GUNDUKAN tanah itu tentu masih basah. Bahkan petugas penggali kubur baru saja menancapkan nisan penanda makam. Dari namanya, jelas gundukan itu menyembunyikan jasad seorang wanita berusia menjelang empat puluh tahun. Setelah prosesi pemakaman selesai, satu per satu orang yang turut berduka pergi. Hingga sisa empat orang lelaki. Seorang suami dan tiga anaknya. Yang paling kecil berusia delapan tahun.
Bocah terkecil inilah yang wajahnya paling merana. Matanya bengkak, wajahnya sembab, hidungnya terlihat sangat merah di kulitnya yang putih. Tanpa malu dia menggosokkan lengan bajunya ke hidung untuk mengelap lendir. Wajahnya sangat berduka. Bahkan saat yang lain bersimpuh di sisi makam, dia masih memeluk nisan itu. Mengabaikan tanah merah basah yang mengotori baju dan banyak bagian kulitnya. Dia bahkan tidak peduli ketika wajahnya dipenuhi kotor tanah. Tak puas hanya memeluk nisan, dia memeluk gundukan tanah bersama taburan bunga sementara sebelah tangannya tetap memeluk nisan.
Isaknya masih terdengar. Isak yang sulit dihentikan tanda terlalu lama menangis. Sampai akhirnya ayahnya memaksanya berdiri dia terus memeluk gundukan tanah berpegangan pada nisan. Ayahnya menarik paksa pinggangnya sampai membuat nisan itu nyaris tercerabut. Sampai akhirnya ayahnya berhasil mengangkat si bocah dan membiarkan sejenak anaknya kembali meraung di kaki kubur sambil dia sendiri mengatur napas.
Raungan merana bocah berduka itu membelah langit sore bersama semburat jingga di ufuk barat. Siapa pun yang mendengar raungan itu, mereka akan menolehkan wajah, ingin melihat siapakah yang sedemikian merana dipisahkan kematian yang pasti datang.
Dan hati siapa pun itu akan ikut teriris ketika melihat bocah lelaki kotor tanah merah meraung memanggil ibunya.
“Mama… Mama… Manggala ikut, Mama… Mama…”
“MAMAAA…. MANGGALA IKUUUTTT…” Dia kembali berteriak meraung.
Tak bisa dibiarkan, ayahnya menarik paksa si bocah lalu menggendongnya di pinggang. Mereka sudah terlalu lama di makam ini. Langit sudah semakin meredup. Matahari sebentar lagi hilang.
Tapi kesedihannya tidak berakhir di situ. Selama ini hanya mamanyalah orangtua yang dia kenal. Papanya terlalu sibuk bekerja. Ketika mamanya pergi, dia begitu kehilangan sampai merasa dunianya hilang.
Dia memang merindukan mamanya, tapi anak sekecil itu sudah bisa merasai bahwa mamanya tidak akan tergantikan. Termasuk ketika papanya datang memperkenalkan seorang perempuan cantik yang akhirnya dengan berat hati dia panggil Mama.
Kupanggil dia Mama, tapi dia bukan ibuku.
Anak kecil itu merasa ada yang salah. Bahkan mamanya belum genap dua bulan lalu pergi. Kenapa begitu cepat ibu pengganti datang? Dia tidak mau ibu pengganti. Tapi bocah sekecil itu bisa apa? Bahkan dia tidak mengerti bahwa yang dia rasa adalah sebuah kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan. Dia hanya tahu bahwa dia kehilangan pegangan. Dan tanpa pegangan dia tumbuh sendiri dengan semua luka yang dia bawa. Menutupi semua luka dengan diam yang sangat kental.
Anak kecil itu bernama Manggala Abipraya Sastradinata.
***
Tapi begitulah kehidupan. Memiliki roda yang terus berputar tanpa henti yang manusia sebut waktu. Tak peduli cerita apa pun yang terjadi di putaran rodanya, dia akan terus bergerak dengan kecepatan konstan. Membbuat ada kisah kematian dan ada cerita kelahiran.
