Home / Romansa / Patah / 114, Permintaan Manggala

Share

114, Permintaan Manggala

last update Last Updated: 2021-12-17 10:00:51

DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala.  

Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.

Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.

“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.

“Ya?”

“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.

“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay

Sandra Setiawan

Saya nggak mau nulis genre religi.Belum mau deng. Belum berani. Ini romance, tapi intinya Manggala hijrah. Dan dia mau ajak istrinya. Kenapa nggak mau nulis genre reliji? Atuh dorang dua belum sah suka main nemplok-nemplok gitu, yang ada ngerusak citra religi dah. Memang romance dan religi nggak kawin banget sih. Meski sudah nikah, apa iya bisa bikin scene anuan Pak Ustadz dan istrinya? Etdah. Eh, Sandra, lu kalau rusak ya rusak sendiri aja, nggak usah ajak yang lain. Nanti orang baca karena stempel religinya, eh, taunya lu selipin scene wikiwik. Yang nggak biasa baca apa nggak hang otaknya. Kayak Manggala kecil. Ya begitulah. Perjalanan batin Manggala luar biasa. Semua yang sudah dia alami, akhirnya membawa dia ke titik yang sekarang. Makin mendekati ending. Sisa empat bab lagi. Tapi saya masih ada urusan yang belum diberesin. Sudah bisa nebak siapa yang datang kan?

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sandra Setiawan
ayo siapaaaa???! satu konflik lagi ya, baru selesai. lega deh manggala. lalu belah duren. #eh #ish #plak.
goodnovel comment avatar
nisya82mahmud
siapa yang datang ?? Ayah Manggala kah ?? penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Patah   115, The Truth

    MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin

    Last Updated : 2021-12-18
  • Patah   116, Jobless

    NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.

    Last Updated : 2021-12-19
  • Patah   117, Siang Pertama [17+]

    DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere

    Last Updated : 2021-12-20
  • Patah   118, Di Hari yang Sama

    MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal

    Last Updated : 2021-12-21
  • Patah   Prolog

    GUNDUKAN tanah itu tentu masih basah. Bahkan petugas penggali kubur baru saja menancapkan nisan penanda makam. Dari namanya, jelas gundukan itu menyembunyikan jasad seorang wanita berusia menjelang empat puluh tahun. Setelah prosesi pemakaman selesai, satu per satu orang yang turut berduka pergi. Hingga sisa empat orang lelaki. Seorang suami dan tiga anaknya. Yang paling kecil berusia delapan tahun.Bocah terkecil inilah yang wajahnya paling merana. Matanya bengkak, wajahnya sembab, hidungnya terlihat sangat merah di kulitnya yang putih. Tanpa malu dia menggosokkan lengan bajunya ke hidung untuk mengelap lendir. Wajahnya sangat berduka. Bahkan saat yang lain bersimpuh di sisi makam, dia masih memeluk nisan itu. Mengabaikan tanah merah basah yang mengotori baju dan banyak bagian kulitnya. Dia bahkan tidak peduli ketika wajahnya dipenuhi kotor tanah. Tak puas hanya memeluk nisan, dia memeluk gundukan tanah bersama taburan bunga sementara sebelah tangannya te

    Last Updated : 2021-07-20
  • Patah   1. Pergi

    SUARA-suara itu lagi…Sebenarnya suara-suara itu sudah sangat biasa dia dengar. Sangat terbiasa sampai dia merasa bosan dan merasa hidupnya hanya berisi suara-suara itu. Sangat terbiasa sampai seribut apa pun suara-suara itu tidak bisa mengganggu kehidupannya. Jika suara itu mengganggu alunan musik yang sedang dia dengar, dia cukup membesarkan volume suara pemutar musiknya saja. Atau memakai head set.Suara kedua orangtuanya ribut.Ah, paling Papa ketahuan selingkuh lagi.Iya. Itu sudah kebiasaan lelaki yang dengan sangat terpaksa dia panggil Papa—Harsa Barata. Kebiasaan yang membuat mamanya—Lily Barata—selalu berurai air mata. Tapi itu juga yang membuat Nayara marah pada mamanya. Kenapa harus bertahan dengan pasangan seperti itu? Kalau menikah dengannya adalah sebuah kesalahan lalu kenapa harus dipertahankan? Perbaiki saja kesalahan itu dengan pergi. Lalu memulai hidup baru. Tak p

    Last Updated : 2021-07-22
  • Patah   2. Penghilang Emosi

    DI sinilah dia sekarang, di sebuah hotel bintang lima yang pertama dia lihat dari dalam taksi. Tidur telentang menatap marah langit-langit kamar. Berkali-kali dia memukul ranjang empuk tak bersalah denga tangan terkepal. Jengah sendirian menahan emosi, dia menyambar ponsel. Mencari satu nama teman, lalu menelepon nama itu. Suara ingar-bingar entakan musik menyambutnya. Membuat Nayara bersemangat, langsung duduk bersila di ranjang.“Woy, di menong?” tanyanya sambil berteriak.“Tempat biasa. Lu ke sini ya.” Temannya balas berteriak dari seberang sana.“Biasa yang mana, Nyong. Pangkalan lu banyak.”“High Five.”“Oke, gue ke sana sekarang.” Dia langsung melesat dengan hanya menyambar sling bag.Tempat yang dia tuju adalah hiburan malam yang biasa dijadikan tempat mereka—dia dan teman-temannya—mencari hibur

    Last Updated : 2021-07-24
  • Patah   3. Soulmate

    NAYARA duduk di halte dengan kepala menumpu di koper besarnya. Dia meninggalkan hotel di belakang halte menjelang detik-detik waktu check out. Tidur menjelang fajar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi membuatnya bisa bergegas mandi sambil menikmati semua yang sebentar lagi akan menyedot rupiahnya yang mugkin akan menjadi kenikmatan terakhirnya hidup ala sultana. Semua tas sudah siap di dekat pintu saat dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi kamar hotel ini tentu akan lebih bagus dari tempat tinggalnya nanti malam. Dan di mana tempat itu? Sampai selesai proses check out dia masih belum ada ide harus ke mana. Menggeret koper yang dinaiki travel bag, dia membuat concierges agak berkeryit ketika dia menolak

    Last Updated : 2021-07-26

Latest chapter

  • Patah   118, Di Hari yang Sama

    MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal

  • Patah   117, Siang Pertama [17+]

    DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere

  • Patah   116, Jobless

    NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.

  • Patah   115, The Truth

    MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin

  • Patah   114, Permintaan Manggala

    DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay

  • Patah   113, Hadiah Dari Mama

    “APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu

  • Patah   112, Another Side of Us

    “BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan

  • Patah   111, Nayara M. Sastradinata

    ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap

  • Patah   110, Restu

    SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,

DMCA.com Protection Status