Bagaimana rasanya bila tubuh dan kehormatan yang dijaga selama ini, hanya dianggap sampah oleh pria yang tak pernah mengenal arti cinta. Pria yang semasa hidupnya bergelimangan harta, tetapi ada ruang di dalam hati yang teramat kosong. Rasa hampa pun sering menelusup ke dalam nurani. Namun, ia tangkis dengan dendam jua kebencian. Dendam pada sang ibu, dia balaskan kepada perempuan mana pun yang ia mau.
Setelah berkendara selama lima belas menit, Carlos memakirkan kendaraannya di depan pelataran. Dia keluar begitu saja meninggalkan Carissa yang masih shock dengan kejadian beberapa saat lalu. Pria egois itu melenggang masuk ke dalam hunian bak istana seraya merapikan jas mewahnya. Wajah tanpa dosa, dia suguhkan kepada semua orang. Sedangkan Carissa, harus siap dengan orang-orang yang akan memberondong dengan ribuan pertanyaan.
Gadis itu perlahan bergerak. Dia berjalan lemah dengan tangan menyilang menutupi tubuh atas yang terbuka. Dia berharap tak seorang pun yang melihat dia dalam kondisi menyedihkan. Sayangnya, sang ibunda lebih dahulu mendapati Carissa dan tentu saja wanita paruh baya itu terkejut bukan kepalang. Putri yang dia sayangi segenap hati, pulang ke rumah dalam keadaan yang memilukan.
"Ka-kamu kenapa, Nak?" Heleina meraba lengan sang anak, mencari wajahnya yang tersembuyi.
Carissa terisak lantas mendekap erat tubuh sang ibu. "Bawa Carissa ke kamar, Ma. Carissa lelah...."
Heleina sesegera mungkin membawa anak satu-satunya itu ke arah kamar asisten rumah tangga. Sebelum Charles melihat kondisi Carissa yang nampak menyedihkan. Sebab pria tua itu begitu menyayangi Carissa seperti putrinya sendiri. Akan bisa dibayangkan bagaimana khawatirnya Charles dengan keadaan gadis itu.
Semua maid saling berbisik dan melempar prasangka karena kepulangan Carissa bersamaan dengan tuan muda mereka, hanya berjarak sepersekian menit.
***
Heleina membaringkan Carissa di atas ranjang lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh ringkihnya. Tangan halus membelai lembut kepala sang anak seraya bersenandung merdu. Dia tidak ingin menekan batin Carissa untuk menceritakan perihal yang terjadi. Sebagai seorang ibu, Heleina akan dengan sabar menunggu buah hatinya untuk mengutarakan kemelut yang tengah melanda.
Sementara Carissa, dia menatap kosong langit-langit kamar. Meski Carlos tidak sampai menodainya, tetapi ucapan-ucapan penghinaan dan merendahkan terngiang-ngiang di kedua telinga. Tetesan kesedihan pun meleleh dari salah satu sudut mata. "Ma... memangnya orang miskin seperti kita ini hanya untuk dihina dan diinjak-injak orang kaya, ya?"
Heleina menggelengkan kepala. "Kenapa bicara seperti itu, Nak? Derajat manusia itu sama di mata Tuhan."
"Tapi di mata manusia berbeda 'kan, Ma?" Carissa menoleh sendu ke arah sang ibu. "Orang miskin macam kita, hanya dianggap seonggok kotoran, 'kan?" lirih Carissa. Dia melipat bibirnya menahan deraian yang membasahi manik mata.
"Itu karena manusianya sendiri yang lupa daratan, sayang. Mereka menganggap harta kekayaan bisa membeli semua hal, termasuk kehormatan. Namun, tidak dengan kebahagiaan." Heleina memainkan anak rambut Carissa, dengan senyum kecut tersungging. Dia bisa merasakan kepahitan juga kepedihan yang tengah dialami putri tercintanya itu.
