Di sebuah kamar kosong, sepasang manusia tengah melakukan aktifitas di luar batas norma. Keduanya tidak mempedulikan tentang status mereka yang sama-sama terikat oleh tali suci pernikahan.
"Oh... baby," racau seorang wanita yang duduk di atas tubuh lelakinya. "Apa kamu yakin istrimu itu tidak akan pulang lebih awal?" tanya perempuan tersebut menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Ayolah Agatha... jangan membahas nenek peot itu. Membuat mood-ku hancur seketika!"
Gadis bernama Agatha mempercepat gerakan tubuhnya. Suara desahan dan erangan bersahutan dari bibir para pencari kenikmatan. Semakin lama semakin cepat, tubuh Agatha menggelinjang dengan kepala tertarik ke belakang.
"Faster baby..." sahut si lelaki. Dia turut menggerakkan pinggul, menyambut puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi, suara pekikan Agatha menghancurkan khayalannya.
"Beatrize?" teriak Ronald pada wanita yang menjambak rambut kekasihnya. "Lepaskan dia, Beatrize!!" teriaknya lagi.
Beatrize terbahak. "Jadi ini alasan kenapa kamu tidak pernah lagi menyentuhku, Ronald?"
Ronald tertawa meremehkan seraya mengarahkan jari telunjuk dari atas kepala hingga ujung kaki. "Ayolah Beatrize lihat dirimu sekarang, tubuhmu saja sudah tidak menggairahkan. Kamu sudah tidak bisa memuaskanku lagi di atas ranjang!"
Beatrize mengencangkan cengkeraman tangannya di rambut Agatha, membuat wanita selingkuhan suaminya itu memekik kesakitan. "Lepaskan aku Beatrize! Harusnya kamu sadar diri. Suamimu masih muda, gejolak hasratnya masih sangat tinggi. Sementara kamu sudah tidak mampu memberikan apa yang dia butuhkan!"
Beatrize berteriak dan menyerang simpanan suaminya secara membabi buta lalu menyeret wanita itu dari dalam kamar dengan menarik rambutnya. "Keluar kamu dari sini!!"
Ronald menggunakan pakaiannya dan menyusul Beatrize berjalan sangat cepat. Dia melayangkan sebuah pukulan ke wajah Beatrize, membuat wanita itu terpaksa melepas cengkeramannya. Agatha memanfaatkan celah ini untuk melepaskan diri
"Kamu berani menghajarku demi perempuan tidak tahu malu ini, Ronald?" Beatrize memegangi pipinya yang mulai membengkak.
"Menurutmu?" Ronald tersenyum miring.
"Tapi kenapa?" lirih Beatrize.
Ronald berjalan satu langkah mendekat. "Karena aku sudah bosan denganmu, Beatrize. Kamu sudah tidak berguna."
Beatrize mengusap air matanya. "Aku masih bisa memuaskanmu. Aku masih mampu melayanimu, Ronald. Lalu, apa lagi kurangku? Cepat katakan!!"
Ronald mendorong kasar punggung Beatrize dan membawanya ke depan cermin. "Perhatikan dirimu baik-baik, Beatrize! Lihat, kulitmu saja sudah mengendor. Di wajahmu banyak kerutan-kerutan. Terima saja kenyataannya kalau kamu sudah tua. Sudah payah!"
"Tapi aku sangat mencintaimu, Ronald. Kenapa kamu mengkhianatiku?" isak Beatrize terluka atas perkataan suaminya.
Ronald menautkan dagu di atas bahu istrinya. "Apa kamu melupakan dosamu dua puluh tahun yang silam, Beatrize? Anggap saja... ini karma buatmu!"
Beatrize menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan perkataan yang dilontarkan Ronald kepadanya. Dia menarik langkah dan membawa tas tangan meninggalkan Ronald yang tersenyum puas. Di depan pintu, Beatrize berpapasan dengan Agatha yang berdiri mematung. Dia mendelik dan seakan masa bodoh pada perempuan selingkuhan suaminya itu.
"Mom!" Di waktu bersamaan Louisa pulang dan mendapati ibunya tengah terisak dengan luka memar di wajah. "Wajah Mom kenapa?" Louisa hendak menyentuh pipi Beatrize, tetapi wanita paruh baya itu mengindahkan pertanyaan putrinya dan berlalu begitu saja.
