SUDAH sebulan ini Nayara kembali bekerja full time di Papyrus. Dia meminta Manggala tetap merahasiakan hubungan mereka yang dijawab Manggala dengan tawa kecil.
Hubungan apa?
Walau merengut dan membenarkan pertanyaan satire itu tapi Nayara tetap meminta itu. Kedekatan mereka tak terendus siapa pun di kantor. Kadang Manggala tiba-tiba datang ke Papyrus. Kadang dengan urusan yang jelas, tapi lebih sering tak jelas. Hanya tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel Nayara.
MGP : Hai, I’m here. Miss you so.
Yang dibalas Nayara dengan tersenyum sambil meletakkan tangannya di dada. You’re always in my heart. Walau Nayara tidak menatapnya, tapi Manggala mengerti kode itu.
Sesekali mereka bertemu. Entah Manggala yang datang ke rumah Gia atau Nayara ke apartemen Manggala. Tapi lebih sering Manggala memanggil Nayara ke tempatnya. Di sana mereka hanya bercerita keseharian mereka
Nayara yang kuat dan berani, bisa berubah seperti ini. Beruntungnya Nayara, Manggala sudah cinta mati nggak bisa lepas lagi. Dia tetap setia ngurusin Nayara. Tapi pasangan memang seharusnya seperti itu. Menemani untuk saling mengisi dan menguatkan. Ayo, yang sudah punya pasangan [resmi], dikecup coba itu pasangannya. Bilang yang jelas, aku sayang kamu. Kadang sayang harus diungkapkan dengan kata-kata loh.
KESIBUKAN kembali mendera keduanya. Nayara harus menerima limpahan pekerjaan akibat satu editor mendadak mengundurkan diri. Sebelum ada penggantinya, dia dan tim harus berbagi pekerjaan yang ditinggalkan. Manggala sendiri jangan ditanya. Jika Nayara yang hanya mengurusi naskah masuk saja sesibuk itu, apalagi Manggala yang mengurusi semua hal di sana.Tapi Manggala tetap menyisihkan waktu meski hanya sekadar mengirim pesan pada Nayara.MGP : Nanti malam makan bareng yuk. MGP : Aku mau makan di tempat Mak.MGP : Sudah lama kita nggak ke sana kanNayara membaca pesan itu dengan hati terbelah. Manggala menunggu pesannya terbalas. Kenapa lama sekali Nayara membiarkan warna biru ceklisnya?MGP : Nayara, are you there?Ph Nay : Jangan sekarang ya. Ph Nay : Aku
BUNYI ponsel menyentak Nayara yang sedang telentang santai di depan TV.MGPPanik, dia mengambil ponsel lalu menyerahkan pada Gia.“Gee, tolong angkat, Gee. Bilang aja gue lagi keluar cari cemilan.”Gia yang sedang menikmati musik, merasa telinganya salah mendengar. Untuk memastikan pendengarannya, dia melepas earbud.“Hah? Apa?”“Manggala nelepon. Bilang gue lagi keluar. Nggak bawa HP.”“Eh?” Gia memasang tampang bodoh.“Lu—““Angkat dulu.” Manggala sudah menelepon untuk yang kedua kali. Nayara yang langsung meletakkan ponsel di pipi Gia membuat Gia tidak ada pilihan lain selain mengikuti perintah Nayara.“Ya, Em? Sorry, ini Gia.” Nayara mendekat meski speaker terpasang.“Nayara ada?”“Tadi dia keluar, cari cemilan kali, HP-nya ternyata nggak dia b
Author’s note: Untuk yang tidak membaca bab 82 dan 83, ini pengantar ke bab 84 *** Manggala memang berhasil menenangkan Nayara dengan pelukannya sepulang dari kantor polisi. Tapi sejak itu Nayara membuat Manggala semakin pusing. Sejak kejadian itu, mendadak Nayara susah dihubungi. Hanya membalas singkat chat dari Manggala. Membuat janji temu dengan Nayara menjadi lebih susah daripada bertemu dengan pejabat. Setiap kali Manggala ke Papyrus ada saja yang Nayara lakukan yang membuat Manggala hanya bisa memandangnya dari jauh. Dan itu mengesalkan Manggala. Awalnya dia kesal, tapi makin lama dia kecewa. Kecewa yang membuatnya terus berpikir mencari jalan menemui Nayara. Ketika dia putus asa, hanya satu jalan yang bisa dia lakukan. Meski itu berarti melanggar janjinya pada Nayara. Tapi dia sudah kehabisan akal. ***
SELURUH ruangan terperangah melihat mereka berdua dan mendengar ucapan-ucapan Manggala pada Nayara. Nyaris semua menatap tak percaya ke arah kubikel Nayara. Melihat bagaimana Nayara mengecupi tangan Manggala dan Manggala membalas dengan mengecup syahdu puncak kepala Nayara. Semuanya terlihat begitu tulus dan murni dari hati. Ini jelas bukan hubungan sesaat. Semua mengira Manggala marah besar pada pekerjaan Nayara, tapi ternyata…Gia mendorong pintu sekuat tenaga. Dan dia berpapasan dengan Manggala di ujung ruang. Manggala hanya menatapnya sekilas lalu dia kembali melangkah. Gia terbirit berlari ke kubikel Nayara dan menemukan sabahatnya masih seperti batu dikutuk.Diam.Dengan ekspresi yang tak menyenangkan dilihat tapi begitu menyentuh perasaan Gia.‘Ya ampun, Nay….” Gia segera menarik kursi kosong dan duduk berhadapan menempel lutut dengan lutut dengan Nayara. “Ayo gue temenin ke ruangan Em.”“No
