Saat ini, batin Carissa benar-benar dalam keadaan terguncang. Di satu sisi, dia dikhawatirkan oleh kondisi Heleina yang tiba-tiba melemah. Satu sisi lain, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa nyawa sang ayah sudah berada di ujung tanduk."Ya Tuhan... aku harus mencari ke mana uang sebanyak itu? Bahkan untuk membayar uang mukanya saja, tidak cukup sekedar menjual perhiasan mama."Carissa berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Tangan yang bergetar, sesekali menyapu air mata yang terus saja mengalir tiada henti. Ketakutan menelesup ke dalam sanubari, memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang sama-sama terbaring lemah tidak sadarkan diri."Apa aku meminta tolong tuan Charles saja ya? Dia pasti bersedia membantuku." Carissa mencoba menghubungi nomor majikan orang tuanya itu. Namun, sia-sia karena Charles tidak mengangkat panggilannya. "Ya Tuhan... bahkan tuan Charles pun disaat dibutuhkan seperti ini, sulit sekali untuk dihubungi."Carissa mengerutkan dahi lantaran kepanikan ya
Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Ketika lelaki yang menjadi cinta pertama pergi untuk selama-lamanya, di sanalah titik terendah yang mampu meluluh lantahkan hidup dan hati seorang wanita. Dunia pun seakan berhenti berputar untuk sesaat. Karena kebahagiaan, bak direnggut secara paksa. Tiada lagi tempat yang bisa dijadikan sandaran. Selain bertumpu pada kaki sendiri dengan kedua pundak yang berusaha tegar."Maafkan saya, Carissa. Tadi saya sedang ada pertemuan. Jadi, tidak sempat mengangkat teleponmu," sesal Charles memeluk tubuh gadis yang tengah berkabung.Carissa menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa Tuan... lagi pula ini semua sudah menjadi suratan takdir. Kalau papa harus meninggalkan dunia, secepat ini."Charles mengusap-usap punggung Carissa. "Tabah ya, Nak. Jacob orang baik, dia pasti sudah tenang di alam sana ... dan kamu harus bangkit, demi mamamu."Carissa melepas dekapan dan menatap sendu ke arah Charles. "Terima kasih, Tuan. Kata-kata Tuan telah menyadar
"Long time no see, Beatrize. How are you?" "Seperti yang kamu lihat, Dav!" Beatrize duduk dengan anggun di atas sofa lalu melepas kaca mata hitam miliknya. Pria dengan label manajer tersebut menghampiri Beatrize kemudian duduk di samping wanita tersebut. "I miss you, darl!" Beatrize berdecak. "Aku sedang tidak mood!" "Kamu butuh sesuatu? Like sampanye, wine, or—" "Aku sedang tidak ingin minum." "Lalu?" "Dav, aku ingin melihat rekaman cctv dua minggu yang lalu. Saat itu aku tengah mabuk. Aku penasaran siapa yang telah membawaku dari klub dan berani-beraninya mengerjaiku." "Aku sangat tahu siapa!" "Siapa?" "Infoku tidak gratis Beatrize!" Beatrize mendengkus. "Kamu licik!" David tergelak. "Aku memang licik. Karena aku seekor rubah." Beatrize memutar bola matanya malas. Dia mengeluarkan satu batang rokok dari dalam tas. David sigap menyalakan alat pemantik. "Thankyou." "Jadi, bagaimana? Kamu menginginkan informasi itu atau tidak?" David menyandarkan punggungnya dengan kedu
Dua puluh tahun yang silamSiang itu menjadi siang paling kelabu bagi seorang anak laki-laki bernama Carlos. Di mana wanita yang telah melahirkan dia ke dunia, dengan tega mencampakkan sang ayah beserta dirinya, demi pria muda yang memiliki banyak kekayaan. Tangisan jua rengekan, seakan angin lalu yang menggelitik indera pendengaran. Wanita cantik itu pergi, meninggalkan masa lalu dengan menyisakan luka mendalam pada hati sang anak."Mommy... kumohon jangan pergi!!" pinta Carlos kecil sembari mencengkeram kaki sang ibu. Namun, wanita yang dipanggil ibu olehnya terus saja berjalan dan menghentak-hentakkan kaki. Tubuh Carlos hilang keseimbangan, dia tersungkur dengan pelipis membentur aspal panas."Jangan membuntutiku lagi atau aku tidak akan segan-segan untuk menyakitimu, Carlos! Lupakan bahwa aku ibumu, anggap saja kalau aku telah tiada. Karena aku pun telah menganggapmu dan Charles, mati!" pekik Beatri
Di sebuah kamar kosong, sepasang manusia tengah melakukan aktifitas di luar batas norma. Keduanya tidak mempedulikan tentang status mereka yang sama-sama terikat oleh tali suci pernikahan. "Oh... baby," racau seorang wanita yang duduk di atas tubuh lelakinya. "Apa kamu yakin istrimu itu tidak akan pulang lebih awal?" tanya perempuan tersebut menggoyang-goyangkan pinggulnya. "Ayolah Agatha... jangan membahas nenek peot itu. Membuat mood-ku hancur seketika!" Gadis bernama Agatha mempercepat gerakan tubuhnya. Suara desahan dan erangan bersahutan dari bibir para pencari kenikmatan. Semakin lama semakin cepat, tubuh Agatha menggelinjang dengan kepala tertarik ke belakang. "Faster baby..." sahut si lelaki. Dia turut menggerakkan pinggul, menyambut puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi, suara pekikan Agatha menghancurkan khayalannya.