"Dad ini ada ap—?" Pertanyaan Louisa terpotong lantaran dia melihat perempuan asing berada di kamar sang ayah. "Wanita ini siapa, Dad?" Louisa menyalang ke arah Ronald dan ke arah perempuan tak dikenalnya.
Ronald menarik tangan Louisa menjauh dari kamarnya. "Kamu tidak perlu ikut campur dengan urusanku! Karena kamu pun terlahir dari hasil hubungan terlarang antara Dad and Mom!"
Louisa menekan dada yang terasa sesak. "Lalu apa hubungannya Dad? Apa Dad tidak malu mengatakan ini semua pada putri Dad sendiri? Meski aku hasil dari hubungan terlarang, tetapi aku tetap darah daging Dad."
Louisa mengeringkan derai kesedihan yang bergelayutan di atas kelopak mata. "Aku sangat kecewa pada, Dad!!!"
***
Di saat hati tengah berkecambuk, pikiran tak tentu arah. Wanita bernetra biru, membawa diri ke tempat di mana dia bisa melupakan kemelut yang mendera hidup. Terlebih karena perkataan-perkataan lelakinya selalu terngiang-ngiang di dalam isi kepala. Dia membutuhkan pelampiasan dari masalah yang membuatnya merasa frustrasi.
"Berikan saya satu botol wiskey, Alan!" pinta Beatrize pada seorang bartender yang dikenalnya.
Seorang laki-laki yang mengenakan dasi kupu-kupu mengangguk dan mengambil minuman yang diminta oleh si pelanggan. Lima menit kemudian, dia kembali dengan satu botol wiskey dan satu buah gelas sloki. "Ini silakan Nyonya Beatrize."
Beatrize menarik botol minuman beralkohol tersebut dari atas meja bar lanjut meneguknya. Kerongkongan naik turun, menelan kenikmatan yang membuat dada terasa panas. Mata Beatrize kini memerah dan terlihat sedikit sayu. Kepalanya bergoyang-goyang lalu direbahkan ke atas meja bar.
"Kamu bajingan, Ronald!!" racau Beatrize tengah mabuk.
"Aku rela meninggalkan suami dan anakku demi kamu. Tapi apa yang kamu perbuat kepadaku sekarang? Kamu malah berkhianat dengan perempuan itu!" Beatrize kembali meneguk minuman surga dunia hingga tak bersisa dan melempar botol kosong ke sembarang arah.
"Bajingan kamu Ronald...!!!" Setelah meracau tak tentu arah, Beatrize terlengar di atas meja bar dengan lengan menopang kepala.
"Bawa wanita ini ke dalam mobilku!" titah seorang pemuda kepada manajer club malam.
"Baik Tuan Carlos... perintah Tuan saya laksanakan," jawab sang manajer mengangkat tubuh Beatrize dibantu oleh karyawannya.
Sesampainya di tempat parkir, Carlos memencet tombol center lock otomatis kemudian membuka pintu mobil. Membiarkan bawahannya merebahkan tubuh Beatrize di atas kursi penumpang.
"Terima kasih untuk bantuanmu, David." Carlos memberikan beberapa lembar uang kepada karyawannya.
"Sama-sama Tuan Carlos," jawab David meraih lembaran uang tersebut lantas memasukkanya ke dalam saku celana.
David melirik sekilas ke arah wanita yang terbaring di dalam mobil dan mempertanyakannya kepada Carlos. "Kalau saya boleh tahu, kenapa Tuan membawa Nyonya Beatrize. Apa Tuan kenal dengan dia?"
Carlos meruncingkan kedua kelopak mata. "Apa kamu harus mengetahui urusanku, David?"
David tertunduk takut. "Ma-maafkan atas kelancangan saya, Tuan."
Carlos tidak menjawab permintaan maaf dari David. Dia langsung masuk ke dalam kendaraan miliknya dan melesat begitu saja meninggalkan pria yang tengah berdiri mematung dengan segenap rasa takut.
"Sepertinya Tuan Carlos marah besar padaku. Itu artinya nasibku di ujung tanduk."
