Dua puluh tahun yang silam
Siang itu menjadi siang paling kelabu bagi seorang anak laki-laki bernama Carlos. Di mana wanita yang telah melahirkan dia ke dunia, dengan tega mencampakkan sang ayah beserta dirinya, demi pria muda yang memiliki banyak kekayaan. Tangisan jua rengekan, seakan angin lalu yang menggelitik indera pendengaran. Wanita cantik itu pergi, meninggalkan masa lalu dengan menyisakan luka mendalam pada hati sang anak.
"Mommy... kumohon jangan pergi!!" pinta Carlos kecil sembari mencengkeram kaki sang ibu. Namun, wanita yang dipanggil ibu olehnya terus saja berjalan dan menghentak-hentakkan kaki. Tubuh Carlos hilang keseimbangan, dia tersungkur dengan pelipis membentur aspal panas.
"Jangan membuntutiku lagi atau aku tidak akan segan-segan untuk menyakitimu, Carlos! Lupakan bahwa aku ibumu, anggap saja kalau aku telah tiada. Karena aku pun telah menganggapmu dan Charles, mati!" pekik Beatrize pada putranya. "Hapus semua kenangan tentangku, mulai detik ini tidak ada lagi ikatan antara kita berdua!" Beatrize menarik langkah meninggalkan Carlos tanpa menoleh sekali pun. Dia tidak mempedulikan isakan anak kecil yang menyayat bak sembilu. Hatinya telah beku. Perasaannya telah mati.
"Mommy..." teriak Carlos kecil saat wanita yang begitu dia cintai, menyambut tangan seorang pemuda. Figur seorang ibu yang penuh hormat, hancur lebur dalam sekejap mata. Dalam memorinya kini, semua wanita adalah sama. Makhluk Tuhan yang pantas dia rendahkan dan diinjak-injak harga dirinya.
Selepas kepergian sang ibu, Carlos berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa dia tidak akan pernah jatuh cinta seumur hidupnya. Dia akan menjadi laki-laki sukses dan membeli martabat wanita manapun yang dia mau, dengan uang juga kekuasaan. Kebencian dia tanam dan dia pupuk hingga semakin tumbuh. Menjadikan dia sosok dingin, tak berperasaan.
***
"Happy birthday... happy birthday... happy birthday too you...."
Seorang gadis muda menyanyikan sebuah lagu ulang tahun untuk ibu tercinta. Meski di tengah keterbatasan ekonomi, tidak menyurutkan kasih sayang di antara keluarga kecil nan harmonis tersebut.
"Ayo make a wish, Ma..." pinta gadis itu setelah menyalakan api. "Lalu tiup lilinnya."
Wanita yang usianya tak lagi muda, menerbitkan senyuman terbaiknya. Dia mengusap-usap puncak kepala sang anak lantas menelungkup kedua tangan di depan dada dengan mata terpejam membuat sebuah pengharapan.
Selepas itu, ia meniup deretan lilin hingga padam tak bersisa lanjut memeluk putrinya dengan penuh kebahagiaan. Namun, teriakan seseorang menghapus kebahagiaan tersebut dan merubahnya menjadi ketakutan juga kegetiran.
"Siapa yang menyuruh kalian merayakan ulang tahun di rumahku?" Tangan kokoh menepis tart dari tangan gadis muda tersebut. Tart yang ia beli dengan susah payah, menyisihkan dari penghasilannya sebagai guru Taman Kanak-kanak, kini tergeletak sia-sia di atas lantai.
"Tu-tuan Carlos?" pekik Heleina terkejut. "Mohon maafkan kami Tuan... kami telah lancang."
Carissa mengerutkan dahi. "Untuk apa Mama meminta maaf pada laki-laki seperti dia. Justru harusnya dia yang meminta maaf kepada kita, Ma...!!"
Mata Carlos menyipit dan terdengar suara gemerutuk gigi dari dalam mulut. Tangan mengepal kuat, pertanda bahwa amarahnya telah sampai ke ubun-ubun. "Beginilah gambaran wanita yang berasal dari keluarga miskin. Kurang ajar serta tidak memiliki etika!"
"Kau?" tunjuk Carissa pada laki-laki bermulut lemas. "Apa ibumu tidak pernah mengajarkan sopan santun??" balas Carissa tak kalah tajam. Dan tentu saja perkataan gadis itu barusan seakan membuka serpihan luka lama. Di saat anak kecil seusia Carlos bermanja-manja dengan sang ibu, dia telah kehilangan figur yang seharusnya mendidik dengan segenap cinta.
