Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Sampai di dalam kamar, Gery segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Kepalanya terasa berat dan begitu penat. Gery mana tahu kalau setelah kepergian Tania ternyata akan muncul Belva dalam kehidupannya. Mereka adalah dua wanita yang pernah mengisi hidup Gery penuh tawa dan penuh tangis juga. Memejamkan mata, kepala Gery tengah terbayang-bayang akan masa lalu. Mulai dari yang paling indah, hingga ada dua kata yang sangat menusuk hati. “Kita Selesai.” “Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan kita,” kata Belva dengan wajah penuh sesal. “Aku harus pergi.” Saat itu, Gery sedang dalam keadaan bahagia karena tepat saat hari ulang tahunnya. Sayangnya, bahagia itu berubah kesedihan dan kekecewaan. “Apa maksudmu?” Gery balik bertanya. Dua tangan Belva ia genggam dengan erat dan memandangnya penuh nanar. “Aku harus meneruskan sekolahku di singapura,” jelas Belva. “Tapi kita bisa berhubungan jarak jauh. Kita bisa komunikasi lewat ponsel atau apapun itu.” Gery mulai panik. Belva mend
“Hei tunggu!” teriak Andy saat menarik lengan Amora dengan paksa. “Aku sedang bicara dengan Amora. Kau sangat tidak sopan menyeretnya begitu!” Bukan Gery namanya jika tidak acuh. “Masuk!” perintah Gery pada Amora. Amora yang memang tak berani melawan Gery tentunya menurut saja dan segera masuk ke dalam mobil. “Aku akan jelaskan nanti,” kata Amora sebelum pintu ditutup oleh Gery. “Tunggu Amora!” Andy masih berteriak dan mencoba meraih gagang pintu. Sayangnya tangan Gery lebih cepat menangkis. “Sudahlah! Kau menyingkir dulu. Aku ada urusan dengan Amora.” Gery mendorong tubuh Andy hingga terjengkang. Amora yang kaget, hanya bisa menjerit tanpa bisa membantu karena Gery sudah masuk ke dalam mobil. Mobil melaju, Amora memandangi Andy yang juga sedang memandangnya. Di luar sana, Andy sudah berdiri dibantu oleh Atmaja dan Putri yang mungkin mereka mendengar karena ada keributan. Setelah itu, Amora tak tahu lagi apa yang terjadi di sana karena mobil sudah melesat jauh. “Tuan kan tidak
Saat semua orang rumah sedang berkumpul di ruang tengah, Gery datang. Awalnya Gery hendak langsung nyelonong masuk ke kamar, tapi ayah buru-buru mencegahnya. “Kau baru pulang? Duduklah dulu kemari.” Memutar bola mata malas dan mendesah, Gery akhirnya ikut duduk. Sepertinya Belva sudah pulang. Gery sempat mengedarkan pandangan tapi memang tidak menemukan sosok Belva. Perlu diketahui, yang tahu tentang hubungan Gery dan Belva di masa lalu hanyalah Theo. Ayah dan ibu hanya tahu kalau Gery dan Belva sempat satu kampus dan dekat saat masa SMA. “Ada apa, Ayah?” tanya Gery malas. Gery duduk di samping ibunya yang langsung mengusap bagian pundak. “Ikut kita ngobrol,” jawab Wenda. “Kakakmu kan sebentar lagi menikah, kau harus ikut bersiap-siap.” Gery mendengkus lirih. “Aku juga akan menikah, Bu,” kata Gery kemudian. Ketiga orang di sini sontak menoleh menatap Gery penuh tanya. “Apa dengan wanita yang kemarin malam kau ajak ke sini?” tanya Wenda. Gery mengangguk. “Tentu saja. Aku bahka
Amora sudah menjelaskan semuanya pada keluarganya. Tentang pernikahannya dengan Gery yang akan segera dilaksanakan. Hanya saja, Amor tidak menjelaskan secara pasti mengapa dirinya bisa sampai mau menikah dengan Gery sementara dirinya sendiri sudah memiliki kekasih. Semalam hampir saja Amora tidak tidur tentunya. Ia hanya memikirkan bagaimana cara memutuskan Andy secara baik-baik tanpa membuatnya terluka. Mungkin hanya sekitar dua jam saja Amora merasakan dua matanya terlelap sebelum akhirnya terbangun saat mendengar suara tikus di plafon langit-langit kamarnya. “Hari ini aku harus menemui Andy,” kata Amora. Amora menyeret kedua kakinya turun dari atas ranjang. Setelah menjuntai dan memakai sandal bulunya, Amora mengucek-ngucek mata lalu menguap. “Tapi ... bagaimana caranya aku menjelaskan?” Ucapan dari mulutnya kini berubah menjadi desahan berat. Berat seperti tertimpa reruntuhan gunung. Benarkah? Amora sendiri pernah menolak saat Andy mengajaknya menikah. Amora beralasan belum si
Pertengkaran Amora dan Andy benar-benar terjadi. Andy yang meradang, bahkan sampai tega melewati Amora yang sedang berjongkok begitu saja hingga terjengkang. Putri yang seharusnya merasa senang karena ada harapan mereka berdua akan pisah, mendadak ketakutan sendiri.Putri memilih memutar badan dan pergi meninggalkan mereka berdua.“Jadi ini alasan kau sering mengabaikanku?” tanya Andy. Andy masih membuang muka dari Amora yang masih terduduk di atas lantai.“Kau menolakku saat aku mengajakmu menikah. Tapi ... tiba-tiba kau malah minta putus dariku dan akan menikah dengan orang lain. Kenapa?”Kali ini Andy menatap Amora. Secara perlahan, Amora pun berdiri dan balas menatap Andy. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Ini sungguh bukan kemauanku.”“Lalu apa artinya ini?” salak Andy. Andy meraih kedua pundak Amora sebelum Amora sempat berdiri secara sempurna.Andy mengguncang tubuh Amora hingga kepalanya manggut-manggut dan lemas. “Jawab Amora!”Amora masih terdiam dan menerima apa
Lina menarik paksa lengan Gery. “Kapan ada surat perjanjian? Dan kapan Amora menandatanganinya.” Lina menatap Gery dengan serius. “Sejak dia memutuskan untuk meminta ayahnya dibebaskan. Dion yang mengurusnya.” “Ja-jadi ... kalian berdua memang sudah merencanakan semuanya. Apa maksudnya ini, ha?” Lina merasa bingung. Yang dia tahu Gery hendak menikah dengan Amora karena cemburu dengan Belva dan memang sudah mengenal Amora cukup lama. “Hei!” hardik Lina saat dari mereka berdua tidak ada yang menjawab. “Jawab Aku! Sebenarnya apa yang kalian rencanakan? Dan tunggu ... ayah? Siapa yang dimaksud ayahnya?” Gery dan Dion saling pandang. Keduanya kini sama-sama mengatupkan bibir rapat-rapat dan membuang muka ke arah lain. Mereka sama-sama tidak ada yang mau menjelaskan pada Lina. “Kalian tuli ya!” bentak Lina yang sudah tak sabar lagi. “Ada apa dengan Amora dan Ayahnya? Kalian merahasiakan sesuatu dariku kan? Ayolah, jawab!” Lina sampai menendang kaki Dion cukup keras, tapi pria itu teta