SEPENINGGALAN Nayara, kepala Manggala masih berdenyut. Mungkin sakit kepala yang membuat dia lebih gampang mengiyakan proposal itu. Biar urusan cepat selesai.
Sebenarnya dia tidak akan rugi jika mengiyakan saja Nayara membahas apa pun di skirpsinya. Tapi ini adalah asas manfaat. Dia mau data yang dia keluarkan tidak sia-sia. Data yang keluar harus berguna bagi Papyrus.
Memang kenapa harus berguna?
Agar Sastra MediaNesia semakin besar.
Kenapa harus membesarkan SasMen?
Hanya sesingkat itu monolog Manggala. Berakhir dengan dia memejamkan mata rapat. Kepalanya semakin berdenyut. Ada yang mengganjal untuk urusan membersarkan SasMed. Dia sangat ingin perusahaannya membesar. Semua upaya dia
BUTUH dua hari untuk mereka menunggu Disty memenuhi janjinya. Sore itu dia meminta mereka menemuinya di sebuah rumah makan. Ketika mereka sampai dia sudah duduk sendirian di sebuah gazebo. Meja makan penuh makanan, dia bahkan sudah memesankan minuman fave kakak-kakaknya. Melihatnya baik-baik saja, Nayara merasa lega. Sungguh, Nayara mengerti jika dia mengambil jalan seperti jalannya. Tapi tidak sekarang. Dia masih di bawah umur. “Makan dulu aja, Kak, Bang.” Nayara memastikan kata hatinya, melihat Disty baik-baik saja, dia merasa lega. Tidak ada yang perlu dia khawatirkan. Berusaha mengabaikan kelakuan adiknya, dan melihat makanan lezat, Nayara sedikit banyak terpengaruh dan mulai makan. Jaya pun demikian. Tapi entah kenapa, Nayara merasa ada yang terasa kurang tepat. Perasaannya tak enak. Terasa ada hal lain yang akan mengganggunya. Akibatnya, makanan lezat itu hanya dia nikmati alakadarnya saja. Ketika dia sudah berusaha santai, duduk bersandar di dinding ka
MEREKA—Disty dan lelakinya—berpamit ala kadarnya. Tak ada salam, tak ada pelukan. Hanya mengabarkan mereka akan pergi meninggalkan mereka berdua yang masih sibuk mencerna semua ini. Hari benar-benar sudah menjadi malam ketika Nayara merasa lelah berdiam diri saja bersama Jaya. Dia mengajak Jaya pulang. Mereka melangkah gontai meninggalkan gazebo. Ketika tidak ada yang menghentikan mereka, Nayara yakin semua kerusakan sudah diselesaikan dengan rupiah oleh Disty. “Lu mau nikahin mereka?” Di depan mobil Jaya, Nayara akhirnya bisa bertanya. Jaya tak jadi membuka pintu mobil. Dia hanya berdiri mematung menghadap Nayara yang melihat ke arahnya. Mereka dipisahkan mobil. Lalu Jaya berbalik membelakanginya. Tak lama Jaya menendang angin. Tak ingin ada kerusakan yang lain, Nayara bergegas ke arahnya. Mereka dipinggir jalan. Jika dia mengamuk dan tak sadar posisi, bisa saja dia menggelinding ke jalan raya. Lalu tergilas. Apa itu lebih baik?
MANGGALA sudah memasuki jalan kampung dan Nayara belum terbangun. Jalanan yang sempit, mendaki, dan berbatu memang tidak terasa di mobil ini. Tapi selelap itukah tidurnya? pikir Manggala lagi.Kembali dia melirik ke samping. Mungkin kali ini sedikit lama sampai dia tak sempat melihat jalan. Dan tiba-tiba dia tersentak menghantam sebuah gundukan.Sentakan itu berhasil membuat Nayara menggeliat. Manggala kembali berkonsentrasi pada jalan di depannya. Sebentar lagi mereka sampai di tujuan.Manggala melirik ke samping dan melihat Nayara sudah bangun. Nayara sedikit tersentak melihat kondisi sekitar, dia menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat situasi. Tapi untuk ukuran orang yang baru bangun tidur dan bersama orang asing, dia tidak terlalu terkejut apalagi ketakutan.Hhmm…Gadis yang berani, pikir Manggala.“Kita di mana ini, Pak?” tanya Nayara sambil kepalanya menoleh ke segala arah.“Seb
MALAM semakin larut. Udara semakin dingin. Nayara semakin mengeratkan duduknya. Dia hanya memakai apa yang sejak tadi dia pakai. Yang jika tadi dia gunakan sebagai handuk berarti bajunya pun agak basah. Tapi dia tidak mengeluh sama sekali. Dia terus mengetik, hanya sesekali berhenti, entah untuk berpikir atau untuk menggosok kedua tangannya. Atau untuk keduanya sekalian.Malam semakin larut lagi, Nayara terus asyik dengan laptopnya. Tak peduli suara TV yang menyala, apalagi pada orang yang duduk di depan TV tapi tidak menonton. Manggala melirik jam di dinding, sudah nyaris pukul dua dan tamunya terlihat masih sangat segar. Tapi tak heran, dia tidur sepanjang perjalanan. Sementara Manggala nyaris 48 jam tidak tidur.Sampai akhirnya Manggala memutuskan ke kamar, entah untuk apa. Dia melirik Nayara yang abai dengan semua gerakannya. Tanpa perlu berpamit, Manggala meninggalkan Nayara. Mungkin dia bukan tuan rumah yang ramah. Tapi dia memang bukan manusia yang ramah. Mangga
