SEBENARNYA dia tidak memberi jalan tamunya masuk. Tapi ketika panel pintu tetap terdorong masuk, mau tak mau dia mundur membiarkan tamunya masuk. Nayara yang sepanjang Manggala meninggalkan sofa asyik dengan laptop di pangkuannya tidak segera sadar perubahan Manggala. Dia hanya merasa tiba-tiba sunyi saja. Yang ketika dia menoleh ke arah yang seharusnya bersuara, dia sudah melihat sosok lain.
Wiguna.
“Masih urusan data penelitian kah? Sejak kapan sampai harus di luar jam kantor dan di ruang pribadi seperti ini?”
Berdua tidak bisa menjelaskan. Pun bisa, buat apa?
“Ada perlu apa, Pa?”
“Kamu nggak ada di kantor.”
“So? Ini sudah bukan jam kerja.”
“Papa nggak mau ganggu waktu kamu terlalu lama. Mana proposalnya?” Tangan Wiguna terulur meminta sesuatu.
Seperti hantu yang melayang Manggala mengambil dan memberikan yang Wiguna minta.
Aku masih punya waktu beberapa bulan lagi, gerutu Manggala dalam hati
Emak kasihan sama Manggala di scene ini. Tekanan yang terus-terusan dari bokapnya, malu juga sama Nay. My God! Cowok digituin di depan cewek, di mana egonya? Untungnya sih Nay juga anak broken home yang tau banget kalau memang ada orangtua se[titi-titik] orangtua mereka. Jadi Nay bisa ngerti dari semua sisi Manggala. Dari marahnya dan malunya. Tapi perlakuan Nay manis banget nggak sih? My God, dia nggak ngomong apa-apa loh. Cuma jagain Manggala aja biar nggak luka. Komen ya kalau suka scene ini. Nanti Emak binikin lagi. #bhak Makasih sudah tetap baca sampai di bab ini. Cerita MGPnay masih panjang. Konflik Emak cicil keluarnya. Seperti di IanRey, keluar dikit-dikit biar pada kepo. #ketawakunti Ditunggu jejaknya ya. Happy reading semua.... [Jumat, 8 Oktober 2021]
BAGAIMANA Nayara tidak terkejut. Dia sedang mengeringkan kaki di depan pintu kamar mandi ketika melihat ke ranjang Manggala bergerak gelisah. Tubuh lelahnya belum sempat menghasilkan gerak refleks ketika tiba-tiba Manggala terbangun dan langsung terduduk di ranjang menderu bernapas kasar. Melihat itu, baru dia tersadar dan terburu mendekati Manggala. “Sshh… Its okay. Its just a dream.” Duduk di tepi ranjang, Nayara menepuk-nepuk lembut lutut Manggala menemani dia yang masih mengatur napasnya. Rambutnya basah keringat di ruang ber-AC. Yukata yang menjadi baju tidurnya berantakan dan basah. Nayara menggunakan handuk bekas pakainya untuk menghapus keringat di dahi Manggala. Membiarkan Manggala meneguk menandaskan isi gelas. Setelah isi gelas kosong, dia buru-buru mengambil gelas itu sebelum ada kejadian pelemparan benda lagi. Nayara diam melihat sambil menunggu reaksi Manggala, sampai ketika pandangan Manggala sudah berisi, baru dia mengulas senyum.
DIA menyambut Nayara yang tersenyum kecil sambil menutup mulut dengan punggung tangan. “Bagaimana bisa ngerjain skripsi kalau datanya masih di gue,” ujarnya ketika Nayara duduk di sofa. “Ya elah, data doang. Tinggal email aja. Ini gue ke sini juga ujung-ujungnya email kan? Nggak bakal print out kan? Memang kurang apa lagi sih?” “Ini siapa yang nyusun skripsi ya? Lu apa gue sih? Itu pertanyaan cocoknya buat lu.” Membuat Nayara terkekeh dan mulai menyeruput minuman sogokannya. “Btw, kalau begini caranya, kayaknya bagus lu hadir pas gue sidang deh. Sebagai pembimbing spiritual.” Mereka terkekeh bersama. Tapi dalam hati Nayara berharap tidak ada intruder lagi yang masuk mengganggu mereka. Dan Manggala berusaha mengenyahkan harapan itu. Karena ketika dia berharap seperti Nayara, itu artinya dia mengingat sosok pengganggu kebersamaan ini. Tak ada hal penting yang mereka bicarakan sampai waktu yang diatur oleh Lydia habis dan
BENAR Nayara keluar melalui lobby, tapi dia tidak pernah keluar komplek apartemen itu. Dia berlari ke arah lain dari posisi gerbang. Dia ke tower lain sambil tangannya merogoh dompet mencari sebuah access card. Dia kembali menaiki lift yang berfungsi berkat access card-nya. Keluar lift, tanpa jeda dia langsung membuka pintu lagi dan sudah berada di ruang tengah sebuah apartemen. Berderap, dia memasuki sebuah kamar, membanting pintunya menutup, dan langsung menerjang ranjang. Lalu terpuruk di sana. Dia masih terengah berusaha mengendalikan emosi sambil bersandar di kepala ranjang ketika seorang lelaki yang hanya melilitkan handuk di pinggang masuk dengan frying pan bersiaga di tangan. “Nayara! Astaga…!” Meski terkejut tapi dia juga merasa lega setelah mengetahui siapa intruder di rumahnya. Jayantaka membanting frying pan ke sudut ruang. Merasa senjata ala kadarnya itu sudah tidak diperlukan lagi. Kemudian dia duduk di tepi r
KETIKA Nayara menamparnya, Manggala hanya terdiam berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Melupakan perih di pipinya dengan berpikir cepat. Tapi ternyata kecepatan otaknya kalah oleh kecepatan gerak Nayara membalik badan pergi sambil membanting pintu. Dia tidak sempat berpikir kenapa tangan Nayara sempat mengenai pipinya. Tanpa berpikir lagi dia berlari mengejar Nayara. Ketika pintu lift terlanjur menutup, yang dia ingat hanya tangga darurat yang secepat apa pun kakinya berlari, dia tidak bisa mengejar gerak cepat lift turun. Nayara tidak terkejar. Di titik itulah, saat napasnya memburu dengan detak jantung bertalu, dia baru menyadari dia sudah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang membuat Nayara marah, menamparnya, lalu pergi tanpa sempat dia meminta maaf apalagi menjelaskan lagi maksudnya. Semua sudah terjadi. Yang bisa dia lakukan hanya meminta maaf dan menarik kata-katanya. Menarik proposal dan meminta Nayara melupakan semua yang sudah dia katakan.
