MASIH ada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Itu membuat Nayara tetap harus ke kantor. Meski jiwanya terasa kosong dan menginjakkan kakinya di suatu tempat yang sangat bernuasa Manggala membuatnya semakin merana, dia tetap harus melewati satu hari ini di sini.
Berusaha keras untuk tetap berkonsntrasi, menghindari melirik CCTV dan ponsel, dan apa pun yang bisa menjadi alasan Manggala berulah lagi.
“Nay, ke sini sebentar.” SPV-nya memanggil dari pintu ruang direktur. Meski malas, dia tetap menyudahi usaha berkonsentrasinya dan langsung bergerak.
“Kamu nggak mau balik part time aja, Nay?” Tanpa basa-basi SPV-nya menawarkan solusi ketika dia baru duduk di hadapan Wirya.
“Bukannya nggak mau, Mbak. Tapi saya belum tau sikon di sana gimana. Saya masih harus adaptasi. Saya juga nggak tau ritme kuliah gimana. Apa padat, banyak tugas. Apa masih ada waktu luang. Dulu juga saya part time kan pas semester akhir. Ngabisin SKS, jadwal lebih
Jangan, Naaayyy.... Yah, bener-bener deh nih pasangan. Bikin deg-deg-an aja. Kira-kira apa Nayara akan lepas beneran ya? Stay tune & happy reading. Ditunggu jejaknya ya. Love you all. *ketjup basyah* [Senin, 1 November 2021]
“APA aku harus serahkan semuanya biar kamu yakin?”Manggala tidak tahu maksud kalimat itu. Tapi ketika Nayara membuka satu per satu kancing hemnya, dia tersentak. Ketika Nayara melepas hemnya, dia memundurkan punggungnya sampai menekan sandaran sofa.Sepanjang itu, Manggala mengikuti gerakan tangan gadisnya. Nayara membuka deretan kancing hemnya sangat perlahan. Matanya kadang menatap ke mata Manggala, kadang juga dia melihat ke kancing hem yang bergerak terbuka. Dia bernapas perlahan, sangat tenang seakan ini adalah hal yang dia tunggu.Semua kancing sudah terlepas dari luhangnya.Nayara melepas sendiri hem dari tubuhnya lalu da menjatuhkan saja hem itu di atas pangkuan Manggala. Mungkin dia gila, tapi dia sangat sadar dengan keputusannya. Jika ini bisa meyakinkan Manggala maka dia akan berikan semuanya. Saat itu dia yakin dia tidak akan menyesali keputusan itu.Sementara Nayara meneguhkan dirinya, Manggala terus berpikir keras, ada ap
MANGGALA menenuhi janjinya. Dia terus berusaha menggagalkan kepergian Nayara. Mengirimkan foto-foto kebersamaan mereka, mengulang cerita mereka dan kisah lalunya, menguntit ke mana Nayara pergi. Meneror Nayara nyaris sepanjang hari dengan telepon, vcall, pesan teks, dan pesan suara. Kali ini dia tidak mau menyerah. Nayara akan membuat dia terus berusaha. Kali ini maunya yang akan menancapkan bendera kemenangan.Tapi sebuah berita menyengatnya. Membuatnya mendadak kacau dan meninggalkan semua urusannya.Nayara sudah menuju bandara. Lebih cepat satu minggu dari jadwal yang dia berikan. Membuat Manggala memacu mobil dengan perasaan kacau. Beberapa kali dia memukul kemudi dan menggeram marah.Apa lagi ini, Nayara?Bukan satu minggunya, tapi Nayara kembali tidak memberi kabar. Itu yang membuatnya kacau. Marah? Manggala kesulitan merasakan emosi itu. Dia berusaha sangat keras tetap bisa fokus dengan kemudi dan jalan.Ponselnya berdering tapi den
Sesaat Setelah Nayara PergiMANGGALA berlari begitu cepat. Menerobos semua yang ada. Bergegas menuju mobil, dia membanting pintu mobil menutup keras lalu membeku di sana. Napasnya lagi-lagi memburu bukan sisa berlari. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengalir keluar dari tubuhnya.Sampai berbuku putih tangannya mencengkeram kemudi. Masih terengah, dia tidak bisa menghentikan emosinya. Bagaimana dia bisa menghentikan jika mengeluarkannya saja dia gagal. Dia ingin menangis, jika Nayara ada di sini, dia mungkin benar-benar akan menangis. Meraung mengiba menahannya tetap di sini. Tapi sekarang tidak ada lagi Nayara.Tidak ada lagi orang yang tekun mendengar ceritanya. Tidak ada lagi orang yang mengurus dan menemaninya ketika dia terpuruk. Tidak ada lagi tangan yang membelainya. Tidak ada lagi pangkuan tempatnya tidur bermanja. Tidak ada lagi suara yang meninabobokan.Tidak ada lagi Nayara. Nayaranya pergi.Dia b
