Malam harinya saat baru saja sampai rumah, Gery mendapat panggilan dari Lina. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, Gery menyuruh Amora masuk ke kamar lebih dulu sambil membawa tas dan jas.Gery lalu kembali ke ambang pintu ruang tamu dan berdiri di sana.“Ada apa? Aku bahkan baru sampai rumah,” sungut Gery.Di seberang sana, Lina yang saat ini tengah duduk di sebuah kafe terdengar berdecak. “Aku perlu bicara denganmu! Sekarang!”“Apaan kau ini!” salak Gery. “Aku capek, Besok saja.”“Sekarang!” tekan Lina sekali lagi. “Ini sangat penting.”Mau tak mau, akhirnya Gery pergi juga. Dia sampai lupa berpamitan pada Amora kalau akan pergi lagi. Amora yang sudah menunggunya di kamar, mulai bertanya-tanya karena Gery tak kunjung muncul.Saat Amora turun, yang ia jumpai bukanlah Gery melainkan Belva yang hendak berjalan mendekat ke tangga dimana dirinya sedang berada.“Cari suamimu?” tebak Belva bernada acuh.Mencoba ramah, Amora tersenyum dan mengangguk.“Kulihat dia pergi buru-buru
Terasa ada benda kekar yang tersampir di pinggangnya. Amora seketika membuka mata lebar-lebar lalu menunduk. Satu lengan dengan bulu-bulu halus tengah melingkar di pinggangnya. Tepatnya sebuah dekapan erat.Amora yang posisi tidurnya miring, kini juga merasakan ada embusan napas di bagian tengkuk hingga ke bagian selipan telinga. Dengkuran lirih pun bisa Amora dengar dengan jelas.Dia Gery. Ya, tangan yang mendekap adalah Gery. Amora yakin itu. Amora kemudian mengingat-ingat kejadian semalam. Setahu Amora, ia hanya tidur berdampingan tanpa saling menyentuh. Lalu ini apa? Bagaimana posisinya bisa seerat ini? Amora sungguh ingin berteriak.“Bagaimana ini?” batin Amora sambil menggigit bibir. “Kenapa erat sekali?”Amora menarik napas dalam lalu mencoba mengangkat lengan kekar tersebut. Namun, baru saja sedikit terangkat, si pemilik melenguh dan mengeratkan kembali pelukannya.“Eh!” jerit Amora saat tangan itu justru mendarat di bagian dadanya.“Astaga! Aku harus bagaimana ini?”Am
Amora masih tercengang bingung memandangi rumahnya sendiri. Ini seolah ada rasa berat untuk melangkah karena hatinya mendadak tidak tenang. Apalagi tatkala melirik ke arah Gery yang dengan santainya sudah melangkah sampai di depan pintu, hal itu membuat perasaan Amora semakin bergemuruh.“Kenapa dia mengajakku kemari?” batin Amora lagi. “Ada apa ini?”“Kau mau di situ saja?”“Eh, iya!” Amora buru-buru tersadar dari lamunan saat Gery menegurnya. “Aku datang.”Amora berdiri di samping Gery kemudian mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka dan seseorang dari dalam muncul.“Kalian?” kata Ambar. Ibu tiri Amora yang membukakan pintu. “Ada perlu apa kalian datang?”Amora tidak bisa menjawab, karena ia sendiri bingung mengapa bisa datang kemari. Ada perlu apa, tentunya Gery yang tahu. Dan benar saja, Gery kemudian mulai berkata.“Apa ayah Atmaja ada?” tanya Gery.“Ayah?” pekik Amora dalam hati. “Dia menyebut ayah?”“Dia ada di kebun,” jawab Ambar acuh. “Ada perlu apa
Pagi harinya rumah Atmaja mulai direpotkan dengan persiapan untuk acara pernikahan di hari esok. Sesuai permintaan Putri dan ayahnya, Amora pun datang lebih awal usai sang suami berangkat ke kantor.Halaman yang tidak terlalu luas, kini sedang disulap oleh beberapa tukang dekorasi.Sementara Atmaja dan Ambar tengah membantu tukang dekorasi, Amora yang sedang membuatkan minuman di dapur dihampiri Putri.“Maaf,” kata Putri.Amora yang sedang mengaduk minuman, lantas menoleh. “Maaf untuk apa?”“Aku tidak bermaksud. Aku hanya mencintai Andy.” Wajah sendu Putri terlihat nyata.Amora meletakkan sendok di dalam bak wastafel. “Aku tidak masalah,” kata Amora sambil tersenyum.“Aku tidak tahu kenapa kau bisa tiba-tiba menikah dengan Tuan Gery. Kau tidak pernah cerita. Tapi aku tahu saat itu kau masih mencintai Andy.”Amora tersenyum lalu bersandar pada meja menghadap ke arah Putri. “Tidak masalah, mungkin Andy bukan jodohku. Dia lebih pantas mendapatkan wanita yang benar-benar mencintai
