Keesokan harinya, Amora memberanikan diri datang ke kantor Intan Group untuk menemui Gery. Apapun akan Amora lakukan demi membebaskan sang ayah yang sama sekali tidak bersalah.
Sampai di depan gedung, Amora berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya yang berderu cepat. Sambil mengedarkan pandangan, Amora menggigit bibir lalu memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung.Amora berjalan mendekati seorang resepsionis. “Maaf, ruangan Tuan Gery di sebelah mana ya?” tanya Amora.Resepsionis wanita dengan pakaian di bagian dada sedikit terbuka itu tersenyum dan berdiri. “Apa sudah ada janji?”Amora terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng.Resepsionis itu tersenyum lagi. “Kalau begitu, mohon maaf. Nona tidak diijinkan menemui Tuan Gery.”“Tapi dia menyuruhku datang kemari,” kata Amora. “Dia memberikan aku kartu namanya.” Amora meletakkan benda pipih persegi di atas meja konter.“Tunggu sebentar, biar saya hubungi Tuan Gery. Nona silahkan menunggu.”Amora kemudian duduk di kursi yang dipersilahkan oleh resepsionis.Selang beberapa menit kemudian, suara langkah kaki datang mendekati Amora yang sedang duduk gelisah.“Amora?” panggilnya tegas.Amora menoleh. “Iya, Tuan.” Amora kemudian berdiri.“Ikut saya,” perintah Dion.Amora berjalan di belakang Dion sambil terus mengatur diri supaya tetap bisa tenang. Ini adalah harapan satu-satunya supaya papa bisa bebas. Apapun akan Amora lakukan.“Silahkan masuk. Tuan Gery sudah menunggu.” Dion membukakan pintu. Sementara Amora masuk, Dion menutup pintu kembali lalu duduk di bangkunya—di depan ruangan Gery.“Permisi, Tuan.” Amora menundukkan kepala.“Duduk!” perintah Gery cepat.Amora maju dan kemudian duduk di hadapan meja Gery. Di sana, di tempat duduknya, Gery terlihat sedang memandang sinis ke arah Amora. Ada tatapan benci dan juga dendam yang tergambar jelas.“Berani juga kau datang ke sini,” kata Gery.“A-apapun akan aku lakukan untuk membebaskan ayahku,” sahut Amora.“Orang bersalah ya tetap bersalah. Untuk apa kau bebaskan?” Gery berdiri lalu melipat kedua tangan di depan dada. “Kau sepertinya tidak waras.”Amora tersenyum getir dan menggigit bibirnya sedikit lebih kuat. Gery orang yang berkuasa, Amora tidak akan mudah memohon meskipun harus bersimpuh. Namun, jika memang hal itu diperlukan, Amora akan lakukan.“Sudah jelas ayahmu mengantuk saat menyetir. Kau mau mengelak dan memohon apa padaku?” tanya Gery dengan suara tinggi.Amora menunduk menatap jemarinya yang bergetar. Memejamkan mata beberapa detik, kemudian Amora menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan Gery.“Aku mohon, Tuan. Bebaskan ayahku. Aku bersedia melakukan apapun asal ayahku bisa bebas.” Berlutut, Amora mulai menitikkan air mata.Gery mendecih kemudian membungkukkan badan. Satu tangannya meraih dagu Amora lalu mendongakkan ke atas. “Apapun ya?” seringaian nampak mengerikan.Amora menyipitkan mata ketakutan. “I-iya, Tuan. Apapun.”Gery kemudian melepas cengkraman di dagu Amora cukup kencang hingga Amora terdorong ke belakang.“Kau berani berkata apapun, itu artinya kau siap menanggung resikonya. Bagaimana?” Gery menatap Amora penuh arti.Sudah maju sampai sejauh ini, tidak ada harapan bagi Amora untuk mundur. Demi sang ayah, Amora harus siap dengan resiko yang bahkan Amora sendiri belum tahu wujudnya.“Ayahmu divonis penjara selama lima tahun. Itu sudah ringan karena dari pihak pengadilan memberimu kesempatan untuk membela diri.” Gery berjalan sambil memutari tubuh Amora yang masih bersimpuh di lantai.