Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Gery tidak tahan lagi melihat dua orang bodoh itu. Tampangnya begitu menyedihkan, tapi tidak berhasil membuat Gery merasa iba. Rasa marah, dendam, benci bersatu menjadi satu."Aku berani jamin kalau ayahku tidak bersalah." suara itu terdengar gemetaran.Suasana di ruang pengadilan semakin memanas. Ruangan yang memang sudah dilengkapi dengan alat pendingin, sama sekali tidak bisa membuat siapapun orang yang berada di dalamnya merasa nyaman dan tenang. Merasa sebagai korban yang telah kehilangan, Gery terus saja mendesak pelaku supaya benar-benar mengakui kesalahannya, meskipun sedari tadi terus menyangkal.Amora Atmaja, atau biasa dipanggil Amora. Dia berdiri tegak memberi kesaksian bahwa dirinya tetap menyangkal tidak terlibat dalam kecelakaan tersebut."Ayahku bukan pembunuh! aku sebagai saksi di sini!" suaranya menggelegar mesti terdengar genetaran. Amora beserta ayahnya yang saat itu tengah mengendarai mobil, tiba-tiba saja diserempet oleh mobil lain dan kemudian mobil dirinyalah
Keesokan harinya, Amora memberanikan diri datang ke kantor Intan Group untuk menemui Gery. Apapun akan Amora lakukan demi membebaskan sang ayah yang sama sekali tidak bersalah. Sampai di depan gedung, Amora berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya yang berderu cepat. Sambil mengedarkan pandangan, Amora menggigit bibir lalu memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung. Amora berjalan mendekati seorang resepsionis. “Maaf, ruangan Tuan Gery di sebelah mana ya?” tanya Amora. Resepsionis wanita dengan pakaian di bagian dada sedikit terbuka itu tersenyum dan berdiri. “Apa sudah ada janji?” Amora terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng. Resepsionis itu tersenyum lagi. “Kalau begitu, mohon maaf. Nona tidak diijinkan menemui Tuan Gery.” “Tapi dia menyuruhku datang kemari,” kata Amora. “Dia memberikan aku kartu namanya.” Amora meletakkan benda pipih persegi di atas meja konter. “Tunggu sebentar, biar saya hubungi Tuan Gery. Nona silahkan menunggu.” Amora kemudian duduk di kursi yan
Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.” “Apa maksud dari kata budak?” tanya Amora. Melihat bagaimana cara Gery memandang, sudah berhasil membuat Amora bergidik ngeri. Amora semakin paham, resiko memohon pada pria angkuh dengan kekuasaan tinggi memang membutuhkan sebuah pengorbanan. “Kau melayaniku siang malam tanpa mendapat bayaran.” “Me-melayani?” Amora terpekik membuat bola matanya membulat sempurna. “Tapi aku ...” “Heh!” sembur Gery tiba-tiba. “Kau pikir aku minta dilayani untuk apa? Dasar pikiran dangkal!” Amora menarik diri mundur dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepertinya pikiran Amora memang terlalu jauh untuk menebak apa yang dimaksud oleh Gery. “Lalu apa, Tuan? Aku tidak mengerti,” kata Anggun. “Kau menjadi pelayan untukku. Setiap pagi kau datang ke rumahku, menyiapkan segala keperluanku. Bagaimana?” Amora melamun. Bibirnya sedikit terbuka sementara otaknya sedang mencoba mencerna perkataan dari Gery.
Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung. “Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri. “Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih. “Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?” “Memang angkuh!” batin Amora. “Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup. Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora. “Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk. Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang ke
“Apa orang itu yang menangkap paman Atmaja?” tanya Andy. Atmaja kembali duduk di ruang tengah bersama yang lainnya. “Ya, dia orangnya.” “Sepertinya orang itu sangat berkuasa,” timbruk Putri. “Kau lihat wajahnya?” sambung Ambar. “Apa dia tampan?” “Ish, ibu!” sembur Putri. “Apa urusannya?” Ambar menoyor kepala Putri hingga membentur pundak Andy. “Kalau dia bisa berbaik hati membebaskan ayahmu, bisa jadi dia juga mudah kau rayu. Kau paham maksud ibu kan?” “Ambar!” hardik Atmaja. “Kau mengajari anakmu untuk merayu? Dimana pikiranmu?” “Memangnya kenapa?” Ambar mencebik. “Siapa tahi memang jodoh Putri kan?” “Kita bahkan belum tahu bagaimana Tuan Gery bisa membebaskanku. Jangan berkhayal yang aneh-aneh.” “Benar. Ibu itu aneh. Aku kan suka dengan Andy untuk apa harus mendekati pria bermuka kejam itu?” dengan manjanya, Putri merangkul lengan Andy. Andy hanya meringis kaku. “Kau ini!” Ambar menoyor pelipis Putri lagi. “Andy itu kan kekasih Amora. Carilah yang lain!” Dari balik tirai,