Di sebuah bangunan dengan cat berwarna-warni, seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut, tengah mengajari malaikat-malaikat kecil bermacam-macam warna. Kelembutan dan keteduhan terpancar dari paras cantiknya. Senyuman indah terlukis di antara bibir nan tipis, bak dewi cinta yang menebarkan pesonanya.
"Siapa yang tahu ini warna apa?" tanya Carissa mengacungkan sebuah buku berwarna biru.
"Itu warna blue, Miss," jawab salah seorang anak laki-laki.
"Oke, good!" Carissa mengacungkan ibu jari ke arah murid yang bisa menjawab pertanyaannya tersebut.
"Coba tebak, kalau mainan itu warna apa?" tunjuk Carissa pada block berwarna hijau.
"Warna green, Miss," jawab muridnya serentak. Carissa mengacungkan kembali ibu jari lantas merentangkan tangan. Semua malaikat kecil beringsut dari atas kursi dan berlarian ke dalam dekapan hangat seorang Carissa.
"Anak-anak kalian hari ini sangat luar biasa, Miss benar-benar bangga!" puji Carissa pada murid-muridnya tersebut. "Tapi karena hari ini akan ada tamu ke sekolah kita, belajarnya kita lanjut esok pagi. Oke?" tanya Carissa mengangkat telapak tangan.
Anak kecil di dalam pelukan Carissa menekuk wajah seketika sebab mereka masih menginginkan berada dekat dengannya. Sosok gadis baik hati yang penuh kelembutan. "Ya... Miss aku 'kan, masih ingin belajar."
"Iya nih, Miss. Aku juga," timpal murid yang lain. Bibir-bibir mungil dilipat ke depan seraya tangan bersidekap. Memperlihatkan bahwa mereka tengah kecewa dengan apa yang didengar.
"Maafkan Miss ya... besok 'kan, kita masih bisa bertemu lagi." Carissa mengusap-usap kepala murid-muridnya secara bergantian. "Oke deh karena mom and dad sudah menjemput, kemasi tas kalian. Kita pulang...."
Semua anak kecil itu tidak ingin beranjak dari hadapannya menampilkan raut cemberut. Namun, amat menggemaskan. "Kami belum mau pulang, Miss. Kami masih ingin bermain dengan Miss...."
Carissa merangkul kembali tubuh-tubuh mungil yang tengah merengek. "Dengarkan Miss ya anak-anak... Miss sekarang ada urusan penting. Hari ini kalian pulang lebih awal, besok datang lagi ke sekolah dan Miss akan mengajak kalian ke danau. Bagaimana?"
Anak-anak tersebut mengocek kelopak mata yang basah dan bersitatap dengan satu sama lain. Mereka mengangguk lanjut mengecup pipi Carissa. "Oke Miss, kami pulang. Besok janji ya mengajak kami bermain ke danau?"
"Janji, sayang..." Carissa mengacungkan jari kelingking dan diikuti semua muridnya.
Selepas anak-anak menghampiri orang tua mereka, Carissa lekas-lekas menuju ruang pertemuan. Nampak di sana semua orang tengah menanti kehadirannya. "Maaf, saya terlambat."
Semua orang mengangguk karena memaklumi alasan keterlambatannya datang. Tapi tidak dengan seorang pria mengenakan setelah jas hitam yang luput dari jangkauan pandangan Carissa. "Saya paling tidak suka pada orang yang tidak disiplin dan tidak menghargai waktu, Nona Carissa!"
Carissa yang semula menundukkan kepala, sontak menarik wajah dan melihat siapa yang tengah berbicara padanya. Kening gadis itu mengerut lantaran dia tidak mengerti kenapa pria menyebalkan itu bisa berdiri tepat di hadapannya saat ini. "Kau? Si pria dingin dan tidak tahu malu. Di sini?"
Rekan-rekan sejawat Carissa tercengang karena sikap berani yang ditampilkan wanita lemah lembut tersebut. Seseorang yang duduk di samping, menyenggol lengan Carissa lantas membisikkan sesuatu. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Carissa? Tuan Carlos pemilik sekolahan ini!"
Carissa tentu saja terkejut, tetapi tidak peduli pada akhirnya. Dia malah semakin menyorot tajam ke arah pria yang pernah bersikap tidak hormat kepada sang ibu. Carlos menatap gadis itu tidak kalah tajam. Kilatan api kebencian nampak jelas dari netra keduanya.
Carlos menahan diri meski ingin sekali dia memberikan pelajaran pada gadis yang berani menantangnya di hadapan semua orang. Namun, dia tidak ingin merusak citra diri sebagai orang dermawan jua berwibawa. Dia memilih untuk membuka rapat kali ini, berdiri dengan gagah dan berbicara secara lugas. Semua orang terpana akan pesonanya, tetapi tidak dengan Carissa.
"Karena itu saya membutuhkan seseorang untuk membantu mengelola acara amal minggu depan." Carlos menggantung ucapannya, membuat orang-orang menjadi penasaran. "Dan saya ingin Nona Carissa yang membantu saya," tegas Carlos dengan senyum misteriusnya.
