Home / Romansa / Patah / 30, Di Depan Booth Kopi

Share

30, Di Depan Booth Kopi

last update Last Updated: 2021-09-18 10:00:02

JAM yang berganti menjadi hari, melewati titik-titik simpangan waktu setiap manusia yang bergerak bersamaan. Begitulah dunia berubah setiap saat. Dalam putaran yang konstan yang manusia sebut sebagai waktu.

Pertemuan Manggala dengan Nayara nyaris dua minggu lalu berakhir di dini hari menjelang pagi. Nayara menolak tawarannya mengantar pulang. Tapi dia berhasil menahan Nayara sampai langit mulai berwarna demi alasan keamanan. Sesekali bayangan gadis itu hadir di memorinya, yang kadang bertahan agak lama tapi lebih sering menghilang tanpa jejak. Sementara sosok Manggala di mata Nayara tidak lagi sekaku saat dia pertama melihatnya. Manggala sudah berubah menjadi manusia yang lebih humanis dengan kesigapannya membantu melepaskankan Nayara dari jerat masalah yang bisa saja terjadi ketika gadis itu semakin tidak terkontrol.

Ketika dirinya sudah lebih tenang, Nayara tahu, jika kemarin Manggala tidak menyeretnya pergi, dia tentu akan membalas perlakuan Harsa dengan lebih sadis

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Patah   31, CCTV

    PERJALANAN singkat mereka berakhir di sebuah gedung pencakar langit. Manggala mengarahkan Nayara menuju lift lalu mereka berakhir di sebuah restoran di rooftop. Manggala memilih meja di paling tepi dan nyaris tersudut.Menunggu pesanan datang, tak ada yang mereka kerjakan. Sumpah, kesunyian seperti ini sungguh menyebalkan. Di saat pasangan lain saling menatap mesra mereka malah diam tertunduk sambil memainkan ponsel. Mereka memang bukan pasangan, tapi berdua di tempat ini membuat mereka seperti pasangan yang akan memutuskan kata putus.Akhirnya Nayara meletakkan setengah membanting ponselnya.Jengah.“Lu tuh hobi banget nyomot orang di tengah jalan terus dicuekin ya?”“Sorry. Gue nggak mau ganggu lu.”“Kalau gitu ngapain tadi ngajak ke sinii?”“Lu terganggu ke sini?”“Gue terganggu karena dicomot di tengah jalan lalu dicuekin. Mending gue pulang aja.”

    Last Updated : 2021-09-20
  • Patah   32, The Ocean, Adriatic, 17th Fl

    NAYARA melirik jam dinding di kamar kos. Sudah nyaris tengah malam. Tapi matanya masih nyalang menatap langit-langit bercat kusam. Melihat pendar cahaya lampu. Kesendirian membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Ke skirpsinya, ke tulisannya, ke orang-orang sekitarnya, termasuk ke Manggala.Sementara di tempat yang lain, Jaya sedang menikmati malam. Beberapa set sofa dan kursi disusun sepanjang dinding, salah satu set itu diisi Jaya. Dia asyik menikmati musik mengentak. Seorang perempuan cantik duduk sambil memegang botol Jack Daniel yang ketika gelas di tangan Jaya kosong langsung dia isi.Sebuah sosok mengganggu santainya. Sosok yang sedang menghalau kasar seorang perempuan. Dia sering melihat sosok itu di tempat seperti ini. Tapi ada bayangan lain yang mengganggu. Dia pernah melihat sosok itu di tempat lain selain di tempat hiburan malam.Di mana?Dia terus berusaha mengingat-ingat. Dan ketika ingatannya datang, dia langsung menyambar ponsel.

    Last Updated : 2021-09-22
  • Patah   33, Hang Over

    NAYARA tetap memapah Manggala sepanjang lorong menuju unitnya. Dia membiarkan Manggala membuka pintu dan kembali membantunya menuju sofa. Manggala langsung membanting tubuhnya sampai memantul.Nayara berkacak pinggang di depan sofa sambil memperhatikan sosok Manggala. Tapi melihat posisi jatuhnya yang tidak nyaman, Nayara bergerak memperbaiki posisi tidur Manggala.“Manggala, obat di mana?” Jika tak dibantu obat, ketika sadar dia akan tersiksa hang over. Manggala hanya bergumam sambil tangannya menepis udara, tangannya terjatuh menggantung ke lantai. “Gue cari obat dulu ya,” ujar Nayara bersiap pergi sambil memperbaiki posisi tangan Manggala.“Don’t.” Tangan lemah Manggala berhasil menahan laju Nayara.“Lu ada obat? Di mana?” Nayara langsung duduk di meja.“Don’t go anywhere.” Pegangan tangannya terlepas, membuat tangan Manggala menggantung lagi nyari

    Last Updated : 2021-09-24
  • Patah   34, Welcome Aboard

    WALAU tanpa suara alam, alarm tubuhnya membangunkan Nayara pagi itu.Dia terkejut menyadari di mana dia tidur. Apalagi ketika menyadari ada panas napas di wajahnya. Posisi mereka berubah. Manggala tidak lagi tidur telentang. Dia tidur miring menghadap Nayara. Tangannya tidak lagi menggenggam tangan Nayara. Ganti tangan yang lain tergeletak di perut Nayara. Bahkan sebelah kakinya tertumpang di tungkai Nayara.Melihat selimut yang tersibak, Nayara berdesir. Nyaris seluruh tubuh Manggala terbuka. Perlahan dia bergerak melepaskan diri lalu terburu merapikan selimut Manggala. Melihat pemandangan seperti itu tidak baik untuk kesehatan jantung perawan.Tapi yang sekilas itu ternyata membekas. Tungkai Manggala terlihat memesona di matanya. Tanpa sadar Nayara menghela napas ketika sudah terlepas dari Manggala dan berhasil merapikan selimut. Ternyata sejak tadi dia menahan napas.Merasa tak perlu tambahan olahraga jantung, Nayara pindah posisi. Dia melanjutkan tidu

