SELURUH ruangan terperangah melihat mereka berdua dan mendengar ucapan-ucapan Manggala pada Nayara. Nyaris semua menatap tak percaya ke arah kubikel Nayara. Melihat bagaimana Nayara mengecupi tangan Manggala dan Manggala membalas dengan mengecup syahdu puncak kepala Nayara. Semuanya terlihat begitu tulus dan murni dari hati. Ini jelas bukan hubungan sesaat. Semua mengira Manggala marah besar pada pekerjaan Nayara, tapi ternyata…
Gia mendorong pintu sekuat tenaga. Dan dia berpapasan dengan Manggala di ujung ruang. Manggala hanya menatapnya sekilas lalu dia kembali melangkah. Gia terbirit berlari ke kubikel Nayara dan menemukan sabahatnya masih seperti batu dikutuk.
Diam.
Dengan ekspresi yang tak menyenangkan dilihat tapi begitu menyentuh perasaan Gia.
‘Ya ampun, Nay….” Gia segera menarik kursi kosong dan duduk berhadapan menempel lutut dengan lutut dengan Nayara. “Ayo gue temenin ke ruangan Em.”
“No Lagi-lagi, beruntungnya Nayara punya teman seperti Gia. Amicus optima vitae possession. Saya tuh suka deh cerita tentang persahabatan. Pengin banget bikin novel tema persahabatan di mana romancenya cuma sambil lalu aja.
MANGGALA mengurung diri di ruangannya. Dia tentu tak harus menunggu jam pulang kantor. Ketika dia sudah tidak tahan berada di gedung yang sama dengan Nayara, dia langsung pergi. Tapi apa lacur, ketika dia sudah di dalam mobil, dia melihat Nayara setengah diseret sahabatnya keluar dari lobby. Menepikan mobil, dia melihat Nayara terisak di bahu Gia sebelum Gia memaksa gadisnya masuk ke mobil yang baru datang dan langsung meluncur pergi. Meninggalkan Manggala yang terengah menahan emosi.“AAARRRGGGHHH…!!!” Tanpa sadar dia berteriak sambil memukul keras kemudi dengan tangan terkepal. “Kenapa, Nayara… kenapa…?” Pertanyaan yang selama ini selalu dia tanyakan dalam hati tanpa sadar keluar berupa desis yang meluluhkan.Sisi batinnya ada yang berbisik untuk mengejar Nayara. Tapi sisi yang lain menahannya. Dia tidak tahan melihat Nayara serapuh itu. Ada yang salah dengan gadisnya, dan dia tak tahu. Ketidaktahuannya itu yang membuatnya
NAYARA sengaja pulang sangat larut dari kantor. Berusaha mengalihkan perhatian, tapi tetap saja, dia harus pulang. Sampai di rumah, dia lelah, tapi dia tidak bisa tidur. Bergulang-guling sendirian di ranjang, seperti yang sudah dia duga, pikirannya pasti melayang-layang tak jelas tapi tentu arahnya jelas. Pasti yang mengisi kepala kosongnya adalah Manggala.Seperti diatur, kemarin dia izin, Manggala ke kantor, sedangkan hari ini dia ke kantor dan Manggala tidak ada di kantor seharian. Pasti dia di rumah. Hari Jumat jadwalnya ke rumah. Saat ini Manggala sedang apa ya? Apa bersantai di depan TV? Atau sudah tidur? Ah, tidak mungkin Manggala santai atau sudah tidur setelah kejadian mereka tiga hari lalu.Nayara melirik jam di dinding. Malam sudah melewati tengahnya. Ini sudah dini hari.Tapi Manggala lebih sering tak tidur malam. Apa dia begitu lagi? Semenjak dia pulang Manggala berkata bahwa tidurnya lebih nyaman. Sekarang? Jika tak tidur, apa yang dia kerjakan? Ap
APA Nayara benar akan kembali padanya?Matanya terpejam sangat erat sampai kerutan di sudut matanya terlihat jelas. Ingatan pada kejadian beberapa saat sebelum Nayara datang masih sangat segar. Apa yang sudah terjadi, apa yang tadi dia lakukan, begitu menyakitinya. Sakit yang membuat hatinya retak, retakan yang membuat sebuah celah yang susah payah dia berusaha tutupi. Karena ketika hatinya tetap retak maka bukan hanya dia yang hancur, Nayara pun akan patah berderak. Dua mereka akan rusak.Namun kedatangan Nayara di pagi buta menutup rapat celah itu. Dan keberuntungan yang lain adalah dia tak perlu menunggu lama. Menunggu yang bisa membuatnya semakin hilang kontrol diri, retakan di harinya semakin dalam, berakar, dan merusak.Semua itu membuat dia memeluk Nayara semakin erat. Mengalirkan kelegaannya, membuang ketakutannya.Tangan Manggala menarik keluar kepala gadisnya dari dalam pelukannya. “Seharusnya dari dulu aku ngomong kayak kemarin ya,”