Ada yang datang dan ada yang pergi.
Di saat seorang bocah kecil kehilangan ibunya, di tempat lain seorang anak lahir menyapa dunia. Anak perempuan dengan tangisan yang melengking kuat. Gerakan tubuhnya mantap. Semua tenaga kesehatan di ruang itu bersorak gembira dengan kedatangannya. Bayi itu sudah terlihat cantik meski baru melewati pintu ke dunia yang baru. Kepalan tangan kecil itu terus mengentak meninju, siap menghalau siapa pun yang mengganggunya menangis. Tangis yang bisa menutupi teriakan kesakitan ibunya yang berdarah-darah melahirkan dia. Tapi bukan sakit itu yang membuatnya berteriak. Teriakan itu hanya caranya menutupi kesedihannya. Kemarahannya. Kekecewaannya.
Ada luka lain yang membuatnya meraung keras. Berharap ini adalah akhir kehidupannya. Berharap dia bertukar nyawa dengan anak yang harus dia lahirkan.
Anak itu lahir lebih cepat dari rencana karena jiwanya begitu terguncang ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya berasyik masyuk dengan perempuan lain. Jadilah dia bersalin sendirian dengan hati hancur. Tak ada kebahagiaan ketika perawat menunjukkan anaknya yang begitu cantik dan sehat.
Yang dia rasa bukan bahagia. Yang dia rasa adalah sedih dan... benci…. Tapi ini bukan yang pertama, dan yang pasti dia yakin ini juga bukan yang terakhir. Masih akan ada kekecewaan lain yang harus dia rasakan jika dia masih bernapas.
Dia merasa tidak bisa menolak nasib, tidak bisa menolak jalan hidupnya. Dia tak mau lagi berharap lelaki yang dia sebut sebagai suami akan menjadi lelaki yang dia impikan. Dia tahu, pangeran berkuda putih itu bukan untuknya. Kekecewaan yang tidak bisa dia keluarkan pada lelaki itu ternyata membutuhkan tempat untuk bermuara. Dan yang ada hanya bayi merah kecil yang menangis ribut mengganggu heningnya.
Dia tak mau melihat bayinya sendiri.
Bayi itu akhirnya tumbuh sendiri hanya didampingi baby sitter yang berganti-ganti. Bayi itu tumbuh sehat dan kuat. Kehidupan batin yang keras tanpa bimbingan orangtua membuat dia menjadi pribadi yang keras. Tak ada yang bisa menghalangi keinginannya. Dia sekeras batu karang. Wajahnya yang cantik menyembunyikan dengan rapat kekerasan hatinya.
Bayi kecil dengan lengkingan yang keras, kepalan tangan kuat, dan gerakan mantap itu akhirnya diberi nama Prisha Nayara.
***
Dua nama yang akhirnya akan berkali-kali bersinggungan dalam kehidupan mereka selanjutnya.
***
Bersambung
Author’s note:
Menulis Manggala dan Nayara sebenarnya mengeluarkan saya dari zona nyaman. Tokoh di novel sebelumnya selalu berlatar belakang keluarga bahagia. Tapi di Patah kedua tokohnya adalah broken home. Karena itu saya kasih judul Patah. Broken.Kalau Ian aja yang sengaja saya bikin falling in love at the first sight saya butuh 110k words (edisi kembali ke asal malah 150k words) untuk membuat Rey jatuh cinta, maka ketika MGP dan Nay jadi 150k saya sih nggak heran. Keduanya harus saling mengenal dari awal dan perlahan saling jatuh cinta. Iya, meski nggak seperlahan itu juga, masih dibantu kebetulan-kebetulan yang bikin mereka sering bertemu. Aneh rasanya kalau kehidupan dua orang yang kebetulan bersinggungan tiba-tiba jatcin dan memutuskan menikah. Jatcin nggak semudah itu juga, Bro.