Awalnya Amora pulang akan diantar Lina, tapi Amora langsung menolak karena takut merepotkan. Dan lagi, Amora juga bukan pulang ke rumah sang suami, melainkan ke rumah ayahnya. Di sana sedang kerepotan, tidak mungkin untuk Amora ditinggalkan. “Sungguh kau tidak mau kuantar?” tawar Lina sekali lagi. Lina sudah di dalam mobil, sementara Amora berdiri di samping badan mobil sambil menjinjing paperbag belanjaannya. “Tidak usah. Aku mau mampir ke rumah ayahku. Nanti adikku marah.” “Baiklah, Aku pulang dulu. Sampai bertemu besok.” Lina melambaikan kelima jari sebelum menutup jendela mobil. Setelah mobil Lina sudah melesat cukup jauh, Amora mencari tempat duduk lebih dulu. Hatinya terasa tidak tenang karena dia sudah memakai uang sang suami tanpa meminta izin. Amora lantas memilih duduk di kursi besi panjang di halte bus. Tidak ada siapapun di sana, sementara langit mulai gelap dan awan-awan mulai bergeser mencari tempatnya. “Ha-halo,” kata Amora gugup begitu panggilan telepon tersambung
Kembali ke kamar, Gery langsung meminta Amora untuk mengambilkan baju yang baru ia beli tadi. Gery tahu kalau di sini tidak ada baju, jadi terpaksa membelinya berbarengan dengan membeli gaun untuk Amora. Dan karena tak mau berlama-lama mengotori mata dengan memandangi dada bidang yang masih sedikit basah itu, Amora pun buru-buru mengulurkan baju yang sudah ia ambil.Selama Gery sedang sibuk berpakaian, Amora terlihat membereskan ranjangnya. Ia hanya tak mau kalau suaminya merasa tidak nyaman di kamar ini.“Kau sudah mau tidur?” tanya Amora.Gery mendekat, kemudian naik ke atas ranjang melewati hadapan Amora begitu saja. “Ya, aku sudah ngantuk.”Amora nampak gugup dan salah tingkah. “Em, kalau begitu ... aku, aku tidur di luar.”“Hei!” panggil Gery.Amora yang sudah mencengkeram gagang pintu lantas menoleh. “Ada apa?”“Kau mau keluargamu berpikiran aneh?”Amora mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Gery berdecak kemudian turun dari atas ranjang. Gery berjalan menghampiri Amora dan me
Hari pernikahan pun tiba. Para tamu sudah berkumpul untuk memberi saksi pada sepasang sejoli yang sebentar lagi akan sah menjadi suami istri. Di ruangan lain, Amora sendiri sudah siap dengan penampilannya. Memakai gaun yang dibelikan Gery, Amora nampak begitu cantik.Gery terpesona, tapi dia tidak mampu mengungkapkannya. Cukup diam-diam tersenyum tipis sambil curi-curi pandang.“Bagaimana dia bisa terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana?” batin Gery.Sebelum keluar dari kamar, Amora melangkah dan berdiri di hadapan Gery. “Maaf ...” Amora meraih kemeja Gery yang belum terkancing sempurna di bagian kerah.Keduanya sempat berpandangan mata. Berkedip bersamaan dengan perasaan masing-masing. Siapa yang tahu kalau jantung keduanya sudah berdegup begitu kencang. Ketika salah satu wajah mendekat maju dan hampir saja bersentuhan bibir, seseorang mengetuk pintu.Perasaan campur aduk, keduanya pun saling buang muka dan pura-pura sibuk membenarkan tampilan diri sendiri.“Ya, tunggu s
Usai pernikahan, Gery langsung meminta pulang. Gery tak lagi mau menginap. Selain merasa gerah karena kamar Amora yang sempit, sebenarnya ia malas bertatap muka dengan Andy.Seperti hal tadi sore, saat Gery sedang menunggu Amora di teras rumah, Andy datang menghampiri. Pria itu duduk di kursi kosong di samping Gery.“Apa alasanmu menikahi Amora?” tanya Gery tanpa basa-basi.“Tidak sopan sekali kau bertanya begitu?” sahut Gery acuh.“Amora masih menjalin hubungan denganku, tapi tiba-tiba kau menikahinya. Itu sangat aneh.” Andy menatap Gery. “Benarkan?”“Benar apanya?” sahut Gery.“Pasti ada sesuatu sampai Amora mau menikah denganmu kan?”Gery memalingkan wajah dan tidak menjawab. Tuduhan Andy memang benar. Gery menikahi Amora karena sesuatu hal. Pada intinya karena hati yang bergejolak.“Memang benar.” Andy mendecih lalu menyeringai.“Benar atau tidaknya, itu bukan urusanmu. Amora istriku, dan lagi kau juga sudah menikah. Sebaiknya jangan mengganggu Amora lagi.”Gery lantas b