“Kalau kau memang menginginkan ayahmu bebas, jadilah budakku sesuai dengan masa hukuman ayahmu.”Amora yang semula masih memandangi langkah kaki Gery, mendadak tersentak dan mendongak. “A-apa maksud, Tuan?” tanya Amora gugup.Gery mendengkus kemudian berjongkok di hadapan Amora. “Kau bilang bersedia melakukan apapun asal ayahmu bebas bukan?”Amora mengangguk. “Tentu, Tuan.”Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.”Bingung, panik dan gelisah, Amora rasakan saat ini. Budak? Apa yang dimaksud dengan itu? Kata itu terdengar sangat mengerikan. Amora merasakan otaknya mendadak membeku dan tidak bisa berpikir. Ketika Amora perlahan sudah berdiri, Gery tersenyum jahat tanpa peduli dengan wajah Amora yang berubah pucat.Amora berjalan lunglai saat keluar meninggalkan gedung Intan Group. Sebuah gedung perusahaan yang berdiri dalam bidang pengelolaan makanan dan minuman, memang sangatlah berkuasa seperti apa yang sudah dikatakan banyak orang. Dan Amora sudah masuk ke dalamnya. Masuk ke dalam kehidupan di balik siapa penguasa gedung tersebut.“Tuan Atmaja, silahkan keluar.” Seorang polisi membukakan pintu sel untuk Atmaja.Atmaja yang masih bingung, hanya menurut dan mengikuti polisi tersebut yang membawanya ke ruangan tamu keluarga.“Ayah!” Amora menghambur datang memeluk Atmaja. “Ayah bebas.” Dua kata yang Amora katakan dalam pelukan.“Apa maksudmu?” Atmaja melepas pelukan sang putri. “Bebas? Bebas bagaimana?”Amora menatap sendu wajah ayahnya yang kian menua. Garis-garis keriput di bawah mata dan area wajah lainnya, pada akhirnya membuat Amora menitikkan air mata. Tentang menjadi budak, Amora tepikan untuk sesaat. Ayah bebas, itulah yang terpenting.“Kita pulang. Nanti aku ceritakan di rumah.” Amora merangkulkan tangan pada lengan ayah lalu berjalan meninggalkan sel tahanan.Jika Amora peduli dengan sang ayah dan bersedia melakukan apapun asalkan ayah bebas, lain dengan tiga orang di rumahnya. Ibu dan saudara tirinya sama sekali tidak membantu saat ayah berada di sel tahanan. Namun, mereka tetap menyambut kepulangan ayah dengan gembira.Amora sempat bingung dan heran melihat tingkah mereka. Mereka senang karena ayah bebas, tapi kenapa sama sekali tidak berusaha membantu saat ayah berada di persidangan dan sel tahanan?“Bagaimana ayah bisa bebas?” tanya Ambar. Dialah ibu tiri dari Amora. “Apa pelapor berubah pikiran?”“Iya, Ayah. Bagaimana ayah bisa dibebaskan?” sambung Putri.Amora yang sedang membuatkan minuman di dapur ikut mendengarkan pembicaraan mereka.Atmaja tersenyum menatap istri dan putrinya bergantian. “Amora yang membebaskan Ayah.”“Amora?” pekik Ambar dan Putri bersamaan.Bersamaan dengan itu, Amora datang membawa secangkir teh hangat untuk ayah. Amora tak akan kaget jika dua orang itu meliriknya dengan sinis.“Bagaimana mungkin dia bisa membebaskan ayah,” kata Putri. “Tuan Gery adalah orang berkuasa. Amora bisa apa?”Itu yang akan Atmaja tanyakan pada Amora. Dia sendiri juga penasaran bagaimana Amora bisa membebaskannya. Dengan tebusan? Sepertinya itu sangat tidak mungkin.“Amora?” panggil Atmaja pelan.“Iya, Ayah.” Amora ikut duduk. Ibu dan saudara tirinya masih menatap penuh curiga.“Katakan pada ayah, bagaimana kau bisa bebaskan ayah?”“Kau tidak mencuri uang untuk menebus ayah kan?” salak Ambar memotong pembicaraan.