"Sa-saya?" ulang Carissa tidak percaya.
"Iya Nona ... anda. Apa telinga anda kotor, sehingga tidak bisa mendengar dengan jelas perkataan saya?" jawab Carlos sinis.
"Bukan begitu, saya pikir rekan yang lain lebih berkompeten untuk kegiatan amal seperti ini," jelas Carissa karena tidak sudi membayangkan bila harus terus bersinggungan dengan pria arogan tersebut.
"Apa itu artinya anda melawan saya, Nona? Menolak permintaan seorang pemilik sekolah yang telah menggaji anda selama ini?" sahut Carlos dengan suara yang tertekan.
"Baik, Tuan. Saya bersedia, kalau memang anda mempercayakan urusan tersebut pada saya." Carissa tidak ingin berbicara panjang lebar lagi agar meeting segera usai dan dia bisa cepat menghilang dari pandangan pria menjengkelkan. Akan tetapi, harapannya pupus begitu saja karena Carlos mengatakan sesuatu yang membuat wajah Carissa merah padam.
"Nona Carissa... anda pulang bersama saya. Berhubung arah rumah kita sama, lebih tepatnya kita memang tinggal di rumah yang sama."
Tatapan orang-orang seketika beralih pada Carissa. Tatapan penuh tanda tanya juga kecemburuan.
***
"Masuk!!" Carlos mendorong Carissa, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam mobil. Dia membanting pintu lantas berjalan berputar lanjut mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi. "Aku paling tidak suka dibantah oleh perempuan rendahan sepertimu! Terlebih kamu hanyalah seorang anak pembantu. Sama posisinya dengan pengesat kaki, hanya untuk aku injak-injak!!" Carissa menyalang murka, api kebencian berkobar di kedua netra birunya. "Tajam sekali ucapanmu wahai Tuan muda. Apa kau tidak pernah dididik dan diajari sopan santun hingga mulutmu itu lebih nista dari kotoran anjing?" Dada Carlos bergemuruh, kilatan kebencian tak luput dari matanya. Dia menyalakan mesin mobil, menarik tuas gigi kemudian menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan kendaraan semakin meninggi, mobil bak mengapung di atas aspal, membelah jalanan melewati kendaraan-kendaraan lainnya. Menyelip, menyisip dan menerobos lampu merah yang tengah menyala. Cari
Bagaimana rasanya bila tubuh dan kehormatan yang dijaga selama ini, hanya dianggap sampah oleh pria yang tak pernah mengenal arti cinta. Pria yang semasa hidupnya bergelimangan harta, tetapi ada ruang di dalam hati yang teramat kosong. Rasa hampa pun sering menelusup ke dalam nurani. Namun, ia tangkis dengan dendam jua kebencian. Dendam pada sang ibu, dia balaskan kepada perempuan mana pun yang ia mau.Setelah berkendara selama lima belas menit, Carlos memakirkan kendaraannya di depan pelataran. Dia keluar begitu saja meninggalkan Carissa yang masih shock dengan kejadian beberapa saat lalu. Pria egois itu melenggang masuk ke dalam hunian bak istana seraya merapikan jas mewahnya. Wajah tanpa dosa, dia suguhkan kepada semua orang. Sedangkan Carissa, harus siap dengan orang-orang yang akan memberondong dengan ribuan pertanyaan.Gadis itu perlahan bergerak. Dia berjalan lemah dengan tangan menyilang menutupi tubuh atas yang terbuka. Dia berharap
"Sepertinya mobil hitam itu membuntutiku sedari tadi!" Jacob bermanuver dengan membelokkan mobilnya mencari jalan lain seraya menancap gas, menambah laju kecepatan. "Benar berarti, ada yang sedang mengikutiku. Tapi siapa mereka dan ada maksud apa?" gumam Jacob bingung. Berkali-kali dia memperhatikan kendaraan di belakangnya dari balik kaca spion. Sementara dari dalam mobil tersebut, tiga pria yang menjadi orang suruhan Carlos tengah berbagi tugas. Di mana salah satu dari mereka akan meluncurkan sebuah tembakan ke arah ban mobil Jacob, sementara yang lainnya bertugas menyetir mobil dan memperhatikan kondisi sekeliling. "Bagaimana, apakah aman untuk mengeksekusi sekarang?" "Nanti saja, kita tunggu mobil itu masuk highway. Baru kita lakukan perintah dari tuan Carlos," sahut salah seorang dari mereka. "Kalau kita mencelakai orang itu di sini, bukan hanya target yang akan mati. Namun, orang-orang yang berada di sekitarnya bisa terkena imbas." Setelah setengah jam terjadi aksi kejar-kejar