Heleina menarik lengan Carissa agar bersedia mendengarkan perkataannya. Namun, gadis itu bergeming. Dia membalas sorotan tajam Carlos seolah mengatakan bahwa aku tidak akan gentar dan mengalah pada pria yang hanya bisa merendahkan. Pria yang selalu menganggap kekayaan dan kekuasaan adalah segala-galanya.
"Jangan sebut-sebut ibu didepanku!!" teriak Carlos murka. Urat-urat di pelipis menegang serta mata menyalang kejam. Carlos mendorong kasar pundak Carissa membuat gadis itu tidak bisa menahannya dan akhirnya terjungkal. "Sekali lagi kamu sok tahu dengan kehidupanku, aku tidak akan segan-segan untuk merobek mulut lebarmu itu!" Carlos mengancam Carissa yang terduduk di atas lantai kemudian melengos dan berlalu pergi secepat mungkin. Saat ini dia membutuhkan pelampiasan dari apa yang bergejolak di dalam dada.
"Harusnya kamu jangan bicara seperti itu, Nak..." tegur Heleina. "Kamu tidak tahu 'kan, apa yang sudah dilalui tuan Carlos?" tanya Heleina pada putrinya yang masih dikuasai amarah.
"Tidak Ma... kenapa memangnya?" Carissa balik bertanya dan bangkit dari posisinya.
Heleina mendesah pelan. "Nyonya Beatrize meninggalkan tuan muda, saat dia berumur lima tahun. Dan itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Hari yang seharusnya dirayakan dengan penuh suka cita, malah menjadi awal petaka di dalam keluarga Leon. Karena semenjak itu tuan Carlos berubah menjadi pribadi yang kasar dan bersikap semaunya."
"Tapi aku pikir semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk dia bersikap semena-mena pada orang lain, Ma!" sergah Carissa atas penjelasan sang ibu. "Bukankah manusia dibekali akal untuk bisa berpikir bukan hanya mengikuti hawa nafsu?" tanyanya pada wanita paruh baya.
Heleina tersenyum lalu mengggenggam tangan Carissa. "Kita tidak pernah tahu kondisi psikologis seseorang. Bagaimana mentalnya dan cara dia menghadapi masalah. Apa lagi saat itu tuan Carlos masih sangatlah kecil. Dan akhirnya menimbulkan trauma mendalam hingga saat ini. Kamu 'kan guru Taman Kanak-kanak, seharusnya paham mengenai hal ini."
Carissa mendengus. "Iya Ma... Carissa paham kok. Cuman kesal saja dengan sikap arogan dan sok jagoan dia. Bahkan pada orang yang lebih tua pun dia bersikap tidak sopan!"
Heleina membelai wajah Carissa yang menampilkan raut muram. Kelembutan sikap seorang ibu selalu menjadi pendamai hati yang tengah gersang. Hati yang berkecambuk kembali berbunga. "Kamu harus banyak-banyak bersyukur karena tumbuh di tengah-tengah keluarga yang utuh. Kamu tidak kekurangan sedikit pun kasih sayang Mama maupun papa, meski kami tidak bisa memberikan kemewahan seperti anak-anak lainnya."
Bibir Carissa tertarik ke kedua sudut, dia mendekap erat tubuh sang ibu meluapkan perasaan yang bersarang di dalam hati. "Terima kasih ya Ma... selalu memberikan kasih sayang tanpa jeda, tanpa batas. Carissa sangat... beruntung memiliki ibu seperti Mama. Bagi Rissa, harta yang paling berharga dari apa pun di dunia ini adalah memiliki orang tua yang begitu penyayang."
Heleina membalas dekapan Carissa tidak kalah erat. "Sama-sama sayang... dan kamu adalah satu-satunya harta yang Mama dan papa miliki. Harta tak ternilai, sebagai penyejuk mata dan hati kami."
Di tengah kehangatan hubungan antara Carissa dan Heleina, ada seorang laki-laki yang sedari tadi menguping pembicaraan. Dia merasa iri hati melihat kedekatan ibu dan anak tersebut. Timbul di dalam hatinya rasa ingin menghancurkan hubungan baik tersebut. Menghapus senyuman kebahagiaan dengan tangis kesedihan.