“Mana mungkin!” balas Amora. “Aku tidak sekejam itu. Dan lagi, untuk apa kalian ingin tahu? Kalian sendiri sama sekali tidak membantu ayah dan justru memilih bersembunyi.”Kedua orang itu bungkam sesaat sebelum kembali bicara karena tak mau kalah dengan Amora. “Kita hanya menjaga image. Apa kata orang nanti kalau tahu ayah dipenjara?”Amora mendengkus dan tersenyum getir. “Kalian sama sekali tidak punya perasaan!”“Apa kau bilang?” Putri sudah maju dan hendak menyerang Amora. Belum sampai, Atmaja sudah melerai lebih dulu.“Jangan bertengkar. Ayah tidak akan memihak pada siapapun atau menyalahkan siapun. Tapi ayah mohon, berterima kasihlah karena Amora sudah membebaskan ayah.”Mereka terdiam meskipun dalam hati sedang memaki.***Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.” “Apa maksud dari kata budak?” tanya Amora. Melihat bagaimana cara Gery memandang, sudah berhasil membuat Amora bergidik ngeri. Amora semakin paham, resiko memohon pada pria angkuh dengan kekuasaan tinggi memang membutuhkan sebuah pengorbanan. “Kau melayaniku siang malam tanpa mendapat bayaran.” “Me-melayani?” Amora terpekik membuat bola matanya membulat sempurna. “Tapi aku ...” “Heh!” sembur Gery tiba-tiba. “Kau pikir aku minta dilayani untuk apa? Dasar pikiran dangkal!” Amora menarik diri mundur dan mengatupkan bibir rapat-rapat. Sepertinya pikiran Amora memang terlalu jauh untuk menebak apa yang dimaksud oleh Gery. “Lalu apa, Tuan? Aku tidak mengerti,” kata Anggun. “Kau menjadi pelayan untukku. Setiap pagi kau datang ke rumahku, menyiapkan segala keperluanku. Bagaimana?” Amora melamun. Bibirnya sedikit terbuka sementara otaknya sedang mencoba mencerna perkataan dari Gery.
Suasana di ruang tamu menjadi canggung. Amora masih berdiri, sementara Gery sudah duduk tanpa dipersilahkan. Seperti tidak peduli dengan kegugupan Amora, Dion hanya angkat bahu saat Amora meminta penjelasan dengan kode mata. Sementara Andy yang memang sedari tadi sudah duduk, tetap pada posisinya meskipun bingung. “Kenapa dia datang kemari?” sikut Putri. “Aku, aku tidak tahu,” jawab Amora lirih. “Kau tidak buatkan aku minum?” tanya Gery santai. Terlihat satu telapak tangan mengibas-ngibas di depan wajah. “Panas sekali. Rumahmu tidak ada pendingin?” “Memang angkuh!” batin Amora. “Maaf, tidak ada, Tuan,” jawab Amora gugup. Amora yang sudah dirundung rasa was-was berkedip ke arah Andy. Amora bermaksud meminta Andy untuk berdiri dan ikut masuk ke dalam. Untung saja Andy paham dengan maksud Amora. “Aku buatkan minum dulu.” Amora meraih tangan Andy dan mereka pun masuk. Di belakang Gery yang sedang duduk dengan kaki menyilang, Dion sedikit membungkukkan badan. “Kenapa kita datang ke
“Apa orang itu yang menangkap paman Atmaja?” tanya Andy. Atmaja kembali duduk di ruang tengah bersama yang lainnya. “Ya, dia orangnya.” “Sepertinya orang itu sangat berkuasa,” timbruk Putri. “Kau lihat wajahnya?” sambung Ambar. “Apa dia tampan?” “Ish, ibu!” sembur Putri. “Apa urusannya?” Ambar menoyor kepala Putri hingga membentur pundak Andy. “Kalau dia bisa berbaik hati membebaskan ayahmu, bisa jadi dia juga mudah kau rayu. Kau paham maksud ibu kan?” “Ambar!” hardik Atmaja. “Kau mengajari anakmu untuk merayu? Dimana pikiranmu?” “Memangnya kenapa?” Ambar mencebik. “Siapa tahi memang jodoh Putri kan?” “Kita bahkan belum tahu bagaimana Tuan Gery bisa membebaskanku. Jangan berkhayal yang aneh-aneh.” “Benar. Ibu itu aneh. Aku kan suka dengan Andy untuk apa harus mendekati pria bermuka kejam itu?” dengan manjanya, Putri merangkul lengan Andy. Andy hanya meringis kaku. “Kau ini!” Ambar menoyor pelipis Putri lagi. “Andy itu kan kekasih Amora. Carilah yang lain!” Dari balik tirai,
