SUARA ketukan di pintu mengganggu konsentrasi Nayara. Konsentrasi yang setengah mati dia kumpulkan sejak kepulangannya ke kamar ini. Skripsinya harus segera selesai. Pekerjaannya bertumpuk. Jika tertunda, maka dia harus hidup lebih hemat lagi. Jika itu terjadi, maka lupakan bersenang-senang di club, dia tidak mungkin selalu mengandalkan traktiran teman-temannya.
Mendengus kesal, dia melirik jam. Siapa pula bertamu nyaris jam sepuluh malam? Sebentar lagi pagar terkunci. Sambil mengentakkan kaki kesal, dia berjalan lalu membuka pintu dan melongokkan kepala.
Sosok yang berdiri membelakanginya tak langsung dia kenali. Lebih tepatnya tak percaya.
“Hai.” Mendengar suara ceklik pintu, Manggala berbalik.
“Eh, ada apa?” Hanya itu pertanyaan yang melintas di kepalanya.
“May I come in?”
Masih terpaku semi tak sadar, Nayara membuka pintu lebih lebar, membiarkan Manggala masuk lalu menelisik sekilas,
SUARA ketukan di pintu membuat tidurnya terusik. Jam empat lewat. Pasti Gia. Bergegas membuka pintu, Gia menyambutnya dengan gerutu. “Siapa suruh kunci nggak dilepas. Bangun kan lu!” Gia langsung masuk dan langsung tertegun. “Astaga!” pekiknya tertahan. “Sshh... Jangan ribut!” Gia berjingkat mendekati ranjang. Ketika dia mengenali siapa soosk itu, matanya mendelik dan spontan menutup mulutnya sambil melihat ke arah Nayara. “Gimana bisa dia di sini, Goblok? Gue pikir abang lu. Astaga! Awas aja kalau sampai kita diusir Ibu Kos.” Dia menggeleng sambil duduk terhenyak di ranjangnya. “Gue nggak ngapa-ngapain.” “Peraturannya nggak boleh bawa masuk cowok. Bukan harus ngapa-ngapain dulu baru nggak boleh, Nayara!” Gia mendesis di muka Nayata yang sudah duduk di sampingnya. Akhirnya sambil berbisik Nayara berhasil menceritakan bagaimana sampai Manggala ada di ranjangnya termasuk cerita dia mengurus Manggala yang m
TIBA di ujung gang Manggala sudah berdiri gelisah. Nayara terkekeh ketika Manggala terbirit naik. “Pom bensin?” tawar Nayara dengan menyembunyikan tawa. “Nggak ah. Cepat antar gue ke apartemen!” Kondisi ini sungguh menyiksa. Dan memalukan. Dia sangat khawatir ada bau-bau aneh yang sangat mungkin keluar dari tubuhnya. Walau lincah mengendarai mobil menyelinap menyalip, Nayara bersenandung menggoda Manggala. Aneh, Manggala masih bisa tersenyum melihat kelakuan Nayara meski keringat dingin sudah mengalir di dahi. Begitulah mereka sepanjang jalan. Saling mengganggu dan mengejek. Apalagi ketika mulas di perut Manggala perlahan menghilang. Yang bahkan ketika sampai di unitnya pun dia santai duduk di sofa. “Nggak jadi upload?” “Kelamaan. Masuk lagi.” “Yack....” Lirikan Nayara membuat Manggala terbahak. Tapi Nayara sudah mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruang. Hal yang kemarin tidak sempat dia lakukan. Manggala m
KESUNYIAN yang sesaat itu tak berlangsung lama. Dering ponsel memecahkan sepi sesaat tadi. Ponsel Manggala. Wiguna. Cuma itu nama yang terbaca di layar. Tapi Manggala hanya melirik ponselnya saja. Sinis. Wajahnya semakin mengeras. Akhirnya setelah helaan napas dia menyambar lalu mengetuk layar ponselnya. “Ya, Pa.” “Kamu ingat ini tahun keberapa?” “Ingat, Pa.” “So?” “Saya juga ingat kalau ini hari libur.” Sambungan terputus, dia melempar ponselnya. Nyaris mengenai Nayara. Tiba-tiba suasana yang tadi cair berubah menjadi sangat kaku dan beku. Nayara tidak berani membuka pembicaraan. Kembali, dia hanya menunggu aksi sebelum bereaksi. Ketika Manggala berdiri, dia berusaha untuk tidak ikut berdiri. “Sorry, gue ngudud bentar.” Manggala pergi tanpa melihat ke arah Nayara. Di perjalanan menuju balkon dia menyambar bungkus rokok, botol minuman, dan gelas. Sepertinya ini akan menj
