Beranda / Romansa / Patah / 44, Menginap Lagi

Share

44, Menginap Lagi

Penulis: Sandra Setiawan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-08 10:00:22

SEBENARNYA dia tidak memberi jalan tamunya masuk. Tapi ketika panel pintu tetap terdorong masuk, mau tak mau dia mundur membiarkan tamunya masuk. Nayara yang sepanjang Manggala meninggalkan sofa asyik dengan laptop di pangkuannya tidak segera sadar perubahan Manggala. Dia hanya merasa tiba-tiba sunyi saja. Yang ketika dia menoleh ke arah yang seharusnya bersuara, dia sudah melihat sosok lain.

Wiguna.

“Masih urusan data penelitian kah? Sejak kapan sampai harus di luar jam kantor dan di ruang pribadi seperti ini?”

Berdua tidak bisa menjelaskan. Pun bisa, buat apa?

“Ada perlu apa, Pa?”

“Kamu nggak ada di kantor.”

So? Ini sudah bukan jam kerja.”

“Papa nggak mau ganggu waktu kamu terlalu lama. Mana proposalnya?” Tangan Wiguna terulur meminta sesuatu.

Seperti hantu yang melayang Manggala mengambil dan memberikan yang Wiguna minta.

Aku masih punya waktu beberapa bulan lagi, gerutu Manggala dalam hati

Sandra Setiawan

Emak kasihan sama Manggala di scene ini. Tekanan yang terus-terusan dari bokapnya, malu juga sama Nay. My God! Cowok digituin di depan cewek, di mana egonya? Untungnya sih Nay juga anak broken home yang tau banget kalau memang ada orangtua se[titi-titik] orangtua mereka. Jadi Nay bisa ngerti dari semua sisi Manggala. Dari marahnya dan malunya. Tapi perlakuan Nay manis banget nggak sih? My God, dia nggak ngomong apa-apa loh. Cuma jagain Manggala aja biar nggak luka. Komen ya kalau suka scene ini. Nanti Emak binikin lagi. #bhak Makasih sudah tetap baca sampai di bab ini. Cerita MGPnay masih panjang. Konflik Emak cicil keluarnya. Seperti di IanRey, keluar dikit-dikit biar pada kepo. #ketawakunti Ditunggu jejaknya ya. Happy reading semua.... [Jumat, 8 Oktober 2021]

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Patah   45, Milo Shake With Oreo and Cheese

    BAGAIMANA Nayara tidak terkejut. Dia sedang mengeringkan kaki di depan pintu kamar mandi ketika melihat ke ranjang Manggala bergerak gelisah. Tubuh lelahnya belum sempat menghasilkan gerak refleks ketika tiba-tiba Manggala terbangun dan langsung terduduk di ranjang menderu bernapas kasar. Melihat itu, baru dia tersadar dan terburu mendekati Manggala. “Sshh… Its okay. Its just a dream.” Duduk di tepi ranjang, Nayara menepuk-nepuk lembut lutut Manggala menemani dia yang masih mengatur napasnya. Rambutnya basah keringat di ruang ber-AC. Yukata yang menjadi baju tidurnya berantakan dan basah. Nayara menggunakan handuk bekas pakainya untuk menghapus keringat di dahi Manggala. Membiarkan Manggala meneguk menandaskan isi gelas. Setelah isi gelas kosong, dia buru-buru mengambil gelas itu sebelum ada kejadian pelemparan benda lagi. Nayara diam melihat sambil menunggu reaksi Manggala, sampai ketika pandangan Manggala sudah berisi, baru dia mengulas senyum.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-09
  • Patah   46, Tentang Gelap dan Matahari

    DIA menyambut Nayara yang tersenyum kecil sambil menutup mulut dengan punggung tangan. “Bagaimana bisa ngerjain skripsi kalau datanya masih di gue,” ujarnya ketika Nayara duduk di sofa. “Ya elah, data doang. Tinggal email aja. Ini gue ke sini juga ujung-ujungnya email kan? Nggak bakal print out kan? Memang kurang apa lagi sih?” “Ini siapa yang nyusun skripsi ya? Lu apa gue sih? Itu pertanyaan cocoknya buat lu.” Membuat Nayara terkekeh dan mulai menyeruput minuman sogokannya. “Btw, kalau begini caranya, kayaknya bagus lu hadir pas gue sidang deh. Sebagai pembimbing spiritual.” Mereka terkekeh bersama. Tapi dalam hati Nayara berharap tidak ada intruder lagi yang masuk mengganggu mereka. Dan Manggala berusaha mengenyahkan harapan itu. Karena ketika dia berharap seperti Nayara, itu artinya dia mengingat sosok pengganggu kebersamaan ini. Tak ada hal penting yang mereka bicarakan sampai waktu yang diatur oleh Lydia habis dan