Siap ataupun tidak, hari ini Amora akan memulai hidup baru. Memulai perjalanan panjang yang seperti apa kisahnya, Amora sendiri tidak tahu.Pagi sekali Amora terbangun. Semalaman ia gelisah dan susah tidur. Beberapa kali mencoba memejamkan mata, pada akhirnya Amora terlelap hanya beberapa jam saja. Dan tepat pukul lima pagi, Amora segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang akan menjadikannya budak.Dikarenakan bingung, sebelum beranjak pergi, Amora menuliskan sebuah pesan dalam secarik kertas. Berisi sebuah pesan untuk ayah kalau Amora sedang ada pekerjaan yang tidak boleh ditinggal. Amora kemudian letakkan kertas tersebut di atas meja makan.“Aku pamit dulu, Ayah,” kata Amora dengan suara lirih. Tentunya tidak ada siapapun yang dapat mendengarnya.Sampai di halaman rumah, Amora meraih helm yang tergantung di dekat garasi. Memakainya kemudian secara perlahan, Amor mendorong motornya keluar dari area rumahnya.Untuk saat ini, Amora masih bingung bagaimana cara berp
Sepanjang perjalanan balik dari rumah Gery, Amora hanya menggerutu. Apapun yang bisa ia maki, Amora lakukan dengan mengoceh tanpa henti. Menginjakkan kaki di halaman rumah itu saja belum terjadi, bagaimana mungkin Gery sudah menyuruh kembali pulang. “Dia memang sengaja mempermainkan aku! Dasar brengsek!” Amora mengencangkan laju motornya kemudian berbelok menuju sebuah laundry yang baru ia kelola sebelum ayah mengalami musibah. Sudah hampir satu bulan tempat itu terbengkalai karena Amora hanya fokus menemani ayah. Tempat yang seharusnya Amora jadikan tempat usaha harus terabaikan begitu saja. Berapa uang yang sudah Amora keluarkan, tak akan dipikirkan. Berhubung hari ini ada kesempatan, Amora pun memilih berbenah di tempat tersebut. Tempat tersebut sebenarnya milik almarhum ibu. Amora hanya sekedar meneruskan usaha dari pada harus terhenti. Berhubung beberapa mesin cuci rusak, jadi Amora akhirnya merogoh kantongnya sendiri. “Aku harus bereskan tempat ini,” kata Amora sambil membuk
Rencana Gery untuk balas dendam pada Amora benar-benar berubah haluan. Rencana menghancurkan Amora karena ayahnya telah menabrak sang kekasih hingga tiada, kini malah berujung membutuhkan sebuah bantuan dari Amora.Benar kata Dion. Gery mendadak berpikir untuk apa balas dendam tidak penting? Toh bisa jadi apa yang dilakukan Gery hanya akan membuat Tania merasa sedih di alam sana. Namun, bukan berarti rencana itu urung dan Gery melepaskan Amora. Namun, Gery akan memanfaatkan Amora karena dalam kesehariannya sebentar lagi akan ada Theo dan Belva. Dua orang yang pernah membuat Gery merasa sakit hati.“Kau dimana?” tanya Gery dengan seseorang di balik telepon.“Aku masih di rumah, Tuan,” sahut Amora. Ia sendiri sedang sibuk dengan rambutnya yang basah karena baru saja keramas.“Berpakaianlah yang bagus. Setelah itu datanglah ke rumahku,” kata Gery. “Ingat, jangan berkata apapun sebelum aku yang memulai.”Glek! Amora menjatuhkan handuk bersamaan dengan saliva yang lolos masuk ke dalam
