“GEE, jalan yuk.”
“Ogah, capek.”
“Ayo ah.” Nayara menarik tangan Gia. “Temenin jenguk pembimbing gue. Pulangnya kita ke Blok S.”
“Traktir ye.”
“Iye.” Nayara tertawa ketika melihat Gia langsung berdiri. Iya, sereceh itu menyogok Gia.
Pernikahan adiknya sudah lama berlalu. Dia sudah melupakan pikiran-pikiran anehnya. Sebenarnya belum terlalu lama. Hanya minggu lalu. Tapi terasa sudah begitu lama karena memang dia tidak memikirkan lagi soal pernikahan dan pernak pernik ceritanya. Walau berat, dia menerima ucapan Gia sebagai sebuah kebenaran.
“Banyak duit nih kayaknya,” ujar Gia ketika menemani Nayara berbelanja buah tangan yang memang berupa buah.
“Sebagai mantan anak horang kayah, teman-teman gue juga pada tajir. Risikonya ya begini. Bagus sekarang gue beli di kaki lima, dulu mah ya beli aja di rumkit. Emejing harganya.&rdqu
MAHASISWA fakir tapi berkuliah di universitas mahal seperti Nayara tentu mengisi waktu luang dengan mengumpulkan keping rupiah. Termasuk akhir pekan. Tak ada waktu berkencan. Dulu begitu, apalagi sekarang. Akhir pekan adalah pesta. Pesta adalah jamuan berlimpah. Dan jamuan berlimpah butuh tenaga pelayan. Untuk itulah Nayara ada di sebuah pesta. Melayani. Termasuk membersihkan lantai, mengumpulkan piring kotor. Pekerjaan ini dia dapatkan dari Mak Tita. Hasilnya tak sebanding dengan lelah dan nominal SPP yang berusaha dia kumpulkan. Tapi Nayara tidak peduli. Yang penting tenaganya keluar dan menghasilkan uang.Seperti malam minggu ini.Malam ini dia bertugas di ballroom sebuah hotel bintang lima. Sambil bekerja, sesekali bayangan bahwa dulu dia ada di barisan para tamu yang sedang berpesta dan dilayani. Sekarang dia bekerja melayani mereka. Tapi kebebasan memang mahal. Apalagi kebahagiaan. Untuk mendapatkan dua hal itu Nayara merasa sudah membayar dengan harga y
SESUAI janjinya—memberikan laporan berkala pada Manggala—Nayara membuat janji temu dengan Manggala melalui sekertarisnya. Kali ini waktu yang diberikan lepas makan siang. Membuat Nayara bisa lebih santai. Dia sejak pagi ada di Papyrus. Dia tak tahu Manggala ada di dalam atau di mana. Dia hanya duduk di sofa menunggu dipanggil.Lift terbuka dan membawa keluar Manggala yang langsung melihat Nayara yang sedang memainkan ponsel.“Miss Nayara,” panggilnya.“Ya?” Nayara segera mendongak.“Ayo.”Nayara sigap berdiri dan mengekor di belakang Manggala.“Di sana aja. Meja gue berantakan.” Manggala menunjuk sofa. Nayara tentu menuruti saja walau dalam hati bersorak dengan pilihan penggunaaan kata ganti orang pertama tunggalnya. Semoga ini pertanda Manggala lebih jinak.Nayara duduk dan mengeluarkan draft skirpsi sementara Manggala mengerjakan entah apa di meja kerjanya.“Ka
NAYARA kembali ke kubikelnya. Berusaha berkonsentrasi dengan naskah yang harus dia edit. Bahkan demi mengejar deadline, denting-denting notifikasi di ponsel dia abaikan. Sampai merasa jenuh, dia bersandar dan menyambar ponsel. Sebuah pesan dari nomor tak terdaftar di phonebook berada di tengah list. Sepotong pesan yang terbaca membuatnya bergegas membuka chat itu.+62 811-xxxx-xxx : Nanti malam di Mak, would you? [M]Hanya itu isi chat-nya. Tentu dia langsung tahu itu siapa. Dia langsung mendengus dan membalas singkat.Ph Nay : OksSebenarnya Nayara malas ke sana. Gia sedang pulang ke rumahnya. Bukan karena akan sendirian di sana, tapi banyak yang mau dia kerjakan di kamar kos. Tapi baiklah, pun Manggala bukan fo
“MANGGALA…” panggil Nayara tapi matanya tetap menatap lurus ke depan. “Lu mau gue pergi apa stay?” Suaranya pelan dan lembut.Manggala masih diam.Meski lugas dalam bisnisnya dan tetap bisa akrab dengan teman-temannya tapi Manggala adalah pribadi yang tertutup. Dia hanya mengizinkan orang-orang di sekitarnya untuk melihat kulit luarnya saja. Manggala, pengusaha muda yang mulai menanjak. Tertutup sejak kecil membuatnya terbiasa sendiri. Menguliti dirinya sendiri untuk melihat dirinya sendiri. Lalu sakit sendiri.“Maaf kalau omongan gue tadi salah. Apalagi sampai nyakitin lu. Gue nggak maksud begitu,” lanjut Nayara lagi.“Lu nggak salah. Gue yang salah,” balas Manggala cepat. Nayara langsung menoleh ke arah Manggala. “Kalau lu mau pulang, gue antar.”“Gue tanya, lu mau gue pergi? Bukan artinya gue mau pergi.” Nayara menjelaskanManggala diam. Bukan tidak ma