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-10
  • Patah   47, Hilang

    BENAR Nayara keluar melalui lobby, tapi dia tidak pernah keluar komplek apartemen itu. Dia berlari ke arah lain dari posisi gerbang. Dia ke tower lain sambil tangannya merogoh dompet mencari sebuah access card. Dia kembali menaiki lift yang berfungsi berkat access card-nya. Keluar lift, tanpa jeda dia langsung membuka pintu lagi dan sudah berada di ruang tengah sebuah apartemen. Berderap, dia memasuki sebuah kamar, membanting pintunya menutup, dan langsung menerjang ranjang. Lalu terpuruk di sana. Dia masih terengah berusaha mengendalikan emosi sambil bersandar di kepala ranjang ketika seorang lelaki yang hanya melilitkan handuk di pinggang masuk dengan frying pan bersiaga di tangan. “Nayara! Astaga…!” Meski terkejut tapi dia juga merasa lega setelah mengetahui siapa intruder di rumahnya. Jayantaka membanting frying pan ke sudut ruang. Merasa senjata ala kadarnya itu sudah tidak diperlukan lagi. Kemudian dia duduk di tepi r

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-11
  • Patah   48, Berusaha Menemui Nayara

    KETIKA Nayara menamparnya, Manggala hanya terdiam berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Melupakan perih di pipinya dengan berpikir cepat. Tapi ternyata kecepatan otaknya kalah oleh kecepatan gerak Nayara membalik badan pergi sambil membanting pintu. Dia tidak sempat berpikir kenapa tangan Nayara sempat mengenai pipinya. Tanpa berpikir lagi dia berlari mengejar Nayara. Ketika pintu lift terlanjur menutup, yang dia ingat hanya tangga darurat yang secepat apa pun kakinya berlari, dia tidak bisa mengejar gerak cepat lift turun. Nayara tidak terkejar. Di titik itulah, saat napasnya memburu dengan detak jantung bertalu, dia baru menyadari dia sudah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang membuat Nayara marah, menamparnya, lalu pergi tanpa sempat dia meminta maaf apalagi menjelaskan lagi maksudnya. Semua sudah terjadi. Yang bisa dia lakukan hanya meminta maaf dan menarik kata-katanya. Menarik proposal dan meminta Nayara melupakan semua yang sudah dia katakan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-12
  • Patah   49, Mengurai Marah Melebur Sedih

    NAYARA berusaha melanjutkan hidupnya. Bersyukur selama ini dia melindungi hatinya dengan kehati-hatian dan tidak mudah terbawa perasaan pada peran yang selama ini Manggala mainkan. Mengingat itu, dia marah. Bagaimana bisa Manggala berakting seperti itu untuk menunggu waktu yang tepat menjerat Nayara. Dia marah. Tapi sedih adalah rasa yang paling kuat terasa. Dia sudah kadung merasa nyaman berada dekat dengan Manggala. Semua terasa baik-baik saja tanpa harus berurusan dengan rasa dan perbedaaan jenis kelamin. Selama ini dia berusaha menekan rasa yang Gia curiga sudah hadir di ceruk hatinya. Tapi ketika rasa itu berbalas keinginan Manggala akan tubuhnya, dia merasa sangat terhina. Sangat direndahkan. Tidak pernah dia dihina serendah ini. Bahkan ketika dia Harsa menghinanya, cukup menyiram wajah Harsa dengan segelas air, tak butuh waktu lama, dia merasa dia sudah baik-baik saja. Apalagi waktu itu ada Manggala yang menemaninya. Ah, mengingat lelaki itu, r

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-13
  • Patah   50, Mundur

    MANGGALA mundur. Merasa malu dan terlalu terhina untuk bisa mendekat lagi. Berusaha melupakan apa yang membuat Nayara marah sama sulitnya dengan melupakan sosok itu sendiri. Dan dalam usahanya itu dia menjalani hidupnya seperti hantu. Kembali seperti dulu, Hanya menjalani saja. Mengisi siang yang melelahkan dengan bekerja dan menjalani malam yang menakutkan dengan dua pilihan berat. Tidak tidur atau tidur dengan mimpi buruk. Mimpi yang berusaha dia lupakan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu betapa kerasnya dia berusaha menghindari Nayara. Dia mungkin sanggup bertemu, tapi membayangkan Nayara akan memandangnya dengan tatapan yang sama, itu yang dia tidak mau bayangkan. Sebulan ini dia tidak pernah menginjak lantai Papyrus. Beberapa kali dia nyaris berpapasan dengan Nayara di lobby. Ternyata waktu tidak serta merta mengubur kehilangan itu. Rasa sakit tetap mencuat terhimpit rindu yang semakin menekan sedih. Hari terus berganti tapi semua rasa yang menyiksa tetap be