"Ada apa dengan Carissa? Aku dengar para maid sedang membicarakan anak kita!" Jacob tiba-tiba datang karena begitu mengkhawatirkan putrinya. Heleina mengerjapkan mata, memberi isyarat kepada suaminya itu. Jacob mengangguk, tanda dia mengerti dari maksud sang istri.
"Papa hanya mencemaskan putri kita. Karena cuman dialah satu-satunya harta berharga yang kita miliki." Jacob menatap pilu ke arah Carissa lantaran mendengar nada-nada sumbang mengenai anak perempuannya lewat mulut-mulut berbisa.
Carissa mengulum senyum. "Aku baik-baik saja kok Pa... Papa tidak udah cemas. Anak Papa ini 'kan, kuat. Tidak ada satu pun yang bisa merongrong seorang Carissa!"
Jacob mendengkus," Papa tidak tahu apa masalah yang menimpamu. Tapi Papa minta dengan sangat, kamu jangan mencari gara-gara dengan tuan muda Carlos. Papa tahu persis bagaimana anak itu, Nak...."
Carissa menggenggam jemari sang ayah. "Tenang saja Pa... Carissa sebisa mungkin akan menghindar dari tuan muda Carlos. Carissa tidak mau, Papa mendapatkan kesulitan karena Carissa."
Jacob mengangguk-angguk dan menepuk punggung tangan putrinya. "Papa sayang sekali sama kamu, Nak. Papa hanya tidak mau hal buruk menimpa kamu."
"Iya Pa... Carissa juga sayang sama Papa," balas Carissa berusaha tersenyum semanis mungkin.
"Baiklah... Papa harus pergi. Sudah waktunya Papa untuk menjemput tuan Charles ke kantornya. Kamu baik-baik dengan Mamamu di rumah. Kalau tidak ada hal yang penting tidak usah keluar dari kamarmu." Jacob beringsut dari samping anak perempuannya lalu berjalan menuju pintu kamar yang tertutup rapat. Dia menarik kenop dan menoleh sesaat ke arah Carissa.
"Hati-hati ya Pa..." ujar Carissa pada ayahnya. Jacob mengangguk dan berlalu dari hadapan putri kesayangannya. Sementara, seorang pria yang sedari tadi menguping obrolan satu keluarga itu, lekas-lekas bersembunyi seraya tersenyum licik.
"Waw... satu keluarga yang sangat kompak dan bahagia. Bagaimana jadinya kalau aku renggut kebahagiaan itu seketika? Akan sangat menyenangkan sepertinya...."
Pria tersebut yang tak lain adalah Carlos, dia menghubungi seseorang untuk melancarkan rencana pertamanya. Dia tersenyum miring karena dalam sekejap mata, akan ada kabar buruk yang menimpa sopir kesayangan sang ayahanda tercinta. Dia menyuruh anak buahnya untuk mencelakai pria paruh baya itu.
Laki-laki yang hatinya telah mati, benar-benar ingin menghapus senyuman dari wajah Carissa. Perempuan kedua yang dia benci untuk saat ini, tanpa alasan.