Pada dasarnya saya orang yang nggak percaya dengan frasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Terlalu main fisik. Tapi, well, untuk novel, saya beberapa kali pakai tema itu untuk mempercepat cerita. Tau sendiri kan jari saya bawelnya tak alang kepalang.
Lalu sepatah apa sih kehidupan mereka?
Tepatnya masa lalu mereka sih. Nayara datang dari keluarga berantakan sedangkan Manggala korban bullying. Awalnya Nayara begitu kuat, Manggala begitu rapuh. Lalu entah bagaimana ceritanya, kondisi berbalik. Nayara menjadi rapuh dan Manggala begitu kuat. Eh, bukan entah bagaimana ceritanya sih. Tapi di situlah cerita ini berkembang. Bikin mereka jatcin lalu membalik kondisi psikologis mereka kemudian membuat mereka kukuh untuk tetap bersama. Itu yang bikin saya jadi sebawel ini.
Tokoh di novel ini nggak banyak. Jadi beneran fokus di mereka berdua aja. Setting masih di Jabodetabek. Melipir dikit ke Parung Kuda. Mimo dan Shaq muncul dua kali ketika saya butuh tokoh tanpa perlu menjelaskan siapa mereka. Iye, kalau yang baca Ruang Rindu kenal Mimo dan Shaq. Yang nggak baca? Ya baca juga Ruang Rindu lah. Itu kan iklan Ruang Rindu terselubung. *wink*
Ngomong-ngomong, eh, ngetik-ngetik, di atas saya nyinggung soal Ian versi kembali ke asal yang 150k words. Ian itu naskah aslinya nyaris dua rim belum sampai timit. Banyak scene kena sabet samurai Emak. Karena dulu di PN memang begitu tuntutannya. Nggak boleh bertele-tele. Nah, karena sekarang saya publish di platform kepenulisan yang publish per bab, style di sini beda. It’s okay berpanjang kata dan bab. Maka di New BDTH saya masukkan scene-scene yang dulu kena sabet. Nggak sampai mengubah cerita. Plot tetap sama. Mantan Ian yang di sana tetap cuma tiga, April, Gladys, dan Cattleya si cinta platonis. Mantan lain tetap saya buang. Saya kadung suka sama plot Ian hasil diskusi saya dan Emak berbulan-bulan.
Terus yang dimasukin scene apa?
Teuing lah. #plak
Paling nggak di New BDTH ketauan kenapa Rey kalau panggil Tristan abang. Dan Rey ternyata nggak se’dikali nol’ gitu juga kok. Ada juga cowok yang bikin Ian merasa aneh. Dan yang saya suka sih di New BDTH tuh tokoh Dee dan Nana lebih menunjukkan perannya sebagai sahabat Rey. Beneran jadi tempat Rey curhat. Nggak cuma sesekali muncul untuk dijodohkan sama Ari dan Aa.
Bunga di Taman Hati, kalau judulnya dibuat ala-ala sinetron ikan terbang, jadinya begini nih.
Suamiku, dosenku, sahabat kakakku, ipar sahabatku.
Halah.
Patah akan eksis besok di W*****d, KBM app, dan Joylada. New BDTH belum tau di mana. Paling sama juga. Emak keluarin kalau tabungan bab sudah menipis.
Janji Hujan, Rindu Surya, dan Pulang?
Ini yang bikin saya galau. Nggak disebut nanti mereka merasa dianaktirikan. Disebut nanti yang nunggu merasa di-PHP.
Biarkan Senja, Surya, dan Fajar menjalani nasib menuju takdirnya ya. Waktu berpihak pada orang-orang yang sabar. Saya tidak menyesal keputusan saya membuat nasib tiga anak itu terkatung-katung. Mereka tetap mendukung emak dan idealismenya. Sesabar Senja menanti Surya pulang. Sesabar Fajar mengurus Senja. Sesabar Surya bertahan. Jadi tiga orang ini kisahnya gimana?
Sabar.
Ian, Fajar, Manggala?
Saya pilih Fajar.Rey, Senja, Nayara?
Saya pilih Senja.Yang terbaik memang menunggu waktu yang tepat untuk publish.
