Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.”
“Apa maksud dari kata budak?” tanya Amora.Melihat bagaimana cara Gery memandang, sudah berhasil membuat Amora bergidik ngeri. Amora semakin paham, resiko memohon pada pria angkuh dengan kekuasaan tinggi memang membutuhkan sebuah pengorbanan.“Kau melayaniku siang malam tanpa mendapat bayaran.”“Me-melayani?” Amora terpekik membuat bola matanya membulat sempurna. “Tapi aku ...”“Heh!” sembur Gery tiba-tiba. “Kau pikir aku minta dilayani untuk apa? Dasar pikiran dangkal!”Amora menarik diri mundur dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepertinya pikiran Amora memang terlalu jauh untuk menebak apa yang dimaksud oleh Gery.“Lalu apa, Tuan? Aku tidak mengerti,” kata Anggun.“Kau menjadi pelayan untukku. Setiap pagi kau datang ke rumahku, menyiapkan segala keperluanku. Bagaimana?”Amora melamun. Bibirnya sedikit terbuka sementara otaknya sedang mencoba mencerna perkataan dari Gery.“Apa maksud tuan sebagai asisten rumah tangga?”“Kurang lebih seperti itu. Tapi ... kau hanya melayaniku saja. Tidak boleh membantah, terlambat ataupun membuat kesalahan.”Amora tidak mungkin menggelengkan kepala saat Gery menyampaikan dengan jelas apa imbalan jika ayah bebas. Mau tidak mau Amora menyanggupi dan mengangguk dengan mantap. Meskipun tidak pernah dibayar, tapi Amora sedikit merasa lega karena Gery memberinya cuti dua gari pada hari sabtu dan minggu.Permintaan itu tentunya tidak langsung disetujui oleh Gery. Amora harus memohon-mohon dengan alasan mencari uang karena memang sudah tidak ketergantungan dengan orang tua.Pembicaraan tadi di kantor Gery memang membuat nafas Amora terasa sesak. Untungnya, Amora bisa sedikit bernafas lega saat menjumpai ayahnya. Membawa pulang dan bisa memeluknya kembali, sudah berhasil menambah tenaga untuk menjalani hari esok.Tok, tok, tok!Amora terbangun saat mendengar ketukan pintu di kamarnya. Selimut yang semula menutupi bagian perut hingga ke ujung kaki, Amora sibakkan lalu terduduk. “Siapa?”“Ini ayah. Boleh masuk?”Amora menghela napas. Amora kemudian turun dari atas ranjang. “Tunggu sebentar, Yah,” sahut Amora. Rambut panjangnya ia gulung menggunakan kuncir.“Ayah mengganggumu?” tanya Atmaja saat pintu terbuka.“Tidak, Yah. Aku hanya sedang berbaring saja,” jawab Amora. “Ayo masuk.”Amora menuntun ayah lalu mengajaknya duduk di kursi panjang.“Ada apa, Yah? Apa ada yang penting?” tanya Amora saat sudah duduk.Atmaja meraih telapak tangan Amora. Mengusapnya lembut dengan tatapan sendu. “Apa ayah sudah membuatmu kesusahan?”“Ha? Maksud ayah?”“Sebenarnya apa yang terjadi sampai kau berhasil membebaskan ayah?”Amora tertunduk diam. Bibirnya beberapa kali ditekuk kedalam. Amora tidak mungkin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi berbohong juga hal yang salah.“Jangan terlalu dipikirkan, yang penting ayah sudah bebas kan?” Amora mengulum senyum. Akan lebih baik kalau berbohong untuk saat ini.“Kau sungguh tidak mau katakan pada ayah?” Atmaja sungguh ingin tahu.“Kapan-kapan akan aku jelaskan. Untuk saat ini, aku hanya mau ayah pulihkan pikiran supaya bisa beraktifitas kembali seperti biasanya.” Amora menepuk bahu ayah kemudian mengusapnya. “Ayah istirahat saja.”Kapan-kapan itu sepertinya entah kapan. Amora tidak ada rencana untuk memberi tahu ayah sama sekali. Dalam waktu dekat ataupun sampai lima tahun mendatang. Ya, lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Hidup menjadi budak seorang pria, bisa dipastikan akan membuat masa-masa indah Amora berubah seketika.Amora urung berbaring lagi saat ayah sudah keluar dari kamarnya. Di luar sana, ada tamu yang sedang menunggu sambil membawa sesuatu.“Andy?” kata Amora dengan wajah terkejut. Ia sampai lupa kalau dalam hidupnya saat ini ada Andy. Kekasih yang sudah bersamanya sejak satu tahun yang lalu.Kedatangan Andy, tak lain pasti karena dia tahu kalau ayah Amora sudah bebas dari penjara.“Hay, sayang,” sahut Andy yang langsung menghampiri dan memberi kecupan di kening Amora. “Maaf aku tidak Memberitahumu kalau mau datang.”Amora hanya membalas dengan senyum kaku. Jika biasanya sangat senang ada sang kekasih, kali ini Amora justru terlihat gugup dan kelabakan sendiri.“Tidak apa-apa,” sahut Amora. “Yuk, masuk.”Mereka berdua pun duduk di ruang tamu dan ngobrol bersama.“Kudengar, ayahmu sudah bebas, benarkah begitu?” tanya Andy.Amora tersenyum. “Iya. Tadi.” Amora sebenarnya sedikit heran bagaimana Andy bisa tahu, tapi tidak terlalu dipikirkan karena itu tidaklah penting.