Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.
Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berpamitan. Mungkin nanti Amora baru akan berpikir mencari alasannya.Sementara di rumah mewah bak istana, Gery ternyata baru saja bangun. Terhuyung-huyung, ia menuju ke kamar mandi untuk membasuh muka. Mandi, mungkin nanti saja.Gery keluar dari kamar mandi dengan wajah basah yang sebagian sudah di lap menggunakan handuk. Gery melangkah maju, menyelendokkan handuk di atas pundak kemudian meraih ponselnya di atas nakas.Ponsel sudah berada dalam genggaman, Gery duduk dan mencoba menghubungi nomor Dion.“Kau masih di apartemen?” tanya Gery saat panggilan sudah terhubung.Di seberang sana, Dion menjawab. “Iya. Apa ada perlu?”“Kau berangkatlah ke kantor dulu. Mungkin aku datang nanti siang.”Setelah panggilan berakhir, Gery yang masih memakai kaos oblong berwarna putih dan celana pendek, beranjak keluar dari kamar. Rambutnya yang basah terkena air saat membasuh muka, ia biarkan berantakan tanpa di sisir.Di bawah, Abraham dan sang istri tengah menikmati sarapan sambil mengobrol. Mereka tidak tahu Gery ternyata sedang beranjak menuju ruang makan.“Suamiku,” panggil Wenda.“Ada apa?” sahut Abraham.“Sebaiknya kau cari orang lagi untuk mengawal Gery. Aku khawatir dia kembali berbuat nekat. Aku tidak suka melihat dia yang suka mabuk-mabukkan.”“Aku tahu ... tapi kan sudah ada Dion. Aku yakin dia bisa menjaga Gery dengan baik.”Saat Wenda hendak buka mulut, Gery lebih dulu menimbruk pembicaraan. “Betul! Aku bukan anak kecil yang harus dikawal, Bu.”Melangkah santai, Gery duduk di kursi kosong samping Ibunya. “Aku baik-baik saja.”Wenda mendesah berat lalu wajahnya merengut dan memutar pandangan pada sarapannya yang belum habis. “Kalau kau memang baik-baik saja, berhentilah menyiksa diri dengan mabuk-mabukkan.”“Betul, Gery. Tidak baik juga untuk kesehatanmu,” imbuh Abraham.“Ya, ya, kalian tenang saja. Aki tidak akan mabuk lagi.” Gery menjulingkan mata kemudian ikut menikmati sarapan.Wenda yang sudah lebih dulu selesai sarapan, segera meneguk air putih untuk melonggarkan tenggorokan. Setelah itu, posisi duduknya ia ubah sedikit miring menghadap Gery yang sedang menikmati sarapan.“Hei, Gery.” Wenda menepuk pelan lengan Gery. “Kau tahu tidak?”“Apa?” sahut Gery.Wenda terlihat sumringah dan begitu antusias. “Kau ingat Belva?”“Siapa Belva?” tanya Gery acuh.“Ish! Kau ini!” tepukan di lengan Gery lebih keras, membuatnya mendengkus kesal.“Apa sih, Bu?” tepis Gery. “Aku kan sedang makan, kenapa ibu ganggu?”“Iya. Kau ini kenapa wahai istriku?” timbruk Abraham sambil mengelap bibirnya dengan tisu. “Biarkan Gery sarapan. Jangan kau ganggu.”Kali ini Wenda yang mendengkus. “Aku kan cuma mau kasih kabar gembira saja.”Abraham berdiri lalu meraih tas kerjanya. “Biarkan dia selesai sarapan dulu. Aku berangkat,” kata Abraham kemudian.Wenda ikut berdiri lalu memberi kecupan di punggung telapak tangan sang suami. “Hati-hati.”Wenda kembali duduk dan mengusik ketenangan Gery lagi saat sang suami sudah beranjak pergi.“Kau ingat Belva kan?” tanya Wenda sekali lagi.Sambil mengunyah makanan, Gery menjawab, “Belva siapa? Aku tidak kenal.”“Astaga!” desah Wenda. Ia menepuk jidatnya sendiri sambil berdecak-decak. “Bagaimana mungkin kau lupa?”Dengan santainya, Gery menaikkan kedua pundaknya. “Aku memang lupa. Em, atau mungkin tidak tahu.”“Dia itu temanmu masa kecil. Masa kau lupa, sih!”Mendengar kata teman kecil, Gery nampak terkejut. Tidak terlalu kentara, tapi bisa terlihat karena Gery mendadak terpaku diam dan berhenti mengunyah untuk beberapa detik padahal di dalam mulutnya masih ada makanan.“Kau ingat sekarang kan?” Wenda mengguncang lengan Gery lebih kencang. “Dia akan datang nanti sore.”Gery spontan menjatuhkan sendok di atas piring. Pandangannya yang semula lurus ke arah makanan, kini beralih menatap ibunya. “Datang?” tanya Gery dengan wajah bingung.Wenda kembali tersenyum sumringah. Ia mendaratkan dua tangan dengan posisi menyangga dagu di atas meja. “Dia datang bersama kakakmu dari Singapura. Mereka akan menikah.”“APA?” spontan saja Gery berteriak hingga membuat Wenda menarik badan menjauh dan menekan dada. “Menikah?”“I-iya,” jawab Wenda. “Kenapa kau berteriak begitu? Ibu kan kaget!” Wenda membenarkan posisi duduknya sambil mengusap-usap dada.“Aku ke kamar dulu.” Tiba-tiba Gery berdiri. Meneguk segelas air putih lalu berjalan cepat menaiki anak tangga menuju lantai dua.“Gery! Tunggu, Gery!” panggil Wenda. Namun, Gery sama sekali tidak menoleh. “Dia itu kenapa?” gumam Wenda kemudian.BRAK!Gery menutup pintu dengan kencang. Ia berdiri dengan kedua tangan mengepal, lalu menggeram dengan suara tertahan. Maju beberapa langkah, kemudian Gery menendang kursi hingga roboh.