***
"Sepertinya mobil hitam itu membuntutiku sedari tadi!" Jacob bermanuver dengan membelokkan mobilnya mencari jalan lain seraya menancap gas, menambah laju kecepatan. "Benar berarti, ada yang sedang mengikutiku. Tapi siapa mereka dan ada maksud apa?" gumam Jacob bingung. Berkali-kali dia memperhatikan kendaraan di belakangnya dari balik kaca spion. Sementara dari dalam mobil tersebut, tiga pria yang menjadi orang suruhan Carlos tengah berbagi tugas. Di mana salah satu dari mereka akan meluncurkan sebuah tembakan ke arah ban mobil Jacob, sementara yang lainnya bertugas menyetir mobil dan memperhatikan kondisi sekeliling. "Bagaimana, apakah aman untuk mengeksekusi sekarang?" "Nanti saja, kita tunggu mobil itu masuk highway. Baru kita lakukan perintah dari tuan Carlos," sahut salah seorang dari mereka. "Kalau kita mencelakai orang itu di sini, bukan hanya target yang akan mati. Namun, orang-orang yang berada di sekitarnya bisa terkena imbas." Setelah setengah jam terjadi aksi kejar-kejar
Saat ini, batin Carissa benar-benar dalam keadaan terguncang. Di satu sisi, dia dikhawatirkan oleh kondisi Heleina yang tiba-tiba melemah. Satu sisi lain, dia dihadapkan dengan kenyataan bahwa nyawa sang ayah sudah berada di ujung tanduk."Ya Tuhan... aku harus mencari ke mana uang sebanyak itu? Bahkan untuk membayar uang mukanya saja, tidak cukup sekedar menjual perhiasan mama."Carissa berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang ICU. Tangan yang bergetar, sesekali menyapu air mata yang terus saja mengalir tiada henti. Ketakutan menelesup ke dalam sanubari, memikirkan keadaan kedua orang tuanya yang sama-sama terbaring lemah tidak sadarkan diri."Apa aku meminta tolong tuan Charles saja ya? Dia pasti bersedia membantuku." Carissa mencoba menghubungi nomor majikan orang tuanya itu. Namun, sia-sia karena Charles tidak mengangkat panggilannya. "Ya Tuhan... bahkan tuan Charles pun disaat dibutuhkan seperti ini, sulit sekali untuk dihubungi."Carissa mengerutkan dahi lantaran kepanikan ya
Ayah adalah cinta pertama bagi setiap anak perempuan. Ketika lelaki yang menjadi cinta pertama pergi untuk selama-lamanya, di sanalah titik terendah yang mampu meluluh lantahkan hidup dan hati seorang wanita. Dunia pun seakan berhenti berputar untuk sesaat. Karena kebahagiaan, bak direnggut secara paksa. Tiada lagi tempat yang bisa dijadikan sandaran. Selain bertumpu pada kaki sendiri dengan kedua pundak yang berusaha tegar."Maafkan saya, Carissa. Tadi saya sedang ada pertemuan. Jadi, tidak sempat mengangkat teleponmu," sesal Charles memeluk tubuh gadis yang tengah berkabung.Carissa menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa Tuan... lagi pula ini semua sudah menjadi suratan takdir. Kalau papa harus meninggalkan dunia, secepat ini."Charles mengusap-usap punggung Carissa. "Tabah ya, Nak. Jacob orang baik, dia pasti sudah tenang di alam sana ... dan kamu harus bangkit, demi mamamu."Carissa melepas dekapan dan menatap sendu ke arah Charles. "Terima kasih, Tuan. Kata-kata Tuan telah menyadar
"Long time no see, Beatrize. How are you?" "Seperti yang kamu lihat, Dav!" Beatrize duduk dengan anggun di atas sofa lalu melepas kaca mata hitam miliknya. Pria dengan label manajer tersebut menghampiri Beatrize kemudian duduk di samping wanita tersebut. "I miss you, darl!" Beatrize berdecak. "Aku sedang tidak mood!" "Kamu butuh sesuatu? Like sampanye, wine, or—" "Aku sedang tidak ingin minum." "Lalu?" "Dav, aku ingin melihat rekaman cctv dua minggu yang lalu. Saat itu aku tengah mabuk. Aku penasaran siapa yang telah membawaku dari klub dan berani-beraninya mengerjaiku." "Aku sangat tahu siapa!" "Siapa?" "Infoku tidak gratis Beatrize!" Beatrize mendengkus. "Kamu licik!" David tergelak. "Aku memang licik. Karena aku seekor rubah." Beatrize memutar bola matanya malas. Dia mengeluarkan satu batang rokok dari dalam tas. David sigap menyalakan alat pemantik. "Thankyou." "Jadi, bagaimana? Kamu menginginkan informasi itu atau tidak?" David menyandarkan punggungnya dengan kedu