“Mau minum apa? Biar ku ambilkan,” tawar Amora.“Terserah kau saja.”Amora berdiri. “Tunggu ya.”Amora masuk ke dalam, sementara Putri menyerempetnya dan berjalan menuju ruang tamu. Amora paham, putri memang menyukai Andy sejak lama. Meski tahu kalau Andy sudah menjadi kekasih Amora, tapi Putri tetap saja sering menggoda Andy walaupun ada Amora.“Hai Andy,” sapa Putri yang tanpa sopan santun sudah menghempaskan tubuh duduk di samping Andi. “Bagaimana kabarmu?”Andy tersenyum dan sedikit bergeser. “Aku baik. Seperti yang kau lihat.”“Jadi ... kau masih menjalin hubungan dengan Amora?” tanya Putri kemudian. Dia sungguh tidak berpikir apakah itu pertanyaan yang layak atau tidak.“Tentu saja. Memangnya kenapa?” Amora muncul dengan membawa segelas jus jeruk dingin. “Berhentilah mengganggu Andy!” sembur Amora.Putri mendecih dan menjulingkan mata. “Siapa juga yang mengganggu Andy. Aku hanya mengajaknya ngobrol. Tidak boleh?”Amora mendesis keras dengan kedua tangan mengepal kuat. “Bisa tidak, kalau kau tidak mengganggu hidupku!”“Enak saja!” Putri berdiri. “Aku tidak mengganggu ya! Aku hanya mengajak ...”“Sudah, sudah! Kenapa kalian jadi bertengkar?” Andy melerai. “Kita kan bisa ngobrol bersama di sini.”Amora dan Putri kembali duduk dengan wajah sama-sama merengut sinis.“Apa?”“Apa?”“Apa?”“Sudah!” hardik Andy lagi. “Kalian tenanglah. Kalau tidak aku ...”Tok, tok, tok!Mereka bertiga sontak terdiam dan bersamaan terpaku menghadap ke arah pintu. Saat Amora dan Putri kembali menatap saling lawan dengan sorot mata, pintu ruang tamu kembali diketuk dari luar.“Awas kau!” Amora yang pada akhirnya berdiri membukakan pintu. Amora berjalan mundur sambil menunjuk-nunjuk ke arah Putri.Merasa tidak takut sama sekali, Putri justru mencebik lalu membuang muka. “Semakin berani kau sekarang!”“Sudahlah Putri, jangan bertengkar terus dengan kakakmu,” kata Andy.“Dia yang mulai duluan.”Sementara Andy dan Putri entah sedang mengobrol apa, di depan pintu Amora tengah terpaku dengan bibir terbuka. Satu tangannya mencengkeram kuat gagang pintu sementara satu tangannya lagi tengah meremas ujung kaosnya.“Tu-Tuan Dion,” kata Amora lirih. “A-ada apa da—” kalimat itu terputus saat seseorang di belakang Dion muncul dari dalam mobil.“Tuan Gery?” Amora mendadak lemas lunglai. Hampir saja tangannya terlepas dari knop pintu dan merosot. Namun, buru-buru Amora tertegak lagi lalu berjalan menuju teras dan menutup pintu.“Tidak sopan! Kau kedatangan tamu, tapi pintumu ditutup!” sembur Gery.“Itu ... anu ... maaf, Tuan. Aku ...”***Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung. “Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri. “Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih. “Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?” “Memang angkuh!” batin Amora. “Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup. Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora. “Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk. Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang ke
“Apa orang itu yang menangkap paman Atmaja?” tanya Andy. Atmaja kembali duduk di ruang tengah bersama yang lainnya. “Ya, dia orangnya.” “Sepertinya orang itu sangat berkuasa,” timbruk Putri. “Kau lihat wajahnya?” sambung Ambar. “Apa dia tampan?” “Ish, ibu!” sembur Putri. “Apa urusannya?” Ambar menoyor kepala Putri hingga membentur pundak Andy. “Kalau dia bisa berbaik hati membebaskan ayahmu, bisa jadi dia juga mudah kau rayu. Kau paham maksud ibu kan?” “Ambar!” hardik Atmaja. “Kau mengajari anakmu untuk merayu? Dimana pikiranmu?” “Memangnya kenapa?” Ambar mencebik. “Siapa tahi memang jodoh Putri kan?” “Kita bahkan belum tahu bagaimana Tuan Gery bisa membebaskanku. Jangan berkhayal yang aneh-aneh.” “Benar. Ibu itu aneh. Aku kan suka dengan Andy untuk apa harus mendekati pria bermuka kejam itu?” dengan manjanya, Putri merangkul lengan Andy. Andy hanya meringis kaku. “Kau ini!” Ambar menoyor pelipis Putri lagi. “Andy itu kan kekasih Amora. Carilah yang lain!” Dari balik tirai,
Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berp
Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga. Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayang-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.” “Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.” Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan. “Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar. “Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva. “Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik. Belva mend