Di ruang makan belum ada siapapun. Abraham dan Wenda sepertinya masih bersiap di dalam kamar. Kalau Theo dan Belva, Gery tadi sempat melihat mereka berdua masuk ke kamar. Entah apa yang mereka lakukan, Gery tak mau membayangkannya. “Kau duduk dulu di sana.” Gery menunjuk ke arah meja makan. “Aku mau ambil ponselku dulu.” Amora menurut saja dan melangkah sendiri menuju ruang makan. Di sana, di atas meja tentunya, sudah tersedia berbagai hidangan makanan berbeda-beda. Mulai dari makanan pembuka, pencuci mulut hingga makanan penutup. Semua sudah tertata rapi. Dari ruang belakang yang tak jauh dari ruang makan, Amora merasa ada seseorang yang tengah mengamatinya. Sepertinya dua pelayan berbaju putih dengan celemek biru yang sedang memandangi Amora. “Hai,” tegur Wenda saat sudah datang ke ruang makan. “Kau siapa?” tanya Wenda kemudian. Sambil menari kursi mundur, Wenda menoleh ke arah suaminya yang berjalan di belakangnya. Satu tangannya melambai supaya sang suami cepat mendekat. Amor
Amora tidak langsung turun melainkan mengamati kemana langkah Gery terhenti di luar sana. Gery melangkah sambil mengedarkan pandangan pada setiap sudut taman yang bisa dikatakan sudah tua. Taman ini jauh dari keramaian dan memang lebih banyak dikelilingi pohon akasia selama perjalanan. Gery berdiri mengusap sandaran kursi besi mulai dari tempatnya berdiri hingga ke ujung di dekat ayunan. Amora tak tahu apa yang sedang Gery lakukan, tapi sepertinya sedang mengenang sesuatu. “Apa Tuan baik-baik saja?” tanya Amora. Gery menoleh. Ia terkejut saat tiba-tiba Amora sudah berdiri di belakangnya. Gery lantas duduk pada kursi yang masih ia genggam sandarannya. “Aku baik-baik saja.” Suasana kembali sunyi. Gery sudah duduk sambil mencondong dan menangkup wajah. Sementara Amora, ia yang bingung harus berbuat apa sedang memikirkan cara untuk menghibur Gery. Meski tidak tahu pasti masalahnya apa, tapi Amora merasa kalau Gery tengah bersedih hati. Amora secara perlahan berjalan memutari bangku ke
Setelah kejadian sudah berlalu, kini Gery dan Amora memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Mereka berdua berlibur ke bali dengan tujuan menenangkan pikiran dan memadu kasih. Keduanya sadar betul, kalau dalam rumah tangga terkadang memang selalu memiliki masalah. Entah itu masalah yang ringan maupun berat sekalipun. Dan kini semua sudah usai. Nomor satu adalah saling percaya. "Kau suka?" tanya Gery pada Amora yang sedang begitu lahap memakan makanan laut. Dengan mulut penuh, Amora mengangguk. "Ini sangat enak." Gery tertawa kecil. Di sebuah restoran yang tidak jauh dari pantai, memang sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Deburan ombak dan angin sepoi-sepoi yang terdengar, membuat suasana di sore hari begitu romantis. Selesai menyantap makanan, keduanya memutuskan untuk menuju bibir pantai. Berjalan menyusuri pasir yang basah, keduanya kini saling merangkul menunggu sang surya membenamkan diri untuk istirahat. "Aku senang karena semua sudah isai," kata Amora. Dua tanganny
Amora ingin marah dan pergi saja saat melihat adegan di dalam ponsel. Dadanya terasa terbakar dan ingin menangis. Namun, saat menoleh kearah Lina, Amora terpaksa tetap diam karena Lina menggenggam erat tangannya. Lina ingin Amora ada di sini sampai urusannya selesai.“Kau pikir dengan foto itu bisa membuktikan kalau Gery melakukan hal tak senonoh padamu?” cibir Lina. “Bagaimana mungkin ada orang yang mengambil gambar sedekat itu sementara kau dan Gery di sana? Ya, terkecuali kau sudah merencanakan dan menyuruh orang.”“Kau!” Belva melotot ke arah Belva.Menyadari Belva ketakutan, semakin membuat Lina ingin menyudutkannya. Wajah Belva yang mendadak gugup, juga membuat Wenda dan Abraham semakin yakin kalau Gery memang dijebak. Amora yang awalnya ingin sekali pergi, kini mulai penasaran dan ingin tahu kebenarannya.“Aku benar kan?” Lina tersenyum sambil mendengkus lirih.“Apanya yang benar!” salak Belva. “Apa kalian sedang mencoba mengeroyokku?” Belva bergantian menatap mereka semua