Carlos mengendarai mobil sport ke arah hutan belantara, tidak tahu apa yang terpikir di otaknya saat ini. Namun, yang pasti bukanlah sesuatu yang baik. Dia menatap ke arah Beatrize dari balik kaca spion, senyuman licik tersungging. Rencana jahat berkelibat di pikiran, membangkitkan kenangan lama dua puluh tahun yang silam. Kenangan, di mana semuanya berubah drastis. Hal indah menjadi nestapa. Kebahagiaan luruh, kepedihan menghampiri. Anak kecil penuh penyayang, kini bak seekor monster tak berhati, tak berperasaan. Menyimpan dendam dan berniat membalaskannya, sesegera mungkin. Malam semakin larut dan kendaraan yang membawa Beatrize mulai meninggalkan kota dan kini melewati jalanan sepi. Di mana bukit dan deretan pohon mengelilingi jalanan tersebut. Sudah satu jam Carlos berkendara, tetapi dia belum juga berhenti. Tidak tahu ke mana dia akan membawa wanita tersebut. Wanita yang melekat di ingatannya sebagai perempuan cantik, tetapi b
Di sebuah bangunan dengan cat berwarna-warni, seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut, tengah mengajari malaikat-malaikat kecil bermacam-macam warna. Kelembutan dan keteduhan terpancar dari paras cantiknya. Senyuman indah terlukis di antara bibir nan tipis, bak dewi cinta yang menebarkan pesonanya. "Siapa yang tahu ini warna apa?" tanya Carissa mengacungkan sebuah buku berwarna biru. "Itu warna blue, Miss," jawab salah seorang anak laki-laki. "Oke, good!" Carissa mengacungkan ibu jari ke arah murid yang bisa menjawab pertanyaannya tersebut. "Coba tebak, kalau mainan itu warna apa?" tunjuk Carissa pada block berwarna hijau. "Warna green, Miss," jawab muridnya serentak. Carissa mengacungkan kembali ibu jari lantas merentangkan tangan. Semua malaikat kecil beringsut dari atas kursi dan berlarian ke dalam dekapan hangat seorang Carissa. "Ana
"Masuk!!" Carlos mendorong Carissa, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam mobil. Dia membanting pintu lantas berjalan berputar lanjut mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi. "Aku paling tidak suka dibantah oleh perempuan rendahan sepertimu! Terlebih kamu hanyalah seorang anak pembantu. Sama posisinya dengan pengesat kaki, hanya untuk aku injak-injak!!" Carissa menyalang murka, api kebencian berkobar di kedua netra birunya. "Tajam sekali ucapanmu wahai Tuan muda. Apa kau tidak pernah dididik dan diajari sopan santun hingga mulutmu itu lebih nista dari kotoran anjing?" Dada Carlos bergemuruh, kilatan kebencian tak luput dari matanya. Dia menyalakan mesin mobil, menarik tuas gigi kemudian menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan kendaraan semakin meninggi, mobil bak mengapung di atas aspal, membelah jalanan melewati kendaraan-kendaraan lainnya. Menyelip, menyisip dan menerobos lampu merah yang tengah menyala. Cari