Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.
Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berpamitan. Mungkin nanti Amora baru akan berpikir mencari alasannya.Sementara di rumah mewah bak istana, Gery ternyata baru saja bangun. Terhuyung-huyung, ia menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka. Mandi, mungkin nanti saja.Gery keluar dari kamar mandi dengan wajah basah yang sebagian sudah di lap menggunakan handuk. Gery melangkah maju, menyelendokkan handuk di atas pundak kemudian meraih ponselnya di atas nakas.Ponsel sudah berada dalam genggaman, Gery duduk dan mencoba menghubungi nomor Dion.“Kau masih di apartemen?” tanya Gery saat panggilan sudah terhubung.Di seberang sana, Dion menjawab. “Iya. Apa ada perlu?”“Kau berangkatlah ke kantor dulu. Mungkin aku datang nanti siang.”Setelah panggilan berakhir, Gery yang masih memakai kaos oblong berwarna putih dan celana pendek, beranjak keluar dari kamar. Rambutnya yang basah terkena air saat membasuh muka, ia biarkan berantakan tanpa di sisir.Di bawah, Abraham dan sang istri tengah menikmati sarapan sambil mengobrol. Mereka tidak tahu Gery ternyata sedang beranjak menuju ruang makan.“Suamiku,” panggil Wenda.“Ada apa?” sahut Abraham.“Sebaiknya kau cari orang lagi untuk mengawal Gery. Aku khawatir dia kembali berbuat nekat. Aku tidak suka melihat dia yang suka mabuk-mabukkan.”“Aku tahu ... tapi kan sudah ada Dion. Aku yakin dia bisa menjaga Gery dengan baik.”Saat Wenda hendak buka mulut, Gery lebih dulu menimbruk pembicaraan. “Betul! Aku bukan anak kecil yang harus dikawal, Bu.”Melangkah santai, Gery duduk di kursi kosong samping Ibunya. “Aku baik-baik saja.”Wenda mendesah berat lalu wajahnya merengut dan memutar pandangan pada sarapannya yang belum habis. “Kalau kau memang baik-baik saja, berhentilah menyiksa diri dengan mabuk-mabukkan.”“Betul, Gery. Tidak baik juga untuk kesehatanmu,” imbuh Abraham.“Ya, ya, kalian tenang saja. Aki tidak akan mabuk lagi.” Gery menjulingkan mata kemudian ikut menikmati sarapan.Wenda yang sudah lebih dulu selesai sarapan, segera meneguk air putih untuk melonggarkan tenggorokan. Setelah itu, posisi duduknya ia ubah sedikit miring menghadap Gery yang sedang menikmati sarapan.“Hei, Gery.” Wenda menepuk pelan lengan Gery. “Kau tahu tidak?”“Apa?” sahut Gery.Wenda terlihat sumringah dan begitu antusias. “Kau ingat Belva?”“Siapa Belva?” tanya Gery acuh.“Ish! Kau ini!” tepukan di lengan Gery lebih keras, membuatnya mendengkus kesal.“Apa sih, Bu?” tepis Gery. “Aku kan sedang makan, kenapa ibu ganggu?”“Iya. Kau ini kenapa wahai istriku?” timbruk Abraham sambil mengelap bibirnya dengan tisu. “Biarkan Gery sarapan. Jangan kau ganggu.”Kali ini Wenda yang mendengkus. “Aku kan cuma mau kasih kabar gembira saja.”Abraham berdiri lalu meraih tas kerjanya. “Biarkan dia selesai sarapan dulu. Aku berangkat,” kata Abraham kemudian.Wenda ikut berdiri lalu memberi kecupan di punggung telapak tangan sang suami. “Hati-hati.”Wenda kembali duduk dan mengusik ketenangan Gery lagi saat sang suami sudah beranjak pergi.“Kau ingat Belva kan?” tanya Wenda sekali lagi.Sambil mengunyah makanan, Gery menjawab, “Belva siapa? Aku tidak kenal.”“Astaga!” desah Wenda. Ia menepuk jidatnya sendiri sambil berdecak-decak. “Bagaimana mungkin kau lupa?”Dengan santainya, Gery menaikkan kedua pundaknya. “Aku memang lupa. Em, atau mungkin tidak tahu.”“Dia itu temanmu masa kecil. Masa kau lupa, sih!”Mendengar kata teman kecil, Gery nampak terkejut. Tidak terlalu kentara, tapi bisa terlihat karena Gery mendadak terpaku diam dan berhenti mengunyah untuk beberapa detik padahal di dalam mulutnya masih ada makanan.“Kau ingat sekarang kan?” Wenda mengguncang lengan Gery lebih kencang. “Dia akan datang nanti sore.”Gery spontan menjatuhkan sendok di atas piring. Pandangannya yang semula lurus ke arah makanan, kini beralih menatap ibunya. “Datang?” tanya Gery dengan wajah bingung.Wenda kembali tersenyum sumringah. Ia mendaratkan dua tangan dengan posisi menyangga dagu di atas meja. “Dia datang bersama kakakmu dari Singapura. Mereka akan menikah.”“APA?” spontan saja Gery berteriak hingga membuat Wenda menarik badan menjauh dan menekan dada. “Menikah?”“I-iya,” jawab Wenda. “Kenapa kau berteriak begitu? Ibu kan kaget!” Wenda membenarkan posisi duduknya sambil mengusap-usap dada.“Aku ke kamar dulu.” Tiba-tiba Gery berdiri. Meneguk segelas air putih lalu berjalan cepat menaiki anak tangga menuju lantai dua.“Gery! Tunggu, Gery!” panggil Wenda. Namun, Gery sama sekali tidak menoleh. “Dia itu kenapa?” gumam Wenda kemudian.BRAK!Gery menutup pintu dengan kencang. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal, lalu menggeram dengan suara tertahan. Maju beberapa langkah, kemudian Gery menendang kursi hingga roboh.