Amora hampir saja menjerit saat menyadari ada Gery di dalam mobil. Lina yang sudah mengira ini akan terjadi, segera menutup mulut Amora dengan telapak tangannya.“Tenang Amora,” pinta Lina.“Aku tidak bisa ikut,” kata Amora.Amora sudah hampir berbalik, tapi dengan cepat Lina menghalangi. “Kumohon Amora. Ikutlah dengan kami, kau harus tahu kebenarannya.”“Kau baik-baik saja Amora?” panggil Andy yang merasa curiga dengan keadaan di dalam mobil itu.Masih beruntung kaca mobil tidak terlalu terang di bagian luar, jadi posisi Gery di dalam mobil tidak terlalu terlihat jika kurang jeli.“Kumohon Amora.” Gery memohon sebelum Andy berjalan mendekat karena penasaran.“Aku baik-baik saja.” Amora menatap Andy. “Aku pergi dulu.”Andy yang memang merasa aneh, pada akhirnya berhenti dan membiarkan Amora masuk ke dalam mobil.Amora sudah duduk di jok belakang, sementara Gery menyetir. Beberapa kali Lina melirik kaca spion untuk melihat Amora yang duduk sambil bersandar dan membuang pandang
Keesokan harinya, Gery sudah bangun lebih awal. Dia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dan menjemput sang istri pulang. Melihat wajah Gery yang sumringah saat di ruang makan, tentu membuat Abraham dan Wenda terheran-heran.“Kau sepertinya sedang bahagia, Ger?” tanya Wenda.Belum sempat Gery menjawab, Belva datang. Dia menyapa kedua mertuanya dan juga Gery. Wenda dan Abraham tersenyum tipis, sementara Gery acuh.“Aku mendadak kenyang,” kata Gery tiba-tiba. Gery hanya meneguk air putih lalu berdiri.Belva sudah mulai merasa tidak nyaman melihat sikap Gery pagi ini. Ditambah tentang ancaman Lina tadi malam. Ini pasti ada sesuatu yang sudah Gery tahu.“Sarapan dulu, Ger,” pinta Wenda.Gery berhenti melangkah lalu menoleh. “Aku tidak suka berdekatan dengan seorang pembohong!” tegas Gery. “Dan untuk ayah, Ibu, jangan percaya dengan omongan wanita itu. Dia hanya menjebakku.”Degh! Kini Belva yakin kalau Gery sudah tahu tentang kejadian malam itu yang sebenarnya memang tidak terjad
Lina sudah sampai di dalam kamar Gery. Ia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan Amora sampai jatuh sakit dan harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.“Kau bertengkar dengan Amora?” tanya Lina.Gery melempar kemeja ke sembarang tempat lalu beralih memakai kaos oblong. “Tidak bertengkar, tapi ... ah, entahlah!” Gery nampak frustasi.Lina berdecak lalu mendorong Gery supaya segera duduk. “Tenangkan dirimu dulu. Bicaralah dengan tenang, mungkin aku bisa membantu.”Gery meraup wajah sambil mendesah. “Ini semua salahku. Mungkin ini karma karena aku dulu sudah membuat Amora menderita.”Lina tiba-tiba mendecih dan membuang muka. “Bukan dulu, tapi sekarang pun kau masih membuatnya menderita.”“Hey!” teriak Gery tiba-tiba. Lina sampai membelalak. “Kau datang mau memberiku solusi atau mau menyalahkanku.”“Ya, ya, maaf. Aku hanya kesal padamu,” sahut Lina.“Aku harus bagaimana sekarang?” Gery menengadah lalu tertunduk pasrah. “Aku tidak mau kehilangan Amora. Dan jug
