AWAN di bawahnya terlihat begitu lembut dan nyaman untuk ditiduri. Langit di atasnya cerah saat matahari bersinar tanpa penghalang. Deru mesin terdengar hanya berupa dengung yang tidak mengganggu lamunannya. Nyaris sepanjang malam dia terjaga melihat ke luar jendela meski pemandangan yang ada hanya hitam. Saat matahari menyapa, langit tetap menemani kesendiriannya.
Lamanunnya terganggu pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat akan mendarat. Tapi masih ada waktu menikmati langit dari ketinggian. Setelah memasang safety belt, dia kembali menatap ke luar dengan tangan menopang di jendela.
Pesawat mendarat mulus sempurna.
Ketika lampu safety belt mati, semua penumpang bergegas bergerak. Kecuali Manggala. Dia masih tetap duduk di tempatnya, meski matanya kini melihat kesibukan penumpang lain. Penumpang berdiri membuka head rack lalu mengosongkan isinya kemudian semua berjalan menuju pintu. Setelah cukup sepi baru Manggala berdiri, membu
Nayara! Ngapain itu sama Mark? Merintih, sakit, berkeringat. Ingat Manggala, Nay. Dia nungguin kamu. Sampai nyamperin gitu loh.
Beberapa bulan kemudian, malam di musim semi. NAYARA berjalan perlahan di sepanjang trotoar. Menikmati saat-saat terakhirnya di Melbourne. Dua hari lagi dia pulang setelah semua urusan perkulihan selesai termasuk wisuda. Wisuda yang sepi. Dulu dia melewati wisuda sarjananya demi segera pergi. Kali ini, tak ada yang mengejarnya. Dia sisa pulang.Pulang.Dia memang sangat menunggu saat itu. Tapi ada sudut yang terasa menahannya di sini. Sebuah pencarian yang belum tuntas. Tapi bagaimana pencarian itu bisa selesai, jika yang dia cari justru tertinggal di Indonesia. Yang dia cari justru yang membuatnya merindu ingin segera pulang.Sepanjang meniti jalan, dia berpikir, apakah kepergiannya hanyalah sebuah kesia-siaan saja? Ribuan kilo jarak memisahkan, ratusan hari terlewati, tapi dia merasa gagal. Gagal yang mana? Gagal melupakan Manggala? Dia tidak pernah ingin melupakan Manggala apalagi ketika dia tahu bahwa dia gagal menata b
Saat ini, dua tahun setelah kepergian Nayara, dua hari setelah berpamit pada kota… MASIH menggunakan nomor berkode +61, masih di area bandara, Nayara hanya memberi kabar pada Gia bahwa dia sudah meninggalkan Soetta. Gia tak bertanya, sudah tahu ke mana tujuan sahabatnya itu. Nayara kembali mematikan ponsel. Merasa tak ada lagi yang perlu dia hubungi sebelum dia menggantinya dengan nomor lokal. Sepanjang jalan tatapannya keluar mengikuti pembatas jalan yang berlari berkejaran dengan tumpangannya. Hatinya berdetak dan berderak. Sebentar lagi… Jantungnya semakin berdetak ketika bangunan yang menjadi tujuannya sudah terlihat. *** Tidak ada yang berubah dengan pagar dan isi di dalamnya. Lepas meletakkan bawaannya di teras, dia berjalan ke arah kebun. Matahari sudah semakin di barat bumi. Dia tahu di mana menemukan yang dia cari. Dia memang melewati balai-balai, t
EMBUSAN napas lembut terasa di wajah Manggala. Membuatnya berusaha membuka kelopak mata. Dia langsung tahu tidurnya nyenyak. Dan ketika dia berhasil membuka mata, wajah Nayaralah yang pertama dia lihat. Membuatnya melayang. Akhirnya dia tahu apa yang membuat tidurnya begitu nyenyak.Tuhan...Hanya ini yang dia minta sepanjang kepergian Nayara. Hanya ini. Bersama Nayara. Bahkan untuk bisa melihat Nayara pun dia sampai mau terbang sejauh itu, orang gila yang sebenarnya. Ketika sekarang Nayara begitu dekat, ini benar seperti mimpi. Dua tahun menanti, semua terbayar lunas sesuai janji.“Kenapa bangun?” bisik Nayara tanpa mengubah posisinya, berbaring menyamping bertelekan lengannya. “Aku masih mau nonton kamu tidur.” Tangannya bergerak merapikan anak rambut di pelipis Manggala yang ketika sudah rapi tangannya tetap tak berhenti bergerak, membelai di sana.“Aku cuma mau begini, Nayara. Bisa tidur nyenyak walau cuma sebentar lalu p