Btw, Emak lagi ngetik anak baru nih. Vladimir, Savannah, Bhagavad. Tanpa sadar semua mengandung huruf V. Wish me luck ya. After story Mimoshaq dan Aa masih belum jelas wujudnya. Memang harus banyak sabar nunggu anak-anak itu beres. Apalagi Aa. Sudah enam tahun kalian masih nunggu loh. Saya tersandjoeng.
Love you all, My Lovely Readers.
Ketjup Basyah
-Sandra Setiawan-Emak Ian & ReyEmak Sophia Anne, Ari, & DeeEmak Angga & EllsEmak SenjaEmak Surya Emak FajarEmak Mim & ShaqEmak MGP & Nay Emak Bond & RJEmak Vlad, Anna & Bhaga.[Selasa, 20 Juli 2021, Eid adha 1427H]
SUARA-suara itu lagi…Sebenarnya suara-suara itu sudah sangat biasa dia dengar. Sangat terbiasa sampai dia merasa bosan dan merasa hidupnya hanya berisi suara-suara itu. Sangat terbiasa sampai seribut apa pun suara-suara itu tidak bisa mengganggu kehidupannya. Jika suara itu mengganggu alunan musik yang sedang dia dengar, dia cukup membesarkan volume suara pemutar musiknya saja. Atau memakai head set.Suara kedua orangtuanya ribut.Ah, paling Papa ketahuan selingkuh lagi.Iya. Itu sudah kebiasaan lelaki yang dengan sangat terpaksa dia panggil Papa—Harsa Barata. Kebiasaan yang membuat mamanya—Lily Barata—selalu berurai air mata. Tapi itu juga yang membuat Nayara marah pada mamanya. Kenapa harus bertahan dengan pasangan seperti itu? Kalau menikah dengannya adalah sebuah kesalahan lalu kenapa harus dipertahankan? Perbaiki saja kesalahan itu dengan pergi. Lalu memulai hidup baru. Tak p
DI sinilah dia sekarang, di sebuah hotel bintang lima yang pertama dia lihat dari dalam taksi. Tidur telentang menatap marah langit-langit kamar. Berkali-kali dia memukul ranjang empuk tak bersalah denga tangan terkepal. Jengah sendirian menahan emosi, dia menyambar ponsel. Mencari satu nama teman, lalu menelepon nama itu. Suara ingar-bingar entakan musik menyambutnya. Membuat Nayara bersemangat, langsung duduk bersila di ranjang.“Woy, di menong?” tanyanya sambil berteriak.“Tempat biasa. Lu ke sini ya.” Temannya balas berteriak dari seberang sana.“Biasa yang mana, Nyong. Pangkalan lu banyak.”“High Five.”“Oke, gue ke sana sekarang.” Dia langsung melesat dengan hanya menyambar sling bag.Tempat yang dia tuju adalah hiburan malam yang biasa dijadikan tempat mereka—dia dan teman-temannya—mencari hibur
NAYARA duduk di halte dengan kepala menumpu di koper besarnya. Dia meninggalkan hotel di belakang halte menjelang detik-detik waktu check out. Tidur menjelang fajar membuatnya kesiangan. Mungkin jika tidak ingat tekat berhemat sampai titik sen penghabisan dia akan melanjutkan tidurnya di hotel mewah itu. Tekat yang tadi membuatnya bisa bergegas mandi sambil menikmati semua yang sebentar lagi akan menyedot rupiahnya yang mugkin akan menjadi kenikmatan terakhirnya hidup ala sultana. Semua tas sudah siap di dekat pintu saat dia mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar. Kamarnya di rumah papa Jaya lebih bagus dari ini. Tapi kamar hotel ini tentu akan lebih bagus dari tempat tinggalnya nanti malam. Dan di mana tempat itu? Sampai selesai proses check out dia masih belum ada ide harus ke mana. Menggeret koper yang dinaiki travel bag, dia membuat concierges agak berkeryit ketika dia menolak