“Kenapa jadi begini?” geram Gery. “Kenapa dia kembali? Aaaaaa!!” Gery mengacak-acak rambutnya sendiri.Gery menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dua bola matanya terlihat menyala seperti hendak mengeluarkan api. Berita kepulangan kakaknya seharusnya membuat Gery senang. Sudah hampir setahun mereka tidak saling bertemu karena Kakaknya yang bernama Theo harus bekerja di luar negri.Namun, pulang membawa seorang wanita, tidak bisa Gery terima. Kenapa?Tiba-tiba Gery terbangun. Gery duduk kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Tentu saja Gery menelpon Lina. Lina adalah orang yang selalu ada untuk Gery selain Dion. Mereka memutuskan untuk bertemu di kantor saja.“Kau mau kemana, Gery?” tanya Wenda yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV.“Ke kantor,” jawab Gery acuh.Wenda mengerutkan dahi sambil sedikit memiringkan kepala. “Dia itu kenapa? Wajahnya jadi cemberut begitu.”Saat Gery sudah berada di dalam mobil dan hendak mengeluarkannya dari halaman rumah, seseorang pengendara motor ternyata justru hendak masuk. Kedua kendaraan itu hampir saja bertabrakan kalau saja Gery tidak cepat-cepat mengerem mobilnya.“Sial!” umpat Gery. “Siapa sih! Mengganggu jalanku saja!” Gery menekan tombol klakson hingga membuat pengendara motor ambruk bersama si motor karena terkejut.Bukannya keluar untuk membantu, Gery justru hanya berdecak kesal sambil memukuli bundaran setir. Barulah setelah orang itu berdiri dan melepas helmnya, Gery terlihat tepuk jidat.“Wanita itu,” kata Gery kemudian. “Aku sampai lupa. Astaga!”Gery terpaksa turun menemui Amora yang tengah meringis karena tangannya terkilir saat ambruk bersama motornya.“Kau pulang dulu. Temui aku saat aku sudah memanggilmu!”“A-apa?” Amora ternganga lebar sampai hampir menjatuhkan helm. “Maksud tuan apa?”Gery berdecak sebal. “Kau pulang dulu. Tepikan motor bututmu, aku mau lewat.”Tidak membantah dan bertanya lagi, buru-buru Amora menepikan motornya. Seperti orang bodoh yang diberi nyawa, Amora hanya melongo saat Gery sudah masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya begitu saja.“Apa-apaan ini?” batin Amora dengan gigi mengerat kuat.***Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga. Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayang-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.” “Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.” Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan. “Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar. “Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva. “Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik. Belva mend
“Hei tunggu!” teriak Andy saat menarik lengan Amora dengan paksa. “Aku sedang bicara dengan Amora. Kau sangat tidak sopan menyeretnya begitu!” Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora. Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil. “Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu ditutup oleh Gery. “Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis. “Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang. Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya. Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh. “Tuan kan tidak
Saat semua orang rumah sedang berkumpul di ruang tengah, Gery datang. Awalnya Gery hendak langsung nyelonong masuk ke kamar, tapi ayah buru-buru mencegahnya. “Kau baru pulang? Duduklah dulu kemari.” Memutar bola mata malas dan mendesah, Gery akhirnya ikut duduk. Sepertinya Belva sudah pulang. Gery sempat mengedarkan pandangan tapi memang tidak menemukan sosok Belva. Perlu diketahui, yang tahu tentang hubungan Gery dan Belva di masa lalu hanyalah Theo. Ayah dan ibu hanya tahu kalau Gery dan Belva sempat satu kampus dan dekat saat masa SMA. “Ada apa, Ayah?” tanya Gery malas. Gery duduk di samping ibunya yang langsung mengusap bagian pundak. “Ikut kita ngobrol,” jawab Wenda. “Kakakmu kan sebentar lagi menikah, kau harus ikut bersiap-siap.” Gery mendengkus lirih. “Aku juga akan menikah, Bu,” kata Gery kemudian. Ketiga orang di sini sontak menoleh menatap Gery penuh tanya. “Apa dengan wanita yang kemarin malam kau ajak ke sini?” tanya Wenda. Gery mengangguk. “Tentu saja. Aku bahka
Amora sudah menjelaskan semuanya pada keluarganya. Tentang pernikahannya dengan Gery yang akan segera dilaksanakan. Hanya saja, Amor tidak menjelaskan secara pasti mengapa dirinya bisa sampai mau menikah dengan Gery sementara dirinya sendiri sudah memiliki kekasih. Semalam hampir saja Amora tidak tidur tentunya. Ia hanya memikirkan bagaimana cara memutuskan Andy secara baik-baik tanpa membuatnya terluka. Mungkin hanya sekitar dua jam saja Amora merasakan dua matanya terlelap sebelum akhirnya terbangun saat mendengar suara tikus di plafon langit-langit kamarnya. “Hari ini aku harus menemui Andy,” kata Amora. Amora menyeret kedua kakinya turun dari atas ranjang. Setelah menjuntai dan memakai sandal bulunya, Amora mengucek-ngucek mata lalu menguap. “Tapi ... bagaimana caranya aku menjelaskan?” Ucapan dari mulutnya kini berubah menjadi desahan berat. Berat seperti tertimpa reruntuhan gunung. Benarkah? Amora sendiri pernah menolak saat Andy mengajaknya menikah. Amora beralasan belum si
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di