MENUNGGU pesanan datang, Manggala membersihkan tubuh. Air yang mengalir di seluruh permukaan kulit membuat tubuhnya terasa segar. Terasa lebih hidup. Dengan tubuh bersih yang menguarkan aroma kayu-kayuan dia merasa lebih percaya diri berada di dekat Nayara. DIa juga memastikan mulutnya tidak mengeluarkan bau bangkai ketika berbicara. Dia memilih t-shirt dan celana pendek selutut.
Setelah mematut diri sejenak di cermin, setelah merasa dirinya cukup pantas menemui Nayara, dia keluar menjumpai gadis yang sedang duduk santai di sofa sambil berselancar di dunia maya dengan ponsel. Melihat Manggala keluar dengan penampilan yang terlihat sangat segar, tidak menyisakan jejak-jejak hang over sama sekali, Nayara tersenyum puas dengan hasil kerjanya. Ini pengalaman pertama mengurus orang mabuk sendirian. Dan melihat tungkai Manggala tidak tertutup sempurna, mendadak pemandangan dini hati tadi membuatnya tersipu. Untunglah Manggala tidak menyadari itu.
Pesanan da
SUARA ketukan di pintu mengganggu konsentrasi Nayara. Konsentrasi yang setengah mati dia kumpulkan sejak kepulangannya ke kamar ini. Skripsinya harus segera selesai. Pekerjaannya bertumpuk. Jika tertunda, maka dia harus hidup lebih hemat lagi. Jika itu terjadi, maka lupakan bersenang-senang di club, dia tidak mungkin selalu mengandalkan traktiran teman-temannya.Mendengus kesal, dia melirik jam. Siapa pula bertamu nyaris jam sepuluh malam? Sebentar lagi pagar terkunci. Sambil mengentakkan kaki kesal, dia berjalan lalu membuka pintu dan melongokkan kepala.Sosok yang berdiri membelakanginya tak langsung dia kenali. Lebih tepatnya tak percaya.“Hai.” Mendengar suara ceklik pintu, Manggala berbalik.“Eh, ada apa?” Hanya itu pertanyaan yang melintas di kepalanya.“May I come in?”Masih terpaku semi tak sadar, Nayara membuka pintu lebih lebar, membiarkan Manggala masuk lalu menelisik sekilas,
SUARA ketukan di pintu membuat tidurnya terusik. Jam empat lewat. Pasti Gia. Bergegas membuka pintu, Gia menyambutnya dengan gerutu. “Siapa suruh kunci nggak dilepas. Bangun kan lu!” Gia langsung masuk dan langsung tertegun. “Astaga!” pekiknya tertahan. “Sshh... Jangan ribut!” Gia berjingkat mendekati ranjang. Ketika dia mengenali siapa soosk itu, matanya mendelik dan spontan menutup mulutnya sambil melihat ke arah Nayara. “Gimana bisa dia di sini, Goblok? Gue pikir abang lu. Astaga! Awas aja kalau sampai kita diusir Ibu Kos.” Dia menggeleng sambil duduk terhenyak di ranjangnya. “Gue nggak ngapa-ngapain.” “Peraturannya nggak boleh bawa masuk cowok. Bukan harus ngapa-ngapain dulu baru nggak boleh, Nayara!” Gia mendesis di muka Nayata yang sudah duduk di sampingnya. Akhirnya sambil berbisik Nayara berhasil menceritakan bagaimana sampai Manggala ada di ranjangnya termasuk cerita dia mengurus Manggala yang m
TIBA di ujung gang Manggala sudah berdiri gelisah. Nayara terkekeh ketika Manggala terbirit naik. “Pom bensin?” tawar Nayara dengan menyembunyikan tawa. “Nggak ah. Cepat antar gue ke apartemen!” Kondisi ini sungguh menyiksa. Dan memalukan. Dia sangat khawatir ada bau-bau aneh yang sangat mungkin keluar dari tubuhnya. Walau lincah mengendarai mobil menyelinap menyalip, Nayara bersenandung menggoda Manggala. Aneh, Manggala masih bisa tersenyum melihat kelakuan Nayara meski keringat dingin sudah mengalir di dahi. Begitulah mereka sepanjang jalan. Saling mengganggu dan mengejek. Apalagi ketika mulas di perut Manggala perlahan menghilang. Yang bahkan ketika sampai di unitnya pun dia santai duduk di sofa. “Nggak jadi upload?” “Kelamaan. Masuk lagi.” “Yack....” Lirikan Nayara membuat Manggala terbahak. Tapi Nayara sudah mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruang. Hal yang kemarin tidak sempat dia lakukan. Manggala m
KESUNYIAN yang sesaat itu tak berlangsung lama. Dering ponsel memecahkan sepi sesaat tadi. Ponsel Manggala. Wiguna. Cuma itu nama yang terbaca di layar. Tapi Manggala hanya melirik ponselnya saja. Sinis. Wajahnya semakin mengeras. Akhirnya setelah helaan napas dia menyambar lalu mengetuk layar ponselnya. “Ya, Pa.” “Kamu ingat ini tahun keberapa?” “Ingat, Pa.” “So?” “Saya juga ingat kalau ini hari libur.” Sambungan terputus, dia melempar ponselnya. Nyaris mengenai Nayara. Tiba-tiba suasana yang tadi cair berubah menjadi sangat kaku dan beku. Nayara tidak berani membuka pembicaraan. Kembali, dia hanya menunggu aksi sebelum bereaksi. Ketika Manggala berdiri, dia berusaha untuk tidak ikut berdiri. “Sorry, gue ngudud bentar.” Manggala pergi tanpa melihat ke arah Nayara. Di perjalanan menuju balkon dia menyambar bungkus rokok, botol minuman, dan gelas. Sepertinya ini akan menj
