MANGGALA belum tidur sama sekali ketika menyadari malam tergelap sudah terlewati. Sebentar lagi fajar. Dia memang biasa tak tidur sepanjang malam. Rasa badan yang tak keruan tak jelas sudah biasa dia rasakan. Menggeliat, dia berusaha meregangkan otot-otot yang kaku. Saat itulah dia teringat tamunya.
Sedang apa dia sekarang? ujarnya dalam hati sambil bergerak dan duduk di tepi ranjang. Dia hanya menyambar yukata[1] yang tersampir di ujung ranjang lalu perlahan membuka pintu.
Gadis itu sudah tidak ada di sofa tempatnya terakhir terlihat.
Secarik kertas terlihat mencolok di meja. Dia ambil lalu dia baca.
Pak, terima kasih tumpangannya. Tumpangan mobil dan rumah. Sudah fajar, saya pamit. Maaf merepotkan dan mengganggu.
-Nayara-
Ah, dia benar-benar pergi ketika fajar sudah datang meski dunia masih sangat gelap. Berarti dia baru saja pergi, pikirnya lagi. Mangg
AKHIRNYA pergelangan kakinya berakhir di dokter dan tradisional. Demi menghindari dibungkus gips dan memakai kruk, dia mencari tukang urut. Setelah terasa agak lentur dan sakitnya berkurang, dia pergi ke dokter. Kali ini demi rongent dan obat anti nyeri. Cukup berhasil sehingga pagi ini dia bisa ke kantor tanpa kruk walau masih tertatih untuk keberhati-hatian saja. Dulu, sebagai editor paruh waktu semua pekerjaan dia kerjakan melalui internet. Tapi sesekali dia tetap ke kantor Papyrus. Di area Papyrus ada space bebas yang benar-benar bebas dipakai untuk keperluan apa pun. Dua meja panjang berjajar yang bisa dipakai berhadap-hadapan di samping kubikel staf permanen. Sering juga dipakai staf yang bosan di mejanya. Atau dipakai untuk meeting santai atau bergunjing seru. Tempat itulah yang akhirnya menjadi meja kerjanya ketika dia di Papyrus. Dia nyaman di ruangan yang menurutnya menyenangkan itu. Atmosfernya pun demikian. Sejak kabur dari rumah, bersamaan deng
NAYARA diganggu sekelompok pemuda yang jika malam sering hang out di jalan itu. Manggala sedang memutuskan untuk membantunya atau tidak ketika Nayara berhasil memberikan jab mantap ke hulu hati seorang lelaki. Lelaki itu sampai mundur selangkah. Mungkin tidak siap menerima pukulan karena dia tidak menyangka seorang gadis bisa memberinya pukulan sekeras itu.“SINI LU, BANCI!!! BERANINYA SAMA CEWEK!” Nayara berteriak kencang sambil mengacungkan kepalan tangan, membuat Manggala tersenyum sambil menyandarkan tangannya di jendela. Dia mendekatkan tangannya ke mulut, menutupi senyuman itu.Bagaimana dia tidak tersenyum, dia melihat Nayara memasang kuda-kuda siap menyerang. Dan itu cukup membuat pemuda yang lain ciut. Sementara satu pemuda yang sudah merasakan jab seorang gadis masih terbungkuk di belakang temannya.Tak lama keamanan kompleks muncul, dan keributan selesai. Terlihat gadis itu berjalan—masih—terpincang melewati kelompok p
NAYARA duduk diam di sisi penumpang dengan Jaya sebagai supir. Mereka hanya diam karena untuk apa lagi bercakap? Apa yang akan mereka bincangkan? Mereka berdua terpaksa berada di kendaraan yang sama dan menuju tempat yang sama. Pernikahan Disty. Pun mereka tidak setuju dan Jaya tidak mau menjadi walinya, bocah itu tetap akan menikah. Biarlah kedatangan mereka ke acara adiknya sebagai tanda meeka menyetujui rencana hidupnya. Anggap saja balasan atas keabaian mereka kemarin.Sesampainya di sana Nayara melanjutkan diamnya. Tak ada yang dia kenal sama sekali. Memang Disty hanya mengundang sedikit tamu. Acara resepsi di sebuah restoran yang jumlah undangannya sesuai jumlah kursi yang mengelilingi meja-meja bulat berkursi enam. Nayara ingin duduk di meja sudut tapi Disty menempatkan kakak-kakaknya di mejanya, meja utama. Jadilah sekarang Nayara duduk di antara Disty dan Jaya sambil berusaha memasang senyum manis dan anggun. Konsekunesi dari senyum yang terpaksa dipasang adalah kram