MANGGALA mengurung diri di ruangannya. Dia tentu tak harus menunggu jam pulang kantor. Ketika dia sudah tidak tahan berada di gedung yang sama dengan Nayara, dia langsung pergi. Tapi apa lacur, ketika dia sudah di dalam mobil, dia melihat Nayara setengah diseret sahabatnya keluar dari lobby. Menepikan mobil, dia melihat Nayara terisak di bahu Gia sebelum Gia memaksa gadisnya masuk ke mobil yang baru datang dan langsung meluncur pergi. Meninggalkan Manggala yang terengah menahan emosi.“AAARRRGGGHHH…!!!” Tanpa sadar dia berteriak sambil memukul keras kemudi dengan tangan terkepal. “Kenapa, Nayara… kenapa…?” Pertanyaan yang selama ini selalu dia tanyakan dalam hati tanpa sadar keluar berupa desis yang meluluhkan.Sisi batinnya ada yang berbisik untuk mengejar Nayara. Tapi sisi yang lain menahannya. Dia tidak tahan melihat Nayara serapuh itu. Ada yang salah dengan gadisnya, dan dia tak tahu. Ketidaktahuannya itu yang membuatnya
NAYARA sengaja pulang sangat larut dari kantor. Berusaha mengalihkan perhatian, tapi tetap saja, dia harus pulang. Sampai di rumah, dia lelah, tapi dia tidak bisa tidur. Bergulang-guling sendirian di ranjang, seperti yang sudah dia duga, pikirannya pasti melayang-layang tak jelas tapi tentu arahnya jelas. Pasti yang mengisi kepala kosongnya adalah Manggala.Seperti diatur, kemarin dia izin, Manggala ke kantor, sedangkan hari ini dia ke kantor dan Manggala tidak ada di kantor seharian. Pasti dia di rumah. Hari Jumat jadwalnya ke rumah. Saat ini Manggala sedang apa ya? Apa bersantai di depan TV? Atau sudah tidur? Ah, tidak mungkin Manggala santai atau sudah tidur setelah kejadian mereka tiga hari lalu.Nayara melirik jam di dinding. Malam sudah melewati tengahnya. Ini sudah dini hari.Tapi Manggala lebih sering tak tidur malam. Apa dia begitu lagi? Semenjak dia pulang Manggala berkata bahwa tidurnya lebih nyaman. Sekarang? Jika tak tidur, apa yang dia kerjakan? Ap
APA Nayara benar akan kembali padanya?Matanya terpejam sangat erat sampai kerutan di sudut matanya terlihat jelas. Ingatan pada kejadian beberapa saat sebelum Nayara datang masih sangat segar. Apa yang sudah terjadi, apa yang tadi dia lakukan, begitu menyakitinya. Sakit yang membuat hatinya retak, retakan yang membuat sebuah celah yang susah payah dia berusaha tutupi. Karena ketika hatinya tetap retak maka bukan hanya dia yang hancur, Nayara pun akan patah berderak. Dua mereka akan rusak.Namun kedatangan Nayara di pagi buta menutup rapat celah itu. Dan keberuntungan yang lain adalah dia tak perlu menunggu lama. Menunggu yang bisa membuatnya semakin hilang kontrol diri, retakan di harinya semakin dalam, berakar, dan merusak.Semua itu membuat dia memeluk Nayara semakin erat. Mengalirkan kelegaannya, membuang ketakutannya.Tangan Manggala menarik keluar kepala gadisnya dari dalam pelukannya. “Seharusnya dari dulu aku ngomong kayak kemarin ya,”
KERUSAKAN apa yang telah aku lakukan padanya? Kepalanya langsung terasa penuh. Kepergiannya, keegoisannya (?), ketakutannya, …, apa sebanding dengan semua ini? Nayara sadar, dia seharusnya ada di samping Manggala ketika Manggala di titik nadir seperti ini. Namun Nayara yakin, dialah yang membuat Manggala sampai jauh terperosok sedalam ini. Lagi… Namun bagaimana bisa dia menarik Manggala dari lubang gelap yang dia buat untuk Manggala kalau dia sendiri berada di lubang itu. Semua kekacauan ini bermula dari dia. Dia yang kacau, yang berusaha memperbaiki sendiri malah membuat semuanya makin berantakan. Ketakutannya bertemu dengan rasa bersalah. Nayara tidak mau melihat kekacauan itu. Sakit. Rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuh, tapi hatinya yang paling sakit. Pandangannya memudar. Berbalik, tangannya menggapai mencari pegangan. Mencari Manggala. Dan ketika dia menyentuh tubuh Manggala dia langsung menjatuhkan dirinya. Menangis. Selama ini dia berpikir hanya dirinya yang nyaris