“GUE nggak pernah cerita ke siapa-siapa sama sekali.” Manggala menarik napas panjang. Itu adalah jawaban yang jujur. “Soal bokap yang begitu, paling teman sekolah yang tahu. Biar gimana, mereka taulah kalau gue yang juara umum aja nggak dianggap bokap sendiri. Tapi pas kuliah, nggak ada ambil rapot lagi. Teman-teman gue nggak pernah ketemu nokap.” “Apa kemarin mabuk juga urusan ini? Maksud gue, berhubungan sama bokap?” Manggala mengangguk. “Gue dulu mau kuliah di Agronomi. Ya berhubung pertanian gue ngincar IPB dong. Nggak jauh juga. Tapi nggak boleh sama bokap. Boleh di IPB tapi kalau nggak Agribisnis ya Ilmu Komputer.” Dia mendengus sambil mengusap wajahnya kasar dengan kedua belah telapak tangan. “Kenapa mau Agronomi?” “Gue suka ngurus tanaman. Gue mau jadi petani. Tinggal di tengah kebun, Sendirian.” Manggala terkekeh tapi suaranya terdengar janggal. “Lagian gue nggak pede pilih jurusan-jurusan elit. Passing grade-nya tinggi.” Dia
NAYARA menggeliat. Dia tidak pernah ada masalah dengan tidur. Matanya bergerak-gerak tapi kelopaknya malas membuka. Tapi dia paksa membuka matanya ketika dia sadar dia ada di mana sekarang. Di ranjang Manggala. Semoga pemilik ranjang belum bangun. Tapi ketika matanya terbuka, bayangan kabur sosok Manggalalah yang dia lihat. Yang lebih mengejutkannya adalah mata Manggala yang terbuka lebar. Caught in the act. “Sorry…” “It’s okay. Gue sudah bilang kan terserah lu mau ngapain asal jangan pulang.” “Sampai kapan hamba dilepas, Wahai Penculik Tampan?” Nayara bergerak bangun keluar kamar. Manggala mengikuti gerakannya sambil terkekeh. Dan dia sadar, bersama Nayara sudah tak terhitung berapa kali dia terkekeh, tertawa, bahkan terbahak lepas. “Ini jam tiga pagi. Gue sih asyik aja antar lu pulang.” Nayara mengambil segelas air lalu duduk di kursi meja makan sambil menenggak setengah gelas. “HP gue mana
HARI yang lain. MGP : Apa kabar skirpsi? Tiba-tiba pesan itu masuk sebagai pop up. Konsentrasinya yang tadi penuh pada naskah di layar mendadak hilang. Ph Nay : Yah, kan sudah janji nggak reseh. L MGP : Cuma tanya gitu aja masuk kategori resehkah? Ph Nay : Masuk. Karena gue lagi konsen sama yang lain. Ph Nay : Nggak mau inget urusan skripsi. Ph Nay : Nanti gaji gue dipotong kalau kerjanya nggak bener. MGP : :D MGP : Jalan yuk Nayara tidak langsung menjawab. Dia memastikan tulisan itu benar berarti sebuah ajakan. Ph Nay : Nggak reseh soal skripsi sih. Tapi reseh yang lain. MGP : Kok? MGP : Gue
TAPI tak ada kelanjutannya lagi.Berhari-hari tanpa kabar lain. Membuat Nayara kembali menebalkan hati. Banyak yang harus dia kerjakan dan yang harus dikerjakan itu butuh dipikirkan. Urusan Manggala segera terkesampingkan.Ternyata tidak begitu dengan Manggala.Kedekatan ini… dan semua ‘tuduhan-tuduhan’ yang dia terima dari keluarganya membuatnya berpikir lebih dalam. Apa mereka sedekat itu? Atau… apa mereka membaca yang tersirat? Lalu apa yang sebenarnya tersirat?Dan kecupan itu…Kecupan seringan bulu. Kenapa dia mencuri kecupan? Apa tidak ada cara lain? Dan kenapa kecupan itu terasa hingga kini? Kecupan yang membuat tubuhnya meminta lebih dan yang menyebalkan baginya adalah tubuhnya hanya menginkan gadis itu. Cukup satu kali kejadian dia—nyaris—gagal mengeluarkan hasratnya. Dia tidak bermaksud mencoba lagi ketika dia semakin yakin pada apa mau tubuhnya.Sangat sering dia terpaksa harus memaksa
MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal
DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere
NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.
MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin
DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay
“APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu
“BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan
ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap
SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,