“GUE nggak pernah cerita ke siapa-siapa sama sekali.” Manggala menarik napas panjang. Itu adalah jawaban yang jujur. “Soal bokap yang begitu, paling teman sekolah yang tahu. Biar gimana, mereka taulah kalau gue yang juara umum aja nggak dianggap bokap sendiri. Tapi pas kuliah, nggak ada ambil rapot lagi. Teman-teman gue nggak pernah ketemu nokap.” “Apa kemarin mabuk juga urusan ini? Maksud gue, berhubungan sama bokap?” Manggala mengangguk. “Gue dulu mau kuliah di Agronomi. Ya berhubung pertanian gue ngincar IPB dong. Nggak jauh juga. Tapi nggak boleh sama bokap. Boleh di IPB tapi kalau nggak Agribisnis ya Ilmu Komputer.” Dia mendengus sambil mengusap wajahnya kasar dengan kedua belah telapak tangan. “Kenapa mau Agronomi?” “Gue suka ngurus tanaman. Gue mau jadi petani. Tinggal di tengah kebun, Sendirian.” Manggala terkekeh tapi suaranya terdengar janggal. “Lagian gue nggak pede pilih jurusan-jurusan elit. Passing grade-nya tinggi.” Dia
NAYARA menggeliat. Dia tidak pernah ada masalah dengan tidur. Matanya bergerak-gerak tapi kelopaknya malas membuka. Tapi dia paksa membuka matanya ketika dia sadar dia ada di mana sekarang. Di ranjang Manggala. Semoga pemilik ranjang belum bangun. Tapi ketika matanya terbuka, bayangan kabur sosok Manggalalah yang dia lihat. Yang lebih mengejutkannya adalah mata Manggala yang terbuka lebar. Caught in the act. “Sorry…” “It’s okay. Gue sudah bilang kan terserah lu mau ngapain asal jangan pulang.” “Sampai kapan hamba dilepas, Wahai Penculik Tampan?” Nayara bergerak bangun keluar kamar. Manggala mengikuti gerakannya sambil terkekeh. Dan dia sadar, bersama Nayara sudah tak terhitung berapa kali dia terkekeh, tertawa, bahkan terbahak lepas. “Ini jam tiga pagi. Gue sih asyik aja antar lu pulang.” Nayara mengambil segelas air lalu duduk di kursi meja makan sambil menenggak setengah gelas. “HP gue mana
HARI yang lain. MGP : Apa kabar skirpsi? Tiba-tiba pesan itu masuk sebagai pop up. Konsentrasinya yang tadi penuh pada naskah di layar mendadak hilang. Ph Nay : Yah, kan sudah janji nggak reseh. L MGP : Cuma tanya gitu aja masuk kategori resehkah? Ph Nay : Masuk. Karena gue lagi konsen sama yang lain. Ph Nay : Nggak mau inget urusan skripsi. Ph Nay : Nanti gaji gue dipotong kalau kerjanya nggak bener. MGP : :D MGP : Jalan yuk Nayara tidak langsung menjawab. Dia memastikan tulisan itu benar berarti sebuah ajakan. Ph Nay : Nggak reseh soal skripsi sih. Tapi reseh yang lain. MGP : Kok? MGP : Gue
TAPI tak ada kelanjutannya lagi.Berhari-hari tanpa kabar lain. Membuat Nayara kembali menebalkan hati. Banyak yang harus dia kerjakan dan yang harus dikerjakan itu butuh dipikirkan. Urusan Manggala segera terkesampingkan.Ternyata tidak begitu dengan Manggala.Kedekatan ini… dan semua ‘tuduhan-tuduhan’ yang dia terima dari keluarganya membuatnya berpikir lebih dalam. Apa mereka sedekat itu? Atau… apa mereka membaca yang tersirat? Lalu apa yang sebenarnya tersirat?Dan kecupan itu…Kecupan seringan bulu. Kenapa dia mencuri kecupan? Apa tidak ada cara lain? Dan kenapa kecupan itu terasa hingga kini? Kecupan yang membuat tubuhnya meminta lebih dan yang menyebalkan baginya adalah tubuhnya hanya menginkan gadis itu. Cukup satu kali kejadian dia—nyaris—gagal mengeluarkan hasratnya. Dia tidak bermaksud mencoba lagi ketika dia semakin yakin pada apa mau tubuhnya.Sangat sering dia terpaksa harus memaksa
SEBENARNYA dia tidak memberi jalan tamunya masuk. Tapi ketika panel pintu tetap terdorong masuk, mau tak mau dia mundur membiarkan tamunya masuk. Nayara yang sepanjang Manggala meninggalkan sofa asyik dengan laptop di pangkuannya tidak segera sadar perubahan Manggala. Dia hanya merasa tiba-tiba sunyi saja. Yang ketika dia menoleh ke arah yang seharusnya bersuara, dia sudah melihat sosok lain. Wiguna. “Masih urusan data penelitian kah? Sejak kapan sampai harus di luar jam kantor dan di ruang pribadi seperti ini?” Berdua tidak bisa menjelaskan. Pun bisa, buat apa? “Ada perlu apa, Pa?” “Kamu nggak ada di kantor.” “So? Ini sudah bukan jam kerja.” “Papa nggak mau ganggu waktu kamu terlalu lama. Mana proposalnya?” Tangan Wiguna terulur meminta sesuatu. Seperti hantu yang melayang Manggala mengambil dan memberikan yang Wiguna minta. Aku masih punya waktu beberapa bulan lagi, gerutu Manggala dalam hati