GIMANA proposal lu?” tanya Gia ketika Nayara masuk dan langsung rebah di ranjangnya dengan muka lusuh tertekuk-tekuk.
“Papyrus nggak mau ngeluarin data kalau belum ada izin dari big boss,” jawabnya menggerutu.
“Kan tinggal minta sama Pak Wirya aja.”“Itu boss Papyrus. I said big boss, founder Sastra MediaNesia. Manggala Abipraya Sastradinata.”
“Ohh…” Gia mengerucutkan bibirnya. “Terus masalahnya apa lagi?”
“Ya gue harus ketemu langsung sama si Mamang.”
Hah? Mamang?”
“Manggala itu.”
“Panggilannya Mamang?”
“Katanya dia marah kalau dipanggil Mang, Mamang, tapi ya kalau nggak ketauan kan bodo amat.”
“Memang sudah kakek-kakek marah dipanggil Mamang?”
“Nggak tau. G
SETELAH ditinggalkan semena-mena oleh Manggala, Nayara merasa pikirannya kosong. Lelah semakin terasa. Tak peduli panas matahari menjelang tengah hari yang menusuk kulit, dia berjalan lunglai di trotoar. Perutnya berbunyi hebat. Nayara memang begitu, semua lari ke lapar dan tidur. Jika sedih, dia lapar, dia makan, lalu tidur. Marah dan stres pun begitu. Mungkin aktifitas hariannya yang padat memang membutuhkan energi sebanyak itu.Dia melangkah tak tentu arah. Hanya berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertemu founder Sastra MediaNesia. Maksudnya, kapan jengkelnya hilang sampai dia sanggup beramah tamah dan bersopan santun pada Manggala. Butuh waktu berapa lama sampai dia merasa sikap Manggala yang sok sibuk itu adalah wajar mengingat founder itu sibuk dan dia yang salah datang terlambat.Tanpa sadar dia sudah jauh dari jalan arteri.Perutnya benar-benar minta diisi. Dia melirik jam
SETELAH berbalas email beberapa kali akhirnya Nayara berhasil bersepakat dengan Lydia urusan janji temu dengan Manggala. Dan di sanalah Nayara sekarang. Duduk santai di sofa menunggu Manggala datang. Kedatangannya yang lima belas menit lebih awal disambut senyum ramah Lydia. Proposal sudah dia serahkan sejak awal. Tapi dia tetap membawa hard copy proposal juga. Lima menit menuju jam 9, Manggala datang. Nayara berdiri menyambutnya dan menganggukkan sedikit kepalanya. Lalu ketika Manggala masuk ke ruangannya, dia kembali duduk. Menunggu diizinkan masuk. Kali ini penampilan Nayara tidak sekacau sebelumnya. Meski style-nya masih sama tapi Nayara jelas terlihat lebih rapi. Tidak ada tragedi berlari dari halte yang membuatnya mandi keringat, terengah, dan kejadian-kejadian lain termasuk mengiba. Intinya, pagi ini semua aman terkendali. Sambil menunggu dipanggil, Nayara membaca kembali proposalnya. Berusaha menebak-nebak apa yang kira-kira akan dit
NAYARA butuh ide untuk skripsinya. Juga untuk novelnya. Tapi jengah membuatnya buntu otak. Sehingga dia berakhir di Rumah Makan Tante Tita. Melalui pesan WA Nayara mengajak Gia ke sana. Tapi ajakannya baru bisa dipenuhi ketika Gia sudah pulang kerja. Di sana Nayara menghabiskan energi dan kesalnya dengan menggosok meja. Bahkan ketika Mak Tita meledeknya untuk menggosok kamar mandi Nayara mengiyakan saja. Dia sudah ahli menggosok kamar mandi berkat didikan Gia dan latihan setahun lebih di kos. Dia merapikan nyaris semua hal di sana. Mak Tita membiarkan saja Nayara begitu. Malah menyemangatinya. Lepas maghrib, Nayara mulai kehabisan tenaga, tapi pengunjung justru semakin ramai. Lalu bala bantuan datang. Gia langsung bergabung dengan kesibukan kedai. Nyaris jam sembilan tapi pengunjung belum juga putus. Nayara dan Gia sudah menyerah sejak jam delapan. Mereka berakhir di meja kasir, menemani Mak Tita menerima pembayaran. “Sudah puas?” tanya Mak Tita yang jelas di
MAK Tita bangun dari kursi lalu menuju dapur. Menyendok nasi dan beberapa jenis lauk dan sayur di piring-piring terpisah. Sudah malam. Lauk yang tersisa pun sudah sangat terbatas. Lalu dia menyusun semuanya di nampan lebar. “Antar ke atas nih, Gee,” suruh Mak Tita sambil meletakkan sebotol air mineral di nampan. Gia bergerak gesit dan mengambil nampan dengan wajah cerah. “Wah, langganan spesial, Mak?” sahut Nayara. “Diantar ke atas loh.” “Soalnya dia nggak milih makan apa. Dikasih apa juga dia makan.” Tak lama Gia datang. “Ganteng sih, tapi sombong,” lapor Gia menyampaikan kesannya sambil mencebik. “Kalau orang ganteng namanyacool. Kalau jelek namanya sombong. Gimana sih lu. Nggak ngerti-ngerti aja perbedaan orang ganteng dan orang jelek,” sahut Nayara. “Dia memang begitu. Nggak banyak omong. Selalu ke sini sendiri. Katanya sih dia suka makan di sini karena menu makanan rumahan banget.” Mak Tita melirik jam, lalu