“Kenapa jadi begini?” geram Gery. “Kenapa dia kembali? Aaaaaa!!” Gery mengacak-acak rambutnya sendiri.Gery menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dua bola matanya terlihat menyala seperti hendak mengeluarkan api. Berita kepulangan kakaknya seharusnya membuat Gery senang. Sudah hampir setahun mereka tidak saling bertemu karena Kakaknya yang bernama Theo harus bekerja di luar negri.Namun, pulang membawa seorang wanita, tidak bisa Gery terima. Kenapa?Tiba-tiba Gery terbangun. Gery duduk kemudian meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Tentu saja Gery menelpon Lina. Lina adalah orang yang selalu ada untuk Gery selain Dion. Mereka memutuskan untuk bertemu di kantor saja.“Kau mau kemana, Gery?” tanya Wenda yang sedang duduk di ruang tengah sambil menonton TV.“Ke kantor,” jawab Gery acuh.Wenda mengerutkan dahi sambil sedikit memiringkan kepala. “Dia itu kenapa? Wajahnya jadi cemberut begitu.”Saat Gery sudah berada di dalam mobil dan hendak mengeluarkannya dari halaman rumah, seseorang pengendara motor ternyata justru hendak masuk. Kedua kendaraan itu hampir saja bertabrakan kalau saja Gery tidak cepat-cepat mengerem mobilnya.“Sial!” umpat Gery. “Siapa sih! Mengganggu jalanku saja!” Gery menekan tombol klakson hingga membuat pengendara motor ambruk bersama si motor karena terkejut.Bukannya keluar untuk membantu, Gery justru hanya berdecak kesal sambil memukuli bundaran setir. Barulah setelah orang itu berdiri dan melepas helmnya, Gery terlihat tepuk jidat.“Wanita itu,” kata Gery kemudian. “Aku sampai lupa. Astaga!”Gery terpaksa turun menemui Amora yang tengah meringis karena tangannya terkilir saat ambruk bersama motornya.“Kau pulang dulu. Temui aku saat aku sudah memanggilmu!”“A-apa?” Amora ternganga lebar sampai hampir menjatuhkan helm. “Maksud tuan apa?”Gery berdecak sebal. “Kau pulang dulu. Tepikan motor bututmu, aku mau lewat.”Tidak membantah dan bertanya lagi, buru-buru Amora menepikan motornya. Seperti orang bodoh yang diberi nyawa, Amora hanya melongo saat Gery sudah masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya begitu saja.“Apa-apaan ini?” batin Amora dengan gigi mengerat kuat.***Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga. Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayang-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.” “Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.” Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan. “Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar. “Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva. “Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik. Belva mend
“Hei tunggu!” teriak Andy saat menarik lengan Amora dengan paksa. “Aku sedang bicara dengan Amora. Kau sangat tidak sopan menyeretnya begitu!” Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora. Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil. “Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu ditutup oleh Gery. “Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis. “Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang. Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya. Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh. “Tuan kan tidak
Saat semua orang rumah sedang berkumpul di ruang tengah, Gery datang. Awalnya Gery hendak langsung nyelonong masuk ke kamar, tapi ayah buru-buru mencegahnya. “Kau baru pulang? Duduklah dulu kemari.” Memutar bola mata malas dan mendesah, Gery akhirnya ikut duduk. Sepertinya Belva sudah pulang. Gery sempat mengedarkan pandangan tapi memang tidak menemukan sosok Belva. Perlu diketahui, yang tahu tentang hubungan Gery dan Belva di masa lalu hanyalah Theo. Ayah dan ibu hanya tahu kalau Gery dan Belva sempat satu kampus dan dekat saat masa SMA. “Ada apa, Ayah?” tanya Gery malas. Gery duduk di samping ibunya yang langsung mengusap bagian pundak. “Ikut kita ngobrol,” jawab Wenda. “Kakakmu kan sebentar lagi menikah, kau harus ikut bersiap-siap.” Gery mendengkus lirih. “Aku juga akan menikah, Bu,” kata Gery kemudian. Ketiga orang di sini sontak menoleh menatap Gery penuh tanya. “Apa dengan wanita yang kemarin malam kau ajak ke sini?” tanya Wenda. Gery mengangguk. “Tentu saja. Aku bahka
Amora sudah menjelaskan semuanya pada keluarganya. Tentang pernikahannya dengan Gery yang akan segera dilaksanakan. Hanya saja, Amor tidak menjelaskan secara pasti mengapa dirinya bisa sampai mau menikah dengan Gery sementara dirinya sendiri sudah memiliki kekasih. Semalam hampir saja Amora tidak tidur tentunya. Ia hanya memikirkan bagaimana cara memutuskan Andy secara baik-baik tanpa membuatnya terluka. Mungkin hanya sekitar dua jam saja Amora merasakan dua matanya terlelap sebelum akhirnya terbangun saat mendengar suara tikus di plafon langit-langit kamarnya. “Hari ini aku harus menemui Andy,” kata Amora. Amora menyeret kedua kakinya turun dari atas ranjang. Setelah menjuntai dan memakai sandal bulunya, Amora mengucek-ngucek mata lalu menguap. “Tapi ... bagaimana caranya aku menjelaskan?” Ucapan dari mulutnya kini berubah menjadi desahan berat. Berat seperti tertimpa reruntuhan gunung. Benarkah? Amora sendiri pernah menolak saat Andy mengajaknya menikah. Amora beralasan belum si