KERUSAKAN apa yang telah aku lakukan padanya? Kepalanya langsung terasa penuh. Kepergiannya, keegoisannya (?), ketakutannya, …, apa sebanding dengan semua ini? Nayara sadar, dia seharusnya ada di samping Manggala ketika Manggala di titik nadir seperti ini. Namun Nayara yakin, dialah yang membuat Manggala sampai jauh terperosok sedalam ini. Lagi… Namun bagaimana bisa dia menarik Manggala dari lubang gelap yang dia buat untuk Manggala kalau dia sendiri berada di lubang itu. Semua kekacauan ini bermula dari dia. Dia yang kacau, yang berusaha memperbaiki sendiri malah membuat semuanya makin berantakan. Ketakutannya bertemu dengan rasa bersalah. Nayara tidak mau melihat kekacauan itu. Sakit. Rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuh, tapi hatinya yang paling sakit. Pandangannya memudar. Berbalik, tangannya menggapai mencari pegangan. Mencari Manggala. Dan ketika dia menyentuh tubuh Manggala dia langsung menjatuhkan dirinya. Menangis. Selama ini dia berpikir hanya dirinya yang nyaris
MESKI menikmati kebersamaan mereka di rumah, tapi tetap, semua harus berakhir di Senin pagi. Matahari masih malu-malu saat mereka bergerak kembali ke realita. Bersiap dengan kerusuhan Jakarta. Wajah-wajah mereka mungkin masih pucat dan gurat kelelahan masih nyata. Tapi nyala mata mereka bisa menghidupkan hari. Nyala itu bisa menerangi minggu yang sepertinya akan berat dan sibuk.Keluar dari mobil, Manggala menjulurkan tangannya dan Nayara menyambut tangan itu. Tangan mereka bertaut sepanjang jalan dengan senyum lembut dan sesekali saling menatap sayang. Kali ini, mereka santai berjalan bersama memasuki gedung. Manggala mengantar Nayara sampai di lantainya dan melepasnya dengan kecupan di puncak kepala sebelum memilih menaiki anak tangga darurat. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.Pagi ini terasa begitu indah bagi Nayara. Bukan, bukan karena kecupan itu. Tapi karena dia merasa satu masalah selesai. Bersama, mereka akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah lain.
HARI yang baru, kesibukan yang sama.“Makan yuk.” Tiba-tiba Manggala ada di sampingnya.“Astaga!” Nayara yang sedang serius bekerja terkejut. “Jam berapa ini?” Dia menunjuk jam di PC.“Aku benar-benar akan pecat kamu, Nayara.” Manggala menarik sebuah kursi lalu duduk di samping Nayara. Begitu dekat seperti kubikel Nayara terjebak di tengah. Manggala menggeser isi meja lalu menarik keyboard mendekat ke arahnya kemudian membuka browser. Tapi ketika dia ingin mengetik sesuatu Nayara mengambil tangan itu.“Kuku kamu cepat sekali tumbuhnya,” ujarnya menarik sebelah tangan Manggala sambil tangan yang lain merogoh kotak kecil di meja. Mencari gunting kuku. Namun Manggala menarik tangannya.“Kuku kamu nggak boleh panjang, Manggala.”“Aku nggak akan begitu lagi.”“Aku. Nggak. Percaya.” Mendesis sambil menatap sinis, dia menarik lag
DUA hari kemudian, siang itu mereka baru saja kembali ke kantor. Manggala bermaksud akan mengantar Nayara sampai pintu Papyrus. Nayara masih tertawa-tawa kecil ketika dia merasa tubuh di sampingnya menegang. Dia ikuti tatapan Manggala. Wiguna. Dan Mahesa. Nayara bermaksud menjauh. Memberi jeda pada ayah dan anak berbincang. Tapi tangannya tertahan genggaman Manggala yang tiba-tiba menguat. “Lu masih sama dia?” ujar kakaknya. “Gue sama siapa itu urusan gue.” Jawaban singkat yang ditanggapi dengan satu kali anggukan. “Papa dengar kamu mau buka lini baru?” “Gosip cepat tersebar ya,” Manggala menjawab sinis mendesis. “Bukan gosip kalau benar.” Mahesa ikut bersuara. “Itu untuk target tiga tahunan.” Manggala sudah tahu siapa yang membocorkan rahasia itu. Tapi memang dia tidak bermaksud merahasiakan. Hanya tidak ingin memberitahu Wiguna saja. Toh waktunya masih panjang. “Tumben nggak dekat deadline. Bi
APA yang harus aku lakukan? Yang ingin dia lakukan sekarang hanya memeluk Manggala. Tapi apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Akhirnya Nayara mengikuti instingnya. Perlahan dia mendekati Manggala, berdiri tepat di hadapannya, mengganggu fokus Manggala. Dia mengambil tangan yang mengepal kaku, mengelus buku jarinya, lalu menarik tangan itu ke arah sofa lalu membantunya duduk. Manggala harus relaks. Pun ketika duduk dia masih sekaku papan. “Manggala…” Nayara mengelus bahunya. Tapi Manggala masih diam. Ini menakutkan. Bukan Manggala yang menakutinya tapi kediamannya yang membuat Nayara gentar. “Manggala…” Tangannya naik mengelus rambutnya. Merapikan anak rambutnya. Mengelus rahangnya yang menegang kaku. Tubuhnya semakin merapat. Dia hanya duduk di ujung sofa demi bisa melihat wajah Manggala. “Manggala…” Tangan Nayara semakin berani. Dia harus meneguhkan hatinya untuk seberani ini menghadapi Manggala yang mungkin tidak sad