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14
  • Patah   51, Cerita Manggala

    MAMA pergi ketika aku masih kelas 3 SD. Umurku delapan tahun. Siang itu puncak kenakalanku. Sudah beberapa hari aku seperti itu. Aku selalu cari cara agar perhatian Mama cuma untuk aku. Aku mencuri uang Mama. Aku tidak mau tidur siang. Aku mengacak-acak rumah. Aku tidak mau makan. Aku melempar semua yang ada di dekatku. Aku berteriak-teriak. Aku menangis meraung ... Mama cuma diam nelihat kelakuanku. Mama hanya berusaha merengkuhku, lalu memelukku erat. Yang ketika Mama berhasil Mama malah seakan tidak ingin melepas pelukannya. Berkali-kali aku mengamuk dalam pelukan Mama sampai terlepas. Tapi Mama tak bosan menarikku lagi, mendekapku di dadanya. Sampai akhirnya aku tertidur kelelahan. Yang ketika aku terbangun Mama sudah tidak ada di rumah. Sejak awal Mama meminta izin pergi aku sudah mengamuk. Aku ingin ikut, tapi Mama melarang dengan alasan sekolah. Itu malah membuatku semakin mengamuk lalu mogok sekolah. Semuanya untuk menunjukkan pada Mama, bahwa meski aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-15
  • Patah   52, Lullaby

    “SIAPA sih yang bikin peraturan kalau cowok dilarang nangis?” Nayara memegang ujung matanya memastikan sudut itu tetap kering. “Maaf, Nayara. Aku nggak pernah bermaksud merendahkan kamu.” “Maaf, aku nggak tahu hidup kamu serumit itu.” Sejak awal Manggala berkisah, Nayara tekun memperhatikan mimiknya. Tapi Manggala tidak satu kali pun melihat ke arah Nayara. Dia melihat ke segala arah kecuali ke arah Nayara. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus dengan lingkaran hitam di mata yang semakin jelas. Mungkin dia tetap terlihat rapi, tapi itu tidak bisa menutupi kekacauan hatinya. “Tadi kenapa kamu buang permen-permen itu?” “Aku nggak layak dapat hadiah apa pun lagi.” “Maksudnya?” “Yang pernah puji aku cuma Mama. Dan Papa nggak suka kalau Mama begitu, termasuk kasih hadiah. Katanya bikin aku manja, GR, gampang puas.” “Hadiah apa?” Wajah Manggala melembut dihiasi senyum tipis tapi tetap tidak bisa menyembunyikan gurat sedih da

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16

Bab terbaru

  • Patah   118, Di Hari yang Sama

    MEREKA menikmati kebersamaan sebagai pasangan baru di setiap detik dan momen yang ada. Lepas salat subuh mereka menyiapkan makan (ke)pagi(an) berdua. Ransum dari Mak benar-benar berguna di suasana perang yang panas seperti saat ini. Saat lapar datang dan waktu yang ada mereka optimalkan untuk saling menyerang, tentu memasak adalah pilihan terakhir. Mereka menyantap apa pun yang ada di meja makan. Lalu berakhir di sofa ruang tengah sambil terkekeh dan tangan memegang piring penganan.“Mak benar ya. Kita ternyata butuh banget makanan-makanan ini.”“Wah, dia mah master. Suhu.” Tangan Nayara saling mengepal di depan wajahnya. “Harus diikuti.”“Tapi kayaknya bekal Mak yang lain kurang deh.”“K*nd*m?”“He eh. Kita harus beli sekalian beli stok makanan.”Nayara terkekeh.“Nayara,” suara Manggala mendadak serius. “Aku mau ajak kamu ke Mama. Aku mau kenal

  • Patah   117, Siang Pertama [17+]