    Last Updated : 2021-09-26
  • Patah   35, Sanctuary

    MENUNGGU pesanan datang, Manggala membersihkan tubuh. Air yang mengalir di seluruh permukaan kulit membuat tubuhnya terasa segar. Terasa lebih hidup. Dengan tubuh bersih yang menguarkan aroma kayu-kayuan dia merasa lebih percaya diri berada di dekat Nayara. DIa juga memastikan mulutnya tidak mengeluarkan bau bangkai ketika berbicara. Dia memilih t-shirt dan celana pendek selutut.Setelah mematut diri sejenak di cermin, setelah merasa dirinya cukup pantas menemui Nayara, dia keluar menjumpai gadis yang sedang duduk santai di sofa sambil berselancar di dunia maya dengan ponsel. Melihat Manggala keluar dengan penampilan yang terlihat sangat segar, tidak menyisakan jejak-jejak hang over sama sekali, Nayara tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Ini pengalaman pertama mengurus orang mabuk sendirian. Dan melihat tungkai Manggala tidak tertutup sempurna, mendadak pemandangan dini hati tadi membuatnya tersipu. Untunglah Manggala tidak menyadari itu.Pesanan da

    Last Updated : 2021-09-28
  • Patah   36, Tamu Kos

    SUARA ketukan di pintu mengganggu konsentrasi Nayara. Konsentrasi yang setengah mati dia kumpulkan sejak kepulangannya ke kamar ini. Skripsinya harus segera selesai. Pekerjaannya bertumpuk. Jika tertunda, maka dia harus hidup lebih hemat lagi. Jika itu terjadi, maka lupakan bersenang-senang di club, dia tidak mungkin selalu mengandalkan traktiran teman-temannya.Mendengus kesal, dia melirik jam. Siapa pula bertamu nyaris jam sepuluh malam? Sebentar lagi pagar terkunci. Sambil mengentakkan kaki kesal, dia berjalan lalu membuka pintu dan melongokkan kepala.Sosok yang berdiri membelakanginya tak langsung dia kenali. Lebih tepatnya tak percaya.“Hai.” Mendengar suara ceklik pintu, Manggala berbalik.“Eh, ada apa?” Hanya itu pertanyaan yang melintas di kepalanya.“May I come in?”Masih terpaku semi tak sadar, Nayara membuka pintu lebih lebar, membiarkan Manggala masuk lalu menelisik sekilas,

    Last Updated : 2021-09-30
  • Patah   37, Menyelundupkan Manggala

    SUARA ketukan di pintu membuat tidurnya terusik. Jam empat lewat. Pasti Gia. Bergegas membuka pintu, Gia menyambutnya dengan gerutu. “Siapa suruh kunci nggak dilepas. Bangun kan lu!” Gia langsung masuk dan langsung tertegun. “Astaga!” pekiknya tertahan. “Sshh... Jangan ribut!” Gia berjingkat mendekati ranjang. Ketika dia mengenali siapa soosk itu, matanya mendelik dan spontan menutup mulutnya sambil melihat ke arah Nayara. “Gimana bisa dia di sini, Goblok? Gue pikir abang lu. Astaga! Awas aja kalau sampai kita diusir Ibu Kos.” Dia menggeleng sambil duduk terhenyak di ranjangnya. “Gue nggak ngapa-ngapain.” “Peraturannya nggak boleh bawa masuk cowok. Bukan harus ngapa-ngapain dulu baru nggak boleh, Nayara!” Gia mendesis di muka Nayata yang sudah duduk di sampingnya. Akhirnya sambil berbisik Nayara berhasil menceritakan bagaimana sampai Manggala ada di ranjangnya termasuk cerita dia mengurus Manggala yang m

    Last Updated : 2021-10-01
  • Patah   38, Leo Zeus

    TIBA di ujung gang Manggala sudah berdiri gelisah. Nayara terkekeh ketika Manggala terbirit naik. “Pom bensin?” tawar Nayara dengan menyembunyikan tawa. “Nggak ah. Cepat antar gue ke apartemen!” Kondisi ini sungguh menyiksa. Dan memalukan. Dia sangat khawatir ada bau-bau aneh yang sangat mungkin keluar dari tubuhnya. Walau lincah mengendarai mobil menyelinap menyalip, Nayara bersenandung menggoda Manggala. Aneh, Manggala masih bisa tersenyum melihat kelakuan Nayara meski keringat dingin sudah mengalir di dahi. Begitulah mereka sepanjang jalan. Saling mengganggu dan mengejek. Apalagi ketika mulas di perut Manggala perlahan menghilang. Yang bahkan ketika sampai di unitnya pun dia santai duduk di sofa. “Nggak jadi upload?” “Kelamaan. Masuk lagi.” “Yack....” Lirikan Nayara membuat Manggala terbahak. Tapi Nayara sudah mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruang. Hal yang kemarin tidak sempat dia lakukan. Manggala m

    Last Updated : 2021-10-02

Latest chapter

  • Patah   118, Di Hari yang Sama

    MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal

  • Patah   117, Siang Pertama [17+]

    DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere

  • Patah   116, Jobless

    NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.

  • Patah   115, The Truth

    MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin

  • Patah   114, Permintaan Manggala

    DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay

  • Patah   113, Hadiah Dari Mama

    “APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu

  • Patah   112, Another Side of Us

    “BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan

  • Patah   111, Nayara M. Sastradinata

    ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap

  • Patah   110, Restu

    SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,

DMCA.com Protection Status