NAYARA berusaha melanjutkan hidupnya. Bersyukur selama ini dia melindungi hatinya dengan kehati-hatian dan tidak mudah terbawa perasaan pada peran yang selama ini Manggala mainkan. Mengingat itu, dia marah. Bagaimana bisa Manggala berakting seperti itu untuk menunggu waktu yang tepat menjerat Nayara. Dia marah. Tapi sedih adalah rasa yang paling kuat terasa. Dia sudah kadung merasa nyaman berada dekat dengan Manggala. Semua terasa baik-baik saja tanpa harus berurusan dengan rasa dan perbedaaan jenis kelamin. Selama ini dia berusaha menekan rasa yang Gia curiga sudah hadir di ceruk hatinya. Tapi ketika rasa itu berbalas keinginan Manggala akan tubuhnya, dia merasa sangat terhina. Sangat direndahkan. Tidak pernah dia dihina serendah ini. Bahkan ketika dia Harsa menghinanya, cukup menyiram wajah Harsa dengan segelas air, tak butuh waktu lama, dia merasa dia sudah baik-baik saja. Apalagi waktu itu ada Manggala yang menemaninya. Ah, mengingat lelaki itu, r
MANGGALA mundur. Merasa malu dan terlalu terhina untuk bisa mendekat lagi. Berusaha melupakan apa yang membuat Nayara marah sama sulitnya dengan melupakan sosok itu sendiri. Dan dalam usahanya itu dia menjalani hidupnya seperti hantu. Kembali seperti dulu, Hanya menjalani saja. Mengisi siang yang melelahkan dengan bekerja dan menjalani malam yang menakutkan dengan dua pilihan berat. Tidak tidur atau tidur dengan mimpi buruk. Mimpi yang berusaha dia lupakan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu betapa kerasnya dia berusaha menghindari Nayara. Dia mungkin sanggup bertemu, tapi membayangkan Nayara akan memandangnya dengan tatapan yang sama, itu yang dia tidak mau bayangkan. Sebulan ini dia tidak pernah menginjak lantai Papyrus. Beberapa kali dia nyaris berpapasan dengan Nayara di lobby. Ternyata waktu tidak serta merta mengubur kehilangan itu. Rasa sakit tetap mencuat terhimpit rindu yang semakin menekan sedih. Hari terus berganti tapi semua rasa yang menyiksa tetap be
MAMA pergi ketika aku masih kelas 3 SD. Umurku delapan tahun. Siang itu puncak kenakalanku. Sudah beberapa hari aku seperti itu. Aku selalu cari cara agar perhatian Mama cuma untuk aku. Aku mencuri uang Mama. Aku tidak mau tidur siang. Aku mengacak-acak rumah. Aku tidak mau makan. Aku melempar semua yang ada di dekatku. Aku berteriak-teriak. Aku menangis meraung ... Mama cuma diam nelihat kelakuanku. Mama hanya berusaha merengkuhku, lalu memelukku erat. Yang ketika Mama berhasil Mama malah seakan tidak ingin melepas pelukannya. Berkali-kali aku mengamuk dalam pelukan Mama sampai terlepas. Tapi Mama tak bosan menarikku lagi, mendekapku di dadanya. Sampai akhirnya aku tertidur kelelahan. Yang ketika aku terbangun Mama sudah tidak ada di rumah. Sejak awal Mama meminta izin pergi aku sudah mengamuk. Aku ingin ikut, tapi Mama melarang dengan alasan sekolah. Itu malah membuatku semakin mengamuk lalu mogok sekolah. Semuanya untuk menunjukkan pada Mama, bahwa meski aku
“SIAPA sih yang bikin peraturan kalau cowok dilarang nangis?” Nayara memegang ujung matanya memastikan sudut itu tetap kering. “Maaf, Nayara. Aku nggak pernah bermaksud merendahkan kamu.” “Maaf, aku nggak tahu hidup kamu serumit itu.” Sejak awal Manggala berkisah, Nayara tekun memperhatikan mimiknya. Tapi Manggala tidak satu kali pun melihat ke arah Nayara. Dia melihat ke segala arah kecuali ke arah Nayara. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus dengan lingkaran hitam di mata yang semakin jelas. Mungkin dia tetap terlihat rapi, tapi itu tidak bisa menutupi kekacauan hatinya. “Tadi kenapa kamu buang permen-permen itu?” “Aku nggak layak dapat hadiah apa pun lagi.” “Maksudnya?” “Yang pernah puji aku cuma Mama. Dan Papa nggak suka kalau Mama begitu, termasuk kasih hadiah. Katanya bikin aku manja, GR, gampang puas.” “Hadiah apa?” Wajah Manggala melembut dihiasi senyum tipis tapi tetap tidak bisa menyembunyikan gurat sedih da