SEMENTARA Nayara tidur, Manggala terjaga seutuhnya. Sambil terus meninabobokan Nayara dia terus berpikir di tengah kebingungannya tentang keanehan Nayara. Gadisnya lebih kacau dari sebelum pergi.Aku harus tahu kenapa dia begini. Tapi apa waktunya sudah tepat? Dia baru pulang dan kami baru bertemu. Semalam dia menolak lagi lamaranku. Mungkin salahku terlalu terburu-buru. Tapi kupikir itu juga maunya. Sejak dia datang, dia sangat manja. Tak pernah mau lepas dari tubuhku. Aku suka dia yang bermanja-manja, tapi aku tak suka dia yang sudah dua kali mendadak panik. Tiga kali kalau dihitung dengan lamarannya.Manggala terus bermonolog. Ingin menunggu Nayara bangun, tapi dia juga ingin Nayara tidur lebih lama. Mungkin gadis itu kelelahan dan butuh tidur yang berkualitas. Semoga dadanya adalah tempat tidur yang bisa memberikan kenyamanan untuk Nayara.***Nayara merasakan pelukan yang melemah seiring kesadaran yang mulai datan
SUDAH sebulan ini Nayara kembali bekerja full time di Papyrus. Dia meminta Manggala tetap merahasiakan hubungan mereka yang dijawab Manggala dengan tawa kecil. Hubungan apa? Walau merengut dan membenarkan pertanyaan satire itu tapi Nayara tetap meminta itu. Kedekatan mereka tak terendus siapa pun di kantor. Kadang Manggala tiba-tiba datang ke Papyrus. Kadang dengan urusan yang jelas, tapi lebih sering tak jelas. Hanya tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel Nayara. MGP : Hai, I’m here. Miss you so. Yang dibalas Nayara dengan tersenyum sambil meletakkan tangannya di dada. You’re always in my heart. Walau Nayara tidak menatapnya, tapi Manggala mengerti kode itu. Sesekali mereka bertemu. Entah Manggala yang datang ke rumah Gia atau Nayara ke apartemen Manggala. Tapi lebih sering Manggala memanggil Nayara ke tempatnya. Di sana mereka hanya bercerita keseharian mereka
KESIBUKAN kembali mendera keduanya. Nayara harus menerima limpahan pekerjaan akibat satu editor mendadak mengundurkan diri. Sebelum ada penggantinya, dia dan tim harus berbagi pekerjaan yang ditinggalkan. Manggala sendiri jangan ditanya. Jika Nayara yang hanya mengurusi naskah masuk saja sesibuk itu, apalagi Manggala yang mengurusi semua hal di sana.Tapi Manggala tetap menyisihkan waktu meski hanya sekadar mengirim pesan pada Nayara.MGP : Nanti malam makan bareng yuk. MGP : Aku mau makan di tempat Mak.MGP : Sudah lama kita nggak ke sana kanNayara membaca pesan itu dengan hati terbelah. Manggala menunggu pesannya terbalas. Kenapa lama sekali Nayara membiarkan warna biru ceklisnya?MGP : Nayara, are you there?Ph Nay : Jangan sekarang ya. Ph Nay : Aku
BUNYI ponsel menyentak Nayara yang sedang telentang santai di depan TV.MGPPanik, dia mengambil ponsel lalu menyerahkan pada Gia.“Gee, tolong angkat, Gee. Bilang aja gue lagi keluar cari cemilan.”Gia yang sedang menikmati musik, merasa telinganya salah mendengar. Untuk memastikan pendengarannya, dia melepas earbud.“Hah? Apa?”“Manggala nelepon. Bilang gue lagi keluar. Nggak bawa HP.”“Eh?” Gia memasang tampang bodoh.“Lu—““Angkat dulu.” Manggala sudah menelepon untuk yang kedua kali. Nayara yang langsung meletakkan ponsel di pipi Gia membuat Gia tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah Nayara.“Ya, Em? Sorry, ini Gia.” Nayara mendekat meski speaker terpasang.“Nayara ada?”“Tadi dia keluar, cari cemilan kali, HP-nya ternyata nggak dia b
Author’s note: Untuk yang tidak membaca bab 82 dan 83, ini pengantar ke bab 84 *** Manggala memang berhasil menenangkan Nayara dengan pelukannya sepulang dari kantor polisi. Tapi sejak itu Nayara membuat Manggala semakin pusing. Sejak kejadian itu, mendadak Nayara susah dihubungi. Hanya membalas singkat chat dari Manggala. Membuat janji temu dengan Nayara menjadi lebih susah daripada bertemu dengan pejabat. Setiap kali Manggala ke Papyrus ada saja yang Nayara lakukan yang membuat Manggala hanya bisa memandangnya dari jauh. Dan itu mengesalkan Manggala. Awalnya dia kesal, tapi makin lama dia kecewa. Kecewa yang membuatnya terus berpikir mencari jalan menemui Nayara. Ketika dia putus asa, hanya satu jalan yang bisa dia lakukan. Meski itu berarti melanggar janjinya pada Nayara. Tapi dia sudah kehabisan akal. ***