Dua puluh tahun yang silamSiang itu menjadi siang paling kelabu bagi seorang anak laki-laki bernama Carlos. Di mana wanita yang telah melahirkan dia ke dunia, dengan tega mencampakkan sang ayah beserta dirinya, demi pria muda yang memiliki banyak kekayaan. Tangisan jua rengekan, seakan angin lalu yang menggelitik indera pendengaran. Wanita cantik itu pergi, meninggalkan masa lalu dengan menyisakan luka mendalam pada hati sang anak."Mommy... kumohon jangan pergi!!" pinta Carlos kecil sembari mencengkeram kaki sang ibu. Namun, wanita yang dipanggil ibu olehnya terus saja berjalan dan menghentak-hentakkan kaki. Tubuh Carlos hilang keseimbangan, dia tersungkur dengan pelipis membentur aspal panas."Jangan membuntutiku lagi atau aku tidak akan segan-segan untuk menyakitimu, Carlos! Lupakan bahwa aku ibumu, anggap saja kalau aku telah tiada. Karena aku pun telah menganggapmu dan Charles, mati!" pekik Beatri
Di sebuah kamar kosong, sepasang manusia tengah melakukan aktifitas di luar batas norma. Keduanya tidak mempedulikan tentang status mereka yang sama-sama terikat oleh tali suci pernikahan. "Oh... baby," racau seorang wanita yang duduk di atas tubuh lelakinya. "Apa kamu yakin istrimu itu tidak akan pulang lebih awal?" tanya perempuan tersebut menggoyang-goyangkan pinggulnya. "Ayolah Agatha... jangan membahas nenek peot itu. Membuat mood-ku hancur seketika!" Gadis bernama Agatha mempercepat gerakan tubuhnya. Suara desahan dan erangan bersahutan dari bibir para pencari kenikmatan. Semakin lama semakin cepat, tubuh Agatha menggelinjang dengan kepala tertarik ke belakang. "Faster baby..." sahut si lelaki. Dia turut menggerakkan pinggul, menyambut puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi, suara pekikan Agatha menghancurkan khayalannya.
Carlos mengendarai mobil sport ke arah hutan belantara, tidak tahu apa yang terpikir di otaknya saat ini. Namun, yang pasti bukanlah sesuatu yang baik. Dia menatap ke arah Beatrize dari balik kaca spion, senyuman licik tersungging. Rencana jahat berkelibat di pikiran, membangkitkan kenangan lama dua puluh tahun yang silam. Kenangan, di mana semuanya berubah drastis. Hal indah menjadi nestapa. Kebahagiaan luruh, kepedihan menghampiri. Anak kecil penuh penyayang, kini bak seekor monster tak berhati, tak berperasaan. Menyimpan dendam dan berniat membalaskannya, sesegera mungkin. Malam semakin larut dan kendaraan yang membawa Beatrize mulai meninggalkan kota dan kini melewati jalanan sepi. Di mana bukit dan deretan pohon mengelilingi jalanan tersebut. Sudah satu jam Carlos berkendara, tetapi dia belum juga berhenti. Tidak tahu ke mana dia akan membawa wanita tersebut. Wanita yang melekat di ingatannya sebagai perempuan cantik, tetapi b
Di sebuah bangunan dengan cat berwarna-warni, seorang gadis yang mengenakan dress putih selutut, tengah mengajari malaikat-malaikat kecil bermacam-macam warna. Kelembutan dan keteduhan terpancar dari paras cantiknya. Senyuman indah terlukis di antara bibir nan tipis, bak dewi cinta yang menebarkan pesonanya. "Siapa yang tahu ini warna apa?" tanya Carissa mengacungkan sebuah buku berwarna biru. "Itu warna blue, Miss," jawab salah seorang anak laki-laki. "Oke, good!" Carissa mengacungkan ibu jari ke arah murid yang bisa menjawab pertanyaannya tersebut. "Coba tebak, kalau mainan itu warna apa?" tunjuk Carissa pada block berwarna hijau. "Warna green, Miss," jawab muridnya serentak. Carissa mengacungkan kembali ibu jari lantas merentangkan tangan. Semua malaikat kecil beringsut dari atas kursi dan berlarian ke dalam dekapan hangat seorang Carissa. "Ana