Dokter mengatakan kalau keadaan Amora sudah baik-baik saja. Janin dalam kandungannya pun juga baik-baik saja. Menurut pemeriksaan dokter, Amora mengalami syok hingga perutnya terasa kram.Usai mendengar penjelasan dokter, Gery merasakan sekujur tubuhnya seolah sudah dihantam badai. Rasa bersalah muncul dan membuat dirinya seolah merasa tiada artinya.Hanya karena merasa takut kehilangan, Gery sampai membuang rasa percaya pada sang istri. Ini sangat salah. Sungguh salah.“Apa yang kau pikirkan sampai berbuat buruk pada Amora?” tanya Abraham.Di ruangan di mana Amora tengah berbaring, Gery tengah diinterogasi oleh ayah dan ibunya.“Aku hanya takut kehilangan dia, Ayah.” Jawab Gery seadanya. “Aku sangat takut sampai tidak tahu harus berbuat apa.”“Apa dengan begitu kau bisa tidur dengan Belva seenaknya?” salak Wenda. “Kau bilang mencintai Amora, tapi kau main di belakang bersama Belva. Astaga, Gery! Ibu tidak habis pikir kenapa kau bisa melakukan hal keji seperti itu.”Beberapa ka
Baru saja Belva duduk, Gery dan Amora datang. Wajah keduanya begitu sumringah, membuat Wenda dan Abraham saling pandang sesaat dan merasa penasaran.“Sepertinya kalian sedang bahagia sekali pagi ini?” tanya Wenda dengan nada menyindir. Wajahnya mengulum senyum menahan rasa penasaran. “Ibu jadi ingin tahu.”Gery dan Amora bergandengan tangan kemudian duduk berdampingan.“Apa ada sesuatu?” tanya Abraham.Wajah Gery dan Amora sungguh membuat Ayah dan Ibu penasaran.Tidak melepas genggaman tangan, Gery menatap Amora sesaat sebelum kemudian beralih menatap Ayah dan ibu.“Berhubung kalian semua sedang di sini, aku ingin mengatakan sesuatu.” Gery kembali menoleh ke arah Amora sambil tersenyum.Ayah dan ibu saling pandang dan semakin penasaran, sosok Belva yang sebenarnya sudah tahu memilih pura-pura mendengarkan saja.“Ada apa, Sih? Ibu jadi penasaran,” kata Wenda.“Amora hamil.”Dua kata saja berhasil membuat ayah dan ibu membelalakkan mata. Mereka berdua terdiam sesaat tanpa berk
Satu bulan berlalu, kandungan dalam perut Belva mulai sedikit membuncit. Namun, tiada yang tahu kalau dia hamil karena memang sudah berniat disembunyikan selama dua bulan ini. Tepatnya tak lama setelah kepergian Theo.Belva tengah sibuk mempersiapkan sesuatu, di kamar lain juga tak berbeda. Amora tengah berganti pakaian sebelum kemudian menyiapkan pakaian untuk sang suami.Sambil menata pakaian, sesekali Amora menengok ke arah pintu kamar mandi. Amora sudah tidak sabar memberi kejutan yang selama ini ia simpan dengan rapi. Amora sudah berniat memberitahu, tapi lebih dulu menunggu kepastian dari dokter.Sambil tersenyum, Amora meletakkan testpack dan surat keterangan dari dokter di atas baju ganti Gery. Setelah itu, Amora mundur dan sibuk membereskan kamar yang berantakan karena pertempuran keringat semalam.Ceklek!Amora membulatkan mata sesaat ketika sedang menyapu sudut ruangan. Amora gemetaran dan gugup sendiri.“Tenang Amora, semua akan baik-baik saja.” Amora mengusap dada
Amora tersadar saat gedoran pintu kian kencang. Amora juga dapat mendengar suara sang suami beberapa kali memanggilnya. Dalam situasi yang remang-remang seperti ini, Amora pikir panggilan itu hanya sebatas ilusi atau mimpi. Namun, begitu Amora sempoyongan berjalan dan membuka pintu, barulah Amora sadar kalau suaminya memang ada di sini.“Ka-kau?” mata sayu, Amora masih belum yakin kalau orang yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Gery.Gery tidak langsung menyerobot melainkan lebih dulu menatap lekat-lekat wajah sang istri yang tersorot lampu penerangan di bagian teras.Matanya bengkak, wajahnya sayu. Benarkah begitu? Gery tengah membatin.“Kenapa kau di sini?” tanya Gery. “kenapa tidak pulang?”Amora mengucek matanya yang terasa berat untuk terbuka. Kemudian masuk kembali tanpa bicara apapun. Gery berdecak mengikuti di belakang.“Jawab!” pinta Gery.“Tunggulah sebentar, nyawaku belum terkumpul,” sahut Amora jengkel.Amora menuju ruang belakang sementara Gery menunggu di