***
Carlos mengendarai mobil sport ke arah hutan belantara, tidak tahu apa yang terpikir di otaknya saat ini. Namun, yang pasti bukanlah sesuatu yang baik. Dia menatap ke arah Beatrize dari balik kaca spion, senyuman licik tersungging. Rencana jahat berkelibat di pikiran, membangkitkan kenangan lama dua puluh tahun yang silam. Kenangan, di mana semuanya berubah drastis. Hal indah menjadi nestapa. Kebahagiaan luruh, kepedihan menghampiri. Anak kecil penuh penyayang, kini bak seekor monster tak berhati, tak berperasaan. Menyimpan dendam dan berniat membalaskannya, sesegera mungkin. Malam semakin larut dan kendaraan yang membawa Beatrize mulai meninggalkan kota dan kini melewati jalanan sepi. Di mana bukit dan deretan pohon mengelilingi jalanan tersebut. Sudah satu jam Carlos berkendara, tetapi dia belum juga berhenti. Tidak tahu ke mana dia akan membawa wanita tersebut. Wanita yang melekat di ingatannya sebagai perempuan cantik, tetapi b
Di sebuah bangunan dengan cat berwarna-warni, seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut, tengah mengajari malaikat-malaikat kecil bermacam-macam warna. Kelembutan dan keteduhan terpancar dari paras cantiknya. Senyuman indah terlukis di antara bibir nan tipis, bak dewi cinta yang menebarkan pesonanya. "Siapa yang tahu ini warna apa?" tanya Carissa mengacungkan sebuah buku berwarna biru. "Itu warna blue, Miss," jawab salah seorang anak laki-laki. "Oke, good!" Carissa mengacungkan ibu jari ke arah murid yang bisa menjawab pertanyaannya tersebut. "Coba tebak, kalau mainan itu warna apa?" tunjuk Carissa pada block berwarna hijau. "Warna green, Miss," jawab muridnya serentak. Carissa mengacungkan kembali ibu jari lantas merentangkan tangan. Semua malaikat kecil beringsut dari atas kursi dan berlarian ke dalam dekapan hangat seorang Carissa. "Ana
"Masuk!!" Carlos mendorong Carissa, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam mobil. Dia membanting pintu lantas berjalan berputar lanjut mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi. "Aku paling tidak suka dibantah oleh perempuan rendahan sepertimu! Terlebih kamu hanyalah seorang anak pembantu. Sama posisinya dengan pengesat kaki, hanya untuk aku injak-injak!!" Carissa menyalang murka, api kebencian berkobar di kedua netra birunya. "Tajam sekali ucapanmu wahai Tuan muda. Apa kau tidak pernah dididik dan diajari sopan santun hingga mulutmu itu lebih nista dari kotoran anjing?" Dada Carlos bergemuruh, kilatan kebencian tak luput dari matanya. Dia menyalakan mesin mobil, menarik tuas gigi kemudian menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan kendaraan semakin meninggi, mobil bak mengapung di atas aspal, membelah jalanan melewati kendaraan-kendaraan lainnya. Menyelip, menyisip dan menerobos lampu merah yang tengah menyala. Cari
Bagaimana rasanya bila tubuh dan kehormatan yang dijaga selama ini, hanya dianggap sampah oleh pria yang tak pernah mengenal arti cinta. Pria yang semasa hidupnya bergelimangan harta, tetapi ada ruang di dalam hati yang teramat kosong. Rasa hampa pun sering menelusup ke dalam nurani. Namun, ia tangkis dengan dendam jua kebencian. Dendam pada sang ibu, dia balaskan kepada perempuan mana pun yang ia mau.Setelah berkendara selama lima belas menit, Carlos memakirkan kendaraannya di depan pelataran. Dia keluar begitu saja meninggalkan Carissa yang masih shock dengan kejadian beberapa saat lalu. Pria egois itu melenggang masuk ke dalam hunian bak istana seraya merapikan jas mewahnya. Wajah tanpa dosa, dia suguhkan kepada semua orang. Sedangkan Carissa, harus siap dengan orang-orang yang akan memberondong dengan ribuan pertanyaan.Gadis itu perlahan bergerak. Dia berjalan lemah dengan tangan menyilang menutupi tubuh atas yang terbuka. Dia berharap