    DAN di sanalah mereka bersatu. Menuju satu titik, saling berkejaran, saling memberikan. Tak ada lagi batas. Masing-masing mereka membuka semua sekat yang ada. Menyibak tabir yang menghalangi jiwa mereka termasuki yang lain. Menyelam bersama, mendaki bersama, melayang bersama. Terhempas dan terkoyak bersama.Nayara membiarkan Manggala memuja dirinya. Menyentuh titik-titik hasratnya. Memberikan semua yang dia punya.Tatapan mereka tak lekang.Seperti musafir yang tersesat, Manggala menemukan jalan pulang di kedalaman tubuh perempuannya.Manggala berbicara dengan bahasa lain. Bahasa yang selama ini menjadi misteri bagi Nayara. Dia memuja Nayara dengan caranya. Dengan gairah yang membiru mengharukan. Dengan hasrat yang memerah manyala. Tak ada lagi yang dia sembunyikan. Semua dia buka.Inilah aku, Nayara. Beginilah aku. Penyatuan yang membuat dunia mereka semakin berwarna. Tak melulu hitan dan putih. Tidak ada benar dan salah bagi mere

  • Patah   116, Jobless

    NAYARALAH yang pertama kali sadar.Menghapus air mata dengan lengan yukata, dia sudah bisa menghentikan air mata dan mengendalikan emosi. Dia membiarkan Manggala tetap terpaku menatap titik di mana ayahnya terakhir menghilang sementara dia berjalan mengambil berkas yang ditinggalkan Wiguna dan menutup pagar, lalu kembali ke Manggala. Dia menyerahkan berkas itu langsung ke tangan Manggala. Nayara menyelipkan berkas itu di tangan Manggala yang mengepal kaku di samping tubuhnya. Mengelus punggung dan buku jari Manggala, melenturkan tangan itu agar terbuka.Tapi Manggala tetap berdiri kaku dan tangannya tetap tak membuka. Akhirnya Nayara memeluk pinggangnya. Mengecup sembarang bagian tubuh Manggala lalu menariknya berjalan memasuki rumah. Manggala mulai bereaksi ketika berjalan. Dia mengembuskan napas keras, mengusap wajahnya kasar yang berakhir di remasan di tengkuknya. Nayara terus membimbingnya memasuki rumah sampai Manggala membanting tubuh dan duduk diam di sofa.

  • Patah   115, The Truth

    MEREKA akan menghadapinya bersama. “Dari mana Papa tahu tempat ini?” Suaranya datar menuju sinis di antara geram dan desis. “Manggala...” Tersendat. “Ada perlu apa Papa ke sini?” “Manggala, Nak...” Tercekat. “Kalau Papa mau ambil tempat ini juga, sebut satu angka, aku akan bayar.” Tegas. Walau dalam kepalanya berpikir dia akan membayar dengan uang yang berasal dari ayahnya juga. Di situ hatinya merintih. Kenapa, Papa? Sampai nyawaku pun Papa ambil, aku tak akan mampu mengembalikan semua yang sudah Papa beri. Kenapa harus seperti ini, Pa? Sebersit pikir, Manggala akan menyerah mengikuti saja mau Wiguna. Jika terpaksa, Manggala yakin dia bisa menjalankan mau Wiguna. Toh seumur hidup dia sudah melakukan itu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku bisa menentukan sendiri mauku? Menjalani sendiri pilihan hidupku? Aku lelah menjadi orang lain. Diam. Tak ada suara. Manggala terus merin

  • Patah   114, Permintaan Manggala

    DI malam pertama itu akhirnya mereka bisa tidur nyenyak tanpa gangguan sama sekali. Malam pertama yang mereka habiskan untuk meluruskan banyak hal dengan mendengarkan Nayara. Semua harus jelas kenapa Nayara selalu ingin pergi tapi bahasa tubuhnya tidak mau melepas Manggala. Pagi itu, mereka terbangun dengan sendirinya karena tubuh-tubuh mereka sudah merasa cukup beristirahat yang membuat tubuh mereka sesegar hawa gunung.Gerak menggeliat membangunkan yang lain. Lalu ketika menyadari kali ini mereka tidak perlu lagi berbatas, mereka mengeratkan pelukan. Tidur seperti tadilah yang mereka butuhkan. Tidur yang lain segera menyusul.“Nayara…” Manggala tengkurap bertelekan sikunya tepat di atas Nayara.“Ya?”“Sholat ya. Bareng aku.” Suaranya lembut, wajahnya tenang. Melihat Nayara di bawahnya, dia merasa lebih siap menghadapi dunia.“Aku nggak punya mukena.” Tangannya bergerak menggelay