***
Di sebuah kamar kosong, sepasang manusia tengah melakukan aktifitas di luar batas norma. Keduanya tidak mempedulikan tentang status mereka yang sama-sama terikat oleh tali suci pernikahan. "Oh... baby," racau seorang wanita yang duduk di atas tubuh lelakinya. "Apa kamu yakin istrimu itu tidak akan pulang lebih awal?" tanya perempuan tersebut menggoyang-goyangkan pinggulnya. "Ayolah Agatha... jangan membahas nenek peot itu. Membuat mood-ku hancur seketika!" Gadis bernama Agatha mempercepat gerakan tubuhnya. Suara desahan dan erangan bersahutan dari bibir para pencari kenikmatan. Semakin lama semakin cepat, tubuh Agatha menggelinjang dengan kepala tertarik ke belakang. "Faster baby..." sahut si lelaki. Dia turut menggerakkan pinggul, menyambut puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi, suara pekikan Agatha menghancurkan khayalannya.
Carlos mengendarai mobil sport ke arah hutan belantara, tidak tahu apa yang terpikir di otaknya saat ini. Namun, yang pasti bukanlah sesuatu yang baik. Dia menatap ke arah Beatrize dari balik kaca spion, senyuman licik tersungging. Rencana jahat berkelibat di pikiran, membangkitkan kenangan lama dua puluh tahun yang silam. Kenangan, di mana semuanya berubah drastis. Hal indah menjadi nestapa. Kebahagiaan luruh, kepedihan menghampiri. Anak kecil penuh penyayang, kini bak seekor monster tak berhati, tak berperasaan. Menyimpan dendam dan berniat membalaskannya, sesegera mungkin. Malam semakin larut dan kendaraan yang membawa Beatrize mulai meninggalkan kota dan kini melewati jalanan sepi. Di mana bukit dan deretan pohon mengelilingi jalanan tersebut. Sudah satu jam Carlos berkendara, tetapi dia belum juga berhenti. Tidak tahu ke mana dia akan membawa wanita tersebut. Wanita yang melekat di ingatannya sebagai perempuan cantik, tetapi b
Di sebuah bangunan dengan cat berwarna-warni, seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut, tengah mengajari malaikat-malaikat kecil bermacam-macam warna. Kelembutan dan keteduhan terpancar dari paras cantiknya. Senyuman indah terlukis di antara bibir nan tipis, bak dewi cinta yang menebarkan pesonanya. "Siapa yang tahu ini warna apa?" tanya Carissa mengacungkan sebuah buku berwarna biru. "Itu warna blue, Miss," jawab salah seorang anak laki-laki. "Oke, good!" Carissa mengacungkan ibu jari ke arah murid yang bisa menjawab pertanyaannya tersebut. "Coba tebak, kalau mainan itu warna apa?" tunjuk Carissa pada block berwarna hijau. "Warna green, Miss," jawab muridnya serentak. Carissa mengacungkan kembali ibu jari lantas merentangkan tangan. Semua malaikat kecil beringsut dari atas kursi dan berlarian ke dalam dekapan hangat seorang Carissa. "Ana
"Masuk!!" Carlos mendorong Carissa, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam mobil. Dia membanting pintu lantas berjalan berputar lanjut mendaratkan tubuhnya di belakang kemudi. "Aku paling tidak suka dibantah oleh perempuan rendahan sepertimu! Terlebih kamu hanyalah seorang anak pembantu. Sama posisinya dengan pengesat kaki, hanya untuk aku injak-injak!!" Carissa menyalang murka, api kebencian berkobar di kedua netra birunya. "Tajam sekali ucapanmu wahai Tuan muda. Apa kau tidak pernah dididik dan diajari sopan santun hingga mulutmu itu lebih nista dari kotoran anjing?" Dada Carlos bergemuruh, kilatan kebencian tak luput dari matanya. Dia menyalakan mesin mobil, menarik tuas gigi kemudian menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatan kendaraan semakin meninggi, mobil bak mengapung di atas aspal, membelah jalanan melewati kendaraan-kendaraan lainnya. Menyelip, menyisip dan menerobos lampu merah yang tengah menyala. Cari