TING Denting notifikasi terdengar dari ponsel Nayara. Melirik sekilas, pop up message terbaca dari abangnya. Satria Jayantaka : Di mana lu? Bersemangat, Nayara langsung mengabarkan keberhasilannya hari ini. Ph Nay : Gue sudah dapat kos, Bang. Lu tenang aja. Satria Jayantaka : Lu serius mau kabur? Ph Nay : Mati aja lu, Bang sama bapak lu. Satria Jayantaka : :D Kesal, Nayara membanting asal ponselnya yang ternyata jatuh ke lantai. Ketika ingat bagaimana kondisi keuangannya sekarang, dia langsung memeriksa kondisi ponsel. Untung saja dia tidak memakai ranjang. Ponselnya masih bisa diselamatkan. Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya bunyi dug yang tadi membuatnya segera siuman dari kealpaannya. Fyuhhh... Gia terkekeh melihat kelakuan teman sekamarnya ya
ITU adalah kejadian setahun lalu. Saat ini Nayara sedang berusaha mengumpulkan uang kuliah setelah berhasil membayar uang kos tahun kedua. Satu tahun ini dia terpaksa cuti kuliah. Nayara benar-benar tak sanggup mengumpulkan uang semester kampusnya yang baru sekarang dia rasa sangat mencekik. Sepanjang satu semester kemarin, dia full bekerja. Apa pun dia kerjakan termasuk di katering hasil rekomendasi ibu angkatnya. Ah, dia yang menahbiskan dirinya sebagai anak angkat. *** Beberapa bulan setelah pergi DI pagi menjelang siang itu Nayara antara panik dan ketakutan. Dia belum pernah merasakan ini sebelumnya. Dia merasa sudah amat sangat-sangat teramat berhemat sekali. Jumlah yang dia bawa dari rumah papa Jaya dulu hanya untuk bersenang-senang beberapa hari saja. Paling lambat seminggu. Kalau dia bisa bertahan tiga bulan dengan jumlah yang sama setelah dipotong biaya kos, itu adalah penghematan
TAPI ternyata tujuan mereka tidak sejauh yang Nayara kira. Tidak jauh dari perempatan, Gia masuk ke sebuah ruko.“Maakkk…” Gia tidak merasa harus menjaga suaranya agar terdengar anggun. Nayara yang masih kesal dan terengah-engah ternyata masih ada tenaga untuk menggerutu sambil membaca papan nama.Rumah Makan Tante Tita.Tu anak kapan warasnya sih? Mau makan gratis malah ke rumah makan gini.Sementara Nayara masih terengah dan menggerutu di luar, di dalam Gia sudah menyambar apron dan langsung dia pakai. Mendekati jam makan siang memang tempat ini semakin ramai. Setelah apronnya terpasang, dia mengambil apron satu lagi lalu langsung ke Nayara yang masih tercenung di teras ruko.“Eh, Bekicot Sawah, ngapain cengok di situ? Setan malas nyamber kalau siang gini. Panas.” Gia langsung menegakkan tubuh Nayara dan memasang apron yang dia bawa.
GIMANA proposal lu?” tanya Gia ketika Nayara masuk dan langsung rebah di ranjangnya dengan muka lusuh tertekuk-tekuk.“Papyrus nggak mau ngeluarin data kalau belum ada izin dari big boss,” jawabnya menggerutu.“Kan tinggal minta sama Pak Wirya aja.”“Itu boss Papyrus. I said big boss, founder Sastra MediaNesia. Manggala Abipraya Sastradinata.”“Ohh…” Gia mengerucutkan bibirnya. “Terus masalahnya apa lagi?”“Ya gue harus ketemu langsung sama si Mamang.”Hah? Mamang?”“Manggala itu.”“Panggilannya Mamang?”“Katanya dia marah kalau dipanggil Mang, Mamang, tapi ya kalau nggak ketauan kan bodo amat.”“Memang sudah kakek-kakek marah dipanggil Mamang?”“Nggak tau. G
SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,