Saat ini, batin Carissa benar-benar dalam keadaan terguncang. Di satu sisi, dia dikhawatirkan oleh kondisi Heleina yang tiba-tiba melemah. Satu sisi lain, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa nyawa sang ayah sudah berada di ujung tanduk."Ya Tuhan... aku harus mencari ke mana uang sebanyak itu? Bahkan untuk membayar uang mukanya saja, tidak cukup sekedar menjual perhiasan mama."Carissa berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Tangan yang bergetar, sesekali menyapu air mata yang terus saja mengalir tiada henti. Ketakutan menelesup ke dalam sanubari, memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang sama-sama terbaring lemah tidak sadarkan diri."Apa aku meminta tolong tuan Charles saja ya? Dia pasti bersedia membantuku." Carissa mencoba menghubungi nomor majikan orang tuanya itu. Namun, sia-sia karena Charles tidak mengangkat panggilannya. "Ya Tuhan... bahkan tuan Charles pun disaat dibutuhkan seperti ini, sulit sekali untuk dihubungi."Carissa mengerutkan dahi lantaran kepanikan ya
Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Ketika lelaki yang menjadi cinta pertama pergi untuk selama-lamanya, di sanalah titik terendah yang mampu meluluh lantahkan hidup dan hati seorang wanita. Dunia pun seakan berhenti berputar untuk sesaat. Karena kebahagiaan, bak direnggut secara paksa. Tiada lagi tempat yang bisa dijadikan sandaran. Selain bertumpu pada kaki sendiri dengan kedua pundak yang berusaha tegar."Maafkan saya, Carissa. Tadi saya sedang ada pertemuan. Jadi, tidak sempat mengangkat teleponmu," sesal Charles memeluk tubuh gadis yang tengah berkabung.Carissa menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa Tuan... lagi pula ini semua sudah menjadi suratan takdir. Kalau papa harus meninggalkan dunia, secepat ini."Charles mengusap-usap punggung Carissa. "Tabah ya, Nak. Jacob orang baik, dia pasti sudah tenang di alam sana ... dan kamu harus bangkit, demi mamamu."Carissa melepas dekapan dan menatap sendu ke arah Charles. "Terima kasih, Tuan. Kata-kata Tuan telah menyadar
"Long time no see, Beatrize. How are you?" "Seperti yang kamu lihat, Dav!" Beatrize duduk dengan anggun di atas sofa lalu melepas kaca mata hitam miliknya. Pria dengan label manajer tersebut menghampiri Beatrize kemudian duduk di samping wanita tersebut. "I miss you, darl!" Beatrize berdecak. "Aku sedang tidak mood!" "Kamu butuh sesuatu? Like sampanye, wine, or—" "Aku sedang tidak ingin minum." "Lalu?" "Dav, aku ingin melihat rekaman cctv dua minggu yang lalu. Saat itu aku tengah mabuk. Aku penasaran siapa yang telah membawaku dari klub dan berani-beraninya mengerjaiku." "Aku sangat tahu siapa!" "Siapa?" "Infoku tidak gratis Beatrize!" Beatrize mendengkus. "Kamu licik!" David tergelak. "Aku memang licik. Karena aku seekor rubah." Beatrize memutar bola matanya malas. Dia mengeluarkan satu batang rokok dari dalam tas. David sigap menyalakan alat pemantik. "Thankyou." "Jadi, bagaimana? Kamu menginginkan informasi itu atau tidak?" David menyandarkan punggungnya dengan kedu
Dua puluh tahun yang silamSiang itu menjadi siang paling kelabu bagi seorang anak laki-laki bernama Carlos. Di mana wanita yang telah melahirkan dia ke dunia, dengan tega mencampakkan sang ayah beserta dirinya, demi pria muda yang memiliki banyak kekayaan. Tangisan jua rengekan, seakan angin lalu yang menggelitik indera pendengaran. Wanita cantik itu pergi, meninggalkan masa lalu dengan menyisakan luka mendalam pada hati sang anak."Mommy... kumohon jangan pergi!!" pinta Carlos kecil sembari mencengkeram kaki sang ibu. Namun, wanita yang dipanggil ibu olehnya terus saja berjalan dan menghentak-hentakkan kaki. Tubuh Carlos hilang keseimbangan, dia tersungkur dengan pelipis membentur aspal panas."Jangan membuntutiku lagi atau aku tidak akan segan-segan untuk menyakitimu, Carlos! Lupakan bahwa aku ibumu, anggap saja kalau aku telah tiada. Karena aku pun telah menganggapmu dan Charles, mati!" pekik Beatri
Di sebuah kamar kosong, sepasang manusia tengah melakukan aktifitas di luar batas norma. Keduanya tidak mempedulikan tentang status mereka yang sama-sama terikat oleh tali suci pernikahan. "Oh... baby," racau seorang wanita yang duduk di atas tubuh lelakinya. "Apa kamu yakin istrimu itu tidak akan pulang lebih awal?" tanya perempuan tersebut menggoyang-goyangkan pinggulnya. "Ayolah Agatha... jangan membahas nenek peot itu. Membuat mood-ku hancur seketika!" Gadis bernama Agatha mempercepat gerakan tubuhnya. Suara desahan dan erangan bersahutan dari bibir para pencari kenikmatan. Semakin lama semakin cepat, tubuh Agatha menggelinjang dengan kepala tertarik ke belakang. "Faster baby..." sahut si lelaki. Dia turut menggerakkan pinggul, menyambut puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi, suara pekikan Agatha menghancurkan khayalannya.