SEAKAN baru kemarin dia menemani Manggala menggalau di pantai. Tapi ternyata sudah seminggu berlalu. Kesibukan membuat mereka tidak pernah bertemu walau hanya dipisahkan dua lantai. Kesibukan pula yang membuat Nayara tidak pernah lagi memikirkan Manggala. Tapi malam ini, saat dia terbaring sambil menatap langit-langit kamar kosnya dengan backsound dengkur halus Gia, tiba-tiba dia teringat sosok itu. Nayara yakin, semua orang melihat Manggala sebagai sosok yang sempurna. Dikarunia fisik yang berlebih, otak yang cemerlang, dan karir yang menapak mantap. Tapi setelah kebersamaan mereka minggu lalu, Nayara yakin, Manggala juga memiliki luka. Memang tidak ada manusia yang sempurna. Entah itu dirinya mau pun kehidupannya. Nayara pun yakin luka dia dan luka Manggala berasal dari goresan yang sama. Walau mungkin beda cerita, tapi sepertinya Manggala sampai sekarang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia terluka. Atau dia tahu ada luka tapi tidak dia obati? Atau dia
DI tempat yang baru mereka tinggalkan, dua pengurus rumah tangga membenarkan pernyataan Nayara tentang pemilik mobil yang dia tabrak sekaligus menceritakan kronologis lengkap. Dari mereka membantu Lily sampai akhinya mereka tiba di rumah sakit.Perjalanan itu tidak jauh. Nayara yang masih penuh emosi tidak tahu ke mana Manggala membawanya. Dia hanya ikut saja ketika Manggala menariknya memasuki lobby, menaiki lift, meniti lorong, dan melewati sebuah pintu. Di depan sebuah sofa baru Manggala melepas cengkeramannya lalu membiarkan Nayara terpental jatuh di atas sofa ketika dia membanting tubuhnya.Manggala duduk di samping Nayara, tangannya terjulur menyentuh ujung bibir Nayara.“Lu berdarah.” Nayara mengabaikan info itu. “Tunggu sebentar. Gue cari obat. Lu nggak boleh ke mana-mana jadi gue kunciin lu di sini.”Nayara mendelik ke arah Manggala yang hanya dihadiahi kedikan bahu saja.“Kalau mau bersih-bersih, sok atuh
JAM yang berganti menjadi hari, melewati titik-titik simpangan waktu setiap manusia yang bergerak bersamaan. Begitulah dunia berubah setiap saat. Dalam putaran yang konstan yang manusia sebut sebagai waktu.Pertemuan Manggala dengan Nayara nyaris dua minggu lalu berakhir di dini hari menjelang pagi. Nayara menolak tawarannya mengantar pulang. Tapi dia berhasil menahan Nayara sampai langit mulai berwarna demi alasan keamanan. Sesekali bayangan gadis itu hadir di memorinya, yang kadang bertahan agak lama tapi lebih sering menghilang tanpa jejak. Sementara sosok Manggala di mata Nayara tidak lagi sekaku saat dia pertama melihatnya. Manggala sudah berubah menjadi manusia yang lebih humanis dengan kesigapannya membantu melepaskankan Nayara dari jerat masalah yang bisa saja terjadi ketika gadis itu semakin tidak terkontrol.Ketika dirinya sudah lebih tenang, Nayara tahu, jika kemarin Manggala tidak menyeretnya pergi, dia tentu akan membalas perlakuan Harsa dengan lebih sadis
PERJALANAN singkat mereka berakhir di sebuah gedung pencakar langit. Manggala mengarahkan Nayara menuju lift lalu mereka berakhir di sebuah restoran di rooftop. Manggala memilih meja di paling tepi dan nyaris tersudut.Menunggu pesanan datang, tak ada yang mereka kerjakan. Sumpah, kesunyian seperti ini sungguh menyebalkan. Di saat pasangan lain saling menatap mesra mereka malah diam tertunduk sambil memainkan ponsel. Mereka memang bukan pasangan, tapi berdua di tempat ini membuat mereka seperti pasangan yang akan memutuskan kata putus.Akhirnya Nayara meletakkan setengah membanting ponselnya.Jengah.“Lu tuh hobi banget nyomot orang di tengah jalan terus dicuekin ya?”“Sorry. Gue nggak mau ganggu lu.”“Kalau gitu ngapain tadi ngajak ke sinii?”“Lu terganggu ke sini?”“Gue terganggu karena dicomot di tengah jalan lalu dicuekin. Mending gue pulang aja.”