NAYARA berusaha melanjutkan hidupnya. Bersyukur selama ini dia melindungi hatinya dengan kehati-hatian dan tidak mudah terbawa perasaan pada peran yang selama ini Manggala mainkan. Mengingat itu, dia marah. Bagaimana bisa Manggala berakting seperti itu untuk menunggu waktu yang tepat menjerat Nayara.
Dia marah.
Tapi sedih adalah rasa yang paling kuat terasa.
Dia sudah kadung merasa nyaman berada dekat dengan Manggala. Semua terasa baik-baik saja tanpa harus berurusan dengan rasa dan perbedaaan jenis kelamin. Selama ini dia berusaha menekan rasa yang Gia curiga sudah hadir di ceruk hatinya. Tapi ketika rasa itu berbalas keinginan Manggala akan tubuhnya, dia merasa sangat terhina. Sangat direndahkan. Tidak pernah dia dihina serendah ini. Bahkan ketika dia Harsa menghinanya, cukup menyiram wajah Harsa dengan segelas air, tak butuh waktu lama, dia merasa dia sudah baik-baik saja. Apalagi waktu itu ada Manggala yang menemaninya.
Ah, mengingat lelaki itu, r
Ah, kalian saling menyakiti. Termasuk menyakiti diri sendiri. Should I say happy reading for this part? [Rabu, 13 Oktober 2021]
MANGGALA mundur. Merasa malu dan terlalu terhina untuk bisa mendekat lagi. Berusaha melupakan apa yang membuat Nayara marah sama sulitnya dengan melupakan sosok itu sendiri. Dan dalam usahanya itu dia menjalani hidupnya seperti hantu. Kembali seperti dulu, Hanya menjalani saja. Mengisi siang yang melelahkan dengan bekerja dan menjalani malam yang menakutkan dengan dua pilihan berat. Tidak tidur atau tidur dengan mimpi buruk. Mimpi yang berusaha dia lupakan. Hanya dia dan Tuhan yang tahu betapa kerasnya dia berusaha menghindari Nayara. Dia mungkin sanggup bertemu, tapi membayangkan Nayara akan memandangnya dengan tatapan yang sama, itu yang dia tidak mau bayangkan. Sebulan ini dia tidak pernah menginjak lantai Papyrus. Beberapa kali dia nyaris berpapasan dengan Nayara di lobby. Ternyata waktu tidak serta merta mengubur kehilangan itu. Rasa sakit tetap mencuat terhimpit rindu yang semakin menekan sedih. Hari terus berganti tapi semua rasa yang menyiksa tetap be
MAMA pergi ketika aku masih kelas 3 SD. Umurku delapan tahun. Siang itu puncak kenakalanku. Sudah beberapa hari aku seperti itu. Aku selalu cari cara agar perhatian Mama cuma untuk aku. Aku mencuri uang Mama. Aku tidak mau tidur siang. Aku mengacak-acak rumah. Aku tidak mau makan. Aku melempar semua yang ada di dekatku. Aku berteriak-teriak. Aku menangis meraung ... Mama cuma diam nelihat kelakuanku. Mama hanya berusaha merengkuhku, lalu memelukku erat. Yang ketika Mama berhasil Mama malah seakan tidak ingin melepas pelukannya. Berkali-kali aku mengamuk dalam pelukan Mama sampai terlepas. Tapi Mama tak bosan menarikku lagi, mendekapku di dadanya. Sampai akhirnya aku tertidur kelelahan. Yang ketika aku terbangun Mama sudah tidak ada di rumah. Sejak awal Mama meminta izin pergi aku sudah mengamuk. Aku ingin ikut, tapi Mama melarang dengan alasan sekolah. Itu malah membuatku semakin mengamuk lalu mogok sekolah. Semuanya untuk menunjukkan pada Mama, bahwa meski aku
“SIAPA sih yang bikin peraturan kalau cowok dilarang nangis?” Nayara memegang ujung matanya memastikan sudut itu tetap kering. “Maaf, Nayara. Aku nggak pernah bermaksud merendahkan kamu.” “Maaf, aku nggak tahu hidup kamu serumit itu.” Sejak awal Manggala berkisah, Nayara tekun memperhatikan mimiknya. Tapi Manggala tidak satu kali pun melihat ke arah Nayara. Dia melihat ke segala arah kecuali ke arah Nayara. Tubuhnya kurus, wajahnya tirus dengan lingkaran hitam di mata yang semakin jelas. Mungkin dia tetap terlihat rapi, tapi itu tidak bisa menutupi kekacauan hatinya. “Tadi kenapa kamu buang permen-permen itu?” “Aku nggak layak dapat hadiah apa pun lagi.” “Maksudnya?” “Yang pernah puji aku cuma Mama. Dan Papa nggak suka kalau Mama begitu, termasuk kasih hadiah. Katanya bikin aku manja, GR, gampang puas.” “Hadiah apa?” Wajah Manggala melembut dihiasi senyum tipis tapi tetap tidak bisa menyembunyikan gurat sedih da