"Sepertinya mobil hitam itu membuntutiku sedari tadi!" Jacob bermanuver dengan membelokkan mobilnya mencari jalan lain seraya menancap gas, menambah laju kecepatan. "Benar berarti, ada yang sedang mengikutiku. Tapi siapa mereka dan ada maksud apa?" gumam Jacob bingung. Berkali-kali dia memperhatikan kendaraan di belakangnya dari balik kaca spion. Sementara dari dalam mobil tersebut, tiga pria yang menjadi orang suruhan Carlos tengah berbagi tugas. Di mana salah satu dari mereka akan meluncurkan sebuah tembakan ke arah ban mobil Jacob, sementara yang lainnya bertugas menyetir mobil dan memperhatikan kondisi sekeliling. "Bagaimana, apakah aman untuk mengeksekusi sekarang?" "Nanti saja, kita tunggu mobil itu masuk highway. Baru kita lakukan perintah dari tuan Carlos," sahut salah seorang dari mereka. "Kalau kita mencelakai orang itu di sini, bukan hanya target yang akan mati. Namun, orang-orang yang berada di sekitarnya bisa terkena imbas." Setelah setengah jam terjadi aksi kejar-kejar
Saat ini, batin Carissa benar-benar dalam keadaan terguncang. Di satu sisi, dia dikhawatirkan oleh kondisi Heleina yang tiba-tiba melemah. Satu sisi lain, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa nyawa sang ayah sudah berada di ujung tanduk."Ya Tuhan... aku harus mencari ke mana uang sebanyak itu? Bahkan untuk membayar uang mukanya saja, tidak cukup sekedar menjual perhiasan mama."Carissa berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Tangan yang bergetar, sesekali menyapu air mata yang terus saja mengalir tiada henti. Ketakutan menelesup ke dalam sanubari, memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang sama-sama terbaring lemah tidak sadarkan diri."Apa aku meminta tolong tuan Charles saja ya? Dia pasti bersedia membantuku." Carissa mencoba menghubungi nomor majikan orang tuanya itu. Namun, sia-sia karena Charles tidak mengangkat panggilannya. "Ya Tuhan... bahkan tuan Charles pun disaat dibutuhkan seperti ini, sulit sekali untuk dihubungi."Carissa mengerutkan dahi lantaran kepanikan ya
Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Ketika lelaki yang menjadi cinta pertama pergi untuk selama-lamanya, di sanalah titik terendah yang mampu meluluh lantahkan hidup dan hati seorang wanita. Dunia pun seakan berhenti berputar untuk sesaat. Karena kebahagiaan, bak direnggut secara paksa. Tiada lagi tempat yang bisa dijadikan sandaran. Selain bertumpu pada kaki sendiri dengan kedua pundak yang berusaha tegar."Maafkan saya, Carissa. Tadi saya sedang ada pertemuan. Jadi, tidak sempat mengangkat teleponmu," sesal Charles memeluk tubuh gadis yang tengah berkabung.Carissa menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa Tuan... lagi pula ini semua sudah menjadi suratan takdir. Kalau papa harus meninggalkan dunia, secepat ini."Charles mengusap-usap punggung Carissa. "Tabah ya, Nak. Jacob orang baik, dia pasti sudah tenang di alam sana ... dan kamu harus bangkit, demi mamamu."Carissa melepas dekapan dan menatap sendu ke arah Charles. "Terima kasih, Tuan. Kata-kata Tuan telah menyadar
"Long time no see, Beatrize. How are you?" "Seperti yang kamu lihat, Dav!" Beatrize duduk dengan anggun di atas sofa lalu melepas kaca mata hitam miliknya. Pria dengan label manajer tersebut menghampiri Beatrize kemudian duduk di samping wanita tersebut. "I miss you, darl!" Beatrize berdecak. "Aku sedang tidak mood!" "Kamu butuh sesuatu? Like sampanye, wine, or—" "Aku sedang tidak ingin minum." "Lalu?" "Dav, aku ingin melihat rekaman cctv dua minggu yang lalu. Saat itu aku tengah mabuk. Aku penasaran siapa yang telah membawaku dari klub dan berani-beraninya mengerjaiku." "Aku sangat tahu siapa!" "Siapa?" "Infoku tidak gratis Beatrize!" Beatrize mendengkus. "Kamu licik!" David tergelak. "Aku memang licik. Karena aku seekor rubah." Beatrize memutar bola matanya malas. Dia mengeluarkan satu batang rokok dari dalam tas. David sigap menyalakan alat pemantik. "Thankyou." "Jadi, bagaimana? Kamu menginginkan informasi itu atau tidak?" David menyandarkan punggungnya dengan kedu