BAGI Manggala, malam itu sama seperti malam yang lain. Berusaha untuk bisa tertidur dengan berbagai cara. Lampu di kamarnya sangat temaram. Musik yang begitu lembut terdengar dari sound system. Asbaknya sudah penuh puntung rokok membuat harum aroma terapi terasa sangat sia-sia. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari tapi matanya tetap terbuka tanpa kantuk sedikit pun.Merasa sia-sia berusaha, putus asa, Manggala menyambar strip obat di nakas. Mengambil isinya sat u butir lalu menenggaknya malas. Lalu dia kembali memperbaiki posisi tidurnya. Menutup rapat-rapat selimut bahkan sampai menutupi seluruh kepala. Usahanya yang terakhir adalah memejamkan mata dan menghitung satu sampai seterusnya. Walau hitungannya sering terganggu kalimat dan wajah yang menyebutkan kalimat itu, dengan usaha keras, akhirnya Manggala bisa tertidur.***Bagi Manggala, pagi itu sama seperti pagi yang lain. Bangun tanpa rasa segar, menggeliatkan tubu
SEPENINGGALAN Nayara, kepala Manggala masih berdenyut. Mungkin sakit kepala yang membuat dia lebih gampang mengiyakan proposal itu. Biar urusan cepat selesai.Sebenarnya dia tidak akan rugi jika mengiyakan saja Nayara membahas apa pun di skirpsinya. Tapi ini adalah asas manfaat. Dia mau data yang dia keluarkan tidak sia-sia. Data yang keluar harus berguna bagi Papyrus.Memang kenapa harus berguna?Agar Sastra MediaNesia semakin besar.Kenapa harus membesarkan SasMen?Hanya sesingkat itu monolog Manggala. Berakhir dengan dia memejamkan mata rapat. Kepalanya semakin berdenyut. Ada yang mengganjal untuk urusan membersarkan SasMed. Dia sangat ingin perusahaannya membesar. Semua upaya dia
BUTUH dua hari untuk mereka menunggu Disty memenuhi janjinya. Sore itu dia meminta mereka menemuinya di sebuah rumah makan. Ketika mereka sampai dia sudah duduk sendirian di sebuah gazebo. Meja makan penuh makanan, dia bahkan sudah memesankan minuman fave kakak-kakaknya. Melihatnya baik-baik saja, Nayara merasa lega. Sungguh, Nayara mengerti jika dia mengambil jalan seperti jalannya. Tapi tidak sekarang. Dia masih di bawah umur. “Makan dulu aja, Kak, Bang.” Nayara memastikan kata hatinya, melihat Disty baik-baik saja, dia merasa lega. Tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Berusaha mengabaikan kelakuan adiknya, dan melihat makanan lezat, Nayara sedikit banyak terpengaruh dan mulai makan. Jaya pun demikian. Tapi entah kenapa, Nayara merasa ada yang terasa kurang tepat. Perasaannya tak enak. Terasa ada hal lain yang akan mengganggunya. Akibatnya, makanan lezat itu hanya dia nikmati alakadarnya saja. Ketika dia sudah berusaha santai, duduk bersandar di dinding ka
MEREKA—Disty dan lelakinya—berpamit ala kadarnya. Tak ada salam, tak ada pelukan. Hanya mengabarkan mereka akan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk mencerna semua ini. Hari benar-benar sudah menjadi malam ketika Nayara merasa lelah berdiam diri saja bersama Jaya. Dia mengajak Jaya pulang. Mereka melangkah gontai meninggalkan gazebo. Ketika tidak ada yang menghentikan mereka, Nayara yakin semua kerusakan sudah diselesaikan dengan rupiah oleh Disty. “Lu mau nikahin mereka?” Di depan mobil Jaya, Nayara akhirnya bisa bertanya. Jaya tak jadi membuka pintu mobil. Dia hanya berdiri mematung menghadap Nayara yang melihat ke arahnya. Mereka dipisahkan mobil. Lalu Jaya berbalik membelakanginya. Tak lama Jaya menendang angin. Tak ingin ada kerusakan yang lain, Nayara bergegas ke arahnya. Mereka dipinggir jalan. Jika dia mengamuk dan tak sadar posisi, bisa saja dia menggelinding ke jalan raya. Lalu tergilas. Apa itu lebih baik?