MANGGALA belum tidur sama sekali ketika menyadari malam tergelap sudah terlewati. Sebentar lagi fajar. Dia memang biasa tak tidur sepanjang malam. Rasa badan yang tak keruan tak jelas sudah biasa dia rasakan. Menggeliat, dia berusaha meregangkan otot-otot yang kaku. Saat itulah dia teringat tamunya.Sedang apa dia sekarang? ujarnya dalam hati sambil bergerak dan duduk di tepi ranjang. Dia hanya menyambar yukata[1] yang tersampir di ujung ranjang lalu perlahan membuka pintu.Gadis itu sudah tidak ada di sofa tempatnya terakhir terlihat.Secarik kertas terlihat mencolok di meja. Dia ambil lalu dia baca.Pak, terima kasih tumpangannya. Tumpangan mobil dan rumah. Sudah fajar, saya pamit. Maaf merepotkan dan mengganggu. -Nayara-Ah, dia benar-benar pergi ketika fajar sudah datang meski dunia masih sangat gelap. Berarti dia baru saja pergi, pikirnya lagi. Mangg
AKHIRNYA pergelangan kakinya berakhir di dokter dan tradisional. Demi menghindari dibungkus gips dan memakai kruk, dia mencari tukang urut. Setelah terasa agak lentur dan sakitnya berkurang, dia pergi ke dokter. Kali ini demi rongent dan obat anti nyeri. Cukup berhasil sehingga pagi ini dia bisa ke kantor tanpa kruk walau masih tertatih untuk keberhati-hatian saja. Dulu, sebagai editor paruh waktu semua pekerjaan dia kerjakan melalui internet. Tapi sesekali dia tetap ke kantor Papyrus. Di area Papyrus ada space bebas yang benar-benar bebas dipakai untuk keperluan apa pun. Dua meja panjang berjajar yang bisa dipakai berhadap-hadapan di samping kubikel staf permanen. Sering juga dipakai staf yang bosan di mejanya. Atau dipakai untuk meeting santai atau bergunjing seru. Tempat itulah yang akhirnya menjadi meja kerjanya ketika dia di Papyrus. Dia nyaman di ruangan yang menurutnya menyenangkan itu. Atmosfernya pun demikian. Sejak kabur dari rumah, bersamaan deng
NAYARA diganggu sekelompok pemuda yang jika malam sering hang out di jalan itu. Manggala sedang memutuskan untuk membantunya atau tidak ketika Nayara berhasil memberikan jab mantap ke hulu hati seorang lelaki. Lelaki itu sampai mundur selangkah. Mungkin tidak siap menerima pukulan karena dia tidak menyangka seorang gadis bisa memberinya pukulan sekeras itu.“SINI LU, BANCI!!! BERANINYA SAMA CEWEK!” Nayara berteriak kencang sambil mengacungkan kepalan tangan, membuat Manggala tersenyum sambil menyandarkan tangannya di jendela. Dia mendekatkan tangannya ke mulut, menutupi senyuman itu.Bagaimana dia tidak tersenyum, dia melihat Nayara memasang kuda-kuda siap menyerang. Dan itu cukup membuat pemuda yang lain ciut. Sementara satu pemuda yang sudah merasakan jab seorang gadis masih terbungkuk di belakang temannya.Tak lama keamanan kompleks muncul, dan keributan selesai. Terlihat gadis itu berjalan—masih—terpincang melewati kelompok p
NAYARA duduk diam di sisi penumpang dengan Jaya sebagai supir. Mereka hanya diam karena untuk apa lagi bercakap? Apa yang akan mereka bincangkan? Mereka berdua terpaksa berada di kendaraan yang sama dan menuju tempat yang sama. Pernikahan Disty. Pun mereka tidak setuju dan Jaya tidak mau menjadi walinya, bocah itu tetap akan menikah. Biarlah kedatangan mereka ke acara adiknya sebagai tanda meeka menyetujui rencana hidupnya. Anggap saja balasan atas keabaian mereka kemarin.Sesampainya di sana Nayara melanjutkan diamnya. Tak ada yang dia kenal sama sekali. Memang Disty hanya mengundang sedikit tamu. Acara resepsi di sebuah restoran yang jumlah undangannya sesuai jumlah kursi yang mengelilingi meja-meja bulat berkursi enam. Nayara ingin duduk di meja sudut tapi Disty menempatkan kakak-kakaknya di mejanya, meja utama. Jadilah sekarang Nayara duduk di antara Disty dan Jaya sambil berusaha memasang senyum manis dan anggun. Konsekunesi dari senyum yang terpaksa dipasang adalah kram