Bagaimana rasanya bila tubuh dan kehormatan yang dijaga selama ini, hanya dianggap sampah oleh pria yang tak pernah mengenal arti cinta. Pria yang semasa hidupnya bergelimangan harta, tetapi ada ruang di dalam hati yang teramat kosong. Rasa hampa pun sering menelusup ke dalam nurani. Namun, ia tangkis dengan dendam jua kebencian. Dendam pada sang ibu, dia balaskan kepada perempuan mana pun yang ia mau.Setelah berkendara selama lima belas menit, Carlos memakirkan kendaraannya di depan pelataran. Dia keluar begitu saja meninggalkan Carissa yang masih shock dengan kejadian beberapa saat lalu. Pria egois itu melenggang masuk ke dalam hunian bak istana seraya merapikan jas mewahnya. Wajah tanpa dosa, dia suguhkan kepada semua orang. Sedangkan Carissa, harus siap dengan orang-orang yang akan memberondong dengan ribuan pertanyaan.Gadis itu perlahan bergerak. Dia berjalan lemah dengan tangan menyilang menutupi tubuh atas yang terbuka. Dia berharap
"Sepertinya mobil hitam itu membuntutiku sedari tadi!" Jacob bermanuver dengan membelokkan mobilnya mencari jalan lain seraya menancap gas, menambah laju kecepatan. "Benar berarti, ada yang sedang mengikutiku. Tapi siapa mereka dan ada maksud apa?" gumam Jacob bingung. Berkali-kali dia memperhatikan kendaraan di belakangnya dari balik kaca spion. Sementara dari dalam mobil tersebut, tiga pria yang menjadi orang suruhan Carlos tengah berbagi tugas. Di mana salah satu dari mereka akan meluncurkan sebuah tembakan ke arah ban mobil Jacob, sementara yang lainnya bertugas menyetir mobil dan memperhatikan kondisi sekeliling. "Bagaimana, apakah aman untuk mengeksekusi sekarang?" "Nanti saja, kita tunggu mobil itu masuk highway. Baru kita lakukan perintah dari tuan Carlos," sahut salah seorang dari mereka. "Kalau kita mencelakai orang itu di sini, bukan hanya target yang akan mati. Namun, orang-orang yang berada di sekitarnya bisa terkena imbas." Setelah setengah jam terjadi aksi kejar-kejar
Saat ini, batin Carissa benar-benar dalam keadaan terguncang. Di satu sisi, dia dikhawatirkan oleh kondisi Heleina yang tiba-tiba melemah. Satu sisi lain, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa nyawa sang ayah sudah berada di ujung tanduk."Ya Tuhan... aku harus mencari ke mana uang sebanyak itu? Bahkan untuk membayar uang mukanya saja, tidak cukup sekedar menjual perhiasan mama."Carissa berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Tangan yang bergetar, sesekali menyapu air mata yang terus saja mengalir tiada henti. Ketakutan menelesup ke dalam sanubari, memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang sama-sama terbaring lemah tidak sadarkan diri."Apa aku meminta tolong tuan Charles saja ya? Dia pasti bersedia membantuku." Carissa mencoba menghubungi nomor majikan orang tuanya itu. Namun, sia-sia karena Charles tidak mengangkat panggilannya. "Ya Tuhan... bahkan tuan Charles pun disaat dibutuhkan seperti ini, sulit sekali untuk dihubungi."Carissa mengerutkan dahi lantaran kepanikan ya
Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Ketika lelaki yang menjadi cinta pertama pergi untuk selama-lamanya, di sanalah titik terendah yang mampu meluluh lantahkan hidup dan hati seorang wanita. Dunia pun seakan berhenti berputar untuk sesaat. Karena kebahagiaan, bak direnggut secara paksa. Tiada lagi tempat yang bisa dijadikan sandaran. Selain bertumpu pada kaki sendiri dengan kedua pundak yang berusaha tegar."Maafkan saya, Carissa. Tadi saya sedang ada pertemuan. Jadi, tidak sempat mengangkat teleponmu," sesal Charles memeluk tubuh gadis yang tengah berkabung.Carissa menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa Tuan... lagi pula ini semua sudah menjadi suratan takdir. Kalau papa harus meninggalkan dunia, secepat ini."Charles mengusap-usap punggung Carissa. "Tabah ya, Nak. Jacob orang baik, dia pasti sudah tenang di alam sana ... dan kamu harus bangkit, demi mamamu."Carissa melepas dekapan dan menatap sendu ke arah Charles. "Terima kasih, Tuan. Kata-kata Tuan telah menyadar