  • Patah   113, Hadiah Dari Mama

    “APA yang terjadi?”“Gia harus benar-benar meyakinkan aku kalau kamu pasti pulang. Kembali ke aku. Aku drop banget. Nggak bisa mikir. Buntu. Sampai aku nggak bisa nolak kemauan Papa. Jadilah Lontara hasil akuisisi perusahaan lain. Aku makin kecewa sama hidup aku sendiri. Nggak ada yang aku mau bisa aku peroleh.”Jeda.“Aku kembali mabuk biar bisa lupa semuanya. Tapi pas sadar malah bikin aku tambah drop. Aku kangen kamu. Aku kehilangan kamu. Lalu aku mikir, siapa yang nggak akan ninggalin aku. Kalau aku selalu ditinggal, buat apa aku ada? Buat apa aku diciptakan? Mulanya dari pertanyaan itu. Aku mencari tahu kenapa aku harus ada di dunia ini.”“Buat aku...” balas Nayara cepatManggala tersenyum. “Jangan GR ah.” Nayara mencucu.“Kenapa kamu milih mendekat ke Tuhan? Banyak orang yang semakin menjauh?”“Pertama, aku sudah merasa rusak dan semakin rusak pas kamu

  • Patah   112, Another Side of Us

    “BUAT reply surat-surat Leo Zeus di Papyrus.”“Hah?”“Semua surat yang kamu tulis di sana, aku reply di sini. Aku kasih link surat kamu yang mana. Aku kasih foto biar balasan aku jadi caption foto itu. Biar aku gampang nyarinya. Kalau nggak ada foto jatuhnya share link. Kalau ada foto aku nyarinya dari album aja.”“Nayara…” bisik Manggala lemah. Terasa sakitnya merindu dua tahun kemarin.“Aku selalu balas surat kamu, Manggala. Nanti kalau kamu sempat baca aja. Ada semua di sini.” Dia mengecup pipi suaminya yang sebelah lagi. “Tapi aku mau kamu lihat satu foto.” Nayara kembali ke album. Lalu ketika foto yang dia cari berhasil ditemukan, dia tunjukkan foto itu pada Manggala.“Ini cowoknya?” Sebuah swafoto Nayara dan seorang pria. Nayara sedang duduk memegang gelas kertas dengan dua tangan di taman. Jelas pria itu yan

  • Patah   111, Nayara M. Sastradinata

    ACARA masih berlanjut. Yang sudah pulang hanya tetangga saja. Sebenarnya tidak ada acara. Hanya berkumpul dan bercerita dan bercengkerama. Ada yang melihat-lihat koleksi tanaman Manggala, ada yang berbaring sambil menonton TV. Ada yang melanjutkan makan. Tapi ada yang memasak mi instan di dapur.Mereka berbahagia sepanjang pesta ini. Manggala tidak pernah berada di satu posisi. Berpindah dari satu kelompok kecil ke kelompok yang lain. Yang ketika berpindah dan melewati Nayara, maka Manggala akan mengecupnya sambil berkata, “Aku bahagia.”Ini pesta pernikahan impian mereka. Mungkin hanya dress code yang membuat pernikahan ini sedikit lebih resmi. Warna putih terasa sakral di hari penyatuan ini.Sampai akhirnya lepas maghrib satu per satu mulai berpamit. Mak dan Gia sejak tadi sudah merapikan sisa makanan dan membungkus-bungkusnya.“Em, gue sisain segini aja ya. Lu angetin aja kalau mau makan. Gue sudah bungkus perporsi, kalau lap

  • Patah   110, Restu

    SAMBUTAN meriah menyambut mereka. Sedikit tamu yang hadir memang sahabat pilihan. Dan pelukan-pelukan hangat membuat Nayara merasa jauh lebih baik. Perasan aneh itu memang tidak serta merta hilang ketika dia sah menjadi istri Manggala. Dia tetap harus berusaha tegar di depan para tamu. Ketika dia melihat sepasang tamu, Nayara merasa bersemangat. Dia menarik Manggala ke arah pasangan itu.“Manggala, ini Mbak Mimo dan Mas Shaq. Yang nolongin aku waktu kamu pingsan.” Dia menerima pelukan hangat dari Mimo.Manggala tersenyum dan langsung menurunkan kepalanya ke depan, sangat berterima kasih, penghormatan menyerupai ojigi yang sangat cocok dengan kimononya. Lalu mereka berjabat tangan akrab.“Terima kasih ya sudah mau datang. Terima kasih juga kemarin sudah mau bantu Nayara. Maaf kemarin undangannya cuma diselipin aja.”“It’s okay.” Shaq menepuk bahu Manggala. “Kalau lihat gimana Nay waktu itu,

DMCA.com Protection Status