SEPERTINYA sudah sangat lama Nayara meninggalkan dunia gemerlapnya. Dia tidak mau lagi mengeluarkan uangnya untuk dunia itu. Tapi jika ada temannya yang mentraktir, sesekali dia masih mau pergi. Jika ada ajakan dan ada waktu luang, dia tidak mau membuang kesempatan menghibur diri.Seperti malam ini. Saat dia sedang suntuk dengan semua tugas kantor dan kampus, pesan masuk di grup Whatsapp-nya mengajak dia bergabung di dunia gemerlap. Kali ini, walaupun harus membayar sendiri, dia akan pergi. Kepalanya sudah penuh, tubuhnya penat. Dia benar-benar butuh hiburan.***Lagi-lagi dia disambut dengan kehangatan ala dunia malam. Pelukan rindu dan sebuah bibir gelas berisi minuman beralkohol langsung ada di depan bibirnya. Dia terkekeh mengetahui isi gelas itu. Dia mengambil dari tangan temannya lalu mereka bersulang. Isi gelas mulai berpindah ke lambungnya.“Gitu dong. Tau selera teman.”Kali ini beberapa teman lelaki
“GEE, jalan yuk.”“Ogah, capek.”“Ayo ah.” Nayara menarik tangan Gia. “Temenin jenguk pembimbing gue. Pulangnya kita ke Blok S.”“Traktir ye.”“Iye.” Nayara tertawa ketika melihat Gia langsung berdiri. Iya, sereceh itu menyogok Gia.Pernikahan adiknya sudah lama berlalu. Dia sudah melupakan pikiran-pikiran anehnya. Sebenarnya belum terlalu lama. Hanya minggu lalu. Tapi terasa sudah begitu lama karena memang dia tidak memikirkan lagi soal pernikahan dan pernak pernik ceritanya. Walau berat, dia menerima ucapan Gia sebagai sebuah kebenaran.“Banyak duit nih kayaknya,” ujar Gia ketika menemani Nayara berbelanja buah tangan yang memang berupa buah.“Sebagai mantan anak horang kayah, teman-teman gue juga pada tajir. Risikonya ya begini. Bagus sekarang gue beli di kaki lima, dulu mah ya beli aja di rumkit. Emejing harganya.&rdqu
MAHASISWA fakir tapi berkuliah di universitas mahal seperti Nayara tentu mengisi waktu luang dengan mengumpulkan keping rupiah. Termasuk akhir pekan. Tak ada waktu berkencan. Dulu begitu, apalagi sekarang. Akhir pekan adalah pesta. Pesta adalah jamuan berlimpah. Dan jamuan berlimpah butuh tenaga pelayan. Untuk itulah Nayara ada di sebuah pesta. Melayani. Termasuk membersihkan lantai, mengumpulkan piring kotor. Pekerjaan ini dia dapatkan dari Mak Tita. Hasilnya tak sebanding dengan lelah dan nominal SPP yang berusaha dia kumpulkan. Tapi Nayara tidak peduli. Yang penting tenaganya keluar dan menghasilkan uang.Seperti malam minggu ini.Malam ini dia bertugas di ballroom sebuah hotel bintang lima. Sambil bekerja, sesekali bayangan bahwa dulu dia ada di barisan para tamu yang sedang berpesta dan dilayani. Sekarang dia bekerja melayani mereka. Tapi kebebasan memang mahal. Apalagi kebahagiaan. Untuk mendapatkan dua hal itu Nayara merasa sudah membayar dengan harga y
SESUAI janjinya—memberikan laporan berkala pada Manggala—Nayara membuat janji temu dengan Manggala melalui sekertarisnya. Kali ini waktu yang diberikan lepas makan siang. Membuat Nayara bisa lebih santai. Dia sejak pagi ada di Papyrus. Dia tak tahu Manggala ada di dalam atau di mana. Dia hanya duduk di sofa menunggu dipanggil.Lift terbuka dan membawa keluar Manggala yang langsung melihat Nayara yang sedang memainkan ponsel.“Miss Nayara,” panggilnya.“Ya?” Nayara segera mendongak.“Ayo.”Nayara sigap berdiri dan mengekor di belakang Manggala.“Di sana aja. Meja gue berantakan.” Manggala menunjuk sofa. Nayara tentu menuruti saja walau dalam hati bersorak dengan pilihan penggunaaan kata ganti orang pertama tunggalnya. Semoga ini pertanda Manggala lebih jinak.Nayara duduk dan mengeluarkan draft skirpsi sementara Manggala mengerjakan entah apa di meja kerjanya.“Ka
NAYARA kembali ke kubikelnya. Berusaha berkonsentrasi dengan naskah yang harus dia edit. Bahkan demi mengejar deadline, denting-denting notifikasi di ponsel dia abaikan. Sampai merasa jenuh, dia bersandar dan menyambar ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak terdaftar di phonebook berada di tengah list. Sepotong pesan yang terbaca membuatnya bergegas membuka chat itu.+62 811-xxxx-xxx : Nanti malam di Mak, would you? [M]Hanya itu isi chat-nya. Tentu dia langsung tahu itu siapa. Dia langsung mendengus dan membalas singkat.Ph Nay : OksSebenarnya Nayara malas ke sana. Gia sedang pulang ke rumahnya. Bukan karena akan sendirian di sana, tapi banyak yang mau dia kerjakan di kamar kos. Tapi baiklah, pun Manggala bukan fo
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,