MESKI Manggala semakin yakin bahwa kepergian Nayara bukan karena marah, benci, atau melarikan diri, tetap saja dia tidak bisa menekan rasa takut kehilangannya. Kepalanya tak berhenti bekerja, berpikir, berusaha mencari tahu alasan Nayara yang sesungguhnya. Ini semua demi Nayara. Agar dia tenang menunggunya pulang. Untuk Nayara atau untuk dirinya sendiri?Semakin dia bertanya semakin banyak jawabannya dia peroleh, tapi semakin banyak juga pertanyaan lain datang.Lelah hati, dia menghabiskan waktu dengan bekerja. Tapi tetap saja, ada waktu di mana pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya.***Dua minggu berlalu sejak Nayara pergi. Semua di Sastra MediaNesia yang melihat Manggala tahu, ada yang mengacaukan hidup si founder. Tapi Manggala tetap setertutup biasanya. Hanya fisiknya yang berubah.“Lu sakit, M?” tanya Wirya saat mereka meeting. “Lu kurus amat sekarang.”Manggala memanggil m
SUARA musik memenuhi ruang dengan volume maksimal yang bahkan membuat jantung pun ikut bergetar. Tubuh-tubuh liat menggeliat liar di lantai, saling menempel, tertawa terbahak. Setiap sudut dipenuhi manusia. Cahaya temaram dan asap membuat kesuraman yang hingar bingar. Di sebuah sudut, duduk santai seorang lelaki sambil memandang sekeliling. Sampai matanya memangkap sosok yang sudah lama tidak dia lihat di tempat seperti ini. Dia menelengkan wajahnya dengn alis mata naik sebelah. Lampu memang temaram, tapi matanya tidak mungkin salah. Setelah menghabiskan isi gelas dalam sekali tenggak, dia berjalan lurus ke arah sosok itu.“Sudah lama gue nggak ngelihat lu di sini.” Dia mengangkat sebelah tangan, memesan minuman lagi. “Adek gue mana?”Mendengar kalimat kedua, Manggala langsung menoleh.“Lu beneran nggak tau adek lu di mana?” Manggala kembali menenggak isi gelas. Pesanan Jaya datang.“Nggak. Dia sudah lama nggak ne
YANG terjadi di unit kecilnya setelah dia pulang adalah Manggala ambruk. Tapi dia bersyukur dia bisa sampai di sini dengan selamat meski harus menyetir seperti orang mabuk. Dan di sinilah dia sekarang. di sofa kesayangan Nayara. Duduk setengah tidur dengan tubuh berantakan.Satu sisi dia merutuki kebodohannya yang tetap pergi di saat tubuhnya sudah payah, tapi satu sisi dia tidak menyesal sama sekali. Dia bisa mendengar langsung suara Nayara. Terutama ketika Nayara berkata to much love will kill you sambil membayangkan Nayara memakai salah satu kemejanya. Kalimat pendek yang membuatnya melayang tinggi tanpa alhokol. Dan kemeja-kemeja itu… Nayara sungguh-sungguh memakainya.Tapi di sinilah dia sekarang. Tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama lagi, berontak meminta istirahat dengan panas tinggi. Makan bisa dia paksakan menelan apa pun isi wadah di depannya, Tapi tidur, itu selalu menjadi perjuangan yang berat. Tanpa demam pun tidurnya tak pernah
DI sudut bumi yang jauh dari Manggala yang terpuruk menyerah, Nayara sedang berusaha menabahkan hati. Berjauhan dari Manggala menyiksanya. Tapi membaca bab-bab di Papyrus di akun bernama Leo Zeus hatinya membuncah meski semakin disesaki rindu. Manggalanya baik-baik saja.Dia sehat, urusan kantornya lancar, dan dia merindukanku.Nayara tersenyum membaca bab berjudul Selalu Lapar.Ah, Manggala sudah bisa rutin makan. Terkadang memang orang harus diancam dulu baru mau bergerak. Mungkin Manggala seperti itu.Hm. Bukan. Bukan mungkin. Tapi memang benar begitu. Selama ini Manggala bergerak atas ancaman keluarganya. Mengingat itu, hati Nayara tercubit. Sakit. Dan itu makin membuatnya merindukan Manggala.Ah, Manggala akan baik-baik saja. Dia yakin aku akan pulang. “Hai…” Sebuah suara bariton menyapa lalu wujudnya langsung hadir di hadapannya. “
AWAN di bawahnya terlihat begitu lembut dan nyaman untuk ditiduri. Langit di atasnya cerah saat matahari bersinar tanpa penghalang. Deru mesin terdengar hanya berupa dengung yang tidak mengganggu lamunannya. Nyaris sepanjang malam dia terjaga melihat ke luar jendela meski pemandangan yang ada hanya hitam. Saat matahari menyapa, langit tetap menemani kesendiriannya.Lamanunnya terganggu pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Tapi masih ada waktu menikmati langit dari ketinggian. Setelah memasang safety belt, dia kembali menatap ke luar dengan tangan menopang di jendela.Pesawat mendarat mulus sempurna.Ketika lampu safety belt mati, semua penumpang bergegas bergerak. Kecuali Manggala. Dia masih tetap duduk di tempatnya, meski matanya kini melihat kesibukan penumpang lain. Penumpang berdiri membuka head rack lalu mengosongkan isinya kemudian semua berjalan menuju pintu. Setelah cukup sepi baru Manggala berdiri, membu
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,