Nayara terusik gerakan-gerakan menggeliat di sampingnya. Dan tanpa membuka mata dia tahu dia ada di mana dan siapa yang menganggu lelapnya. Posisi tidur mereka sudah tak jelas. Dia tertidur ketika membaca. Tubuhnya jatuh sepanjang sandaran sofa sementara kakinya tetap di tempatnya. Mungkin karena merasa tempatnya sempit Manggala bergerak naik dan kepalanya berakhir di paha Nayara dan geliatnya tadi membuat tangannya melintang di perut Nayara. Bantal sudah di lantai, selimut setengah terjuntai. Untuk gampangnya, anggap saja posisi mereka adalah modifikasi 69 dengan pakaian lengkap. Nayara menjatuhkan sebelah kaki agar punggungnya bisa lebih lurus dan kepala Manggala bisa lebih nyaman di pahanya. Tidurnya lelap. Bukan, bukan tidurnya. Tidur mereka lelap. Ini nyaris pagi. Semburat jingga sudah terlihat di jendela. Melihat wajah lelap di pahanya, tangan Nayara kembali bergerak mengelus rambut itu. Dia menutup matanya. Tidak berusaha tidur kembali, hanya ingin merasai dan
TAK tahu berapa lama mereka berdua berada di neraka itu. Waktu terasa bergerak sangat lambat ketika Nayara tidak tahu apa yang harus dia lakukan kecuali menemani Manggala saja. Sampai tubuh Manggala melemah, napasnya pun mulai teratur. Dan akhirnya Nayara menyadari, Manggalas sudah tertidur. Dua pil memang bekerja lebih cepat, tapi tetap saja Nayara takut dosis itu berbahaya bagi Manggala. Dia mengambil bungkus pil, dosis yang tertera hanya setengah sampai satu. Jeritannya tertahan di tenggorokan. Manggala lelap atau pingsan, dia tak tahu. Pun dia sudah menyambar ponsel dan mencari tahu dengan jarinya, dia tetap tidak memperoleh hasil di tengah kepanikan seperti ini. Berkali-kali dia memperhatikan napas Manggala. Memastikan dia bernapas normal. Menyentuh bagian tubuhnya untuk mendeteksi suhu. Menghapus keringatnya. Manggala bahkan masih bertelanjang dada. Sepi. Tapi kepalanya sungguh riuh. Ramai dengan berbagai pertanyaan yang saling menabrak mencari jawaban.
“SHOULD I sorry for that?” Nayara berbisik pelan. Sungguh-sungguh bertanya. “No need. Aku sudah berhasil memetakan soal itu. Aku yang salah. Tapi yah aku begitu, itu gara-gara kenangan buruk aku. Dan kenangan itu bukan aku yang bikin. Tapi aku bisa apa? Jadi kembali lagi, aku terima aja.” Suaranya datar, begitu tenang. Tanpa emosi sama sekali. “Kenapa kamu berani ngajuin proposal seperti itu ke aku? Apa selama ini ada kelakuan aku yang bikin kamu pikir aku kayak cewek bispak? Aku nggak pernah godain kamu, outfit juga tertutup.” Nayara merasa harus menanyakan sumber kesedihannya. “Aku ngelihat kamu di High Five, Nayara. Aku yakin waktu itu kamu juga lihat aku.” “So? Tentu Nayara ingat kejadian itu. Waktu itu dia berpura-pura tidak melihat Manggala, tapi ternyata dia gagal. “Kamu nggak tau profesi lain salah satu teman kamu?” “Hah?” Nayara berekspresi singkat. Ekspresi bodoh dan terkejut. “Aku ngg
“STAY here, Nayara.” Berbisik nyaris seperti desah. Sangat pelan sehingga seperti memohon. “Coba tolong perjelas kalimatnya.” Nayara pun bersuara pelan. Mereka sedekat ini, di ruang setenang ini. Semua terdengar jelas bahkan debar jantung dan aliran darah pun bisa terdengar. Nayara berusaha setenang dan senetral mungkin. Tak ada suara lain yang menemani keriuhan di batin masing-masing mereka. Senyap. Suara lembut Nayara pun terdengar sangat jelas. Manggala berusaha sangat keras mengatakan maunya. Setelah dia bercerita, mengeluarkan kisah yang membebani jiwanya, Nayara menuntut hal lain yang selama ini dia tekan. Selama ini banyak keinginan-keinginannya tidak berhasil melewati bibirnya. Hanya terkubur di dalam jurang hati. Perjalanan hidupnya mengajarkan itu. Semua akan lebih baik jika dia diam, menerima saja semuanya, memendam saja semua maunya, lalu melupakan semua terutama yang menyakitinya. Jika terlalu sakit, maka sakiti saja dirimu sendi
HUBUNGAN mereka membaik. Komunikasi yang sempat putus kembali lancar. Dan tanpa kesepakatan, mereka sama-sama menjalani kebersamaan ini tanpa merasa orang lain perlu tahu kedekatan mereka. Hubungan mereka adalah privasi mereka. Sesekali Manggala mengantar Nayara pulang lalu mereka berbincang santai di teras kos. Kadang bersama Gia dan pasangannya. Beberapa kali Manggala mengajak Nayara ke rumahnya, tapi Nayara selalu menolak dengan alasan yang sama. Sejujurnya, Nayara hanya tidak mau tak berjeda dengan Manggala. Karena alasan itu juga maka Nayara sering menolak ke apartemen. Berakhir di berbagai tempat makan. Baru satu kali di tempat hiburan malam. Sebulan lebih seperti itu. Seperti kali ini. Akhir pekan, mereka lebih santai. Bosan duduk berbincang di tempat yang sama, Manggala mengajaknya pergi dan berakhir di tempat hiburan malam. “Ngapain sih ke sini?” protes Nayara. “Kamu nggak suka?” Manggala bersiap memutar kemudinya. “Minum ngga