DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala.
Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.
Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.
“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.
“Ya?”
“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.
“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
Saya nggak mau nulis genre religi.Belum mau deng. Belum berani. Ini romance, tapi intinya Manggala hijrah. Dan dia mau ajak istrinya. Kenapa nggak mau nulis genre reliji? Atuh dorang dua belum sah suka main nemplok-nemplok gitu, yang ada ngerusak citra religi dah. Memang romance dan religi nggak kawin banget sih. Meski sudah nikah, apa iya bisa bikin scene anuan Pak Ustadz dan istrinya? Etdah. Eh, Sandra, lu kalau rusak ya rusak sendiri aja, nggak usah ajak yang lain. Nanti orang baca karena stempel religinya, eh, taunya lu selipin scene wikiwik. Yang nggak biasa baca apa nggak hang otaknya. Kayak Manggala kecil. Ya begitulah. Perjalanan batin Manggala luar biasa. Semua yang sudah dia alami, akhirnya membawa dia ke titik yang sekarang. Makin mendekati ending. Sisa empat bab lagi. Tapi saya masih ada urusan yang belum diberesin. Sudah bisa nebak siapa yang datang kan?
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
GUNDUKAN tanah itu tentu masih basah. Bahkan petugas penggali kubur baru saja menancapkan nisan penanda makam. Dari namanya, jelas gundukan itu menyembunyikan jasad seorang wanita berusia menjelang empat puluh tahun. Setelah prosesi pemakaman selesai, satu per satu orang yang turut berduka pergi. Hingga sisa empat orang lelaki. Seorang suami dan tiga anaknya. Yang paling kecil berusia delapan tahun.Bocah terkecil inilah yang wajahnya paling merana. Matanya bengkak, wajahnya sembab, hidungnya terlihat sangat merah di kulitnya yang putih. Tanpa malu dia menggosokkan lengan bajunya ke hidung untuk mengelap lendir. Wajahnya sangat berduka. Bahkan saat yang lain bersimpuh di sisi makam, dia masih memeluk nisan itu. Mengabaikan tanah merah basah yang mengotori baju dan banyak bagian kulitnya. Dia bahkan tidak peduli ketika wajahnya dipenuhi kotor tanah. Tak puas hanya memeluk nisan, dia memeluk gundukan tanah bersama taburan bunga sementara sebelah tangannya te
SUARA-suara itu lagi…Sebenarnya suara-suara itu sudah sangat biasa dia dengar. Sangat terbiasa sampai dia merasa bosan dan merasa hidupnya hanya berisi suara-suara itu. Sangat terbiasa sampai seribut apa pun suara-suara itu tidak bisa mengganggu kehidupannya. Jika suara itu mengganggu alunan musik yang sedang dia dengar, dia cukup membesarkan volume suara pemutar musiknya saja. Atau memakai head set.Suara kedua orangtuanya ribut.Ah, paling Papa ketahuan selingkuh lagi.Iya. Itu sudah kebiasaan lelaki yang dengan sangat terpaksa dia panggil Papa—Harsa Barata. Kebiasaan yang membuat mamanya—Lily Barata—selalu berurai air mata. Tapi itu juga yang membuat Nayara marah pada mamanya. Kenapa harus bertahan dengan pasangan seperti itu? Kalau menikah dengannya adalah sebuah kesalahan lalu kenapa harus dipertahankan? Perbaiki saja kesalahan itu dengan pergi. Lalu memulai hidup baru. Tak p
DI sinilah dia sekarang, di sebuah hotel bintang lima yang pertama dia lihat dari dalam taksi. Tidur telentang menatap marah langit-langit kamar. Berkali-kali dia memukul ranjang empuk tak bersalah denga tangan terkepal. Jengah sendirian menahan emosi, dia menyambar ponsel. Mencari satu nama teman, lalu menelepon nama itu. Suara ingar-bingar entakan musik menyambutnya. Membuat Nayara bersemangat, langsung duduk bersila di ranjang.“Woy, di menong?” tanyanya sambil berteriak.“Tempat biasa. Lu ke sini ya.” Temannya balas berteriak dari seberang sana.“Biasa yang mana, Nyong. Pangkalan lu banyak.”“High Five.”“Oke, gue ke sana sekarang.” Dia langsung melesat dengan hanya menyambar sling bag.Tempat yang dia tuju adalah hiburan malam yang biasa dijadikan tempat mereka—dia dan teman-temannya—mencari hibur
NAYARA duduk di halte dengan kepala menumpu di koper besarnya. Dia meninggalkan hotel di belakang halte menjelang detik-detik waktu check out. Tidur menjelang fajar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi membuatnya bisa bergegas mandi sambil menikmati semua yang sebentar lagi akan menyedot rupiahnya yang mugkin akan menjadi kenikmatan terakhirnya hidup ala sultana. Semua tas sudah siap di dekat pintu saat dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi kamar hotel ini tentu akan lebih bagus dari tempat tinggalnya nanti malam. Dan di mana tempat itu? Sampai selesai proses check out dia masih belum ada ide harus ke mana. Menggeret koper yang dinaiki travel bag, dia membuat concierges agak berkeryit ketika dia menolak