan Andy memang benar. Gery menikahi Amora karena sesuatu hal. Pada intinya karena hati yang bergejolak.“Memang benar.” Andy mendecih lalu menyeringai.“Benar atau tidaknya, itu bukan urusanmu. Amora istriku, dan lagi kau juga sudah menikah. Sebaiknya jangan mengganggu Amora lagi.”Gery lantas b
Amora sudah bangun lebih dulu seperti biasanya. Kali ini bahkan bangun lebih awal karena mendadak haus dan sedikit lapar. Tepat sekitar jam 4 pagi, Amora turun ke lantai satu untuk mencari cemilan yang mungkin bisa buat mengganjal perut.Sampai di dapur para pembantu belum ada yang terbangun. Lampu-lampu di setiap ruangan juga masih padam. Amora jalan menuju dapur sampai mepet dinding supaya tidak menabrak sesuatu.Amora awalnya ingin menyalakan lampu, tapi takut ada orang yang mungkin saja terbangun. Bukan apa-apa, Amora hanya takut mengganggu.“Kenapa aku bisa sampai kelaparan?” keluh Amora sambil menuang air putih ke dalam gelas. “Aku lupa makan setelah acara dari rumah ayah. Em, jangan-jangan Gery juga kelaparan?”Amora meneguk habis air putihnya, lalu terlihat kebingungan sendiri. Berpikir sejenak, Amora lantas mencari sesuatu di dalam kulkas ataupun lemari yang menggantung di dapur.Selagi menahan rasa lapar, Amora mencari sesuatu yang bisa suaminya makan setelah terbangu
Amora keluar kamar mandi susah memakai baju. Rambutnya yang basah ia gulung ke atas menggunakan handuk. Sementara Gery, dia sedang menikmati bolu yang disediakan Amora. Gery sudah berada di kamar lagi sebelum Amora keluar. Jadi, Amora tidak tahu kalau Gery sempat keluar dari kamar.“Bagaimana kau tahu kalau aku lapar?” tanya Gery.Amora menoleh sambil melepas handuk di kepala dan memiringkan kepala hingga rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.“Semalam kau tidak makan, kupikir mungkin kau lapar,” sahut Amora.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Amora buru-buru menyisir rambutnya yang setengah kering lalu bergegas ingin keluar dari kamar.“Kau mau kemana?” tanya Gery.“Menyiapkan makanan untukmu. Kau mandi saja, kalau sudah susul aku di ruang makan.”Amora sudah keluar dan Gery masih terbengong. Gery heran melihat sikap Amora yang begitu menghormatinya. Amora tahu bagaimana Gery berniat buruk padanya, tapi wanita itu tak menunjukkan rasa takut a
“Aku minta maaf,” kata Amora sesampainya di tempat loundry. “Aku tidak bermaksud membentak ibumu.”Gery tetap bermuka pias, tapi tidak menunjukkan raut amarah. “Jangan dipikirkan. Ibuku hanya asal bicara. Jangan kau masukkan ke hati.”Amora mengangguk. “Aku masuk dulu.”“Aku jemput sekitar pukul tiga sore.”Gery berlalu dan Amora masuk ke dalam. Di sana sudah ditunggu Lela yang mulai mengurusi setumpuk pakaian dari customer. Belum terlalu banyak memang, akan tetapi bisa terbilang lumayan untuk tempat laundry yang baru buka.“Maaf aku telat,” kata Amora sambil meletakkan tas di gantungan. “Aku ada sedikit masalah tadi.”“Tidak apa,” sahut Lela sembari menuang deterjen ke dalam mesin cuci. “Aku juga baru beberapa menit.”Amora mendekat dan ikut mengangkat setumpukkan pakaian berwarna putih dan memasukkannya ke dalam mesin cuci yang lain.“Apa kau sudah sarapan?” tanya Amora.“Sudah. Ibuku masak nasi goreng tadi pagi,” sahut Lela. “Kau sendiri sudah makan?”Amora mendesah kemu
Pukul lima sore, Amora tengah berdiri sendirian di halte bus. Lela sudah pulang lebih dulu sekitar pukul empat. Awalnya Lela hendak mengantar pulang, akan tetapi Amora menolak. Selain jaraknya yang lumayan jauh, rumah Lela juga tidak sejalan.Amora sendiri sudah duduk dan berdiri beberapa kali sambil terus berharap ada angkutan umum atau taksi yang lewat. Kalau saja ponselnya tidak mati, mungkin Amora sudah menelpon taksi online.Apapun terasa mudah di jaman modern seperti sekarang ini.Saat Amora hendak kembali duduk, sebuah sedan berwarna hitam berhenti di hadapannya. Amora sontak berdiri tegak dan waspada. Saat Amora hendak mundur dan pergi, seseorang di balik mobil memanggilnya.“Amora!”Amora berhenti sebelum menoleh, keningnya berkerut. Mungkin saja itu orang yang Amora kenal, tapi tentu saja suara pria itu bukanlah suara Gery.“Theo,” kata Amora saat matanya bertemu pandang dengan sosok yang kini sudah keluar dan berdiri di samping mobil.“Hai,” Theo melambaikan tangan.
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di